• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahtera pemilukada Konflik tak berujung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bahtera pemilukada Konflik tak berujung"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 1

Bahtera pemilukada

Konflik tak berujung

(2)

2 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung

Syahrir Ibnu, S.Ag, M.Si.

(3)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 3

Bahtera pemilukada

Konflik tak berujung

Editor :

Drs. Abdul Salam Harianto, S. M.Pd.

Bahtera pemilukada

Konflik tak berujung

Copyright@2013 Syahriribnu

(4)

4 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Editor : Drs. Abdul Salam Harianto, M.Pd.

Desain Cover : Pustaka Haramain Setting : Pustaka Haramain Penerbit : LSQ Makassar Edisi Pertama : Juni 2012 Edisi Kedua : Juli 2013

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Syahir Ibnu

Bahtera Pemilukada Konflik Tak Berujung / Penulis : Syahrir Ibnu, S.Ag, M.Si. / Editor : Drs. Abdul Salam H, M.Pd. Makassar : LSQ, 2013.

ISBN : 978-602-17745-1-9

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit.

(5)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 5 Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Penguasa Alam Semesta Yang maha Luas Pengetahuan-Nya,yang dengan bimbingann-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya ini terdapat berbagai kendala tehnis maupun non tehnis yang dihadapi, tapi berkat pertolongan Allah SWT serta bantuan moril dan materil dari berbagai pihak, hingga karya ini bisa diselesaikan.

Karya ini tidak mungkin terwujud tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala rendah hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan peng-hargaan kepada:

Bapak Prof. Dr. Idrus A. Paturusi selaku Rektor Unhas, Bapak Prof. Dr. A. Razak Thaha selaku Direktur Program Pascasarjana Unhas, Ibu Prof. Dr Maria E Pandu, MA selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pascasarjana Unhas. Bapak H.Rivai Umar, SE. MSi dan Dekan FKIP Universitas Khairun Ternate Bpk Drs. Ahmad Kabir, MPd. Bapak Dr. Syaifullah Cangara, M.Si. dan Bapak Dr.H.Tatjhong Mappawata, MA. Bapak Prof. Dr. H. M. Tahir Kasnawi, SU, Bapak Prof.Drs.H. A.R, Hafiedz, MS dan Bapak Dr. H. M. Darwis, MA, DPS.

Pemerintah Daerah Maluku Utara, khususnya Pemerin-tah kota Ternate dan Kabupaten Halmahera Barat yang telah bersedia membantu untuk memperoleh data-data yang diperlukan

Bapak Walikota Ternate Drs.H.Syamsir Andili, sdr, Rahmi Husain, Sdr. Muhlis Tapi-tapi dan Bpk H. Zainuddin Husain sebagai ketua dan anggota Eks KPUD Maluku Utara, Mulyadi Tutupoho, Anggota KPUD Maluku Utara, Pimpinan redaksi Majalah Genta Maluku Utara sdr Sofyan Daud, SH dan teman-teman media di Ternate Pos, Malut pos serta adik Ikhsan

(6)

6 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Baharuddin yang banyak membantu dalam penyempurnaan data.

Sembah sujud dan Hormat penulis kepada almarhum Ayahanda H. Ibnu Mas’ud dan Ibunda Hj. Nursia yang dengan penuh kasih serta saudaraku Mahfud yang senantiasa mendu-kung, memotivasi dan mendoakan kepada penulis dalam menempuh pendidikan selama di Makassar.

Istri saya tercinta Rusda, SP dan anak-anakku terkasih Ghozul ‘Azzam Abdurrahman, Alwi Abdul Haq dan Athirah Rizki Salsabilah yang selama ini memberi dukungan, penger-tian dan doa yang tak ada henti-hentinya serta menjadi moti-vasi utama penulis selama menempuh studi di Makassar.

Kepada Pengurus HMI cab. Ternate, Pengurus Badko HMI Maluku, Maluku Utara, beberapa LSM diantaranya SAMURAI (Solidaritas Aksi Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia), LSM DODOKU, FORSHAL (Pusat Studi Halmahera), NORMA (Norht Molucas Advocation), Merah Putih (kamps 320 Cam), GEMPAR Malut, LPKD Gerakan Pemerhati Sosial Maluku Utara, Lemb Pers Mahasiswa Sipil Malut, Forum Komunikasi Mahasiswa Sipil Indonesia Timur, BEM Fakultas Tehnik, BEM Fakultas Sastra, BEM Fakultas Hukum dan BEM FKIP Universitas Khairun Ternate yang telah memberikan bantuannya selama di lapangan.

Kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebut-kan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan bagi rampungnya tesis ini, semoga segala amal baik yang diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT, Amin

Akhirnya, penulis menyadari bahwa apapun keber-hasilan yang diperoleh tidak lepas dari ridho dan petunjuk Allah SWT yang mengetahui segalanya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Makassar, 17 Juli 2012

(7)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 7

SYAHRIR IBNU

(8)

8 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung

DARI EDITOR

(9)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 9 Pemilukada di Indonesia melahirkan berbagai fenomena baik yang positif maupun negatif. Pemilukada menjadi sebuah renungan bagi semua elemen anak bangsa. Apakah Pemilukada sebagai rahmat buah dari reformasi atau justru Pemilukada sebagai satu bencana moderen yang terjadi di tanah air?

Salah satu masalah yang kerap terjadi dalam Pemilukada adalah konflik horizontal antar masyarakat pendukung pasangan calon. Internasional Crisis Group (ICG) mencatat sekitar 10 persen dari 200 pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang digelar sepanjang tahun 2010 diwarnai aksi kekerasan.

Kondisi ini memicu persepsi dalam masyarakat bahwa Pemilukada adalah salah satu sumber konflik dalam masyarakat. Sebab, tak jarang ada ekspos yang luar biasa dari media massa bila terjadi konflik utamanya kekerasan dalam Pemilukada. Padahal, tidak semua Pemilukada berujung pada konflik kekerasan. Hanya 10 persen saja, selebihnya 90 persen berjalan dengan aman dan terkendali.

Jika dianatomi, beberapa sumber konflik horizontal yang berujung pada tindak kekerasan dalam Pemilukada disebabkan beberapa hal. Pertama, adanya rasa ketidakpuasan dari pasangan calon atau pendukung pasangan calon ketika gugur dalam tahap pencalonan.

Yang kedua dikarenakan rasa tidak puas pasangan calon terhadap hasil penghitungan Pemilukada. Kejadian ini pernah terjadi dalah Pemilukada di Tana Toraja Sulawesi Selatan Tahun 2010.

Dalam berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik yang realistik dan yang tidak realistik. Konflik yang realistis "berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Sedangkan konflik yang tidak realistis adalah "konflik yang bukan berasal dari

(10)

10 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung tujuan-tujuan saingan yang antagonistis tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Jelas mengacu pada pandangan Coser di atas memang konflik dalam Pemilukada adalah konflik yang realistis dan besar kemungkinan terjadi sebab Pemilukada sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk konflik.

Buku ini membahas persoalan konflik sosial yang terjadi pasca pelaksanaan pemilukada di Indonesia. Sebuah kajian sosial yang patut dijadikan pembelajaran bagi semua kalangan, terutama para pengambil kebijakan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan politisi sehingga konflik sosial yang mengiringi pelaksanaan pemilukada bisa diredam dan diselesaikan dengan baik.

Makassar, 16 Juli 2013

(11)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 11

DAFTAR ISI

SEKAPUR SIRIH _

KATA PENGANTAR PENERBIT _ SAMBUTAN _

KONFLIK SOSIAL PEMILUKADA DI INDONESIA _

Demokrasi dan Konflik _

Contoh-contoh Konflik Pemilukada _

GAMBARAN UMUM PROVINSI MALUKU UTARA _

1. Keadaan Wilayah Geografis dan Administratif _ 2. Sejarah singkat _

3. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi _ 4. Penyelenggaraan Pemilukada _

SEJARAH KONFLIK DI PROVINSI MALUKU _

Kronologis Konflik Di Zaman Portugis (Pra Kemerdekaan) _

Kronologis konflik Tahun 1999 – 2004 dan Dampak Sosialnya _

SUMBER-SUMBER KONFLIK _

Perseteruan antara Ternate dan Tidore _ Ketegangan Masalah Agama _

Perebutan Sumber Daya Alam _

(12)

12 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung

KONFLIK SOSIAL DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI PROVINSI MALUKU UTARA _

a. Kondisi psikologis masyarakat menjelang Pemilukada _

b. Konflik selama penyelenggaraan Pemilukada _

DAMPAK SOSIAL KONFLIK PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI PROVINSI MALUKU UTARA _

Dampak sosial akibat Konflik Pra Pemilukada _

DAMPAK SOSIAL DITINJAU DARI KONFLIK HORISONTAL-VERTIKAL (INGROUP DAN OUTGROUP) PEMILUKADA DI PROVINSI MALUKU UTARA _

1. Dampak Sosial dari Perspektif Konflik INGROUP _ 2. Dampak Sosial dari Perspektif Konflik

OUTGROUP _

PERANAN ELIT POLITIK DAN ELIT MASYARAKAT DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK SOSIAL DI PROVINSI MALUKU UTARA _

Dampak sosial dari Perspektif Konflik INGROUP _ 1. Peranan Elit Politik _

2. Peranan Elit Non Politik/ Elit Masyarakat _

PEMILUKADA MALUKU UTARA 2013 HARAPAN BARU BAGI MASYARAKAT _

Kedewasaan Berpolitik _

DAFTAR PUSTAKA _ TENTANG PENULIS _ TENTANG EDITOR _

(13)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 13

KONFLIK SOSIAL PEMILUKADA

DI INDONESIA

Satu dekade terakhir, wajah Indonesia berubah menjadi arena konflik multidimensional. Dari beragam konflik yang timbul, salah satunya yang paling menonjol adalah konflik sosial politik. Berbagai kalangan pun menyayangkan merebak-nya konflik sosial politik itu terjadi pada saat kran demokrasi terbuka lebar. Celakanya lagi, konflik itu terjadi pada hajatan pesta demokrasi memilih pemimpin dimana hak-hak menen-tukan pilihan dan mengemukakan pendapat secara bebas dijamin.

Berlakunya Undang-Undang No.12 Tahun 2003 yang selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu, dinamika masyarakat Indonesia pun dalam partisipasi politik kian memperlihatkan intensitasnya yang dinamis. Model Pemilukada secara langsung semakin banyak memotivasi berbagai elemen dan lapisan masyarakat untuk terlibat langsung dalam pesta demokrasi itu. Sejumlah komponen masyarakat semakin antusias berpartisipasi dan berperan serta menyalurkan aspirasi-aspirasi politik dan kepentingannya.

Penyelenggaraan Pemilukada secara langsung di sejum-lah daerah, yang dimulai sejak berlakunya UU Pemilukada

(14)

14 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung tersebut, secara nyata telah mendorong terjadinya perubahan sosial baik struktural maupun fungsional dalam tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia. Proses menuju trans-formasi sosial melalui penyelenggaraan Pemilukada langsung seakan-akan harus melalui proses konflik disfung-sional ataupun fungsional. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi tidak jarang diiringi dengan situasi konflik yang berdampak luas terhadap kehidupan sosial masyarakat.

Demokrasi dan Konflik

Konflik berasal dari kata kerja Latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menying-kirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Dalam proses demokrasi (elektoral), konflik merupakan sebuah keniscayaan karena setiap individu atau kelompok sosial memiliki kepentingan, pemahaman, dan nilai yang berbeda-beda. Konflik relatif mudah hadir dari basis sosial yang lebih kompleks, dibanding hanya sekedar suatu kompetisi dalam proses demokrasi. Pada sisi lain, demokrasi juga diyakini oleh sebagian orang sebagai sarana untuk mentransformasikan konflik. Jika dulu orang saling membunuh untuk menjadi raja, kini mereka bertarung melalui bilik suara. Jika dulu orang merangkul senjata untuk membuat orang lain tunduk, sekarang mereka harus berkampanye dengan mema-sang spanduk atau leafleat di mana-mana agar memperoleh dukungan suara menjadi kepala daerah. Demokrasi berupaya mentransformasikan konflik yang berwujud kekerasan ke arah bilik suara, dari memaksa (coercive) ke persuasif.

Meski demikian, demokrasi dan konflik sebenarnya juga merupakan dua hal yang tidak mudah dihubungkan. Dari banyak pengalaman yang ada, bukan hal yang mudah

(15)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 15 membuktikan bahwa demokrasi dapat menjadi pemicu konflik, walaupun dapat saja diklaim bahwa eskalasi konflik disebabkan oleh liberalisasi politik yang bekerja dalam proses demokrasi. Jadi eksistensi konflik memang suatu hal yang wajar bagi suatu proses demokrasi. Hanya saja, menjadi berbahaya jika konflik sudah represif dan berwujud kekerasan (violence). Dalam wacana demokrasi, konflik tidak dipahami sebagai hal yang negatif, melainkan sebagai satu gejala responsif dalam upaya menciptakan kontrol dan keseimbangan di antara pihak-pihak yang berkepentingan.

Pemilukada, sebagai sebuah mekanisme demokrasi sebenarnya dirancang untuk mentransformasikan sifat konflik yang terjadi di masyarakat. Pemilukada berupaya mengarahkan agar konflik tidak meluas menjadi kekerasan. Sayangnya, idealitas yang dibangun dalam sebuah proses demokrasi, pada kenyataannya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pemilukada yang dirancang sebagai demokrasi elektoral, justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan dan benturan-benturan fisik antar pendukung calon kepala daerah menjadi pemandangan jamak yang ditemui. Singkatnya, mekanisme demokrasi yang ada seolah justru melegitimasi munculnya kekerasan akibat perbedaan yang sulit ditolerir antara pihak-pihak berkepentingan di arena demokrasi. Dengan kata lain, desain demokrasi di Indonesia dalam konteks penyelenggaraan Pemilukada telah gagal sebagai cara mentransformasikan konflik. Kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, pemilu yang diperkenalkan di Indonesia selama ini dibangun atas basis pondasi preferensi individu. Diumpamakan bahwa mereka yang berinteraksi adalah individu-individu otonom yang masing-masing memiliki preferensi tersendiri, one man, one vote, one voice. Asumsi ini sangat problematik jika dihadapkan pada masyarakat Indonesia, yang sebagai individu tidak pernah lepas dari kategorisasi-kategorisasi sosial yang membentuknya.

(16)

Sebagai-16 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung mana di Papua, satu suara lahir dari suatu honai (keluarga/ rumah tangga), bukan dari satu individu. Jadi suatu "jamaah/umat" akan menentukan preferensi individu-individu yang ada di dalamnya. Preferensi individu sebagian besar didasarkan atas basis sosial (socially bounded Individu). Dari pilihan basis sosialnya, individu baru kemudian akan mempertimbangkan pilihan-pilihannya terhadap kandidat yang tampil dalam pemilu. Kandidat dalam hal ini juga tidak sekedar sebagai kandidat Pemilukada tetapi juga tokoh yang dianggap mewakili basis sosial tertentu. Tidak mengherankan jika kemudian tokoh masyarakat seperti Kyai, kepala suku atau tokoh panutan lain, akan lebih menentukan preferensi-prefensi atau pilihan individu untuk bertindak secara politik.

Kedua, jika melihat logika cara mengelola

elektoralisme di Indonesia, maka yang berlaku adalah logika "winner take all", “ yang lain tidak akan dapat". Dengan kata lain, logika yang terbentuk adalah demokrasi dengan desain mediteranisme yang pada prinsipnya "siapa yang menang, maka dia yang akan mendapatkan segalanya", sementara bagi yang kalah harus menunggu lima tahun lagi. Logika winner take all menciptakan dominasi kekuasaan, sebab konsekuensi dari kemenangan kepala daerah dari komunitas tertentu akan menciptakan "gerbong" birokrasi atas dasar basis sosial di lingkup pemerintahan daerah. Posisi-posisi birokrasi strategis akan dipegang oleh orang-orang yang berasal dari basis sosial yang sama. Sebaliknya, orang-orang (pejabat) yang berasal dari basis sosial berbeda akan tersingkir pada posisi pinggiran, yang bahkan sama sekali tidak diperhitungkan. Posisi yang dulunya merupakan posisi "mata air" berubah pada posisi "air mata" disebabkan perbedaan etnis atau basis sosial lainnya. Logika winner take all, tidak hanya menjelaskan tentang adanya dominasi elit. Lebih jauh dari itu, kemenangan kandidat dalam Pemilukada akan menentukan nasib satu kampung, etnis atau komunitas tertentu. Komunitas yang terwakili akan mampu

(17)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 17 bertahan karena adanya jaminan sumberdaya publik yang mereka dapatkan. Sementara bagi komunitas yang lain, nasibnya sangat besar kemungkinan akan terabaikan. Kepala daerah terpilih akan memprioritaskan penyaluran bantuan sosial atau alokasi dana sosial ke komunitas tertentu yang merepresentasikannya. Akibatnya, kesejahteraan suatu entitas atau komunitas pendukung Kepala daerah terpilih akan terjamin dibanding komunitas lainnya. Begitu juga jajaran birokrasi yang telah didominasi oleh komunitas pendukung kepala daerah, akan melicinkan jalan memperoleh kesejah-teraan bagi komunitasnya. Kesadaran semacam inilah yang nampaknya menjadi landasan masyarakat dalam melihat Pemilukada, yang kemudian mendorong mereka berani mem-pertaruhkan nyawa, demi mempertahankan eksistensi entitas-nya, demi eksistensi dirinya sendiri.

Pemilukada yang bekerja dengan logika socially bounded individu dan winner take all memunculkan persoalan konflik yang cukup rumit. Kompleksitas salah satunya berakar pada karakter masyarakat Indonesia sendiri. Struktur sosial yang terfragmentasi dimana masing-masing kelompok memiliki basis kuat, nampak tidak kompatibel dengan logika Pemilukada yang dibangun pemerintah. Dilihat dari struktur masyarakat plural seperti itu, Pemilukada tidak bisa lagi dilihat hanya sekedar persoalan rekruitmen kepala daerah, tetapi lebih kompleks dari itu, Pemilukada menyangkut persoalan "hidup mati" sebuah komunitas. Dominannya jalur aspirasi melalui basis sosial memang tidak dapat dilepaskan dari kurangnya mekanisme pelibatan publik luas dalam pengambilkan keputusan. Hampir bisa dikatakan bahwa iklim demokrasi di Indonesia pasca otonomi tidak mengalami perubahan yang berarti bagi hadirnya ruang publik. Tidak ada mekanisme efektif apapun yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan. Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang notabene sebagai ajang

(18)

18 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung partisipasi masyarakat pun hanya menjadi suatu proses ritual demokrasi belaka. Birokrasi seolah menganggap masyarakat tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Dalih ini memberi otoritas bagi birokrasi sebagai pihak yang dianggap paling tahu dalam menentukan alokasi sumberdaya.

Pada sisi yang lain, mekanisme demokrasi sebagaimana sebelumnya dipaparkan cenderung menjadikan masyarakat bersikap "pra bayar". Masyarakat bukannya lebih memilih menggunakan momentum Pemilukada untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya secara ideologis, mereka justru menjadikan Pemilukada sebagai bagian dari sumber pendapatan uang tunai. Daripada mengaharap janji-janji Pemilu yang sudah sering tidak ditepati, masyarakat lebih memilih memperoleh uang tunai di awal sebelum menentukan pilihan. Mereka nampak telah skeptis dan berpikir bahwa akan lebih sulit mendapatkan kompensasi apapun dari pemenang Pemilukada setelah hingar bingar berlalu. Masyarakat seakan tahu: lebih baik memilih mengambil keuntungan di awal karena mereka tahu setelah Pemilukada, mereka akan ditinggalkan. Jika demikian, maka persoalan konflik Pemilu-kada bukan semata-mata karena adanya provokator atau adanya mekanisme dan regulasi yang tidak tepat. Tetapi konflik lahir sebagai dampak logika Pemilukada yang ber-sandar pada basis sosial amat kuat.

Selain yang dijelaskan diatas, rawannya konflik dan kekerasan di alam demokrasi Indonesia disebabkan adanya sistem multipartai yang sesungguhnya telah menggambarkan perbedaan kepentingan itu sendiri. Secara sederhana, perbedaan kepentingan memberi kontribusi terhadap merapuh-nya perdamaian sosial. Hal ini menjadi kemerapuh-nyataan pada saat kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik kepentingan menggunakan strategi contentious dalam prosesnya. Strategi contentious ditunjukkan dengan sikap dan perilaku yang agresif, serta tidak memedulikan kelompok lain. Pada konflik

(19)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 19 yang diciptakan oleh karakter contentious adalah zero-sum game, menang untuk kelompok sendiri dan ati untuk lawan. Kekerasan yang dilahirkan dari pola konflik inipun, dalam istilah Galtung (1997) menyebababkan absennya perdamaian negatif dan positif sekaligus, artinya ancaman kekerasan dalam bentuk aksi kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial adalah ancaman nyata. Seandainya 34 parpol memiliki karakter kontentous, ancaman lahirnya kekerasan fisik dan ketidak-adilan sosial bukanlah hal yang absurd dalam negara demokrasi Indonesia. Sejarah pemilu di Indonesia sendiri selalu tidak lepas dari pertunjukan hard power, dan akibatnya aksi kekerasan antar pendukung partai politik tak terhindar. Pemilu daerah yang telah terlaksana di berbagai daerahpun tidak lepas dari fenomena kekerasan antar massa parpol akibat pertunjukan hard power ini.

Contoh-contoh Konflik Pemilukada

Terlepas dari suksesnya Pemilukada di beberapa daerah, banyak konflik yang pernah terjadi saat maupun pasca Pemilukada khususnya konflik horizontal antar masyarakat pendukung pasangan calon. Internasional Crisis Group (ICG) mencatat sekitar 10 persen dari 200 pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang digelar sepanjang tahun 2010 diwarnai aksi kekerasan. Seperti di Mojokerto, Jawa Timur, Tana Toraja di Sulawesi Selatan dan Toli-toli di Sulawesi Tengah. ICG menyebutkan bahwa kekerasan dalam Pemilukada antara lain dipicu oleh lemahnya posisi penyelenggara Pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Selain di beberapa daearah tersebut, konflik juga pernah terjadi di Maluku Utara yang telah banyak menelan korban dan mengakibatkan kerugian harta benda yang begitu besar.

(20)

20 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Jika dianatomi, beberapa sumber konflik horizontal yang berujung pada tindak kekerasan dalam Pemilukada disebabkan beberapa hal diantaranya :

1. Adanya rasa ketidakpuasan dari pasangan calon atau pendukung pasangan calon ketika gugur dalam tahap pencalonan.

Kejadian ini terjadi pada Pemilukada Kabupaten Mojokerto Tahun 2010. Selain Mojokerto, kekerasan yang dilakukan pendukung pasangan calon akibat gugur dalam tahap pencalonan juga terjadi dalam Pemilukada di Kabupaten Puncak Provinsi Papua yang menewaskan sekitar 19 orang. Konflik terjadi akibat KPU setempat menolak salah satu pasangan calon yang diajukan oleh Partai Gerindra karena partai tersebut sebelumnya sudah mendaftarkan pasangan calon yang lain. Akibatnya terjadi dualisme dukungan yang diberikan oleh Partai Gerindra kepada dua pasangan calon yang berbeda. 2. Adanya rasa tidak puas pasangan calon terhadap hasil

penghitungan Pemilukada.

Tahapan pendaftaran pemilih yang amburadul inilah yang mengakibatkan konflik pada pemungutan dan penghitungan suara. Diakui bahwa sengketa Pemilukada memang banyak diawali oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Pengalaman Pemilukada selama ini menunjukan bahwa ketika pemutahiran data pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka kemungkinan besar terjadi protes dan konflik ketika hari H. Karena pendataan pemilih yang kurang valid, pada saat penetapan pemenang biasanya akan terjadi kekisruhan. Fenomena yang sering muncul adalah pihak yang kalah apalagi mengalami kekalahan

(21)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 21 dengan angka tipis selalu mengangkat isu penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapatkan hak pilihnya biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah.

Selain itu, Pemicu lain yang biasanya memunculkan konflik dalam Pemilukada adalah tidak bersedianya DPRD menetapkan hasil Pemilukada. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil Pemilukada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca Pemilukada. Seperti misalnya yang terjadi pada Pemilukada Banyuwangi 2005 di mana pihak DPRD bersi-kukuh menolak penetapan Bupati Banyuwangi terpilih. Kasus penolakan penetapan oleh DPRD biasanya diawali oleh kekalahan pasangan calon yang didukung oleh banyak partai yang secara politik memiliki kekuatan signifikan di DPRD. Dan umumnya penolakan tersebut berujung pada tidak harmonisnya hubungan kekuatan eksekutif dan legislatif pasca Pemilukada.

Kasus Maluku Utara, misalnya, pesta demokrasi yang diselenggarakan oleh KPUD Maluku Utara pada 03 November 2007 bermaksud untuk memilih calon pemimpin daerah (Gubernur) yang baru memimpin daerah itu selama 5 tahun ke depan (yakni 2008–2012). Dalam perkembangannya, pra dan pasca penetapan kelima pasangan kandidat tersebut, sejumlah konflik secara nyata muncul ke permukaan. Performansi konflik yang mengemuka seperti mobilisasi massa pendukung kandidat tertentu menentang keputusan KPUD yang dinilai tidak adil karena menolak pencalonan kandidat yang bersangkutan sementara disisi lain KPUD juga tetap bertahan pada keputusannya bahkan melakukan perlawanan balik. Pasca pemungutan suara, konflik semakin meluas setelah KPUD menetapkan salah salah satu pasangan calon atau kandidat

(22)

22 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung sebagai peraih suara terbanyak dan sekaligus dinyatakan sebagai pemenang Pemilukada.

Dalam kondisi demikian, pertentangan demi perten-tangan yang berujung pada sengketa dan konflik berkepan-jangan melibatkan massa pendukung dari kandidat yang dinyatakan sebagai pemenang dengan massa pendukung dari kandidat yang tidak siap menerima kekalahan atau menolak keputusan KPUD. Rangkaian atau rententan aksi-aksi pro dan kontra atas keputusan KPUD tersebut semakin meluas dan berlarut-berlarut sehingga mendorong KPU Pusat untuk mengambil alih perhitungan ulang/ rekapitulasi perhitungan suara.

Keputusan KPU Pusat mengambil alih perhitungan suara tersebut, pada kenyataannya tidak menyelesaikan masalah bahkan cenderung semakin mempertajam konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal kian menampakkan wajahnya setelah adanya intervensi Mendgari dan sejumlah elit politik partai di tingkat pusat dan aksi-aksi saling mengadukan persoalan ke aparat penegak hukum (Mahkamah Agung) dan DPR pun semakin tak terhindarkan. Fenomena ini merupakan pertama kalinya terjadi dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, di mana perilaku intervensi berbagai elit politik dengan beragam intrik kepenentingan yang dimainkan semakin memperuncing masalah dan bukannya menyelesaikan masalah yang ada.

Dampak dari keputusan-keputusan di tingkat elit beserta konflik kepentingannya itu, justru berimbas luas pula kepada meningkatnya eskalasi konflik di tingkat grass root atau kalangan masyarakat bawah di Maluku Utara. Aksi-aksi mobilisasi massa antara pendukung kandidat yang satu dengan yang lainnya semakin sulit dihindarkan dan tak terkendalikan; aksi-aksi saling menyerang antara satu kelompok dengan kelompok lainnya pun menjadi tontonan gratis melalui media elektronik; aksi-aksi pengrusakan dan pembakaran fasilitas

(23)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 23 umum serta penyerangan langsung ke kediaman kandidat tertentu pun menjadi pemandangan yang tidak lazim terjadi di daerah itu.

Konflik Sosial akibat Pemilukada ini juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia

Dampak Pemilukada berupa konflik sosial tersebut, pada kenyataannya juga merusak tatanan sosial yang selama ini tercipta dan terbangun dengan baik, mencerai beraikan kelompok masyarakat, mencabik-cabik tatanan nilai-nilai dan norma-norma sosial dan budaya. Konflik sosial yang timbul akibat sengketa Pemilukada tersebut semakin rumit atau kompleks karena bukan hanya melibatkan elemen masyarakat melainkan juga melibatkan politisi dan pejabat tinggi negara, dan sampai saat ini belum ditemukan titik terang atas solusi alternatifnya.

Fenomena dan dinamika Pemilukada Maluku Utara ini cukup kompleks atau rumit dibanding di daerah lain. Situasi konflik yang banyak mengundang perhatian itu, merupakan fenomena kasus konflik Pemilukada pertama terjadi di Indonesia mengingat berbagai pihak terlibat di dalamnya. Maka, seluruh elemen masyarakat tersebut perlu diperhatikan secara adil dan bijaksana agar dampak dan konflik sosial dapat diminimalisir.

Maluku Utara merupakan sebuah contoh konkrit yang bisa dijadikan pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk mengan-tisipasi segala kemungkinan yang terjadi baik sebelum, dalam proses maupun paska pemilukada.

(24)
(25)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 25

GAMBARAN UMUM

PROVINSI MALUKU UTARA

Keadaan Wilayah Geografis Dan Administratif

Provinsi Maluku Utara (Malut) merupakan salah satu daerah provinsi di Kepulauan Maluku yang berstatus daerah otonom, dengan ibukota Ternate.

Seiring kebijakan pemerintah memberlakukan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 sebagaimana direvisi menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, maka secara administratif kedudukan Provinsi itu ditetapkan dengan luas wilayah ± 2.022,30 Km2 dan terdiri dari 7 kabupaten dan 2 kota.

Letak geografis Provinsi Maluku Utara tergolong strategis karena berada pada jalur transportasi laut yang menghubungkan Pulau Maluku dan Papua, sehingga sangat mendukung berkembangnya daerah Provinsi ini sebagai salah satu sentra produksi dan growth center bagi daerah hinterland-nya. Secara administratif, Provinsi Malut berbatasan dengan :

- Samudera Fasifik di Sebelah Utara

- Laut Seram di Sebelah Selatan

- Laut Halmahera di Sebelah Timur

(26)

26 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Kedudukan wilayah geografis Provinsi Maluku Utara yang dikelilingi oleh laut yakni Laut Halmahera, Laut Maluku dan Laut Seram, juga mengindikasikan bahwa daerah provinsi tersebut memiliki potensi kekayaan sumber daya alam yang sangat besar dan belimpah terutama hasil-hasil laut dan perikanan. Potensi ini juga dinilai menjadi kekuatan utama bagi Pemerintah Provinsi dan masyarakat di Maluku Utara untuk mengelola potensi sumber daya alamnya bagi pengembangan berbagai sector terutama sektor industry dan perdagangan di bidang kelautan dan perikanan agar semangat kehidupan sosial terberdayakan .

Provinsi Maluku Utara dengan letak geografis yang berbatasan dengan Samudra Fasifik dan dikelilingi laut, mendorong pemerintah menjadikan daerah tersebut sebagai salah wilayah perencanaan transportasi laut nasional.

Provinsi Maluku Utara mempunyai luas wilayah 173.553 km², terdiri atas 33.278 km² (daratan) dan 106.977,32 km² (lautan), dengan jumlah penduduk 970.443 Jiwa. Luas Wilayah tersebut, terbagi dalam 7 kabupaten, 2 kota, 45 Kecamatan, 730 kelurahan/desa.

Luas Wlayah di Provinsi Maluku Utara, Tahun 2009

No. Kabupaten Luas Wilayah

(Km2)

1 Kabupaten Halmahera Utara 24.983

2 Kabupaten Halmahera Tengah 18.381 3 Kabupaten Halmahera Timur 15.615 4 Kabupaten Halmahera Selatan 18.892 5 Kabupaten Halmahera Barat 12.755 6 Kabupaten Kepulauan Sula 19.632

7 Kabupaten Pulau Morotai 12.476

8 Kota Ternate 1.548

9. Kota Tidore 1.797 Luas Wilayah

Provinsi Maluku Utara 173,553

(27)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 27 Dari ketujuh kabupaten dan dua kota tersebut, umumnya dihubungkan oleh darat dan laut, dan telah mendorong Pemprov/instansi terkait untuk membangun prasa-rana dan saprasa-rana transportasii darat dan laut guna memudahkan akses transportasi bagi penduduk dalam menjalankan aktifi-tasnya.

Luas wilayah Provinsi Maluku Utara tersebut dtetapkan berdasarkan UU No. 46 Tahun 1999 dan UU RI No. Tahun 2003. Dari luas tersebut, terdiri dari 395 pulau besar dan kecil. Pulau yang sudah berpenghuni tercatat 64 buah, sedangkan yang belum berpenghuni sekitar 331 buah. Pulau Halmahera (18.000 km²),Pulau Cibi (3.900 km²), Pulau Talabu (3.195 km²), Pulau Bacan (2.878 km²), Pulau Morotai (2.325 km²), Pulau Ternate, Pulau Makian, Pulau Kayoa,Pulau Gebe

Sejarah singkat

a. Sebelum penjajahan

Maluku Utara pada mulanya adalah bekas wilayah empat kerajaan Islam terbesar di bagian timur Nusantara yang dikenal dengan sebutan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku), meliputi :

1) Kesultanan Bacan 2) Kesultanan Jailolo 3) Kesultanan Tidore 4) Kesultanan Ternate.

b. Zaman pendudukan Jepang

Pada era pendudukan Jepang, Ternate menjadi pusat kedudukan penguasa Jepang untuk wilayah Pasifik.

(28)

28 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung

c. Zaman kemerdekaan

Pada era orde lama, posisi dan peran Maluku Utara terus mengalami kemorosotan, kedudukannya sebagai karesidenan sempat dinikmati Ternate antara tahun 1945-1957, dan setelah itu kedudukannya di bagi ke dalam beberapa Daerah Tingkat II (kabupaten).

Upaya merintis pembentukan Provinsi Maluku Utara telah dimulai sejak 19 September 1957. Ketika itu DPRD peralihan mengeluarkan keputusan untuk membentuk Provinsi Maluku Utara untuk mendukung perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956, namun upaya ini terhenti setelah munculnya peristiwa pemberontakan Permesta.

Pada tahun 1963, sejumlah tokoh partai politik seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik dan Parkindo melanjutkan upaya yang pernah dilakukan dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi Maluku Utara. DPRD-GR merespons upaya ini dengan mengeluarkan resolusi Nomor 4/DPRD-GR/1964 yang intinya memberikan dukungan atas upaya pembentukan Provinsi Maluku Utara. Namun pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru mengakibatkan upaya-upaya rintisan yang telah dilakukan tersebut tidak mendapat tindak lanjut yang kongkrit.

Pada masa Orde Baru, daerah Moloku Kie Raha ini terbagi menjadi dua kabupaten dan satu kota administratif. Kabupaten Maluku Utara beribukota di Ternate, Kabupaten Halmahera Tengah beribukota di Soa Sio, Tidore, dan Kota Administratif Ternate beribukota di Kota Ternate. Ketiga daerah kabupaten/kota ini masih termasuk wilayah Provinsi Maluku.

Pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, muncul pemikiran untuk melakukan percepatan

(29)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 29 pembangunan di beberapa wilayah potensial dengan membentuk provinsi-provinsi baru. Provinsi Maluku termasuk salah satu wilayah potensial yang perlu dilakukan percepatan pembangunan melalui pemekaran wilayah provinsi, terutama karena laju pembangunan antara wilayah utara dan selatan dan atau antara wilayah tengah dan tenggara yang tidak serasi.

Atas dasar itu, pemerintah membentuk Provinsi Maluku Utara (dengan ibukota sementara di Ternate) yang dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negera Nomor 3895).

Provinsi Maluku Utara secara resmi berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999 sebagai pemekaran dari Provinsi Maluku dengan wilayah administrasi terdiri atas Kabupaten Maluku Utara, Kota Ternate, dan Kabupaten Maluku Utara, dan selanjutnya dibentuk lagi beberapa daerah otonom baru berdasarkan UU No. 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Sula Kepulauan, dan Kota Tidore.

Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi

Nuansa kehidupan alam yang indah dan penuh pesona di Provinsi Maluku Utara dengan kondisi geografisnya yang dikelilingi laut, memberikan karakteristik tersendiri bagi kehidupan sosial budaya dan ekonomi di daerah provinsi tersebut. Secara umum, terdapat 24 etnis atau suku dan dengan agama yang dianut masing-masing di Provinsi Maluku Utara seperti tertera pada Tabel berikut :

(30)

30 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Jumlah etnis / suku dan agama di Provinsi Utara, Tahun 2009

No. Suku bangsa Agama

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Suku Module Suku Pagu Suku Ternate Suku Makian Utara Suku Kao Suku Tidore Suku Buli Suku Patani Suku Maba Suku Sawai SukuWeda Suku Gne

Suku Makian Timur Suku Kayoa Suku Bacan Suku Sula Suku Ange Siboyo Kadai Galela Suku Tobelo Suku Loloda Suku Tobaru Suku Sahu. Islam Protestan Katholik Buddha

Sumber : BPS Maluku Utara, Tahun 2009

Secara keseluruhan, suku-suku tersebut tersebar di sejumlah pulau-pulau dengan pola mata pencaharian sebagian besar sebagai nelayan, petani dan pedagang. Sejumlah pendu-duk dengan beragam etnis atau suku tersebut menganut agama yang berbeda-beda seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Buddha dan aliran kepercayaan lainnya.

(31)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 31

Penyelenggaraan Pemilukada

Perubahan zaman terus berlangsung dari waktu ke waktu, hingga mengantarkan bangsa Indonesia memasuki era Otonomi Daerah (Otoda) yang sekaligus menandai perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dari azas sentralisasi dan konsentrasi kepada azas desentralisasi dan dekonsentrasi. Peru-bahan sistem penyelenggaraan pemerintahan tersebut mendo-rong terjadinya perubahan, reformasi, reposisi dan strukturisasi sejumlah perangkat kelembagaan di daerah. Perubahan ini pula oleh berbagai kalangan terutama pemerin-tah daerah dan masyarakat dinilai memberikan angin segar dan harapan bagi peningkatan dan pemacuan kegiatan pembangu-nan serta pelayanan masyarakat oleh karena adanya hak dan kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri, menggali dan mengelola potensi daerah masing-masing bahkan hak dan kewenangan untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri.

Tuntutan Otoda telah terwujud, dan hampir setiap daerah pun disibukkan oleh berbagai urusan untuk melaksa-nakan konsensus yang tertuang dalam undang-undang Otoda itu. Di tengah kesibukan sejumlah daerah menyelenggarakan reposisi dan restrukrisasi menata kelembagaan perangkat daerahnya itu, muncul pula satu jenis kesibukan baru yaitu Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) lang-sung, di mana sistem pemilihan kepala daerah (Gubernur) bukan lagi melalui sistem perwakilan DPRD melainkan masyarakat setempat langsung menyalurkan hak pilihnya.

Model pemilihan langsung dalam penyelenggaraan Pemilukada semakin banyak memotivasi berbagai elemen dan lapisan masyarakat untuk terlibat langsung dalam pesta demokrasi itu. Sejumlah komponen masyarakat semakin antusias berpartisipasi dan berperanserta menyalurkan aspirasi-aspirasi politik dan kepentingannya.

(32)

32 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Di Provinsi Maluku Utara, pesta demokrasi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Maluku Utara pada 03 November 2007 bermaksud untuk memilih calon pemimpin daerah (Gubernur) yang baru memimpin daerah itu selama 5 tahun ke depan (yakni 2008 – 2013). Untuk tujuan itu, maka KPUD Maluku Utara membuka pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur untuk mengajukan diri dipilih oleh masyarakat di daerah itu. Dalam perkembangannya, KPUD Maluku Utara menerima 5 (lima) pasangan calon gubernur dan wakil gubernur lengkap dengan partai politik pendukungnya masing-masing.

Pasangan Kandidat pada Pemilukada Maluku Utara 2007

No. Nama Pasangan Partai Pendukung

1 Thaib Armain dan Gani Kasuba PKS, PBB, PBR, Demokrat, PKB, PKPB 2 Dr.Abdul Gafur dan Abdul Rahim

Fabanyu

Golkar, PAN, PDK 3 Anthony Charles Sunaryo dan

Muhammad Amin Drakel

Partai Merdeka,

Marhaen, PBSD,

PKPPI, PPDI, PNI 4 Mudafar Syah dan Rusdi Amin Koalisi Maluku Utara

Bersatu 13 partai kecil 5 Mayjen TNI (Purn.) Irvan Eddyson

dan Atti Ahmad

PDS Sumber : KPUD Maluku Utara,2007

Dalam perkembangannya, KPUD Maluku Utara hanya menetapkan empat pasangan (yakni nomor 1, 2, 3 dan 5) calon gubernur dan wakil gubernur yang dinilai berhak maju untuk dipilih karena dinilai memenuhi persyaratan, sedangkan pasangan calon nomor 4 yakni Mudafar Syah dan Rusdi Amin dinyatakan kurang memenuhi syarat sehingga didiskualifikasi dari bursa pencalonan.

(33)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 33

SEJARAH KONFLIK

DI PROVINSI MALUKU UTARA

Konflik sosial dalam penyelenggaraan Pemilukada di Maluku Utara sangat terkait dengan konflik-konflik sebelum-nya. Konflik yang terjadi tersebut, memiliki kronologis dan sumber-sumber, antara lain :

Kronologis Konflik Di Zaman Portugis (Pra Kemerdekaan)

Dinamika perkembangan peradaban umat manusia terus berubah dari zaman ke zaman menurut wilayah geografis, demografis, intercultural, sosiokultural dan determinan faktor lainnya. Demikian halnya yang terjadi di Maluku pada umumnya dan Maluku Utara khususnya, perubahan-perubahan peradaban masyarakat secara terus menerus mengalami dina-mika seiring dengan kompleksitas konflik yang menorehkan riwayat dan sejarah konfliknya tersendiri.

Konflik di Maluku Utara adalah sebuah konflik yang punya rangkaian panjang dalam sejarah konflik di Indonesia. Dia berakar dari sejarah awal kelahiran kerajaan-kerajaan tua di Maluku Utara. Saat itu, di masa Kolano Cico atau Mashur Malamo (1257), usai era Momole, sudah ada perseteruan laten antar klan raja/penguasa, baik di internal kerajaan maupun

(34)

34 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung antar kerajaan. Bahkan Naida, jurutulis Kesultanan Ternate, yang menulis tentang mitos lahirnya raja-raja Moloku Kieraha, juga sudah mengungkap benih-benih perpecahan itu. (sebagai-mana tercatat dalam P. van der Crab, “Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en Maleischen text beschreven door den Ternataan Naidah”, Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, The Hague, 1878).

Konflik tersebut sempat reda semasa Kolano Sidang Arif Malamo menjadi Raja di Ternate (1322-1331), dan mengundang raja-raja di Maluku Utara, minus Raja Loloda, dan dalam konferensi raja-raja di Pulau Moti, mereka sepakat mengakhiri permusuhan antar sesama serta membentuk sebuah konfederasi longgar yang kemudian dikenal dengan Konfe-derasi Moloku Kieraha atau Persekutuan Empat Raja di Maluku. Konferensi ini kemudian dikenal dengan nama Moti Statenbond (1322). Sidang Arif Malamo, sesuai kesepakatan antar raja dalam konferensi itu, ditunjuk sebagai pemimpin konfederasi longgar atau “Kolano Ma-Dopolo”. (F.S.A. de Clerq).

Konfederasi longgar tersebut, meskipun hanya beru-mur 72 tahun, karena kemudian dibatalkan sepihak oleh kera-jaan Ternate, namun persekutuan tersebut telah meng-hasilkan sesuatu yang fundamental, ikatan kultural masyarakat Maluku Utara. Ikatan itulah yang dikemudian hari coba ditautkan lagi dengan perkawinan antar keluarga raja-raja di Maluku Utara, menjadi pengikat yang diakui semua etnik di seluruh wilayah Maluku—termasuk Ambon dan Seram. Dari sini rumusan tentang penyelesaian beragam konflik coba di atasi. Hal ini dapat dilihat dalam Francoise Valentijn (“Oud en Neew Oost Indien” S. Keijzer, Amsterdam, 1862).

Sayangnya, keserakahan anak negeri, ditambah datangnya para pedagang Eropa, baik Spanyol maupun Por-tugis, membuat perpecahan antar kerajaan makin kuat. Di masa Hairun Jamil (1536-1570) memerintah, dia mampu

(35)

mengem-Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 35 balikan harkat kerajaan Ternate kembali ke posisi yang dise-gani. Dia juga membuka dialog dan diplomasi dengan Portugis. Momen diplomatik ini kemudian dipakai oleh Gubernur Portugis Admiral de Mosquita, memerintahkan Antonio Pimentel, orang dekatnya, untuk membunuh orang yang dianggapnya penghalang dalam upaya mengembang misi, god, gospel, and glory (14 Pebruari 1570).

Pembunuhan Hairun justru yang memicu Babullah Datu Syah mengobarkan apa yang diistilahkannya dengan pe-rang suci melawan kolonialis Portugis dan sekutu-sekutu mereka, telah memunculkan benih konflik agama, ketika dia menyatukan raja-raja di Maluku Utara, dan Kolano Katara-bumi, Raja Jailolo, memerangi Portugis dan penduduk yang telah dinasranikan di seantero Halmahera. Mereka diusir dari Mamuya, Galela, dan terpaksa terkurung di Benteng Nostra Senhora del Rosario, atau Benteng Gammalamo, Ternate.

Pengusiran orang Portugis dari Ternate, di malam Natal, setelah terkurung selama lima tahun, dan gubernur Nuno Pereira de Ateyda, pada tanggal 24 Desember 1575, mengibarkan bendera putih di Petala Benteng Gammalamo, markas besar Portugis dan satu-satunya benteng yang belum jatuh—perang Ternate-Portugis berakhir. Portugis keluar meninggalkan Ternate, bersama-sama komunitas Nasrani lokal yang ikut bersama Portugis, tanpa senjata.

Kesemuanya itu adalah benih-benih konflik yang terbaca dalam sejarah. YB Mangunwijaya, dalam novel sejarah “Ikan-ikan Hiu Ido Homa,” mendeskripsikan, betapa keserakahan raja-raja sesudah Babullah, membuat rakyat begitu menderita, dan mewariskan dendam yang diturunkan secara turun-temurun dalam bentuk pepata-pepiti kuno, yang menyimpan arti mendalam. Selain sepak terjang para raja dan kerajaan di wilayah ini dalam berebut sumberdaya ekonomi, kolonialisme selama kurang lebih 350 tahun, baik oleh Portugis, Spanyol, apa lagi Belanda, telah

(36)

memporak-36 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung porandakan bangunan sosial yang sudah terbangun kurang lebih 200 tahun itu. Lewat politik ekstirpasi, devide et impera, mereka masuk dan merubah tatanan sosial budaya, sehingga relasi-relasi sosial menjadi terganggu. (E Katoppo dalam, Nuku, kaitjil Paparangan, 1957).

Pasca kemerdekaan Indonesia, semangat kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang utuh belum berjalan baik. Konflik laten masa lalu, akibat politik pecah belah colonial, masih kuat. Pertentangan antar kelompok agama, sesuatu yang jarang terjadi di masa lalu, ternyata mulai mengemuka di masa kemerdekaan.

Pemerintahan Orde Baru yang otoriter, ternyata mampu menekan potensi konflik menjadi konflik terbuka di tengah masyarakat, dengan pola-pola represif. Kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang begitu tajam, mampu diredam Negara. Tapi ternyata, pola itu tidak abadi. Ia iUtara api dalam sekam, yang nanti mencari jalan keluarnya.

Reformasi pada tahun 1998 membuka sekat-sekat yang selama ini tabu. Protes atas semua ketidakadilan, ternyata turut memanaskan suhu konflik yang memang sudah laten. Semua itu meledak dalam sebuah kerusuhan berskala luas di pergantian abad XX ke abad XXI, 1999-2000 lalu. Kerusuhan di pergantian abad, telah menghancurkan seluruh bangunan perdamaian di tengah masyarakatnya. Sebuah catatan kelam dalam sejarah kemanusiaan di Maluku Utara. Seluruh bangunan pendukung perdamaian yang sebelumnya masih tersisa dan dapat meminimalisasi konflik, baik itu bangunan sosial, budaya, dan semangat kebersamaan sebagai sebuah bangsa, menjadi hancur berantakan.

Kerusuhan dengan akar konflik yang selalu ber-kembang secara eksplisit memberi indikasi bahwa potensi

konflik internal yang ada dalam kehidupan sosial

kemasyarakatan di Maluku Utara telah melemahkan kearifan budaya lokal. Melemahnya sosial capital, kemudian

(37)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 37 dimanfaatkan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab (provokator) melalui beragam cara.

Masalah yang menumpuk, baik implikasi dari konflik Maluku Utara, konflik sosial budaya, ekonomi maupun masalah yang disebabkan oleh dinamika masyarakat dalam era otonomisasi, pada dasarnya potensial memicu konflik baru di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda identitas asalnya di Maluku Utara.

Realitas di atas memerlukan sebuah proses rehabilitasi sosial secara berkelanjutan, di semua sektor masyarakat. Selama hampir delapan tahun, banyak elemen perdamaian, baik itu lembaga perdamaian internasional, maupun regional telah melakukan berbagai kegiatan yang mendukung proses itu. Tugas semua elemen yang pro perdamaian di Maluku Utara, adalah mencoba mengidentifikasi isu-isu, masalah dan kebutuhan stakeholder dan masyarakat untuk pembangunan perdamaian di berbagai bidang, di berbagai tingkatan, dalam mendukung penguatan proses perencanaan yang sensitif krisis dan penciptaan perdamaian berkelanjutan. Termasuk melaku-kan revitalisasi Nilai-nilai Budaya untuk membangun kembali kearifan Lokal dalam membangun Perdamaian di Maluku. Karena bangunan kearifan lokal ini yang paling hancur akibat hempasan kerusuhan lalu. Dalam konteks ini, upaya kemitraan maupun pembangunan yang partisipatoris, menjadi bagian penting dari langkah membangun perdamaian.

Hal ini juga sejalan dengan tanggapan Fahrudin Tukuboya, Managing Director Program Peace Througt Development pada UNDP-Bappenas di Maluku Utara. Namun demikian, terlepas dari kelemahannya, ke depan program ini mampu meminimalisir potensi konflik, sekaligus menjawab problem ketimpangan sosial dan ekonomi di masyarakat. Lanjut dijelaskan, dengan membangun kerjasama dan kemit-raan, dilakukan berbagai program perdamaian dengan tujuan membangun kapasitas masyarakat (Capacity building) secara

(38)

38 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung partisipatif, baik melalui kerjasama langsung maupun tidak langsung dengan stakeholder, LSM, perguruan tinggi, kelompok paguyuban, media massa, partai politik, pelaku dunia usaha dan pihak swasta maupun birokrat. Selain itu, sikap marah dan penyebab konflik itu bersumber dari hati diri masing-masing, maka perdamaian juga harus dimulai dari diri dan hati. Marilah berdamai dengan hati, demi membangun perdamaian yang berkelanjutan di bumi Maluku Utara.

Kronologis konflik Tahun 1999 – 2004 dan Dampak Sosialnya

Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki karakteristik sebagai negara multietnik, terdapat 931 etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan ada yang kecil. Etnis besar di Indonesia antara lain: Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Cina. Sebagai Negara yang multietnis, tidak hanya bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur, obat-obatan, makanan, dan kesenian orang Indonesia pun berbeda-beda menurut etnisnya (Mantri Karno Diharjo, 2005).

John Naisbitt dan Alfin Toffler memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terakhir abad ke-20 menunjukkan adanya perla-wanan terhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelompok etnik lain. Berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Indonesia bagian Utara sebuah taman yang ditumbuhi aneka bunga berwarna-warni, akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah.

Samuel Huntington (1999) memprediksikan munculnya perbenturan antar masyarakat “di masa depan” yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of

(39)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 39 civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan kebudayaan.

Salah satu konflik yang berbau SARA di Indonesia adalah konflik yang terjadi di Maluku Utara, konflik ini pertama kali terjadi Agustus 1999 yang di picu oleh pertikaian antara suku Kao yang merupakan suku asli daerah tersebut dengan suku Makian yang merupakan pendatang dari pulau Makian di daerah selatan pulau Ternate berkaitan dengan pengelolaan pertambangan emas di Kecamatan Malifut. Pada gelombang pertama jumlah korban jiwa hanya dalam hitungan puluhan, demikian juga harta benda dan rusaknya tempat-tempat ibadah.

Konflik terus berlanjut pada bulan Oktober-November 1999. Skala kerugian harta milik yang berkenaan dengan fasilitas-fasilitas publik dan bangunan jauh melebihi kerugian yang terjadi pada bulan Agustus 1999. Pada konflik ini kurang lebih 16 Desa Suku Makian diratakan dengan tanah, sementara jumlah korban yang meninggal sekitar 100 orang dan kebanyakan dari komunitas Islam.

Dalam aksi kekerasan kedua ini, ketiga Sultan yang memerintah di Maluku Utara, yakni Sultan Ternate, Sultan Tidore, dan Sultan Bacan telah mengambil peran aktif dalam meredakan keteganggan-keteganggan antara dua komunitas yang berperang. Sultan Ternate bahkan mengambil langkah kontroversial dengan membentuk kembali pasukan adat. Pasukan ini disebut Pasukan Kuning, karena mereka memakai seragam kuning, maka pasukan khusus Sultan Ternate ini dikenal sebagai pasukan kuning. Pada mulanya, pasukan kuning membantu polisi dan tentara untuk meredakan konflik di wilayah tersebut. Namun seiring berlalunya waktu, mereka secara perlahan-lahan mulai mengambil alih fungsi aparat keamanan sampai pada titik di mana mereka merupakan

(40)

satu-40 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung satunya kekuatan keamanan di kota tersebut. Mereka mulai bertindak kasar dan sewenang-wenang terhadap setiap orang yang menghalangi caranya. Tindakan sewenang-wenang dari pasukan Kuning tersebut mendapat reaksi keras dari orang-orang Muslim dari Ternate Selatan. Mereka kemudian mem-bentuk Pasukan Putih untuk melawan Pasukan Kuning. Pada akhirnya pertempuran antar kedua pasukan yang sama-sama beragama Islam inipun tidak dapat dielakkan.

Konflik di Maluku Utara terjadi lagi pada tanggal 26 Desember hingga Maret 2000. Pada Periode ini konflik yang terjadi merupakan imbas dari apa yang telah terjadi di Maluku Tengah. Dalam kekerasan gelombang ketiga ini serangan-serangan dilakukan secara simultan oleh kelompok Kristen terhadap desa Muslim di Gahoku, Toguliwa, Gurua, Kampung Baru, Gamsungi, Lauri, dan Popilo yang berada di Kecamatan Tobelo, serta desa Mamuya di Kecamatan Galela. Berdasarkan data yang ada, dalam kerusuhan ini korban yang meninggal tercatat kurang lebih 800 orang, dimana 200 orang diantaranya meninggal karena terbakar hidup-hidup di Masjid Baitur-rachman di Desa Popilo.

Konflik terjadi pula pada tanggal 19 juni 2000 di Desa Duma Kecamatan Galela. Pada konflik ini terjadi serangan dari mereka yang mengatasnamakan komunitas Islam terhadap masyarakat di Desa Duma yang mayoritas beragama Kristen. Dalam pertikaian yang tidak seimbang ini setidaknya 215 orang meninggal dan kurang lebih 500 orang dinyatakan hilang bersamaan dengan tenggelamnya kapal Nusa Bahari yang membawa masyarakat Desa Duma untuk mengungsi.

Kaitannya dengan situasi konflik sosial pada komunitas masyarakat yang pluralistik dan heterogen tersebut, maka perlu ada upaya mempersatukannya. Koentjaraningrat (2007), ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah (a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan

(41)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 41 di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia dewasa ini, sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa.

Ikatan primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh para anggota suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan, sejarah dan asal-usul. Identitas dasar ini merupakan sumber acuan bagi para anggota suatu kelompok etnik dalam melakukan intreaksi sosialnya. Oleh karena itu, identitas dasar merupakan suatu acuan yang sangat mendasar dan bersifat umum, serta menjadi kerangka dasar bagi perwujudan suatu kelompok etnik.

Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk mengingkarinya, identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar kelompok etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok di antara mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda antara berbagai kelompok etnik yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan sumber adanya ikatan primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan keluarga atau hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, kepercayaan atau keagamaan, dan bahasa/dialek tertentu.

Suatu persamaan hubungan darah, dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat destruksif. Ikatan-ikatan tersebut Geertz dapat dianggap sebagai “warisan” dari sifat sosial yang telah ada suatu “kelangsungan yang berkesinambungan” dan seba-gian besar merupakan ikatan keluarga, namun lebih dari itu merupakan warisan yang berasal dari kelahiran di tengah-tengah masyarakat beragama tertentu, yang berbicara dalam dialek bahasa tertentu, dan mengikuti praktik-praktik sosial tertentu.

(42)

42 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Akar persoalan sumber konflik di Maluku Utara seperti halnya yang terjadi di Maluku Tengah, tidaklah tunggal. Persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam serta pertikaian elite politik dan birokrasi merupakan faktor pem-bungkus ”konflik agama” yang selama diyakini oleh sebagian besar masyarakat baik dalam konteks nasional maupun dalam konteks lokal. Dalam konteks lokal, setidaknya ada dua faktor penting yang mendasari konflik di wilayah ini yaitu : (1) Rivalitas elite dalam merebutkan pengelolaan sumberdaya alam dan jabatan-jabatan birokrasi serta politik, (2) Menguatnya etnosentrisme sebagai alat untuk merebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik.

Tamrin Amal Tamagola (2005) melihat sumber konflik yang terjadi di Maluku Utara (1999-2004) dari tiga gelombang pertikaian yang di mulai pada Agustus 1999 dan berakhir Maret 2000. Gelombang pertama dan kedua berawal dari Kecamatan Malifut di Teluk Koa, yang kemudian menyebar ke Ternate, Tidore, dan wilayah lain di Maluku Utara. Gelombang ketiga kerusuhan kembali ke desa-desa Muslim di Kecamatan Tobelo yang berada di Teluk Kao. Tetapi setelah itu masih terjadi berbagai penyerbuan ke wilayah-wilayah Kristen dengan korban dan kerugian yang cukup besar, bahkan sempat meluluh lantakan desa Duma di Kec.Galela, Halmahera Utara yang menjadi simbol perkembangan agama Kristen di wilayah ini. Karena kejadian ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan ketiga gelombang sebelumnya, maka penyerangan ke Duma ini diusulkan sebagai gelombang atau periode konflik yang ke empat.

Kronologis gelombang konflik tersebut diuraikan sebagai berikut :

(43)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 43

1) Gelombang Pertama

Banyak pihak yang menyakini konflik di Maluku Utara merupakan imbas dari konflik di Maluku Tengah (Ambon dan sekitarnya) yang sudah terjadi sejak pertengahan Januari 1999, awal konflik di Maluku Utara memiliki nuansa yang sama dengan Konfik di Maluku Utara yang pertama kali muncul di Teluk Kao, Halmahera Utara. Konflik tersebut tampaknya lebih menunjukkan nuansa persaingan etnis dan perebutan wilayah adat daripada perseteruan agama. Persaingan etnis dan perebutan tanah adat terjadi antara Suku Kao dan Makian di Teluk Kao, yang semula dilatarbelakangi oleh adanya miskomunikasi dalam status kepemilikan tanah yang didiami oleh etnis Makian (mayoritas pendatang) yang diklaim oleh Suku Kao sebagai miliknya. Etnis Makian yang diungsikan sementara oleh pemerintah ke Teluk Kao menuai konflik di kawasan tersebut.

Ketegangan di kawasan tersebut memuncak ketika pada tanggal 26 Mei 1999 diundangkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 tahun 1999 tentang pembentukan Kecamatan Makian atau Malifut, di mana dalam pemekaran Kecamatan atau pembentukan Kecamatan tersebut menggabungkan 16 desa dengan mayoritas pendatang suku Makian dengan 5 desa asli suku Kao dan desa asli suku Jailolongat berbeda.

Dari sudut pandang masyarakat Kao, pembentukan Kecamatan Makian Malifut yang ditetapkan dengan PP No. 42 itu sebagai pencaplokan tuan tanah adat mereka. Wilayah Malifut adalah bagian dari tanah adat suku Kao yang dipinjamkan sementara kepada warga Makian yang mengungsi karena kekhawatiran meletusnya Gunung Kie Besi di Pulau Makian. Sementara itu warga Makian yang dipindahkan ke wilayah yang bernama Malifut ini merasa sebagai tugas atau keputusan dari Pemerintah dan merasa berhak atas tanah yang mereka diami.

(44)

44 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Benih pertentangan tersebut semakin meningkat atau bertambah dengan kecemburuan orang Kao yang melihat orang-orang Makian lebih berhasil dalam penghidupan mereka baik sebagai wiraswasta, pegawai negeri dan pengisi jabatan birokrasi, hingga menjadi pegawai perusahaan Tambang Emas Nusa Halmahera Minerals.

Orang Makian bahkan terlihat secara sistematis mempersiapkan kawasan Malifut ini sebagai basis kediaman kedua mereka dengan memberi nama sebagai daerah Makian Daratan. Keadaan akan lebih menjadi parah ketika pembentukan Kecamatan Malifut itu juga meliputi 5 desa dari Kec. Kao dan 6 desa dari Kecamatan Jailolo. Suatu pencaplokan ganda yang tentunya sangat sulit diterima oleh masyarakat Kao. Sementara bagi orang Makian keluarnya PP No. 42 itu merupakan peraturan yang harus dijalankan. Mereka meminta pemerintah untuk segera melaksanakan PP No 42 itu dengan berbagai aksi di Malifut dan di Ternate yang saat itu menjadi ibukota Kabupaten Maluku Utara.

Ketegangan semakin memuncak pada bulan Agustus 1999, dan kerusuhan meletus pada tanggal 18 Agustus yang mengakibatkan sebuah rumah terbakar, bahkan sehari kemudian terjadi penyerangan antara warga desa Sosol (Kao) dengan warga desa Tahane (Makian) dan merembet ke desa Wangeotak. Akibat kerusuhan ini warga lima desa suku Kao yang dimasukkan ke wilayah Kecamatan Malifut mengungsi ke Kao. Berita yang dibawa oleh warga kelima desa ini membuat marah suku Kao, sehingga mereka (yang Kristen maupun Islam) menyerang desa-desa orang Makian di Malifut pada tanggal 21 dan 25 Agustus 1999. Penyerangan ini menyebabkan sekitar 2000 warga Makian di Malifut mengungsi ke berbagai wilayah.

Dalam kerusuhan tersebut, tercatat 26 orang tewas dan ratusan terluka. Sebanyak 16 desa mengalami kerusakan : lebih dari 800 rumah hancur, termasuk fasilitas umum, seperti

(45)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 45 terminal, kantor Kecamatan, dan pasar. Bangunan sekolah yang hancur sebanyak 81 unit. Sedangkan rumah ibadah yang rusak ada 17 mesjid dan sebuah gereja. Meskipun ada informasi bahwa sebenarnya tidak ada mesjid yang rusak, melainkan atap bangunan ibadah itu di ambil oleh pengungsi yang kembali setelah kerusuhan reda dan membutuhkan sarana untuk tinggal sementara.

2) Gelombang Kedua

Gelombang Kedua masih terjadi di atau diawali dari Malifut pada tanggal 24 Oktober terjadi penyerangan besar-besaran oleh warga Kao terhadap warga Makian Malifut dengan kekuatan massa sekitar 15.000-20.000 orang. Akibat dari kerusuhan tersebut, 14 orang meninggal dunia dan 206 orang luka-luka. Mesjid terbakar/rusak ada 19, sedangkan rumah yang terbakar/rusak mencapai 1.862 rumah, ditambah dengan 2 sarana pendidikan, 2 perkantoran, dan 1 Puskesmas. Pada saat itu, terjadi pengungsian massal 12.307 jiwa warga Makian yang mayoritas Islam. Pada gelombang kedua ini nuansa agama mulai tampak..

Pengungsian terjadi ke Ternate Utara maupun Selatan, Tidore, Kecamatan-Kecamatan mayoritas Islam di Halmahera Utara sendiri, dan sebagian pengungsi kemudian ada yang melakukan penyerangan dan perusakan ke warga minoritas Kristen di daerah pengungsian mereka. Menurut catatan dari Dit Sospol Pemprov. Malut, korban aksi penyerangan mencapai jumlah sekitar 100 orang meninggal dan 20 gereja rusak atau terbakar. Aksi kekerasan tersebut mengakibatkan pengungsian besar-besaran ke Kec. Tobelo dan Malut, Manado dan Sangir Talaud. Pengungsian warga Kristen ini mencapai belasan ribu jiwa.

Pada konflik gelombang kedua, mulai tampak jelas perubahan nuansa konflik dari pertikaian etnis, antara etnis

(46)

46 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Kao dan Makian, ke arah pertikaian agama : Islam dan Kristen. Perubahan tersebut semakin menguat ketika terjadi pengung-sian besar-besaran orang Makian ke Ternate dan Tidore ber-sama dengan pengungsi-pengungsi dari Ambon yang mem-bawa kisah dan penderitaan yang hampir sama.

Pada awal November 1999, terjadi peristiwa kerusuhan di desa Indonesiana, Pulau Tidore. Peristiwa yang di picu oleh selebaran bertajuk “Rencana Serangan Balik Sosol Berdarah” yang seakan-akan dikeluarkan oleh Ketua Sinode Maluku di Ambon dan ditujukkan kepada Ketua Sinode Halmahera di Tobelo. Pihak Gereja Protestan telah membantah bahwa selebaran itu berasal dari pihak mereka, sehingga patut diduga bahwa ada yang sengaja mengungkap selebaran itu sebagai alasan untuk menyerang pihak Kristen. Hal ini diperkuat dengan pemadaman listrik dan adanya orang-orang yang tidak dikenal pada peristiwa yang berlangsung dalam waktu sangat singkat, sekitar dua jam.

Pada peristiwa tersebut, terjadi pembakaran gereja dan pembunuhan pendeta Ari Rissakota, dengan korban meninggal dunia mencapai 35 orang. Gereja yang terbakar 3 buah dan rumah yang terbakar mencapai 145 buah, dengan pengungsi mencapai lebih dari 1300 orang. Warga Kristen dari Tidore ini cenderung mengungsi ke Menado Maluku Utara. Sebelum peristiwa terjadi insiden serupa di Ternate, tetapi tidak sampai menimbulkan korban karena kesigapan aparat dan Sultan Ternate.

3) Gelombang Ketiga

Pertikaian atau konflik gelombang ketiga betul-betul menunjukkan nuansa agama yang sangat kental, karena terjadi di Kecamatan Tobelo dan Galela yang terletak dan dihuni oleh mayoritas suku Kao.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penetapan biaya pendidikan yang dibebankan ke mahasiswa, Politeknik Indonusa Surakarta belum dapat menetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT), sehingga mahasiswa

Dukungan dari pihak sekolah dan guru pamong dalam pemanfaatan media pembelajaran, menjadikan mahasiswa praktikan harus lebih kreatif dan inovatif agar media yang

Tidak dipungkiri bahwa penggunaan printer dalam suatu pekerjaan tidak selalu efektif. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan printer dalam sebuah perusahaan, seperti

III. Perbedaan dan Persamaan Budaya dalam Perkembangan Kognitif.. Perkembangan kognitif adalah spesialiasasi dalam psikologi yang mempelajari bagaimna kemampuan berpikir

Pengaruh Dimensi Heritage Tourism Product Terhadap Brand Image Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Penelitian sebelumnya mengenai prediksi terjadinya kondisi bermasalah bank telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya Almilia dan Herdiningtyas (2005) dalam

Maka kesadaran politik warga Negara menjadi faktor determinan dalam partisipasi politik masyarakat, artinya berbagai hal yang berhubungan dengan pengetahuan dan kesadaran akan

Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman kacang kedelai adalah jenis tanah.. yang gembur dan bertekstur ringan