• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gelombang Keempat

Dalam dokumen Bahtera pemilukada Konflik tak berujung (Halaman 50-65)

Setelah terjadi pertikaian gelombang ketiga dengan penghancuran desa Popilo di Kecamatan Tobelo (sebuah desa Islam di Kecamatan yang mayoritas Kristen), warga Islam tampak mengkonsilidasi serangan balasan. Niat ini terpenuhi ketika mereka berhasil menyerang desa Kristen Duma yang berada di Kecamatan Galela yang mayoritas penduduknya Islam. Penyerangan ke desa Duma ini menjadi lebih berarti karena desa ini dianggap merupakan awal dan simbol kristenisasi di kawasan ini.

Berdasarkan catatan dari pihak Kristen, laporan radio Hiversum, telah terjadi serangan pihak Islam ke desa-desa Kristen di Galela. Serangan ini terjadi secara beruntun dalam beberapa bulan mencapai puncaknya pada tanggal 19 Juni 2000 ke desa Duma yang mayoritas Kristen dan menampung beberapa pengungsi warga Kristen dari desa-desa Makate, Ngidiho, dan Dokulama. Peristiwa ini menimbulkan korban

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 51 yang cukup besar dan pengungsian warga Kristen ke Menado. Tidak ada catatan dari pihak Pemda, tetapi dilaporkan sekitar 200 orang menjadi korban dan 150 orang anak menjadi yatim piatu. Ini belum termasuk 200 orang pengungsi yang teng-gelam bersama kapal Nusa Bahari.

Dalam peristiwa Duma ini, pihak Kristen merasa bahwa aparat bersenjata tidak secara bersungguh-sungguh melindungi mereka. Bahkan ada kecurigaan keterlibatan aparat dalam penyerangan dengan melihat besarnya korban yang tewas karena peluru standard ABRI. Pihak aparat sendiri beralasan pada keterbatasan personil dan timbulnya banyak korban karena situasi yang kacau dan tidak menentu.

Sejumlah tokoh masyarakat di Maluku Utara mengungkapkan bahwa masyarakat dan banyak kalangan merasa gembira setelah Maluku berhasil melewati pemilihan umum pada 5 April 2004, namun kegembiraan itu tidak ber-tahan lama karena secara tak terduga muncul setelah kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) merayakan hari ulang tahunnya pada 25 April 2004.

Konflik yang terjadi tersebut diwarnai banyak ceritera dari kalangan masyarakat yang tidak pernah menduga bahkan seolah tidak percaya pada kenyataan yang dialaminya, seperti diuraikan berikut ini.

Bambang Wisudo (2007) menyatakan bahwa sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin di antara saudara yang masih ada hubungan darah bisa bermusuhan bahkan saling membunuh. Hibolamo yang sudah menjadi adat ratusan tahun di tanah Tobelo, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, tidak mampu lagi mencegah konflik terbuka di antara saudara sedarah.

Hibolamo, dalam bahasa Tobelo, berarti rumah besar. Rumah itu adalah rumah Hasan Nabiu yang dibangun sekitar tahun 1831 di Kampung Gura. Oleh keluarga Nabiu, rumah itu digunakan sebagai tempat pertemuan dan kegiatan keagamaan

52 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung secara bersama-sama. Pada hari minggu digunakan keturunan Nabiu yang beragama Kristen dan pada hari Jumat dan hari-hari lainnya digunakan keturunan Nabiu yang beragama Islam. Rumah ini juga digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dalam keluarga. Nabiu merupakan nama salah satu keluarga besar di Tobelo yang beragama Islam. Ia memiliki 12 anak, enam laki-laki yang tetap beragama Islam dan enam orang perempuan kemudian memeluk agama Kristen karena perkawinan. Di sini tidak ada pemaksaan untuk memeluk suatu agama.

Semua itu dilakukan dalam musyawarah di Hibolamo. Pertemuan adat itulah yang memutuskan untuk memberikan kebebasan bagi calon pengantin memilih agama yang ingin dianutnya. Agama tidak menjadi persoalan karena mereka pada dasarnya satu keluarga besar. Sayang sekali, bangunan fisik hibolamo sudah hilang sejak tahun 1960 bersamaan dengan pembangunan Pasar Lama Tobelo. Sebelum dibangun yang baru di Pasar Lama dengan ukuran lebih kecil dengan ukuran 4 x 6 meter, hibolamo sempat dipindahkan dari Kampung Gura ke Kampung Cina karena tanahnya dijual. Di Kampung Cina, bangunan hibolamo kemudian diletakkan tepat di depan Masjid Kampung Cina. Setelah bangunan hibolamo asli hilang, hibolamo kemudian menjadi adat yang melekat dalam ingatan masyarakat Tobelo khususnya dan Halmahera Utara pada umumnya.

Dalam perkembangannya, hibolamo kemudian men-jadi tempat pertemuan lembaga-lembaga adat untuk menyele-saikan berbagai konflik yang muncul di dalam masyarakat Tobelo secara adat.

Ketika pecah konflik pertama di Tobelo, dua kelompok yang sudah saling berhadapan sempat mengurungkan niatnya untuk berperang karena di hadapannya berdiri saudara-saudara yang masih satu darah. Akan tetapi, begitu terjadi penum-pukan massa lebih besar dan orang-orang yang punya ikatan

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 53 keluarga menyingkir dari lokasi itu, bentrokan pun tidak bisa dihindari lagi.

Akibat bentrokan itu banyak penduduk yang berusaha mengungsi dan mencari perlindungan di Kompi C di Tobelo. Ketika membantu menolong korban kerusuhan, Ono menemu-kan korban dari dua kelompok yang saling bertikai sama-sama berlindung di Kompi C di Tobelo.

Pada masa lalu lebih dari separuh penduduk Maluku menganut agama Kristen dan Katolik. Namun, karena migrasi dari daerah sekelilingya, komposisi itu berubah menjadi lebih dari separuh penduduk Maluku beragama Islam. Masyarakat Kristen awalnya memperoleh pendidikan lebih baik sehingga wajar bila birokrasi di daerah itu semula didominasi kelompok itu. Akan tetapi, lambat laun masyarakat Islam mengejar ketertinggalan itu dan mulai masuk dalam birokrasi. Pada saat bersamaan perdagangan dikuasai oleh masyarakat pendatang yang umumnya beragama Islam.

Sekilas melihat ke belakang terlihat bahwa konflik sosial yang dahsyat itu berawal dari pergesekan orang per orang atau antar kelompok yang meluas menjadi pertikaian antarkampung, antaretnik, dan akhirnya memuncak menjadi konflik antarkelompok agama. Peristiwa di Wailete, Dobo, dan kasus pemalakan di Ambon merupakan pertikaian kecil yang sejak lama juga ada tetapi tidak sempat merembet menjadi wabah yang menakutkan. Namun, karena tidak ada penegakan hukum yang tegas dan masalah tersebut dibiarkan berkembang tanpa ditangani serius, konflik pun semakin luas dan dalam.

Peristiwa yang terjadi di Tual, Maluku Tenggara, juga tidak jauh berbeda. Suasana konflik yang memanas di Ambon sejak Januari 1999 mengimbas sampai wilayah itu. Tiba-tiba saja muncul pemicu seorang anak dituduh membuat tulisan yang menghina salah satu agama, aparat kepolisian dinilai bertindak lamban, ribuan massa mendatangi Markas Polres, terjadi pelemparan dan suasana pun dengan cepat memanas.

54 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Belajar dari pengalaman tersebut, masyarakat kemudian terbelah menjadi dua kelompok berdasarkan agama dan masing-masing mempersenjatai diri. Isu penyerangan pun berkembang sehingga akhirnya penyerangan yang sesung-guhnya pun terjadi. Tiba-tiba saja terdengar bunyi ledakan bom. Warga kemudian memukul-mukul tiang listrik tanda penyerangan telah terjadi.

Peristiwa Tual dalam waktu singkat merembet ke seluruh wilayah Maluku Tenggara. Kerusuhan yang berlang-sung selama dua bulan, 31 Maret-24 April 1999 itu pun memakan 200 korban jiwa dan ratusan lainnya luka berat, 3.084 rumah penduduk hancur, 48 tempat ibadah dirusak, dan 34 sekolah rusak. Tercatat 52 desa di wilayah itu dibumi-hanguskan.

Mencermati kondisi pasca konflik sosial tersebut, masih banyak hal yang mesti dilakukan ole pemerintah dan masyarakat untuk membantu masyarakat Maluku. Penanganan pengungsi, penyediaan pendidikan alternatif bagi anak-anak yang telantar, penyembuhan trauma psikologis di kalangan anak-anak, rehabilitasi bangunan dan gedung-gedung yang rusak, dan membantu menciptakan kembali penghidupan mereka. Agenda yang mesti dilakukan begitu banyak dan perlu penanganan yang serius dan terpadu dalam jangka panjang. Dana dan tenaga dalam jumlah besar diperlukan. Di sini diperlukan keputusan politik sebagaimana juga penanganan secara sosial. Selain pemerintah, uluran tangan dari masyarakat sendiri untuk meringankan penderitaan rakyat Maluku sangat dibutuhkan.

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 55

SUMBER-SUMBER KONFLIK

Perseteruan antara Ternate dan Tidore

Kesultanan di Maluku Utara semula terdiri dari 4 kesul-tanan besar yang bersaudara, yaitu : Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Di samping itu tercatat pula kesultanan Moti dan Makian, yang konon menjadi cikal bakal kesultanan Jailolo dan Bacan. Melihat awal keempat kerajaan yang semula berkedu-dukan di pulau-pulau Ternate, Tidore, Moti, dan Makian, keempat kesultanan yang berbasis kekuatan kelautan. Semen-tara di Halmahera terdapat kesultanan Moro dan Loloda yang berbasis pada pertanian.

Keberadaan dan persaingan keempat kesultanan itu (Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan) bersamaan dengan kedatangan keempat negara atau bangsa Utara yang berniat menancapkan kekuasaannya di bumi Maluku dan sekitarnya. Keempat bangsa itu adalah : Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Dalam sejarahnya yang panjang sejak abad 15, pertemanan dan perseteruan antara keempat kesultanan dan empat bangsa Utara itu merupakan kisah yang menarik. Pertukaran mitra dan perubahan musuh bukan hal yang jarang terjadi. Hal ini sesaat telah menimbulkan kebigunggan bagi keempat bangsa Utara yang berhubungan dengan mereka. Tetapi akhirnya menjadi alat yang sangat ampuh untuk meruntuhkan kedigdayaan keempat kesultanan tadi.

56 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Di antara keempat kesultanan ini hanya dua kesultanan yang menunjukkan eksistensi yang cukup kuat, yaitu : kesul-tanan Ternate dan Tidore. Posisi dan keberhasilan kesulkesul-tanan Ternate untuk menjadi yang paling kuat, tidak terlepas dari keberhasilan sultan Ternate dalam mendekati pemerintah kolonial Belanda, di samping latar belakang kesejarahannya yang paling kuat. Sementara itu Tidore sempat dipimpin oleh Sultan Nuku, pemimpin rakyat yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Tidore.

Setelah Nuku menguasai Seram dan Bacan, pada pertengahan April 1797, Nuku berkerjasama dengan armada Inggris mulai mengepung Tidore. Pada waktu itu Sultan Tidore Kamaludin telah melarikan diri ke Ternate untuk meminta bentuan Belanda. Anehnya rakyat dan pembesar Tidore tidak ada yang memberikan perlawanan membela Sultan Kamaludin, bahkan mengangkat Nuku menjadi Sultan Tidore.

Sepeninggal Inggris Ternate yang tetap bermitra dengan Belanda harus berhadapan dengan Tidore yang ingin tetap merdeka. Sayang perjuangan Tidore ini terpaksa melemah sesudah wafatnya Nuku. Sebagai mitra Belanda, kesultanan Ternate menjadi satu-satunya kekuatan yang menonjol di Maluku. Kesultanan Ternate juga mendapat berbagai kemuda-han dan prioritas pembangunan, khususnya untuk kawasan pulau Ternate sendiri.

Sesudah kemerdekaan terjadi kemunduran posisi Kesultanan Ternate. Posisi Maluku Utara yang hanya setingkat Kabupaten dan Kota Ternate sebagai kota Kecamatan (hingga tahun 1982) merupakan kemunduran bagi eksistensi Kesultanan Ternate.

Di awal konflik, kesultanan yang eksis tinggallah kesultanan Ternate. Ternyata konflik di kawasan ini telah mengubah perimbangan kekuasaan di Maluku Utara. Kondisi ini juga seakan membangunkan kesultanan Tidore yang sempat tidur pulas sesudah kejayaannya di abad 16-17, dan bangkitnya

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 57 kembali kesultanan Bacan dan Jailolo. Dua kesultanan yang namanya nyaris tak terdengar dibalik hingar-bingar perseteruan antara kesultanan Ternate dan Tidore.

Hal ini dapat di lihat ketika adanya usulan pembentukan Provinsi Maluku Utara, Sultan Ternate ternyata telah ber-gabung dengan Golkar untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur di Provinsi baru tersebut. Namun niat Mudafar Syah tersebut kandas ternyata calon yang kemudian di usung Golkar adalah Abdul Gafur. Kegagalan Sultan Ternate tersebut untuk mendapatkan posisi calon gurbenur dari partai Golkar mem-buatnya beralih partai ke Partai Persatuan Demokrasi Kebang-saan untuk mendapat kursi di legislatif. Keberhasilan Sultan Ternate dalam menduduki kursi anggota DPR-RI ternyata diiringi juga oleh keberhasilan sang permaisuri menduduki anggota DPD. Hal ini memicu kebangkitan kesultanan Tidore yang ditandai dengan keberhasilan Sultan Tidore sebagai anggota DPD.

Kemunculan Sultan Tidore ternyata juga ikut memicu kedua kesultanan besar lainnya yaitu kesultanan Bacan dan Jailolo. Hal ini dapat dilihat dengan kemunculan Sultan Bacan menjadi Bupati Halmahera Selatan 2003-2008. Sedangkan Sultan Jailolo pada akhirnya mendapatkan jatah kursi di DPRD Halmahera Utara.

Ketegangan Masalah Agama

Banyak pihak yang memperkirakan bahwa kebijakan migrasi masyarakat Makian ke Kao adalah dalam rangka mengimbangi atau sebagai reaksi atas misi zending (Kriste-nisasi) yang tampaknya semakin meluas di wilayah Halmahera, sedangkan isu gunung berapi hanyalah isu saja. Hal ini berdasarkan alasan bahwa semua penduduk Makian memeluk agama Islam. Alasan yang lain adalah mengapa yang di pilih Kecamatan Kao yang letaknya sangat jauh dari Pulau Makian

58 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung karena masih banyak lahan di Halmahera Tengah dan beberapa pulau lain yang masih bisa ditempati.

Sebagian besar pemeluk agama Kristen menempati Halmahera Utara, dengan batas wilayah bagian selatan peme-luk agama Kristen terbesar berada di Kecamatan Kao, hal ini menyebabkan Kecamatan Kao tempat yang strategis dalam penyebaran misionaris ke Halmahera Selatan.

Perebutan Sumber Daya Alam

Salah satu kekayan alam di Maluku Utara adalah pertambangan seperti emas dan nikel. Aktivitas pertambangan emas banyak dilakukan di wilayah sekitar perbatasan antara Kabupaten Halmahera Utara dengan Halmahera Utara, dan Kecamatan Malifut. Salah satu perusahaan tambang yang melakukan eksplorasi pertambangan adalah PT Nusa Halmahera Mineral (NHM). Perusahaan ini mengeksploitasi emas di daerah Gosowong sejak tahun 1997.

Seiring berjalannya waktu, ternyata NHM ini dianggap merugikan masyarakat sekitarnya, karena terjadinya konflik yang melibatkan 250 tenaga kerja beragama Islam dan Kristen di pertambangan PT. NHM di Gosowong, Kecamatan Kao diberhentikan sejak Oktober 1999. Hal ini terlihat bahwa PT NHM tidak mau mengambil resiko terhadap dampak yang akan ditimbulkan dari konflik kedua belah pihak tersebut. PT NHM mengambil langkah untuk menganti pekerja-pekerja lokal dengan para pekerja di luar daerah, seperti : Ternate, Manado, Makasar dan Jawa.

Persaingan antar Kelompok (Ingroup dan Outgroup)

Geertz (2005) berpendapat bahwa identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk menging-karinya, identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 59 kelompok etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat per-bedaan kelompok di antara mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda antara berbagai kelompok etnik yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan sumber adanya ikatan primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan keluarga atau hubungan-hubungan darah (garis ketu-runan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan atau keaga-maan, serta bahasa atau dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan darah, dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat destruktif.

Abdul Manan (2005) melihat sumber utama konflik di Maluku Utara bukan karena masalah agama, melainkan per-saingan kelompok dalam memperebutan kekuasaan di Maluku Utara (Perseteruan antara Ternate dan Tidore). Maka untuk melihat sumber utama dari konflik di Maluku Utara (1999-2000) dapat di lihat dari aktor-aktor yang terlibat konflik.

Penetapan UU No. 22 Tahun 1999 yang mengurangi dominasi pemerintah pusat dalam pemerintahan di daerah, membuat kelompok pemerintah daerah cenderung untuk memusatkan perhatiannya untuk memperoleh hegemoni dalam pemerintahan. Persaingan antara kelompok birokrat Ternate dan non Ternate (Tidore, Makian) menjadi semakin runcing dengan adanya pemekaran wilayah. Beberapa birokrat Tidore melakukan kerjasama dengan suku Makian dengan maksud atau bertujuan untuk mengimbangi dominasi kelompok Ternate di pemerintahan.

Berdasarkan sejarah persaingan antara Ternate dengan non Ternate di daerah Maluku Utara bisa di bagi ke dalam dua kelompok besar yaitu kelompok orang Ternate dan pengi-kutnya dan kelompok lainnya adalah kelompok bukan pengikut Ternate (Tidore, Makian, Bacan, dan lainnya). Rivalitas yang paling mencolok ada dalam perebutan kursi birokrat, apalagi

60 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung setelah Maluku Utara menjadi Provinsi tersendiri. Pada awalnya ada dua buah kubu dalam pemerintahan daerah yaitu ’kubu Selatan’ yang dimotori oleh orang-orang anti kesultanan Ternate dan ’kubu Sultan’.

Tokoh-tokoh dari kubu Selatan adalah Sekwilda Maluku Utara I Taib Arman, Walikota Ternate Syamsir Andili, Bupati Maluku Utara Asegaf, Bupati Halmahera Tengah Bahar Andili. Selanjutnya kelompok ini mendapat dukungan dari masyarakat Islam dan mahasiswa Makian yang sedang belajar di Universitas Khairun. Kelompok ini diduga memiliki jalur langsung dengan pemerintahan pusat, hal ini dapat di lihat dengan naiknya para pemimpin Dati II yang terdiri dari birokrat kubu Selatan.

Kubu ’Sultan’ terdiri dari sultan Ternate Mudaffar Syah, dewan adat, masyarakat pendatang, warga Ternate bagian Utara, masyarakat Kristen di Halmahera Utara. Perten-tangan antara kubu ’Sultan’ dan kubu ’Selatan’ mengenai perebutan kursi gubernur Maluku Utara, pemilihan ibukota Provinsi sehingga mengakibatkan terjadinya konflik terbuka antara kubu ’Selatan’ di dukung oleh pasukan Putih sedangkan kubu ’Sultan’ di dukung oleh pasukan Kuning.

Dinamika perebutan kursi Gubernur di Provinsi Maluku Utara, Sultan Ternate sebagai seorang tokoh Golkar pada waktu itu sangat berambisi untuk menjadi gurbernur Maluku Utara. Namun langkahnya terhambat oleh Bahar Andili (bekas Bupati Halmahera Tengah), dan Drs. Thaib Armain (berasal dari suku Makian) yang memiliki ambisi yang sama. Campur tangan bekas pejabat Orde Baru semakin memperkeruh kondisi, dimana ketika dilakukan pemilihan pada tanggal 5 Juli 2001 akhirnya dimenangkan oleh bekas Menpora Abdul Gafur. Walaupun akhirnya keputusan ini dianulir karena adanya dugaan money politics dan Sultan Ternate harus melepaskan ambisinya untuk menjadi gurbenur Maluku Utara. Bahar Andili

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 61 juga harus melepaskan impiannya kepada Sarundajang (Suku Morotai).

Camat Makian (Abdullah Assegaf) bersama beberapa pejabat Makian di pemerintah daerah berambisi untuk menjadikan Malifut sebagai calon ibukota Kabupaten Maluku Utara berdasarkan PP No.42/99 yang berisikan penetapan batas wilayah Kecamatan Kao dan Malifut. Penduduk Kecamatan Kao, khususnya 5 desa Soa Pagu yang memliki kedekatan historis dengan orang Kao tidak mau menerima penetapan sesuai PP. Hal ini menimbulkan ketegangan antara warga Kao dengan penduduk pendatang Makian. Hali inilah pemicu terjadinya konflik di Maluku Utara (1999-2004), namun pada awal konflik ini bisa di pandamkan pada Agustus 1999 oleh Sultan Ternate. Namun dalam pelaksanaan banyak keputusan Sultan yang dinilai merugikan warga Makian. Contohnya Sultan meminta Warga makian untuk pindah lebih dulu dari Malifut. Maka konflik antara Suku Makian dan Kao terjadi kembali pada tanggal 24 dan 25 Oktober 1999 dan menye-babkan warga Makian harus keluar dari Malifut. Hal ini direspon oleh Camat Malifut (Husen Koda) yang memobilisasi mahasiswa Malifut di Universitas khairun Ternate untuk melakukan tekanan terhadap Suku Kao.

Kawasan Malifut secara sejarah memilki kaitan dengan Sultan Ternate menjadi rebutan antara warga Makian (dalam sejarah merupakan pendukung kubu kesultanan Tidore) dengan warga Kao yang merupakan pendukung setia Sultan Ternate. Pejabat Makian yang ada pada waktu itu mendominasi birokrasi pemerintahan tidak tinggal diam dan bekerjasama dengan kelompok Tidore mereka mulai memikirkan untuk membangun kekuatan tandingan bagi kesultanan Ternate.

Hal yang menarik adalah muncul kembalinya kesul-tanan Jailolo dan Bacan dalam waktu bersamaan dengan kesultanan Tidore. Berdasarkan sejarah masa lalu tidaklah mengherankan apabila saat ini sultan Bacan memiliki

kede-62 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung katan degan Sultan Tidore sementara Sultan Jailolo lebih deket kepada kesultanan Ternate. Hal ini dapat dilihat Sultan Jailolo yang pernah menjadi kader Golkar bersama Sultan Ternate mengikuti jejak Sultan Ternate dengan pindah ke PDK, dan atas dukungan Sultan Ternate, beliau menjadi anggota DPRD Halmahera Utara.

Di pihak lain, Sultan Bacan (Gahral Syah) menduduki posisi Bupati Halmahera Selatan. Gahral Syah merupakan bagian dari kekuatan anti kesultanan Ternate bisa dilihat ketekia sebelum menjadi Bupati Halmahera Selatan, mendu-duki jabatan sebagai Bupati Maluku Utara menggantikan Abdullah assegaf. Konflik antara Sultan Ternate dengan Abdullah Assegaf sangat terlihat dari pendapatnya yag bersifat profokatif dan hal ini berakibat dibakarnya kantor bupati Maluku Utara tahun 1997 oleh para pendukung Sultan Ternate. Bupati Halmahera Tengah menyiapkan Kota Sofifi untuk dijadikan Ibu Kota Provinsi Maluku Utara. Selain itu juga menginginkan agar Tidore dijadikan ibukota Provinsi transisi. Sebaliknya keinginan Bahar Andili, kubu Sultan Ternate juga menginginkan agar Ternate manjadi Ibukota transisi Provinsi Maluku Utara. Akhirnya, Ternate ditetapkan sebagai ibukota Provinsi transisi, sedangkan untuk jangka panjang Kota Sofifi akan ditetapkan menjadi ibukota Provinsi. Meskipun Ternate dijadikan ibu kota transisi, tetapi di sana masih ada Syamsir Andili yang akan merongrong keinginan pendukung Sultan Ternate.

Sumber konflik Maluku Utara (1999-2000) adalah adanya kebangkitan Etnosentrisme, hal ini banyak dilakukan oleh elite-elite lokal untuk kepentingan pribadi bahkan sebagai mesin politik untuk merebutkan posisi-posisi politik. Gejala ini misalnya terlihat dari : Pertama, kentalnya mobilisasi massa atas nama adat yang terlihat dalam pembentukan Pasukan Kuning (Kesultanan Ternate) dan Pasukan Putih (Kesultanan Tidore) dalam perebutan jabatan kursi Gubernur Maluku Utara.

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 63 Kedua adanya upaya untuk memunculkan kembali kesultanan-kesultanan lama yang sudah vakum berpuluh-puluh tahun seperti kesultanan Bacan dan Jailolo dalam proses perebutan kursi di DPRD setempat.

Penguatan etnosentrisme sebagai alat manipulasi dalam perebutan jabatan-jabatan politis di tingkat lokal ini biasanya dilakukan dengan memunculkan kembali tentang kejayaan masa lalu dan penegasan bahwa berbagai persoalan yang

Dalam dokumen Bahtera pemilukada Konflik tak berujung (Halaman 50-65)