• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prasetya (2013) mendefinisikan struktur nafkah adalah komposisi pendapatan rumahtangga dari berbagai aktivitas nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota rumahtangga. Ellis (2000) mengelompokkan pendapatan menjadi pendapatan uang tunai (in cash) atau bentuk kontribusi lain (in kind) untuk kesejahteraan material individu atau keluarga yang diperoleh dari berbagai kegiatan memenuhi nafkah. Pendapatan terbagi menjadi tiga sumber yaitu pendapatan farm yaitu pendapatan yang diperoleh dari aktivitas nafkah di sektor pertanian secara luas berupa hasil panen, hasil penjualan ternak, dan hasil buruh tani. Kedua adalah pendapatan non-farm yaitu pendapatan yang diperoleh dari aktivitas nafkah di luar sektor pertanian meliputi upah buruh selain buruh tani, perdagangan, industri, gaji PNS, remitan, jasa, dan bantuan. Ketiga adalah pendapatan kayu yaitu pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan kayu. Pada penelitian ini akan berfokus pada pendapatan rumahtangga berdasarkan sektor pendapatan dan luas penguasaan lahan.

Pendapatan Rumahtangga

Pendapatan rumahtangga adalah jumlah uang yang diperoleh oleh rumahtangga dari aktivitas nafkah yang mereka lakukan dalam kurun waktu satu tahun. Pendapatan tersebut berasal dari pendapatan dari sektor pertanian (farm),

sektor non pertanian (non-farm) dan dari hutan yaitu pendapatan kayu.

Sumber: Data primer

Gambar 8.1 Pendapatan rata-rata rumahtangga responden per tahun berdasarkan lapisan penguasaan lahan di Desa Sejati dan Desa Selomarto tahun 2013-2014 (Rp) 28.717.500 23.671.111 17.481.333 34.446.250 23.910.600 18.144.286 0 5.000.000 10.000.000 15.000.000 20.000.000 25.000.000 30.000.000 35.000.000 40.000.000

Atas (> 1 hektar) Menengah (0,5-1 hektar) Bawah (< 0,5 hektar) Rp/ta hu n Sejati Selomarto

Berdasarkan Gambar 8.1 rata-rata pendapatan rumahtangga Desa Selomarto relatif lebih tinggi yaitu Rp25 500 379 dibandingkan Desa Sejati yang berkisar Rp23 289 981. Selisih pendapatan berdasarkan lapisan menunjukkan bahwa di Desa Selomarto lapisan atas menunjukkan selisih yang relatif besar dengan lapisan menengah dan lapisan bawah. Berbeda dengan Desa Selomarto, di Desa Sejati selisih pendapatan antar lapisan relatif seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan rendah. Seperti yang telah dibahas dalam bab sebelumnya bahwa bagi rumahtangga lapisan bawah akan berusaha memperoleh pendapatan lain di luar sektor pertanian. Akibatnya pendapatan yang diperoleh bertambah.

Pendapatan farm

Pendapatan farm adalah pendapatan yang berasal dari mengolah lahan dan beternak hewan (on-farm). Rumahtangga di kedua desa biasanya mengolah lahan sawah dan tegalan untuk ditanami padi dan tanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, dan singkong. Selain itu pekarangan rumah ditanami taman sayur dan buah seperti kangkung, bayam, terong, kacang, pisang, mangga, dan pepaya. Perhitungan pendapatan ini adalah perhitungan dari hasil panen padi, palawija, dan tamanan sayur serta buah rumahtangga baik yang dijual secara rutin maupun tidak rutin dan yang untuk konsumsi. Semua hasil panen dikuantifikasikan dengan uang mengacu pada harga pasar komoditas tersebut. Penjualan hewan ternak seperti sapi, kambing, dan ayam juga termasuk dalam pendapatan farm. Pendapatan farm lainnya berasal dari upah yang diberikan saat bekerja sebagai buruh tani baik berupa uang ataupun beras (off-farm). Upah berupa beras dihitung berdasarkan jumlah beras yang diperoleh saat buruh kemudian dikuantifikasikan dengan uang.

Sumber: Data primer

Gambar 8.2 Pendapatan rata-rata dari sektor farm rumahtangga responden per tahun berdasarkan lapisan penguasaan lahan di Desa Sejati dan Desa Selomarto tahun 2013-2014 (Rp)

13.984.167 5.598.333 3.473.000 3.371.250 2.209.266 2.787.142 0 2.000.000 4.000.000 6.000.000 8.000.000 10.000.000 12.000.000 14.000.000 16.000.000

Atas (> 1 ha) Menengah (0,5-1 ha) Bawah (< 0,5 ha)

Rp/ta

hu

n

Rata-rata pendapatan farm di Desa Sejati jauh lebih besar daripada di Desa Selomarto hingga selisih sekitar lima jutaan rupiah Rata-rata pendapatan farm

untuk semua lapisan rumahtangga di Desa Sejati adalah Rp7 685 167 dan di Desa Selomarto hanya Rp2 789 219. Hal ini dikarenakan tingkat pemanfaatan sawah di Desa Sejati lebih intensif daripada di Desa Selomarto. Penyumbang terbesar pendapatan ini adalah rumahtangga lapisan atas yang menggarap sawah cukup luas hingga satu hektar, namun secara keseluruhan semua lapisan rumahtangga di Desa Sejati mempunyai pendapatan farm yang lebih tinggi.

Hasil panen yang diperoleh juga relatif banyak. Berbeda dengan Desa Sejati, di Desa Selomarto sendiri rumahtangga lapisan atas banyak yang menguasai lahan tegalan ditanami kayu-kayuan. Lahan persawahan yang mereka miliki umumnya juga tidak memberikan hasil yang maksimal mengingat tipe sawah tadah hujan, mereka hanya bisa panen padi maksimal dua kali setahun. Akibatnya rumahtangga di Desa Selomarto pada semua lapisan banyak yang melakukan aktivitas nafkah di sektor non pertanian mengingat sektor pertanian dirasa kurang menjanjikan.

Bagi rumahtangga lapisan menengah dan bawah juga memperlihatkan hasil yang sama. Pendapatan farm di Desa Sejati lebih tinggi. Hal ini dikarenakan bagi rumahtangga kedua lapisan tersebut selain menggarap lahan milik sendiri, mereka sering menjadi buruh tani pada lahan milik petani lain. Setiap musim rumahtangga dapat melakukan buruh hingga sepuluh lahan. Akibatnya pendapatan farm bertambah, sedangkan bagi rumahtangga di Desa Selomarto karena sedikitnya lahan yang dapat diolah buruh tani hanya untuk membantu petani lainnya. Setiap musim mereka hanya dapat buruh di beberapa lahan saja. Rumahtangga lebih memilih menjadi buruh di luar sektor pertanian. Buruh yang dilakukan oleh rumahtangga seperti buruh bangunan. Kesimpulan yang dapat diambil dari grafik di atas adalah pendapatan farm di kedua desa berbeda. Hal ini dikarenakan jenis lahan garapan yang berbeda.

Pendapatan non-farm

Pendapatan non-farm adalah pendapatan yang bersumber dari usaha non pertanian. Usaha yang dimaksud adalah perdagangan, transportasi, industri, pegawai atau karyawan dan buruh selain buruh tani baik di desa maupun di luar desa (migran), pensiunan, bantuan dari swasta maupun pemerintah serta remitan. Remitan adalah uang yang dikirimkan oleh anggota rumahtangga atau kerabat selain kepala rumahtangga yang bekerja di luar kota. Kiriman remitan bersifat rutin setiap bulan atau hanya sesekali saat hari raya atau jika ada keperluan. Remitan rutin adalah mereka yang menitipkan anaknya kepada orangtua di desa. Mereka biasanya rutin mengirim remitan unuk keperluan anak-anak mereka khususnya. Remitan yang sifatnya hanya sesekali mengirim uang biasanya jika rumahtangga di desa sedang mengalami kesulitan keuangan karena kebutuhan mendadak seperti biaya berobat.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya bahwa lahan persawahan di Desa Selomarto tidak sebaik lahan yang ada di Desa Sejati. Hal ini mengakibatkan banyak rumahtangga di Desa Selomarto yang tidak hanya bekerja di sektor pertanian melainkan di luar sektor pertanian. Sektor non pertanian bukan hanya dijadikan sebagai pencari penghasilan tambahan melainkan sebagai penghasil utama. Implikasinya adalah pendapatan non-farm di desa ini lebih besar.

Sumber: Data primer

Gambar 8.3 Pendapatan rata-rata dari sektor non-farm rumahtangga responden per tahun berdasarkan lapisan penguasaan lahan di Desa Sejati dan Desa Selomarto tahun 2013-2014 (Rp)

Gambar 8.3 menunjukkan bahwa pendapatan non-farm di Desa Selomarto lebih tinggi dibanding Desa Sejati untuk semua lapisan rumahtangga. Selisih pendapatan non-farm di kedua desa cukup jauh yaitu hampir enam juta rupiah. Hal ini berbanding terbalik dengan pendapatan di sektor pertanian. Hal ini kembali menguatkan bahwa pendapatan farm rumahtangga di Desa Selomarto rendah sehingga rumahtangga intensif pada sektor luar pertanian yang memberikan pendapatan yang jauh lebih besar. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, rumahtangga di Desa Selomarto banyak yang melakukan aktivitas nafkahnya pada sektor non pertanian karena lahan pertanian kurang memberikan hasil yang besar. Rumahtangga di Desa Selomarto banyak yang bekerja sebagai wiraswasta seperti bakul kayu, pedagang di luar desa dan industri-industri kecil rumahtangga, selain itu banyak yang bekerja sebagai buruh migran di kota. Sedangkan rumahtangga di Desa Sejati aktivitas nafkah di sektor non pertanian hanya sebagai bakul kayu, buruh bangunan, buruh migran dan membuka warung.

Pendapatan kayu

Pendapatan kayu adalah pendapatan yang berasal dari penjualan kayu yang dilakukan rumahtangga dalam kurun satu tahun terakhir. Pendapatan ini yang juga dikenal sebagai pendapatan hutan. Tidak semua rumahtangga melakukan penebangan dan penjualan kayu dalam kurun waktu satu tahun belakang, hanya ada sebelas rumahtangga yang menebang dan menjual kayunya.

14.733.333 15.628.333 13.008.333 30.425.000 21.448.000 15.171.428 0 5.000.000 10.000.000 15.000.000 20.000.000 25.000.000 30.000.000 35.000.000

Atas (> 1 ha) Menengah (0,5-1 ha) Bawah (< 0,5 ha)

Rp/ta

hu

n

Sumber: Data primer

Gambar 8.4 Pendapatan rata-rata dari sektor kayu rumahtangga responden per tahun berdasarkan lapisan penguasaan lahan di Desa Sejati dan Desa Selomarto tahun 2013-2014 (Rp)

Berdasarkan Gambar 8.4 terlihat bahwa pendapatan kayu terbesar terdapat pada rumahtangga lapisan menengah di Desa Sejati. Hal ini dikarenakan ada rumahtangga yang melakukan penebangan dan menjual kayunya dalam jumlah besar yaitu Rp33 000 000. Pendapatan kayu dari rumahtangga lapisan atas di Desa Sejati tidak ada karena responden rumahtangga lapisan atas tidak ada yang menjual kayunya setahun belakangan ini. Terlihat bahwa kayu di Desa Sejati bagi rumahtangga lapisan bawah dan lapisan menengah merupakan salah satu aset yang dapat dijadikan alternatif rumahtangga jika dalam kondisi terdesak. Berbeda dengan lapisan atas bahwa rumahtangga cenderung tidak memanfaatkan kayu sebagai alternatif. Hal ini disebabkan rumahtangga lapisan atas mempunyai alternatif lain selain menjual kayu jika ada kondisi terdesak.

Kenyataan berbeda di Desa Selomarto dimana pendapatan kayu tertinggi ada pada rumahtangga lapisan atas. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, beberapa rumahtangga lapisan atas masuk ke dalam kategori rendah sehingga kayu menjadi alternatif bagi rumahtangga jika butuh uang. Di samping itu kepemilikan kayu di Desa Selomarto lebih tinggi sehingga jika kayu dijual masih menyisakan banyak. Berbeda di Desa Sejati jumlah kepemilikan kayu tidak terlalu banyak terlebih bagi lapisan bawah dan menengah sehingga mereka akan berpikir dua kali untuk menjual kayu karena takut habis. Tujuan utama mereka membudidayakan kayu bukan untuk dijual melainkan untuk renovasi rumah.

Secara keseluruhan pendapatan kayu hanya menyumbang sedikit dari total pendapatan rumahtangga. Walaupun begitu pendapatan kayu dirasa sebagai penolong rumahtangga jika butuh uang yang mendadak. Motif rumahtangga menebang kayu karena memang untuk dijual saat perlu uang atau untuk dipakai merenovasi rumah. Motif lain rumahtangga menebang kayu adalah karena umur kayu yang sudah sangat tua sehingga harus ditebang. Hal tersebut terjadi pada salah satu rumahtangga di Desa Sejati.

0 2.444.444 1.000.000 650.000 253.333 185.714 0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000

Atas (> 1 ha) Menengah (0,5-1 ha) Bawah (< 0,5 ha)

Rp/ta

hu

n

Beberapa bulan yang lalu saya merenovasi rumah, saya menebang kayu jati. Namun kayunya tidak digunakan untuk bangunan rumah tapi dijual dan laku Rp6 000 000. Untuk bangunan rumah saya membeli kayu jenis lain yang harganya lebih murah. Total biaya renovasi rumah kemarin Rp4 000 000 sehigga masih ada sisa untuk ditabung” (Ibu Str, 40tahun). Total pendapatan

Total pendapatan rumahtangga yang diperoleh dari pendapatan farm,

Pendapatan non-farm, dan pendapatan kayu merupakan keseluruhan pemasukan yang diterima rumahtangga setahun terakhir. Setiap sumber pendapatan menyumbangkan hasil yang berbeda pada setiap lapisan rumahtangga.

Tabel 8.1 Pendapatan rata-rata rumahtangga responden per tahun berdasarkan lapisan penguasaan lahan dan sumber pendapatan di Desa Sejati dan Desa Selomarto tahun 2013-2014 (Rp)

Sumber Sejati Selomarto Atas (> 1 ha) Menengah (0,5-1 ha) Bawah (<0,5 ha) Atas (> 1 ha Menengah (0,5-1 ha) Bawah (<0,5 ha) Farm 13 984167 5 598333 3 473000 3 371250 2 209266 2 787142 Non- farm 14 733333 15 628333 13 008333 30 425000 21 448000 15 171428 Kayu 0 2 444444 1 000000 326078 253333 185714 Total 28 717500 23 671111 17 481333 34 446250 23 910600 18 144285 Rata 9 572500 7 890370 5 827111 11 482083 7 970200 6 048095

Sumber: Data primer

Sumber: Data Primer

Gambar 8.5 Persentase pendapatan rata-rata rumahtangga responden per tahun berdasarkan lapisan penguasaan lahan dan sumber pendapatan di Desa Sejati dan Desa Selomarto tahun 2013-2014 (%)

49 24 20 10 9 15 51 66 74 89 90 84 0 10 6 1 1 1 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Atas (> 1 ha) Menengah (0,5-1 ha)

Bawah (< 0,5 ha)

Atas (> 1 ha) Menengah (0,5-1 ha)

Bawah (< 0,5 ha)

Sejati Selomarto

Berdasarkan Tabel 8.1 dan Gambar 8.5 terlihat bahwa di Desa Sejati semakin luas penguasaan lahan maka semakin besar sumbangan pendapatan farm

terhadap total pendapatan rumahtangga. Di Desa Selomarto justru memperlihatkan hal yang berbeda, sumbangan pendapatan farm tertinggi ada di rumahtangga lapisan bawah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat lahan sangat berpengaruh terhadap pendapatan farm rumahtangga di Desa Sejati, namun tidak di Desa Selomarto.

Pendapatan farm untuk semua lapisan di Desa Selomarto rendah. Persentase pendapatan farm hanya berkisar antara 10% hingga 15%. Rumahtangga lapisan atas dan menengah hampir 90% pendapatan berasal dari

non-farm. Produktivitas lahan yang rendah membuat rumahtangga tak hanya menggantungkan hidupnya di sektor pertanian saja, mereka berupaya untuk mencari pendapatan lain di luar sektor pertanian atau dengan mengerahkan anggota rumahtangga lain untuk bekerja di luar sektor pertanian (diversifikasi nafkah). Hal ini menguatkan bahwa sektor pertanian di Desa Selomarto memang sudah bukan lagi sebagai sumber pendapatan utama sebagian besar rumahtangga.

Rumahtangga di Desa Sejati menunjukkan hasil yang sedikit berbeda. Persentase pendapatan rumahtangga lapisan atas dari sektor pertanian dan non pertanian hanya selisih 2%. Hal ini dikarenakan sawah di Desa Sejati menghasilkan produktivitas yang bagus sehingga bagi mereka yang menguasai sawah luas akan mendapatkan hasil yang banyak juga. Akibatnya pendapatan

farm juga besar. Sedangkan rumahtangga lapisan menengah dan bawah karena lahan tidak terlalu luas hasil panen yang diperoleh juga tidak banyak sehingga mereka mencari penghasilan di luar sektor non pertanian.

Pendapatan kayu di kedua desa hanya menyumbang 0% hingga 10%. Hal ini dikarenakan hanya sebelas rumahtangga yang menjual kayu. Walaupun hanya menyumbang sedikit dalam total pendapatan rumahtangga, kayu merupakan penolong bagi rumahtangga. Kayu masih digunakan rumahtangga khususnya pada lapisan menengah dan bawah atau mereka yang tidak mempunyai alternatif lain jika rumahtangga membutuhkan uang banyak dan mendadak. Rumahtangga lapisan atas di Desa Sejati tidak ada yang menjual kayu setahun belakang ini karena tidak membutuhkan uang yang besar atau mereka mempunyai alternatif lain selain menebang kayu jika butuh uang.

Secara umum pendapatan non-farm rumahtangga di Desa Selomarto mencapai 88% sedangkan pendapatan farm hanya 11% dan kayu 1%. Berbeda dengan Desa Selomarto, pendapatan farm di Desa Sejati menyumbang 33% sedangkan pendapatan non-farm 62% sisanya sebanyak 5% adalah pendapatan dari kayu. Di Desa Sejati pendapatan farm bagi rumahtangga khususnya pada lapisan atas dan kelompok usia tua merupakan penghasilan utama yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ketiga sumber pendapatan telah memberikan penghidupan bagi rumahtangga. Kontribusi setiap sumber pendapatan berbeda satu dengan lainnya. Pendapatan dari sektor pertanian yaitu berupa hasil panen padi, sayuran, buah- buahan, dan hewan ternak khususnya ayam sebagian besar menyumbang untuk konsumsi rumahtangga. Bagi rumahtangga yang mempunyai pendapatan farm

besar, sektor pertanian dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pendapatan non-farm yaitu sebagai pedagang, buruh serabutan, buruh migran, PNS, dan sebagainya digunakan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-

hari. Pendapatan non-farm juga kadang-kadang digunakan untuk menunjang aktivitas tani seperti membeli pupuk dan obat-obatan, sedangkan pendapatan kayu digunakan jika ada keperluan mendadak. Berikut adalah grafik persentase susunan pendapatan rumahtangga berdasarkan sumbernya.

Sumber: Data primer

Gambar 8.6 Kontribusi masing-masing sumber pendapatan rumahtangga responden per tahun di Desa Sejati dan Desa Selomarto tahun 2013-2014 (%)

Pendapatan rumahtangga di kedua desa secara keseluruhan masih didominasi pendapatan non-farm yang mencapai 75% atau sekitar Rp18 402 405, sedangkan pendapatan farm menyumbang Rp5 237 193 atau sekitar 22%. Dapat dikatakan bahwa rumahtangga di kedua desa bukan merupakan rumahtangga petani murni walaupun mereka masing-masing memiliki lahan garapan untuk bercocok tanam. Mayoritas rumahtangga merasa pendapatan farm dirasa kurang dapat memenuhi kebutuhan sehingga banyak yang beralih memanfaatkan sektor non pertanian. Seluruh rumahtangga mendapatkan penghasilan dari sektor non pertanian, sedangkan ada beberapa rumahtangga yang tidak memperoleh pendapatan farm.

Pendapatan kayu secara keseluruhan hanya menyumbang Rp755 582 atau 3% dari pendapatan keseluruhan. Hal ini dikarenakan hanya sedikit rumahtangga yang menebang dan menjual kayu dalam rentang setahun belakangan ini. Alasan penebangan dan penjualan kayu yang dilakukan rumahtangga adalah untuk menutupi biaya sehari-hari, menunjang kegiatan pertanian seperti membeli pupuk, biaya kebutuhan mendadak seperti biaya berobat dan untuk merenovasi rumah serta karena umur kayu dirasa sudah terlalu tua.

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Handoko (2007) pada rumahtangga petani di Kecamatan Jatirogo, Tuban. Pendapatan yang diperoleh dari hutan rakyat (kayu) hanya menyumbangkan 6,12% terhadap pendapatan total rumahtangga. Hasil tersebut memberikan bukti bahwa petani tidak menebang dan menjual hasil hutannya secara besar-besaran. Pengambilan hasil dari hutan rakyat dilakukan apabila sumber-sumber lain tidak bisa digunakan untuk memenuhi

22 75 3 Kayu Non-Farm Farm

kebutuhan tertentu atau yang disebut dengan daur butuh. Namun demikian pendapatan kayu sangat menolong rumahtangga terutama mereka yang tidak mempunyai tabungan atau aset berharga lain jika ada keperluan mendadak.

Tingkat pendapatan

Rata-rata penghasilan rumahtangga di kedua desa per tahun adalah Rp24 408 533. Pendapatan rumahtangga dapat diklasifikasikan menjadi pendapatan tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan. Berikut adalah tingkat pendapatan rumahtangga.

Tabel 8.2 Tingkat pendapatan rumahtangga responden di Desa Sejati dan Desa Selomarto tahun 2013-2014

No Tingkat pendapatan Sejati Selomarto

Jumlah % Jumlah % 1 Tinggi (≥ Rp35 194 301) 3 10 7 23 2 Sedang (Rp13 622 767-Rp35 194 300) 16 53 10 33 3 Rendah (≤Rp13 622 766) 11 37 13 44 Total 30 100 30 100

Sumber: Data primer

Berdasarkan Tabel 8.2, jumlah rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi lebih banyak berada di Desa Selomarto yaitu sekitar 23%, sedangkan di Desa Sejati hanya 10%. Namun terlihat bahwa rumahtangga di Desa Selomarto didominasi oleh rumahtangga dengan tingkat pendapatan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan di Desa Selomarto lebih tinggi karena rumahtangga di dengan pendapatan tinggi lebih banyak namun di sisi lain rumahtangga dengan pendapatan rendah juga mendominasi.

Rumahtangga dengan pendapatan tinggi di kedua desa adalah mereka yang intensif pada non pertanian seperti berdagang, wiraswasta, dan pegawai negeri. Pendapatan dari usaha-usaha tersebut sangat besar jika dibanding dengan pendapatan dari usaha pertanian. Pendapatan rumahtangga dengan kategori rendah adalah mereka yang intensif pada pertanian dan mendapatkan pendapatan non- farm dari remitan. Rumahtangga yang seperti ini merupakan rumahtangga golongan usia tua yang sudah tidak lagi mempunyai tanggungan dan mempunyai anak yang bekerja di luar daerah. Mereka umumnya memilih untuk intensif pada pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Tingkat kemiskinan

Tingkat kemiskinan seseorang dapat dihitung dengan berbagai cara dan indikator yang berbeda-beda. Pada kajian ini tingkat kemiskinan rumahtangga mengacu pada World Bank yaitu dengan menghitung pendapatan per kapita per hari. Individu berada di garis kemiskinan apabila pendapatannya kurang dari US$ 2 atau sekitar Rp20 000 per kapita per hari. Berdasarkan hal tersebut maka perhitungan dilakukan dengan membagi total pendapatan dengan banyaknya anggota rumahtangga.

Sumber: Data primer

Gambar 8.7 Pendapatan per kapita rata-rata rumahtangga responden berdasarkan lapisan penguasaan lahan di Desa Sejati dan Desa Selomarto tahun 2013-2014 (Rp)

Berdasarkan Gambar 8.7 terlihat bahwa rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga adalah Rp19 052 per hari. Hal ini menunjukkan bahwa rumahtangga di Desa Sejati maupun Desa Selomarto secara umum masih berada di bawah garis kemiskinan menurut World Bank. Jika dilihat berdasarkan lapisan, rumahtangga yang berada di bawah garis kemiskinan adalah rumahtangga lapisan menengah dan bawah. Jumlah rumahtangga golongan tersebut mencapai 85%. Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga hanya berkisar Rp12 000 hingga Rp16 000 per hari.

Rata-rata pendapatan antar berbagai lapisan masih relatif seimbang. Rumahtangga lapisan atas tidak berada jauh di atas garis kemiskinan. Begitu juga pada rumahtangga lapisan bawah dan menengah yang juga tidak jauh berada di bawah garis kemiskinan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan antar lapisan rumahtangga di kedua desa dapat dikatakan rendah.

Tingkat kemiskinan rumahtangga di kedua desa yang memperlihatkan bahwa sekitar 85% berada di garis kemiskinan merupakan fenomena yang tidak berbeda dari keadaan rumahtangga di pedesaan pada umumnya. Rumahtangga pedesaan dimana didominasi rumahtangga petani yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Baculu (2012) dalam penelitiannya pada petani sawah di Desa Kasiwiang mengatakan bahwa petani miskin dikarenakan pendapatan rendah dan pola hidup yang sederhana. Pendapatan rendah petani ini dipicu oleh beberapa faktor yang ditemukan di lapang.

Penyebab pendapatan petani rendah adalah karena kondisi alam yang kurang mendukung sehingga hasil pertanian tidak maksimal. Faktor kedua adalah sulitnya akses pekerjaan selain petani yang mendatangkan pendapatan tinggi karena rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki petani. Akibatnya aktivitas nafkah yang dapat mereka lakukan adalah sebagai buruh serabutan yang hasilnya tidak menentu. Tingkat pendidikan yang rendah juga menyebabkan petani dalam posisi yang lemah.

25.829 18.797 12.020 25.104 16.231 16.332 0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000

Atas (> 1 ha) Menengah (0,5-1 ha) Bawah (< 0,5 ha)

Rp/h

a

ri

Sen dalam Slamet (tahun tidak diketahui) melihat bahwa petani tidak dapat meraih kesempatan, informasi, pengetahuan, ketrampilan, partisipasi dalam organisasi. Kenyataan kedua adalah petani tidak dapat mengakses fasilitas keuangan pada lembaga-lembaga keuangan resmi. Selain itu petani juga tidak dapat memiliki teknologi baru yang memerlukan modal yang cukup besar. Dalam aspek politik petani tidak mampu memengaruhi keputusan politik, tidak didengarkan aspirasinya, tidak memiliki kemampuan untuk melakukan collective action. Terakhir adalah jika dilihat dalam konteks kehidupan sosial petani selalu memperoleh stigma sebagai orang-orang yang kolot, bodoh, malas, tidak aspiratif. Stigma inilah yang berakibat mereka menjadi rendah diri dan merasa disepelekan,

Dokumen terkait