• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Hutan Rakyat

Prioritas dan fokus utama pembangunan bidang kehutanan di Kabupaten Wonogiri diarahkan pada upaya pelestarian Waduk Gajah Mungkur sebagai

cathment area (daerah tangkapan air). Waduk Gajah Mungkur telah memberikan manfaat besar bagi masyarakat Wonogiri. Sebagai wujud upaya tersebut banyak program–program untuk pengembangan kawasan hutan yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 1994 dan Nomor 230/ KPTS-II KDH Tingkat.II Wonogiri Nomor 821.2/ 1730/ 1994. Pada tanggal 21 Maret 1994 dibentuk Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) Kabupaten Wonogiri dengan tugas uatama: penghijauan, konservasi tanah dan air, persuteraan alam, perlebahan, hutan rakyat dan milik, dan penyuluhan kehutanan. Dinas tersebut mulai melaksanakan beberapa proyek dan kegiatan pengembangan hutan rakyat. Kecamatan Giriwoyo sebagai salah satu kecamatan yang mempunyai wilayah hutan yang luas merintis pengembangan hutan rakyat sebagai upaya mendukung gerakan pemerintah di samping sebagai insiatif untuk memperbaiki keadaan ekologi.

Tabel 5.1 Sejarah hutan rakyat di Kecamatan Giriwoyo

Tahapan Tahun Kejadian

Perintisan 1950-1970

1970–1987

Kayu–kayuan masih jarang ditemukan karena lahan digunakan untuk tanaman pangan, sering terjadi banjir sehingga tanah terkikis dan terjadi longsor. Hal ini mengakibatkan kurangnya sumber air.

Penggalaan penghijauan dari pemerintah dengan pemberian bibit.

Penataan 1990 Diadakan program terasering untuk

penanggulangan erosi, tanah longsor, banjir, dan bencana lain.

Pengembangan 1999–2005 Adanya penerbitan edaran untuk penanaman penghijauan kembali untuk pencegahan terjadinya hal tersebut, dengan adanya bantuan dari GERHAN (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) tahun 2003 berupa bibit penghijauan, pupuk dan dana penggarapan.

Penguatan 2006 Adanya program pelestarian hutan rakyat dengan kegiatan Serifikasi Hutan Rakyat dari PERSEPSI yang dilakukan di tiga desa yaitu Tirtosworo, Guwotirto, Sejati dan Kelurahan Girikikis.

Berdasarkan Tabel 5.1 terlihat bahwa proses munculnya hutan rakyat dimulai dari perintisan, penataan, pengembangan, dan penguatan. Hal utama yang melatarbelakangi pengembangan kawasan hutan adalah memanfaatkan fungsi lahan kering untuk ditanamai tanaman kayu–kayuan agar dapat mencegah erosi, banjir, tanah longsor, dan memunculkan sumber mata air. Kawasan hutan rakyat di Desa Sejati merupakan kawasan hutan rakyat yang sudah mendapat sertifikasi dari Lembaga Ekolabel Indonesia pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan hutan dari segi ekologi, ekonomi, dan sosial baik. Sedangkan untuk Desa Selomarto belum mendapatkan sertifikasi walaupun memiliki kawasan hutan yang lebih luas dari Desa Sejati. Belum adanya kelompok menjadi salah satu penyebabnya.

Klasifikasi Hutan Rakyat

Hutan rakyat di Kecamatan Giriwoyo sendiri bukan hanya lahan yang berada di dekat gunung (tegalan), namun terdapat banyak jenis hutan rakyat berdasarkan tempat dan bentuknya. Hutan rakyat di Kecamatan Giriwoyo dibedakan menjadi:

a. Pekarangan

Pekarangan adalah lahan yang berada di sekitar rumah. Pemanfaatan pekarangan dapat terlihat dengan adanya kandang untuk hewan ternak kambing atau sapi. Pekarangan bisa berada di depan, samping atau belakang rumah. Rumah Jawa merupakan rumah yang identik dengan halaman yang luas. Halaman tersebut biasanya tidak dibiarkan kosong. Selain dimanfaatkan untuk kandang, halaman ditanami tanamam pangan, tanaman obat/empon-empon, buah-buahan dan tanaman kayu.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Tanaman pangan yang ditanam adalah jagung, kedelai, ketela, dan kacang. Sedangkan untuk tanaman sayuran biasanya ditanam kacang panjang, bayam, dan lembayung. Tanaman buah yang sering dilihat di pekarangan rumah warga adalah pisang, pepaya, dan mangga. Walaupun tanaman tanaman- tanaman tersebut tidak dijual namun tanaman ini dapat mengurangi pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi. Tanaman kayu-kayuan biasanya ditanam di belakang, samping, dan depan rumah. Hal ini bertujuan sebagai pembatas kepemilikan lahan.

b. Sawah

Sawah merupakan lahan yang digunakan untuk menanam tanaman pangan. Hal menarik pada sawah di tempat penelitian adalah adanya tanaman kayu-kayuan yang ditanam. Biasanya tananam kayu ditanam di pematang sawah, tujuannya selain sebagai batas kepemilikan kayu juga dapat mengurangi erosi tanah. Pola seperti ini disebut dengan pola tumpang sari/ agroforestry.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Gambar 5.2 Hutan rakyat di sawah

Terlihat pada gambar bahwa sekeliling sawah milik warga dikekelilingi tanaman jati. Meski jumlahnya tidak banyak, namun ini merupakan salah satu bentuk pemanfaatan lahan di sekeliling area sawah. Biasanya jenis tanaman kayu yang sering dibudidayakan adalah trembesi. Hal ini dikarenakan tanaman trembesi sangat rimbun sehingga bisa digunakan sebagai tempat peneduh jika panas atau beristirahat. Sawah di lokasi penelitian berbeda jenisnya. Di Desa Sejati sawah yang digarap merupakan sawah dengan jenis irigasi teknik dengan memanfaatkan aliran air dari sumber mata air seperti Kakap dan Teleng, sedangkan di Desa Selomarto kebanyakan sawah merupakan sawah tadah hujan yang menggantungkan pengairannya terutama dari air hujan. Sawah yang ada di kedua desa ditanami dengan tanaman padi dan palawija.

Tabel 5.2 Luas sawah menurut sistem pengairannya di Desa Sejati dan Desa Selomarto tahun 2012 (hektar)

No Jenis sawah Sejati Selomarto

1 Pengairan teknis 48 0

2 Pengairan ½ teknis 0 0

3 Pengairan sederhana 11 4

4 Tadah hujan 6 115,6

Jumlah 65 119,6

Sumber: Giriwoyo dalam Angka 2012

Pada Tabel 5.2 terlihat bahwa luas lahan persawahan di Desa Selomarto hampir dua kali lipat dari Desa Sejati. Walau begitu tak lantas pertanian di Desa Selomarto lebih maju. Hal ini dikarenakan jenis sawah di Desa Selomarto didominasi sawah tadah hujan. Petani hanya dapat menanam padi setahun satu atau dua kali tergantung hujan datang. Sisanya mereka menanam palawija seperti jagung, kedelai, dan kacang. Sedangkan di Desa Sejati petani dapat menanam padi hingga tiga kali karena tidak mengandalkan air hujan.

c. Tegalan

Tegalan merupakan lahan kering yang berada lebih jauh dari tempat tinggal petani dan terletak di bawah atau kawasan gunung. Kawasan ini biasa disebut Tegal Gunung. Tegalan yang jenis tanahnya kering kurang cocok untuk ditanami tanaman pangan karena kemiringannya cukup terjal dan tanahnya didominasi batu-batuan. Sekarang kawasan iniah yang dikebangkan sebagai hutan rakyat. Hampir semua lahan di tegalan ditanami kayu-kayuan. Namun bagi beberapa rumahtangga lahan ini masih ditanami tanaman pangan di dalam taman kayu yang megelilinginya walaupun banyak celeng, kera, dan babi karena luas sawah yang dimiliki sempit atau hasilnya kurang.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Tegalan yang juga disebut dengan hutan dulunya adalah hutan milik negara, namun pada saat itu lahan diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola. Orang-orang yang dapat memiliki lahan adalah orang yang dekat dengan pemerintahan seperti perangkat desa dan orang yang mau mengurus keperluan administrasi. Mengurus administrasi lahan pada saat itu adalah sesuatu hal yang rumit dan memerlukan uang yang relatif besar. Akses pinjaman uang belum mudah diperoleh. Akibatnya hanya orang-orang yang kaya saja yang dapat mengurus pemindahan tersebut. Berikut perbandingan luasan tegalan dan hutan negara di Kecamatan Giriwoyo.

Sumber: Giriwoyo dalam Angka 2012

Gambar 5.4 Luas hutan menurut jenisnya di Kecamatan Giriwoyo tahun 2012 (hektar)

Tanah tegalan atau hutan dimiliki oleh pribadi. Tanah tegalan ini letaknya berdekatan dengan hutan negara. Hutan negara adalah hutan yang masih dimiliki oleh negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Tujuan dari hutan negara adalah sebagai hutan konservasi dan hutan lindung. Berdasarkan Gambar 5.4 terlihat bahwa tanah tegalan lebih luas daripada hutan negara.

Sistem pengelolaan hutan rakyat di kedua desa masih tradisional. Penanaman kayu mulai dari pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran dilakukan secara sederhana. Orientasi penanaman kayu juga masih pada pemenuhan kebutuhan seperti renovasi rumah dan dijual jika kebutuhan mendadak. Kayu belum dijadikan sebagai komoditi komersil yang dapat menghasilkan pendapatan secara rutin. Akibatnya walaupun hasil kayu dapat dimanfaatkan rumahtangga pada saat ada kebutuhan mendadak namun hutan belum menjadi sumber utama pendapatan rumahtangga.

Pemanfaatan Hutan Rayat

Hutan rakyat yang dikelola oleh rumahtangga baik itu di tegal, sawah atau pekarangan telah memberikan manfaat bagi kehidupan. Secara umum manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat tidak hanya dari segi ekonomi namun juga secara ekologi dan sosial. Walaupun pengelolaan hutan rakyat masih tradisional dengan

Tanah Tegalan; 4.575,88 Hutan Negara;

orientasi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri, namun hutan rakyat telah memberi manfaat besar bagi kehidupan masyarakat. Tanah yang dulunya gersang dan gundul kini sudah ditanami banyak tanaman terutama dari jenis kayu-kayuan. Kayu tidak hanya memberi manfaat secara ekonomi namun juga berdampak baik terhadap keadaan ekologi di Kecamatan Giriwoyo khusunya. Manfaat yang dirasakan masyarakat dengan adanya hutann rakyat terdiri atas aspek:

a. Ekonomi

Hutan rakyat jelas memberikan kontribusi pendapatan bagi rumahtangga. Kayu yang menjadi jenis tanaman yang dibudidayakan merupakan komoditas pasar yang harganya relatif tinggi. Selain kayu tanaman lain seperti empon- empon, sayuran, dan buah-buahan dapat dikonsumsi atau dijual. Keberadaan hutan rakyat juga dapat memperluas lapangan kerja bagi masyarakat bukan hanya mereka yang mengelola hutan scara langsung melainkan orang yang terlibat dalam penjalan kayu.

b. Ekologi

Hutan rakyat telah memberikan manfaat secara ekologi yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar hutan. Gerakan penghijauan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat menjadikan hutan tak lagi gundul. Banyak pohon-pohon tumbuh sehingga dapat memproduksi oksigen. Selain itu tanaman kayu dapat mencegah erosi dan menanggulangi banjir karena kayu mempunyai sistem perakaran yang kuat dan mampu menyerap air dengan baik. Serta hutan rakyat dapat menghasilkan sumber mata air bagi kehidupan masyarakat.

Kayu Hutan Rakyat dalam Kehidupan Masyarakat

Kayu merupakan komoditas utama yang dibudidayakan di hutan rakyat khususnya pada lahan tegalan. Rumahtangga yang membudidayakan kayu mempunyai beberapa tujuan. Alasan utama rumahtangga menanam kayu adalah untuk renovasi rumah sedangkan untuk alasan kedua adalah kayu sebagai tabungan atau aset yang bisa dijual jika ada keperluan mendadak. Penebangan kayu dilakukan karena beberapa alasan, di antaranya adalah:

a. Rumahtangga menebang kayu karena kebutuhan renovasi. Kayu yang ditebang memang kayu yang sudah tua atau layak untuk ditebang. Kayu ini umumnya berkualitas baik dan berukuran besar. Penebangan ini dilakukan oleh petani itu sendiri yang dibantu tetangga dan juga tenaga buruh penggergajian. Buruh ini biasanya diupah Rp150 000/ hari.

b. Rumahtangga menebang kayu karena adanya petir atau angin kencang. Sebelum atau sesudah pohon tumbang biasanya pohon akan ditebang untuk menghindari kerusakan. Pohon kayu ini biasanya ditanaman di pekarangan rumah. Jadi pohon ditebang agar tidak merusak atau membahayakan bangunan. c. Rumahtangga menabang kayu karena ada keperluan mendadak. Keperluan tersebut seperti biaya anak sekolah, biaya berobat atau baya hajatan. Sistem penebangan ini disebut dengan “tebang butuh”. Penebangan ini dilakukan dengan menebang semua pohon yang ada di lahan atau menebang pohon yang sudah layak dijual saja.

Penebangan kayu untuk tipe 2 dan 3 biasanya dilakukan oleh bakul. Bakul adalah pedagang kecil yang membeli kayu dari petani. Bakul ada di hampir setiap desa. Semua biaya operasional mulai dari pengukuran, penebangan, pemotongan, pengangkutan hingga perizinan ditanggung oleh bakul.

Gambar 5.5 Rantai pemasaran kayu rakyat

Terlihat bahwa rantai pemasaran kayu dari petani ke konsumen di lokasi penelitian terdapat tiga jenis rantai pemasaran. Namun ketiga jenis rantai pemasaran tersebut memiliki kesamaan yaitu tangan pertama kayu petani dibeli oleh bakul. Pada jenis rantai pemasaran pertama dan kedua bakul kemudian menjual kayunya kepada pengepul atau pedagang besar. Pengepul ini biasanya ada di kota kecamatan atau kecamatan sekitar seperti Kecamatan Baturetno, Kecamatan Giritontro. Kayu dari pengepul ini bisa langsung dibeli oleh konsumen seperti rumahtangga untuk dijadikan bahan membuat rumah karena biasanya pengepul juga merupakan orang yang mempunyai toko bangunan. Pada rantai pemasaran kedua pengepul mendistribusikan kayu ke industri/meubel yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta, Solo, dan Jepara. Di pihak meubel dan industri kayu dijadikan barang furniture yang kemudian dinikmati oleh konsumen.

Pada rantai pemasaran jenis ketiga bakul tidak menjualnya lagi ke pengepul namun langsung ke konsumen. Biasanya konsumen langsung datang ke bakul. Hampir semua petani menjual kayunya kepada bakul. Selain sistemnya yang mudah, keuntungan yang diperoleh petani adalah mereka tidak mengeluarkan biaya apapun. Namun begitu jika dilihat dengan kasat mata sebenarnya petani banyak mengalami kerugian. Kerugiannya adalah sistem pengukuran diameter kayu yang dilakukan oleh bakul kadang berlaku curang. Aturan yang seharusnya adalah diameter kayu diukur tepat pada dada orang dewasa. Para bakul yang curang akan mengukur kayu dengan berdiri lebih tinggi

(jinjit) sehingga diameternya semakin kecil karena letak ukurannya semakin tinggi. Akibatnya harga yang diberikan semakin murah. Harga jual didasarkan kesepakatan antar dua pihak. Harga kayu tersebut ditentukan beberapa faktor yaitu:

a. Jenis kayu: jenis kayu yang mempunyai nilai jual paling tinggi adalah kayu jati, kemudian akasia, mahoni, dan terakhir trembesi.

b. Diameter: diameter adalah besarnya lingkaran kayu. Semakin besar diameternya maka semakin tinggi nilai jualnya. Diameter ini dipengaruhi oleh umur kayu. Diameter biasa dikodekan dengan istilah A1, A2, A3, dan A4.

Petani Bakul Pengepul Industri/ Konsumen

Meubel

Bakul Pengepul

c. Lokasi tanam: lokasi tanam menentukan nilai jual kayu karena berhubungan dengan pengangkutan. Lokasi yang mudah dituju seperti pekarangan rumah atau lahan yang dekat jalan utama akan lebih mahal dibandingkan dengan yang berada di lahan tegalan dekat gunung. Hal ini dikarenakan biaya transportasi untuk menuju lokasi besar mengingat jalan cukup terjal.

Kayu dari petani dibeli masih dalam wujud pohon, sedangkan saat menjual ke konsumen kayu sudah dalam bentuk batangan dengan ukuran jual per m3. Harga kayu yang dibeli dari petani misalnya kayu jenis A1 dibeli harga sekitar Rp700 000 hingga Rp1 400 000, A2 berkisar antara Rp1 500 000 hingga Rp2 400 000, A3 dibeli dengan harga Rp2 500 000 hingga Rp3 400 000, dan A4 atau di atas sekitar Rp3 400 000.

Ikhtisar

Hutan rakyat di Kecamatan Giriwoyo tidak hanya tegalan yang berada di kawasan pegunungan. Namun pekarangan dan persawahan yang terdapat tanaman kayu-kayuan juga termasuk dalam hutan rakyat. Manfaat yang diperoleh masyarakat dari keberadaan hutan rakyat dapat dilihat dari aspek ekonomi dan ekologi. Hutan rakyat dapat mencegah erosi, banjir hingga kekeringan. Dari segi ekonomi selain pendapatan dari hasil hutan rakyat, hutan rakyat dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Saat penebangan, pengangkutan hingga pemasaraan banyak orang yang terlibat seperti buruh penggergajian, pedagang, dan sopir pengangkut.

Sistem pengelolaan hutan rakyat di kedua desa masih tradisional. Penanaman kayu mulai dari pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran dilakukan secara sederhana. Orientasi penanaman kayu juga masih pada pemenuhan kebutuhan seperti renovasi rumah dan dijual jika kebutuhan mendadak. Kayu belum dijadikan sebagai komoditi komersil yang dapat menghasilkan pendapatan secara rutin. Akibatnya walaupun hasil kayu dapat dimanfaatkan rumahtangga pada saat ada kebutuhan mendadak namun hutan belum menjadi sumber utama pendapatan rumahtangga.

Dokumen terkait