• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber dan kronologi konflik pada proses penyelesaian sengketa Pemilukada

Dalam dokumen Bahtera pemilukada Konflik tak berujung (Halaman 87-102)

Sumber dan kronologi konflik sosial selama proses penyelesaian sengketa Pemilukada Maluku Utara adalah : a. Mahkamah Agung telah memutuskan konflik Pemilukada

Malut dengan amar putusan memerintahkan penghitungan ulang di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara dan membatalkan hasil penghitungan ulang yang dilakukan oleh KPU. Dalam amar putusannya, MA berpendapat bahwa penerapan Pasal 122 Ayat (1) maupun Ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pelak-sanaan Pemilukada dalam kasus penghitungan ulang Pemilukada Malut oleh KPU tidak dapat dibenarkan dan cacat secara yuridis. Pengambilalihan kewenangan oleh KPU pada dasarnya bertentangan dengan saran atau pertimbangan KPU ke KPUD Malut yang isinya menyarankan bahwa bila rekapitulasi penghitungan terda-pat keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara, keberatan itu diajukan ke MA. Karena itu, MA menilai pengambilalihan yang dilakukan oleh KPU mengandung cacat yuridis. Dan, surat keputusan, termasuk segala putusan dan produk hukum yang bersifat derivatif dari putusan itu tidak sah dan harus dibatalkan.

b. Dalam perkembangannya, sebagai tindak lanjut dari perin-tah MA untuk melakukan penghitungan ulang, terdapat dua versi penghitungan ulang, yaitu : versi KPU Malut yang dipimpin oleh Mukhlis Tapitapi (yang diakui keabsahannya oleh KPU Pusat) dan versi KPU Malut yang dipimpin oleh Rahmi Husein (yang diberhentikan KPU Pusat dan tidak diakui keabsahannya oleh KPU Pusat). Terhadap dua versi penghitungan ulang tersebut dihasilkan dua versi hasil penghitungan yang bertolak belakang. Hasil rekapitulasi

88 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung perolehan suara KPU Malut yang dipimpin Mukhlis Tapitapi memenangkan pasangan Abdul Ghafur-Abdurahim Fabanyo. Hasil rekapitulasi perolehan suara KPUD Malut yang dipimpin Rahmi Husein memenangkan pasangan Thaib Armayn-Abdul Ghani Kasuba.

c. Terhadap dua versi hasil penghitungan suara tersebut Mendagri, pada tanggal 26 Februari 2008, mengirimkan surat guna meminta fatwa kepada MA. MA mengeluarkan fatwa tertanggal 10 Maret 2008 untuk menjawab surat Mendagri tersebut. Dalam fatwanya MA menilai peng-hitungan yang dilakukan Ketua dan Anggota KPU Malut, yaitu Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman telah memenuhi prosedur hukum acara perdata. Fatwa itu menyebutkan prosedur dan tata cara eksekusi pelaksanaan penghitungan suara mengikuti ketentuan Hukum Acara Perdata, yakni harus didahului dengan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan dan diikuti dengan penetapan eksekusi. Dalam penghitungan yang dilakukan oleh Ketua KPU Malut Rahmi Husein hadir Ketua Pengadilan Tinggi Malut dan ikut menandatangani hasil penghitungan suara. Fatwa itu juga didasarkan pada Putusan MA yang menilai pengam-bilalihan oleh KPU cacat yuridis. Dan, surat keputusan, termasuk segala putusan dan produk hukum yang bersifat derivatif dari putusan itu tidak sah dan harus dibatalkan (termasuk di dalamnya surat keputusan penonaktifan Ketua dan Anggota KPU Malut Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman).

d. Berdasarkan hasil fatwa tersebut Mendagri berkonsultasi dengan Presiden dan Wakil Presiden untuk menentukan langkah selanjutnya. Hasil rapat kabinet terbatas yang dila-kukan guna membahas hal ini memutuskan untuk menye-rahkan persoalan Pemilukada Malut kepada DPRD Malut.

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 89 Dengan perkembangan hasil rapat kabinet yang menyerahkan penyelesaian sengketa Pemilukada Malut kepada DPRD Malut, FPKS menyatakan sangat kecewa dengan alasan: 1) Keputusan rapat kabinet tidak mengindahkan prosedur

hukum penyelesaian sengketa hasil Pemilukada yang telah dilakukan oleh MA.

2) Penyelesaian politik sebagaimana hasil rapat kabinet meru-pakan preseden buruk bagi pelaksanaan demokrasi. Apalagi sebentar lagi kita akan menghadapi Pemilu 2009 dan masih ada sekian ratus Pemilukada yang akan digelar di Indo-nesia.

3) Pelimpahan penyelesaian sengketa Pemilukada Malut kepada DPRD Malut tidak memiliki dasar hukum dan bukan kewenangan Mendagri.

4) Pelimpahan penyelesaian sengketa Pemilukada Malut kepada DPRD hanyalah upaya pemerintah untuk melempar tanggung jawab dan dapat menimbulkan konflik yang meluas.

Berdasarkan pertimbangan di atas FPKS menyatakan sikap: a) Meminta DPRD untuk menolak pelimpahan proses

penye-lesaian sengketa hasil Pemilukada Malut karena selain tidak memiliki dasar hukum, menciderai proses dan prosedur hukum, menimbulkan preseden buruk, juga dapat memperluas konflik sosial di kalangan masyarakat.

b) Meminta semua pihak, terutama Pemerintah, untuk menaati prosedur hukum berikut hasil-hasilnya dalam memutus sengketa hasil Pemilukada Malut. Prosedur hukum yang telah ditempuh berdasarkan Putusan MA adalah melakukan penghitungan ulang di tiga kecamatan di Halmahera Utara. Terhadap dua versi hasil penghitungan ulang, MA telah mengeluarkan fatwa sebagaimana dimintakan oleh

Men-90 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung dagri, yang menyatakan bahwa penghitungan ulang yang dilakukan Ketua dan Anggota KPU Malut Rahmi Husein dan Nurbaya Suleman telah memenuhi prosedur hukum acara perdata. Dapat disimpulkan bahwa hasil penghitu-ngan yang dilakukannya pun sah.

c) Berdasarkan putusan dan fatwa MA sebagai institusi pengadilan tertinggi dan demi menegakkan prinsip ketaatan terhadap hukum, FPKS meminta Mendagri atas nama Presiden menetapkan pasangan Thaib Armain-Abdul Ghani Kasuba sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Malut.

Konflik yang berlarut-larut akibat sengketa Pemilukada yang tidak kunjung berakhir di Maluku Utara mendorong terjadinya proses hukum di lembaga peradilan (Mahkakah Agung). Dalam proses pengadilan sengketa Pemilukada tersebut, MA membatalkan keputusan KPU soal Pemilukada Maluku Utara. Majelis Hakim Agung yang diketuai Paulus Effendy Lotulung memutuskan untuk melakukan perhitungan ulang di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara dalam sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Maluku Utara. Hal itu disampaikan dalam amar putusan yang menga-bulkan sebagian tuntutan pihak pemohon yakni pasangan Thaib Armaiyn di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada hari Selasa Tanggal 22 Januari Tahun 2008.

Berdasarkan pertimbangannya, hakim menilai bahwa pengambilalihan tahapan Pemilukada Maluku Utara oleh Komisi Pemilihan Umum Pusat adalah cacat yuridis. Oleh karena itu, semua surat keputusan KPU Pusat yang antara lain soal penetapan kepala daerah, yakni pasangan Abdul Gafur sebagai pemenang Pemilukada, penonaktifan kinerja KPU Provinsi Maluku Utara juga harus batal, sehingga dengan putusan MA membatalkan seluruh keputusan KPU Pusat.

Alasan Majelis Hakim Agung untuk menggelar perhi-tungan ulang di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara, yakni kecamatan Jailolo, Ibu Selatan dan Sahu Timur,

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 91 dikarenakan bahwa hakim juga menilai apa yang dilakukan oleh KPU Provinsi Maluku Utara telah melanggar prosedur tetap. Prosedur yang dilanggar itu berupa pengambilan kepu-tusan tanpa rapat pleno. Kepukepu-tusan KPU Provinsi Maluku Utara dianggap adil walau melanggar karena dilakukan secara tertutup dan hanya dihadiri oleh tiga anggota KPU provinsi termasuk Ketua KPU Provinsi Maluku Utara.

Sementara itu, suasana sidang sengketa Pemilukada Maluku Utara berlangsung tegang, sekitar 300 orang personel aparat kepolisian terlihat berjaga. Penjagaan ketat pun diterapkan dengan menggeledah satu persatu pengunjung sidang yang masuk. Ruang sidang pun disesaki pengunjung dari dua kubu pasangan calon Gubernur. Sempat terjadi ketegangan kecil usai persidangan, saat kubu Thaib Armaiyn bersorak atas putusan hakim agung, pendukung Abdul Gafur membalas dengan teriakan. Namun kondisi bisa segera dinetralisir oleh kedua belah pihak.

Pada 18 November 2007, KPU Provinsi Maluku Utara sudah mengumumkan pemenang pemilihan kepala daerah Maluku Utara yang sudah dilaksanakan pada 3 November 2007, yakni pasangan Thaib Armain (incumbent) dan Gani Kasuba. Pasangan ini, diusung koalisi partai politik PKS, PBB, PKB, Partai Demokrat dan sejumlah parpol lainnya. Namun menurut KPU Pusat, Pemilukada Maluku Utara dinilai tidak berjalan dengan baik, karena hasil pemilihan tidak melalui rapat pleno, sehingga keputusan KPUD itu dibatalkan dan diambil alih. Setelah itu, berdasarkan keputusan KPU Pusat pada 21 November 2007, KPU Pusat memutuskan bahwa pemenang Pemilukada adalah Abdul Gafur, lawan dari pasangan Thaib Armaiyn.

Menanggapi putusan majelis hakim agung, kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum, Elza Syarief mengatakan putusan hakim sangatlah aneh. Sebab, lanjut dia, dalam amarnya hakim menyebutkan dan mengakui bahwa keputusan

92 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung KPU Provinsi Maluku Utara itu diambil tidak dalam rapat pleno melainkan di sebuah ruangan tertutup yang dihadiri oleh tiga anggota KPU Provinsi. Majelis jelas mengakui kesalahan KPU Provinsi, namun tetap saja putusannya aneh. Selain itu Elza juga menyoal putusan hakim yang membatalkan seluruh keputusan KPU Pusat. Menurutnya, tidak ada kewenangan hakim untuk membatalkan keputusan KPU. Kewenangan mereka itu hanya menyoal perhitungan suara.

Elza langsung menyatakan akan melakukan peninjauan kembali atas putusan hakim. Saat ditanya wartawan, apa bukti baru yang akan menjadi dasar peninjauan kembali, Elza menjawab bahwa dirinya akan melaporkan Ketua KPU Provinsi Maluku Utara ke pihak kepolisian. Perbuatan yang dilakukan selama rapat tertutup dengan dua anggota KPU Provinsi Maluku Utara adalah sebuah penyekapan yang dilakukan Ketua KPU Provinsi. Itu menjadi salah satu dasar PK. Sedangkan pihak kuasa hukum Thaib Armaiyn, Andi M. Asrun mengatakan puas dengan putusan hakim. Penghitungan ulang yang akan dilakukan jelas memperlihatkan bahwa kliennya yakni pasangan incumbent Thaib Armaiyn adalah pemenang Pemilukada. Silahkan saja PK, namun bukti baru itu bukan sembarangan bukti.

Mewakili KPU Provinsi Maluku Utara, Andi M. Asrun juga menyatakan menyambut baik putusan ini. Menurutnya, penonaktifan KPUD oleh surat keputusan KPU Pusat dan pengambilalihan tahapan Pemilukada itu tidak diperbolehkan. Putusan membuat jelas bahwa KPU Provinsi Maluku Utara sanggup menyelesaikan tahapan Pemilukada.

Menurut M. Rahmi Husain, Pemilukada yang perjala-nannya menimbulkan dampak antara lain :

(1) Melahirkan sengketa memberi dampak terpolarisasinya media lokal pada calon-calon tertentu

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 93 (2) Terjadinya keretakan di berbagai kalangan, karena ini hanya menyangkut kepentingan elit, maka sangat perlu diadakan pencerahan

(3) Semestinya juga dipertegas dengan memfungsikan semua elemen untuk bekerja berdasar porsinya dan tidak saling menyalib posisi dilain pihak, - dan yg lebih penting lagi adalah yang namanya aparat mesti Netral dan jangan turut bermain karena inbasnya justru pada masyarakat (hasil wawancara 7 Maret 2009)

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 95

DAMPAK SOSIAL KONFLIK

PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA

DAERAH DI PROVINSI MALUKU UTARA

Dampak adalah sesuatu yang timbul dari suatu tindakan atau peristiwa dapat berupa akibat positif dan akibat negatif. Akibat yang timbul dapat mencakup domain yang terbatas dan dapat pula mencakup domain yang luas; dapat berlaku pada satu atau dua kelompok dan dapat pula mencakup sejumlah kelompok; dapat terjadi di dalam lingkup internal kelompok atau organisasi (Ingroup) dan dapat pula mencakup kelompok atau organisasi luar/ eksternal (Outgroup).

Dampak sosial akibat Konflik Pra Pemilukada

Rentetan peristiwa konflik di Provinsi Maluku Utara sebelum penyelenggaraan Pemilukada (Pilgub) Tahun 2007, pada realita atau faktanya telah menimbulkan dampak yang luas dan besar berupa korban nyawa, kerugian materi, pengungsian baik dalam skala individu atau kelompok kecil maupun skala massal, pengrusakan fasilita tempat tinggal dan sarana ibadah, prasarana dan sarana pendidikan serta kantor pemerintahan.

Dampak sosial dari konflik yang terjadi selama bertahun-tahun yang bukan hanya melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda ras, suku dan agama, namun juga

96 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung melibatkan pihak militer atau aparat keamanan sehingga semakin memperparah perisitiwa konflik tersebut, dan sudah tentu sudah dapat diprediksi akibat atau dampaknya yang sangat luas, besar dan penderitaan – trauma berkepanjangan.

Provinsi Maluku Utara di bentuk dengan Undang - Undang Nomor 46 Tahun 1999 dan diresmikan pada tanggal 12 Oktober 1999 merupakan pemekaran dari Provinsi Maluku. Sebagai Provinsi termuda, awal kelahiran Provinsi Maluku Utara telah dihadapkan pada persoalan konflik/kerusuhan antar warga yang bernuansa SARA. Kerusuhan yang terjadi sejak bulan Agustus 1999 di Kecamatan Makian Malifut - Kao, sampai saat ini sudah menjalar hampir di seluruh wilayah Kecamatan, kecuali Kecamatan; Kayoa, Taliabu Timur, Taliabu Barat, Sanana, dan Maba. Konflik/kerusuhan massa, telah menimbulkan banyak korban, baik fisik/materil, jiwa maupun moril masyarakat, dimana hampir seluruh pranata pemerintah, sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat rapuh dan tidak terbangun sebagaimana mestinya. Menyadari hal ini Pemda Provinsi Maluku Utara telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik/kerusuhan termasuk upaya rekonsiliasi bersama komponen pemerintahan dan aparat keamanan maupun masyarakat. Kendala yang masih dirasakan yakni antara kelompok masyarakat yang bertikai masih sangat cepat terprovokasi dan belum siap secara moril menerima Kenyataan akibat kerusuhan/pertikaian, sehingga yang nampak jelas masih muncul prasangka, sikap intoleransi dan fanatisme/ rasa solidaritas kelompok ( Agama ) dalam masyarakat. Selain itu, beban yang dirasakan cukup berat oleh Pemda Provinsi Maluku Utara untuk menangani akibat pasca kerusuhan seperti penampungan dan pemberian bantuan ( logistik dan medis) secara kontinyu kepaaa para pengungsi secara layak belum dapat terpenuhi.

Secara umum, penyebab kerusuhan di Maluku Utara dapat diidentifikasi pada 3 hal, yakni :

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 97 1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Pembentukan dan Penataan beberapa Kecamatan dalam wilayah Kecamatan Maluku Utara.

2) Kerusuhan di Ambon turut berpengaruh terjadinya kerusuhan di Provinsi Maluku Utara, baik dari warga yang keluar dari Ambon maupun provokasi oknum-oknum tertentu.

3) Selebaran yang bernuansa SARA menyebabkan masya-rakat terprovokasi sehingga menimbulkan kerusuhan/ konflik.

Peristiwa kerusuhan atau konflik menimbulkan seren-tetan dampak sosial di sejumlah wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Maluku Utara.

Total Kerugian

Berdasarkan data kerusuhan yang terjadi pada beberapa Kecamatan dalam wilayah Provinsi Maluku Utara, korban jiwa dan harta benda serta pengungsi secara keseluruhan sebagai berikut :

No. Jenis kerugian Jumlah

1 Korban jiwa 1) Meninggal Dunia = 2.004 Jiwa 2) Luka berat/ringan = 1.769 Jiwa 3) Yang hilang/lari ke hutan = 2.315 Jiwa 2 Harta benda Rumah rusak/terbakar = 15.930 buah

Gereja rusak/terbakar = 127 buah Mesjid rusak/terbakar = 114 buah Toko/Kios terbakar ...= 71 buah Sarana pendidikan rusak/terbakar = 78 buah Sarana perkantoran terbakar = 72 buah Sarana Kesehatan terbakar - 7 buah Kendaraan terbakar = 83 buah

Lahan pertanian/petemakan = ribuan Ha/puluhan ribu ternak.

2 Pengungsi 73.672 Jiwa (Kota Ternate)

74.593 Jiwa (Kab.Halmahera Tengah) 17.943 Jiwa (Kab.Muluku Utara) Total = 166.210 Jiwa

98 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Dampak kerugian fasilitas sosial akibat konflik di Maluku Utara berupa kehilangan mata pencaharian, tempat usaha, sarana pendidikan, kendaraan roda dua dan empat, akomodasi.

No. Jenis kerugian Jumlah Keterangan

1 Fasilitas perdagangan

6 pasar Pertokoan

Terutama yang tersebar di Kota Ternate, Tidore, terutama yang banyak muslim dari etnis Buton, Bugis, Jawa dan Sumatera.

2 Fasilitas pendidikan 3 buah SMA Muhammadyah (rusak

dan terbakar)

Kompleks pendidikan Al Hilal (rusak dan terbakar)

3 Fasilitas kesehatan Puskesmas Terbakar

2 Sarana transportasi 117 unit roda empat

44 unit roda dua 312 unit becak 10 unit speedboat

Dirusak dan dibakar Sebagian besar milik muslim

3 Kantor Notaris/PPAT

2 unit Milik muslim dirusak

4 Kantor Pemerintah 1 unit Kantor Pengadilan

Dibakar /terbakar 5 Fasilitas akomodasi 3 buah hotel milik

muslim

Dirusak dan dibakar

Data tersebut di atas memperlihatkan bahwa besarnya kerugian yang timbul akibat (dampak) dari konflik sosial. Kerugian tersebut bukan hanya materil melainkan korban jiwa; bukan hanya fasilitas pemerintah, fasilitas umum,fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan sarana transportasi melainkan juga fasilitas perdagangan dan ekonomi yang menjadi mata pencaharian.

Dari kenyataan tersebut, dapat diasumsikan bahwa konflik sosial memuat dua tendensi yakni tendensi kecem-buruan sosial yang berimbas ke tendensi SARA. Umumnya, elemen masyarakat yang mengalami kerugian adalah warga

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 99 pendatang yang berhasil dan menonjol kehidupan ekonominya, sehingga ada kecenderungan menjadi pemicu bagi penduduk asli yang merasa disaingi oleh warga pendatang, dan karena itu timbul benih-benih kecemburuan yang melahirkan suatu dorongan untuk mengusir warga pendatang secara tidak langsung melalui skenario kekacauan dan huru hara.

Faktor kecemburuan sosial tersebut dikemas dengan isu SARA dan dimanfaatkan oleh elit politik untuk memenuhi hasrat dan kepentingannya. Atas dasar itu maka lahirlah provokasi-provokasi dan adudomba yang menyesatkan dan menggiring opini agar kelompok-kelompok masyarakat yang terbagi dalam etnis yang berbeda, latar belakang sosio kultur yang berbeda, perbedaan status ekonomi yang melahirkan suatu skenario besar dai mimpi menjadi kenyataan yaitu terjadinya konflik sosial yang pola dan eskalasinya secara bergelombang atau bertali temali dalam proses waktu.

Sehubungan dengan realitas indikator-indikator dampak sosial dari eskalasi konflik yang merebak hampir seluruh wilayah Provinsi Maluku Utara, dilakukan crosscheck terhadap kondisi sosiopsikologi masyarakat di daerah itu.

a. Masyarakat membutuhkan rasa tentram, aman dan damai untuk menjalankan aktivitasnya.

Masyarakat dalam kesehariannya, memerlukan suatu lingkungan yang kondusif, tentram, aman dan damain sehingga dapat menjalankan aktivitas kehidupannya sehari-hari. Dengan kondisi demikian, maka diharapkan tercipta hubungan yang harmonis, bebas berinteraksi dengan siapa saja tanpa sekat-sekat etnis, ras, agama, budaya dan status sosial ekonomi.

Banyak warga masyarakat disiksa, dianiaya, dibakar rumahnya dan dibantai serta dibunuh di tempat dengan cara-cara tidak manusiawi. Banyak perempuan kehilangan suami dan anaknya, banyak orang tua kehilangan anaknya, banyak

100 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung warga kehilangan tempat tinggal, banyak anak kehilangan kedua orang tuanya (menjadi yatim piatu), banyak warga kehilangan sanak keluarganya.

Kebiadaban, arogansi, kerakusan dan kecongkakan elit politik dengan kebijakannya yang tidak adil telah menghan-curkan segala-galanya dan mencabik nilai-nilai budaya yang sekian puluhan tahun terbangun. Anehnya, elit politik di pemerintahan seolah tidak punya rasa bersalah atau berdosa atas perbuatannya yang mengakibatkan masyarakat mudah terprovokasi, diadudomba, dirampas hak-hak dan kemerde-kaannya, dan terkesan sengaja membiarkan konflik berlang-sung tanpa ada upaya serius menghentikannya. Kebijakan yang salah urus telah mencampakkan warga masyarakat ke dalam jurang pertikaian dan konflik yang menelan korban tidak sedikit, kerugian harta atau materi, kehilangan sanak keluarga dan anggota keluarga, dan lainnya.

Salah satu Pihak LSM pemuda Merah Putih (kamp 320 Cam) Fuad Duwila, SH dkk dalam perannya dan pokok-pokok pikirannya dalam melihat dampak sosial yang ditimbulkan dr Pilgub Maluku Utara (Pada tanggal 25 maret 09. pkl 09.00-12.30 di bass camnya jati kecil) mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi beberapa tahun lalu masih menyisakan sejumlah persoalan sosial, kecemburuan sosial, potensi konflik, ketakutan, ancaman, intimidasi, permainan elit politik dan per-tarungan konflik kepentingan yang menyengsarakan masya-rakat. Konflik semakin meluas dan tak terkendali karena kelalaian aparat keamanan sangat lambat bertindak bahkan disinyalir ada sejumlah oknum aparat terlibat membela salah satu kelompok, bukan memberikan perlindungan bagi warga yang terancam jiwanya.

Kejadian masa lalu cukup sudah menjadi pengalaman berharga dan untuk itu pihaknya berusaha agar kejadian konflik itu tidak terulang kembali. Pihaknya sudah berkoordinasi dan bekerjasama dengan aparat keamanan untuk memberikan

Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung 101 perlindungan keamanan sebaik-baiknya kepada masyarakat termasuk jaminan perlindungan keamanan bagi pengungsi, kelompok minoritas dan elemen-elemen masyarakat lainnya yang membutuhkan perlindungan keamanan. Mesikpun demi-kian, pihaknya juga terkadang tidak menduga akan terjadi suatu konflik karena muncul atau terjadi secara tiba-tiba, namun syukur beberapa tahun terakhir masyarakat sudah semakin dewasa dan tidak mudah terpancing oleh isu-isu yang menyesatkan atau tidak benar sehingga dapat dihindarkan terjadinya benturan dan bentrokan atau konflik.

Beberapa pemerhati masalah konflik sosial di Maluku Utara mengungkapkan bahwa potensi konflik masih sangat besar dan sewaktu-waktu bisa meledak kembali jika pemicunya cukup kuat dan aparat keamanan bersikap lalai dan lemah dalam memberikan perlindungan keamanan. Rasa aman, tentram dan damai bagi sebagian besar masyarakat di Maluku Utara masih dipertanyakan karena masih sering ada isu-isu terror yang dialami, sedangkan darurat sipil yang pernah diberlakukan juga bukan jaminan bagi terulangnya konflik. b. Masyarakat membutuhkan jaminan perlindungan

keamanan pasca konflik

Peristiwa konflik yang terjadi selama bertahun-tahun dengan sejumlah kenangan dan pengalaman pahit getir, mimpi buruk serta situasi traumatis banyak dialami warga masyarakat. Kehilangan suami dan anak, orang tua, sana keluarga, teman; kehilangan mata pencaharian, kehilangan tempat tinggal serta kerugian materi yang tidak sedikit, perasaan frustrasi, kondisi tertekan, tidak punya masa depan, dan lainnya kesemuanya itu membutuhkan jaminan kepastian keamanan.

Jaminan kepastian akan perlindungan keamanan pasca konflik merupakan sesuatu hal yang urgen, kebutuhan mendasar (need basic) yang tidak bisa ditawar lagi. Untuk itu,

102 Bahtera Pemilukada – Konflik Tak Berujung Pemerintah dan perangkatnya serta alat keamanan negara berkewajiban memberikan kepastian perlindungan keamanan agar warga masyarakat merasakan suatu sandaran dalam menemukan jati diri mereka, mengelola kembali potensi sosial-nya dengan baik.

Menurut Polda Maluku Utara perlindungan keamanan bagi warga masyarakat sudah merupakan kewajiban institu-sinya dan tidak ada tawar menawar untuk menangkap pelaku kerusuhan atau pembuat onar. Pihaknya secara intensif melakukan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai elemen masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuka agama dan pihak-pihak terkait guna mengantisipasi adanya isu-isu

Dalam dokumen Bahtera pemilukada Konflik tak berujung (Halaman 87-102)