• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK HORISONTAL-VERTIKAL (INGROUP DAN OUTGROUP)

Dalam dokumen Bahtera pemilukada Konflik tak berujung (Halaman 125-150)

PEMILUKADA

DI PROVINSI MALUKU UTARA

Sebagaimana diketahui bahwa Pemilukada yang diselenggarakan oleh KPUD Maluku Utara pada Tanggal 03 November 2007 telah menuai konflik horizontal dan vertikal baik dalam konteks internal organisasi kelompok (Ingroup) maupun dalam konteks eksternal organisasi antar kelompok (Outgroup). Pembedaan antara in-group dan out-group, didasarkan pada konsep in-group yang diperkenalkan oleh W.G. Sumner (1940).

Menurut Sumner, di kalangan anggota kelompok dalam dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan dan kedamaian sedangkan hubungan antara kelompok dalam dengan kelompok luar cenderung ditandai kebencian, permusuhan, perang dan perampokan. Dalam permusuhan yang diwariskan dari generasi ke generasi itu anggota kelompok dalam mempunyai kewa-jiban merampok, memperbudak dan membunuh anggota kelompok luar. Anggota kelompok dalam menganggap kelompok mereka sendiri sebagai pusat segala-galanya dan sebagai acuan bagi kelompok luar yakni suatu sikap yang mencerminkan etnosentrisme (ethnocen-trism) (Sunarto, 2004).

126 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Pasca penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Maluku Utara, yang mana sebelumnya mengalami berbagai pertentangan-pertentangan dan gejolak sosial (konflik), ternyata tidak berakhir sebagaimana diharapkan banyak pihak atau kalangan.

Dampak Sosial dari Perspektif Konflik INGROUP

Pasca penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, kondisi sosial masyarakat di Provinsi Maluku Utara masih menghadapi sejumlah tantangan dan permasalahan terutama dalam konteks konflik internal (INGROUP) yang mana menimbulkan dampak sebagaimana diidentifikasi dan diklasifikasi sebagai berikut :

(1) Pertentangan pemisahan wilayah (2) Perpecahan dalam anggota keluarga (3) Perpecahan dalam kelompok masyarakat (4) Perpecahan dalam kelompok elit masyarakat (5) Perpecahan dalam kelompok elit politik (6) Perpecahan dalam kelompok pemerintahan (7) Diskriminasi dalam rekrutmen CPNS

Ketujuh aspek tersebut dianalisis untuk memberi gam-baran mengenai situasi dan kondisi dampak sosial masyarakat dalam konteks konflik Ingroup pasca Pemilukada. Dampak Pemilukada Provinsi Maluku Utara atas terjadinya konflik dianalisis berdasarkan metode Geographycal Information System (GIS), hasil kuesioner dan dipadukan dengan hasil wawancara sejumlah narasumber dan informan, yang diuraikan lebih lanjut.

a. Pertentangan kelompok sosial untuk memisahkan wilayah

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 127 Kelompok sosial sangat penting karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Kelompok sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Merton menyebutkan tiga kriteria objektif bagi suatu kelompok. Pertama, kelompok ditandai oleh sering terjadinya interaksi. Kedua, pihak yang berinteraksi mendefi-nisikan diri mereka sebagai anggota. Ketiga, pihak yang berinteraksi didefinisikan oleh orang lain sebagai anggota kelompok. Selain itu juga dikenal kategori sosial (sosial categories) yaitu suatu himpunan peran yang mempunyai ciri sama seperti jenis kelamin atau usia. Antara para pendukung peran tersebut tidak terdapat interaksi (Sunarto, 2004).

Robert Bierstedt (Sunarto, 2004)) menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu ada tidaknya (a) organisasi, (b) hubungan sosial di antara anggota kelompok, dan (c) kesadaran jenis. Berdasarkan ketiga kriteria tersebut Bierstedt kemudian membedakan empat jenis kelompok: kelompok statistik (statistical group), kelompok kemasya-rakatan (societal group), kelompok sosial (sosial group), dan kelompok asosiasi (assosialtional group).

Pasca penyelenggaraan Pemilukada, pasangan Gubernur-Wakil Gubernur terpilih yakni Thaib Armain-Gani Kasuba dan masyarakat di Provinsi Maluku Utara menghadapi tantangan dan permasalahan berupa pertentangan antara kelompok masyarakat yang menginginkan wilayah desa dan kecama-tannya dipisahkan dengan desa dan kecamatan lain. Namun keinginan tersebut ditolak oleh sebagian kelompok masyarakat lainnya. Pasca Pemilukada dengan terpilihnya gubernur yang baru, sejumlah elemen masyarakat menuntut pemekaran desa, kecamatan bahkan kabupaten.

128 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung

b. Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga

Ferdinand Tonniesm melihat dua jenis kelompok, yang dinamakannya Gemeinschaft dan Gesellschaft. Menurut Tonies ((Sunarto, 2004) :

All intimate, private, and exclusive living together. . . is understood as life in Gemeinschaft (community). Gesellschaft (society) is public life—it is the world itself. In Gemeinschaft with one's family, one lives from birth on, bound to it in weal and woe. One goes into Gesellschaft as on goes into a strange country (Tonnies, 1963:33-34).

Dalam Gemeinschaft digambarkan sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi dan eksklusif; suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir. Tonnies, misalnya, menggambarkan ikatan pernikahan sebagai suatu "Gemeinschaft of life." Ia pun berbicara mengenai suatu Gemeinschaft di bidang rumah tangga, agama, bahasa, adat, yang dipertentangkannya dengan Gesellschaft di bidang ilmu atau perdagangan.

Tonnies membedakan antara tiga jenis Gemeinschaft. Jenis pertama, Gemeinschaft by blood, mengacu pada ikatan-ikatan kekerabatan. Gemeinschaft of place pada dasarnya merupakan ikatan yang berlandaskan kedekatan letak tempat tinggal serta tempat bekerja yang mendorong orang untuk berhubungan secara intim satu dengan yang lain, dan mengacu pada kehidupan bersama di daerah pedesaan. Jenis ketiga, Gemeinschaft of mind, mengacu pada hubungan persahabatan, yang disebabkan oleh persamaan keahlian atau pekerjaan serta pandangan yang mendorong orang untuk saling berhubungan secara teratur (Sunarto, 2004).

Pemilukada Provinsi Malut juga berdampak pada tim-bulnya konflik antar anggota dalam satu keluarga. Diantara

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 129 beberapa anggota keluarga terjadi perselisihan paham bahkan pertentangan yang berakibat pada terpecahnya kerukunan diantara anggota keluarga itu.

Sejak puluhan tahun yang lalu hingga selama dan pasca Pemilukada juga telah mencabik-cabik ikatan persaudaraan dalam satu keluarga. Bermula dari Keluarga Besar Nuku Hibalamo di Ternate yang dulunya mempunyai anak delapan, empat masuk Islam dan empat masuk Kristen, sebelumnya sangat rukun dan hidup damai dan tentram, namun seiring ber-lalunya konflik, keluarga besar itu sudah hilang, retak, bercerai berai, dan hancur. Demikian halnya yang terjadi pada sejumlah keluarga lainnya di Morotai, Kao, Makian, Ternate, Tidore, Bacan dan lainnya.

Konflik antara anggota keluarga tidak pernah disangka terjadi mengingat halangan-halangan atau perbedaan-perbe-daan yang sekian puluhan tahun terbina dengan baik, hidup rukun dan damai, namun setelah pecahnya konflik semua hal yang tidak masuk akan menjadi kenyataan. Dari konflik itu pula menimbulkan kecemasan sejumlah warga masyarakat yang sudah merasa tidak aman dan tentram sehingga men-dorong mereka melakukan eksodus besar-besaran karena tidak tahan menghadapi teror dan ancaman dari pihak-pihak tertentu yang melibatkan sesama anggota keluarga.

c. Pertentangan dan perpecahan Anggota Kelompok

Salah satu dampak perubahan jangka panjang yang me-landa Eropa Barat dan kemudian menyebar ke seluruh pelosok dunia ialah terjadinya perubahan dalam pengelompokan anggota masyarakat.

Durkheim (Sunarto, 2004) membedakan antara kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik, dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai masyarakat yang masih

seder-130 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung hana, yang oleh Durkheim dinamakan segmental. Dalam masyarakat demikian kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup terpisah satu dengan yang lain.

Menurut Durkeim (Sunarto, 2004) bahwa dalam masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutama-kan ialah persamaan perilaku dan sikap. Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim seluruh warga masyarakat diikat oleh apa yang dinamakannya kesadaran kolektif, hati nurani kolektif (collective conscience) yaitu suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersifat ekstern serta memaksa. Sanksi terhadap pelanggaran hukum di sini bersifat represif; barang siapa melanggar solidaritas sosial akan dikenai hukuman pidana. Kesadaran bersama tersebut mempersatukan para warga masyarakat, dan hukuman terhadap pelanggar aturan bertujuan agar ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut dapat dipulihkan kembali.

Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks yaitu masyarakat yang telah mengenai pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh kesaling-tergantungan antarbagian. Pada masyarakat dengan solidaritas organik ini, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi kesadaran kolektif atau hati nurani kolektif (collective conscience) melainkan kesepakatan yang terjalin di antara berbagai kelompok profesi.

Selain berkonflik dengan kelompok masyarakat lain, juga tidak sedikit yang berkonflik sesama anggota masyarakat dalam satu desa atau kecamatan, antara sesama warga dalam satu kampung dan lingkungan karena perselisihan paham dalam aksi saling dukung mendukung kelompok etnis, agama dan kandidat gubernur. Pertentangan / konflik antara anggota masyarakat semakin memperlemah ikatan persatuan dan per-saudaraan dikalangan komunitas masyarakat di Maluku Utara

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 131 seperti yang pernah tercatat dalam sejarah konflik beberapa tahun yang lalu.

Keretakan hubungan antar anggota masyarakat yang dulunya harmonis terpaksa harus menerima kenyataan yaitu putusnya hubungan tali persaudaraan dan persatuan. Akibat pertentangan antara sekelompok kecil masyarakat dengan sejumlah besar kelompok masyarakat itu, telah menyeret keterlibatan sejumlah anggota masyarakat saling menyerang dan menimbulkan serangkaian aksi-aksi saling dukung mendukung antara satu dengan yang lainnya, yang juga berakibat pada terjadinya aksi teror dan ancaman satu sama lain bahkan beberapa anggota keluarga menjadi korban keke-rasan.

d. Gangguan keamanan dan ketertiban dari pertentangan dan perpecahan Kelompok Sosial Masyarakat

Dampak dari situasi konflik sosial yang melanda warga masyarakat MALUT pra dan pasca Pemilukada bukan saja menimbulkan gejolak sosial anta keluarga, antar kelompok warga masyarakat dan antara kelompok etnis melainkan juga berdampak pada terganggunya ketentraman dan ketertiban umum masyarakat itu sendiri.

1) Dalam konflik sosial itu, terjadi aksi-aksi teror, ancaman dan tekanan sosial lainnya dari pihak-pihak yang bertikai yang mengganggu keamanan warga masyarakat.

Sejak meletusnya konflik, situasi keamanan di wilayah Maluku Utara semakin kurang terkendali akibat adanya aksi-aksi teror dan ancam mengancam satu sama lain dari sebab perbedaan atau pertentangan antar kelompok masyarakat. Sejumlah kelompok masyarakat hampir siang dan malam terus berjaga-jaga melindungi keluarganya dari kemungkinan situasi

132 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung terburuk yang akan terjadi yang biasanya ditandai dengan tindakan saling menyerang satu sama lain dan silih berganti setelah adanya terror dan ancaman; aksi-aksi itu sering diwarnai dengan tindakan kekerasan dengan cara membakar rumah-rumah penduduk, teror, mengancam, melukai bahkan tidak segan-segan membunuh warga yang dianggap melawan. Lanjut dijelaskan, akibat dari semua itu sebagian warga merasa cemas, takut dan merasa tidak aman dan tentram sehingga mereka pun berbondong-bondong meninggalkan kampung halamannya menuju kampung tetangga yang lebih aman ataukah pergi jauh-jauh di rumah sanak keluarganya.

Peristiwa berdarah di sejumlah desa dan kecamatan seta kabupaten, diakui banyak warga merasa sudah tidak aman dan tentram lagi tinggal di kampung atau desanya akibat adanya aksi-aksi teror, ancam mengancam dan tindakan balas dendam antar warga yang pro dengan warga yang kontra terhadap penetapan gubernur/wakil gubernur terpilih. Warga yang menentang dan warga yang berpihak dan mendukung terka-dang saling menyerang satu sama lain tanpa mengenal waktu siang atau malam. Meskipun pihaknya bersama Pem-prov Malut sudah menurunkan sejumlah aparat keamanan termasuk yang didatangkan dari luar namun situasi keamanan di wilayah itu tetap masih sulit dikendalikan, bahkan ada seorang tokoh masyarakat yang mati terbunuh di tengah pengawalan petugas keamanan, dan itu sungguh ironis dan memprihatinkan.

Situasi konflik sangat mempengaruhi situasi keamanan dan ketentraman warga masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari; situasi konflik itu membuat sejumlah warga masyarakat merasa cemas, takut, was-was, dan tidak aman dan tentram sehingga mendorong pihaknya untuk men-datangkan sejumlah aparat keamanan guna mengendalikan situasi konflik itu. Namun pun demikian, akhir-akhir ini situasi konflik nampak sudah mulai terkendali oleh karena adanya kesadaran semua pihak terutama warga masyarakat di wilayah

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 133 konflik itu, dan kita semua berharap kiranya warga masyarakat dapat menemukan kembali hak keamanannya sama seperti sebelum terjadi konflik sosial.

2) Dalam konflik sosial itu, situasi keamanan (ketentraman dan ketertiban) warga masyarakat terganggu

Konflik yang terjadi pasca Pemilukada Provinsi Malut berdampak pada semakin berkujurangnya rasa aman (keten-traman dan ketertiban) warga masyarakat di wilayah itu dan sekitarnya. Situasi keamanan warga semakin kurang terkendali akibat adanya tindakan-tindakan kekerasan antara warga masyarakat.

Dengan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru, situasi di wilayah MALUT semakin kurang terkendali akibat adanya aksi-aksi kekerasan dari sebab perbedaan atau per-tentangan antar kelompok pro dan kontra. Sejumlah kelompok masyarakat hampir siang dan malam terus berjaga-jaga melindungi keluarganya dari kemungkinan situasi terburuk yang akan terjadi yang biasanya ditandai dengan tindakan saling menyerang satu sama lain dan silih berganti; aksi-aksi itu sering diwarnai dengan tindakan kekerasan dengan cara membakar rumah-rumah penduduk, teror, mengancam, melukai bahkan tidak segan-segan membunuh warga yang dianggap melawan. Akibatnya sebagian warga merasa cemas, takut dan merasa tidak aman dan tentram sehingga mereka pun berbondong-bondong meninggalkan kampong halamannya menuju desa atau pulau yang lebih aman.

Warga merasa sudah tidak aman dan tentram lagi tinggal di kampung atau desanya akibat adanya aksi-aksi teror, ancam mengancam dan tindakan balas dendam antar warga yang pro dengan warga yang kontra dengan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru.

134 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung

3) Dalam konflik sosial itu, keharmonisan dan kerukunan antar warga masyarakat terganggu, retak, terpecah belah, merenggang

Konflik sosial yang terjadi pasca Pemilukada Malut membawa konsekuensi terhadap terganggunya hubungan kekerabatan dan kerukunan, retak dan terpecah belahnya keharmonisan antar keluarga, serta merenggangnya keharmo-nisan dan kerukunan antar kelompok masyarakat yang sekian lama terbina. Semua itu terjadi akibat adanya perbedaan sikap, pandangan, pendapat, atau persepsi atas terpilihnya gubernur/ wakil gubernur yang baru.

4) Hubungan yang tidak harmonis mempengaruhi kerukunan antara warga masyarakat sehingga akan terus mendorong meningkatnya pertentangan dan gangguan hubungan dan sistem sosial

Sejak terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru, sejumlah warganya mengalami gangguan hubungan kekera-batannya; situasi yang semakin tak terkendali dan adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan persepsi membuat sejum-lah warga masyarakat memutuskan hubungan kekeluargaan dengan keluarga lainnya. Itulah kenyataan resiko dari semua kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan pihaknya sehingga juga berdampak pada ketidak harmonisan dan retaknya kerukunan antar warga masyarakt itu.

Walikota Tidore mengungkapkan bahwa pihaknya mengakui adanya sejumlah warga di wilayahnya mengalami gangguan hubungan keharmonisan dan kerukunan sejak Pemilukada Malut dan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru. Walaupun demikian berharap agar situasi dapat cepat pulih kembali dan para anggota keluarga yang terpisah

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 135 hanya karena perbedaan pandangan atau persepsi dapat kembali hidup rukun dan harmonis.

5) Dalam konflik budaya itu, nilai-nilai sejarah menjadi landasan bagi kelompok masyarakat di wilayah MALUT untuk mengajukan pertentangan terhadap Pemilukada Malut dan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru

Komunitas masyarakat MALUT (Morotai, Ternate, Tidore, Bacan dan lainnya) secara historis dicirikan oleh budaya persaudaraan, persatuan dalam keberagaman, oleh karena umumnya mereka itu berasal dari kelompok suku dan etnis yang berbeda, hal mana juga berarti bahwa nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat, sikap dan perilaku masyarakat di wilayah itu adalah cerminan dari budaya Maluku Utara.

Salah satu nilai-nilai yang sampai saat ini masih tetap menjadi pedoman ataupun pegangan bagi segenap masyarakat di MALUT adalah totarima se nyinga ma ikhlas (lapang dada menerima kekalahan), dan Bira kuraci semaboro (artinya pemimpin ada karena adanya masyarakat) . Nilai budaya itu senantiasa menjadi simbol pemersatu yang mengikat segenap warga Al Mulk (Maluku Utara) dari sejak lahirnya hingga sekarang ini. Dalam perkembangannya, nilai budaya tersebut tidak sedikit mengalami gangguan ataupun tantangan dalam usaha mempertahankannya dan melestarikannya, sehingga mendorong komunitas etnis di MALUT itu berjuang mengha-dapi berbagai cobaan ataupun usaha-usaha dari pihak tertentu yang mencoba mengobrak-abrik dan mencabik-cabik nilai-nilai yang oleh masyarakat MALUT sangat dijunjung tinggi.

Beberapa tokoh masyarakat, tokoh agama dan buda-yawan mengungkapkan bahwa sengketa Pemilukada Malut dan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru itu sudah merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro yang menjadi

136 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung simbol bagi warga masyarakat, dan hal itu membawa konsekuensi terhadap semakin terabaikannya dan sekaligus mengancam keberadaan nilai-nilai budaya yang selama ini diperjuangkan dan dipertahankan, dan untuk itu pihaknya akan terus melakukan perlawanan guna memelihara dan memper-tahankan nilai-nilai budaya itu. .

Menurut beberapa pejabat Provinsi Malut pada dasarnya pihaknya cukup memahami nilai-nilai totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro yang sudah sekian lama menjadi simbol perjuangan masyarakat di MALUT sehingga mendorong konflik terbuka setelah adanya sengketa Pemilukada. Semua tahu dan menyadari bahwa nilai-nilai budaya totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro itu adalah merupakan salah aset budaya dan kekayaan daerah Maluku Utara yang hingga saat ini masih eksis dan sangat pantas untuk didukung pengembangan dan pelestariannya dalam rangka menegakkan nilai-nilai sejarah, etika dan moral serta norma-norma kehidupan sosial masyarakat.

Walikota Ternate dan Tidore mengungkapkan bahwa pihaknya sangat menghormati nilai-nilai budaya totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro yang selama ini menjadi simbol pemersatu masyarakat MALUT dengan karakteristik nilai-nilai dan norma-norma yang kental dengan nilai-nilai kekesatriaan. Olehnya itu, meskipun Pemilukada Malut telah dilaksanakan dengan terpilihnya gubernur/wakil gubernur yang baru pihaknya tetap tidak akan mengganggu ataupun mengabaikan nilai-nilai budaya tersebut, karena pada dasarnya nilai-nilai budaya itu juga merupakan salah satu sumber kekayaan yang perlu dikembangkan dan dilestarikan ke depan. Masalahnya adalah pihaknya tidak bisa memutuskan secara sepihak karena berbagai faktor pertimbangan termasuk pertimbangan teknis dan aspirasi serta tekanan politik dari luar MALUT itu sendiri.

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 137 6) Dalam konflik sosial budaya itu, kebijakan politik yang menjadi sumber pertentangan nilai-nilai bagi kelompok masyarakat di wilayah MALUT terhadap putusan Pemilukada Malut dan penentuan gubernur/wakil gubernur terpilih

Berbagai cobaan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat MALUT dalam usahanya mempertahankan dan memperjuangkan nila-nilai totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro dengan berbagai konsekuensi yang harus diterimanya. Salah satu cobaan dan tantangan yang marak berkembang dan harus dihadapi adalah intervensi KPU pusat, kebijakan Mendagri, putusan MA dan MK serta inter-vensi Presiden dalam penentuan gubernur/wakil gubernur terpilih.

Sengketa Pemilukada MALUT dan penentuan gubernur/wakil gubernur terpilih adalah merupakan suatu kenyataan sejarah yang harus dihadapi oleh masyarakat MALUT dalam usahanya mempertahankan dan memper-juangkan totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro sebagai suatu nilai budaya yang diwariskan oleh para leluhurnya. Menghadapi kenyataan itu, para tokoh dan warga masyarakat MALUT pun jauh sebelumnya sudah melakukan berbagai langkah-langkah konkrit termasuk sejumlah pernya-taan sikap kepada para pengambil kebijakan baik di daerah itu maupun di Pusat, dan upaya itu sampai saat ini masih terus berlangsung.

Dalam tradisi leluhur masyarakat Maluku dikenal istilah totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro, wilayahnya selalu menjadi pusat penyelenggaraan kegiatan sosial budaya dan pemerintahan dari dulu, sehingga selalu menolak dan mempertentangkan setiap kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya totarima se nyinga ma ikhlas dan Bira kuraci semaboro termasuk dalam

138 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung pelaksanaan Pemilukada Malut dan penentuan gubernur/wakil gubernur yang sama sekali merusak tatanan budaya yang dianutnya itu dan tidak mengakomodir kepentingannya.

Para tokoh masyarakat dan kepala pemerintahan di wilayah MALUT mengungkapkan bahwa terbit dan berlakunya Keputusan Presiden/Kepmendagri yang menjadi pedoman Pemilukada Malut dan penentuan gubernur/wakil gubernur sudah merupakan pengingkaran dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai budaya, dan sejumlah upaya penolakan telah dilakukan karena dinilai akan semakin mengucilkan nilai-nilai budaya dan sekaligus mengancam keberadaan nilai-nilai budaya yang selama ini diperjuangkan dan dipertahankan.

Kebijakan pemerintah menetapkan gubernur/wakil gubernur terpilih pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya tuntutan penyelesaian yang urgen atau mendesak karena dikhawatirkan akan semakin berlarut-larut, dan walaupun sudah cukup banyak aspirasi berupa penolakan yang diajukan oleh beberapa tokoh MALUT dengan berdasar pada kebijakan nilai-nilai budaya yang sudah sekian lama menjadi simbol perjuangan masyarakat MALUT, namun nampaknya Peme-rintah Pusat sebagai pengambil kebijakan tertinggi memiliki pertimbangan lain sehingga tetap melegalisir dan mengesahkan penentuan gubernur/wakil gubernur.

7) Dalam konflik Pemilukada itu, terjadi pertentangan dan perbedaan nilai-nilai, norma-norma dan adat sitiadat

Dalam dokumen Bahtera pemilukada Konflik tak berujung (Halaman 125-150)