• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Pustaka

2.2.2 Film Sebagai Komunikasi Massa

2.2.2.2 Genre Film

Universitas Sumatera Utara

lazimnya dipertunjukkan di bioskop dan didistribusikan sebagai barang dagangan yang diperuntukkan untuk publik dimana pun mereka berada.

2.2.2.2 Genre Film

Himawan Pratista dalam bukunya yang berjudul “Memahami Film” (Pratista: 2008) mengatakan bahwa selain jenisnya, film juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi film. Klasifikasi film yang paling banyak dikenal adalah klasifikasi berdasarkan genre film. Istilah genre berasal dari bahasa Prancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”. Di dalam film, genre diartika sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama seperti setting, isi, dan subjek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter. Fungsi utama dari genre adalah untuk membantu kita memilah-milah atau mengklasifikasikan film-film yang ada sehingga lebih memudahkan untuk mengenalinya.

Genre-genre pokok dalam film antara lain : 1. Aksi 2. Drama 3. Epik Sejarah 4. Fantasi 5. Fiksi Ilmiah 6. Horor 7. Komedi

8. Kriminal dan Gangster 9. Musikal

10.Petualangan 11.Perang 12.Western

Film The Interview yang menceritakan rencana pembunuhan pemimpin tertinggi dari negara Korea Utara Kim Jong Un, termasuk dalam kategori genre drama komedi. Meskipun tema yang diangkat adalah “pembunuhan”, tapi tingkah laku dan karakter, situasi, isi serta peristiwa dalam film ini dikemas dengan gaya

Universitas Sumatera Utara

yang lucu dan tidak menegangkan, sebagaimana film-film yang bercerita tentang pembunuhan pada umumnya.

2.2.3 Dramaturgi

Dramaturgi merupakan suatu seni atau teknik dari komposisi dramatis dan representasi teatrikal, dalam persektif ini, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukkan teater atau drama diatas panggung. Dramaturgi memiliki kepentingan utama untuk mendeskripsikan kehidupan sosial sehari-hari sebagai drama dan memahami bagaimana individu berusaha memenuhi kebutuhan sosial psikologis dibawah kondisi tersebut. Karena manusia merupakan aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukkan dramanya sendiri.

Erving Goffman melalui bukunya The Presentation of Self in Everyday Life yang diterbitkan pada tahun 1959, secara rinci memberikan penjelasan dan analisis terhadap proses dan makna dalam interaksi. Erving Goffman mengeksplorasi rincian identitas individu, hubungan antar kelompok, dampak lingkungan, serta gerakan dan makna informasi yang bersifat interaksi. Erving Goffman memulai proyeknya dari pengembangan karya-karya sosiolog Prancis Emile Durkheim, yang ditetapkan untuk mengungkapkan tatanan moral yang ada dalam masyarakat. Komunikasi menjadi tema sentral dalam kajian sosiologinya yang pada akhirnya ia menganalisis interaksi sosial, ritus dan kesopanan, pembicaraan dan semua hal yang menjalin hubungan sehari-hari. Interaksi dianggap sebagai dasar kebudayaan dimana di dalamnya memiliki norma, mekanisme dan regulasi. Ritual-ritual interaksi dianggap sebagai ajang untuk menegaskan adanya tatanan moral dan sosial, sehingga dalam suatu pertemuan diri sang aktor berusaha untuk memunculkan tatanan citra yang ditentukan oleh dirinya sendiri berupa wajah atau nilai sosial positif yang dituntut seseorang melalui jalur tindakan jika ditarik pada kerangka interaksionisme simbolik bagaimana memunculkan diri subjek yang positif (Umiarso & Elbadiansyah, 2014: 247).

Universitas Sumatera Utara

Karya-karya Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh George Herbert Mead yang memfokuskan pandangannya pada The Self. Bagi Mead, The Self lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. The Self juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya didalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya. Aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon terhadap tindakan tersebut. The Self bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variabel-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan The Self (Surip, 2011: 131).

Konsep diri Erving Goffman tidak lepas dari pandangan atau konsep yang dilontarkan oleh Charles Horton Cooley yaitu “the looking glass self”. Konsekuensinya diri sang aktor mampu untuk menampilkan suatu pertunjukkan bagi orang lain tetapi kesan pelaku terutama diri sang aktor lain terhadap pertunjukkan tersebut dapat berbeda-beda. Oleh sebab itu, diri sang aktor akan mampu untuk bertindak atau menampilkan sesuatu yang diperlihatkannya, tapi belum tentu perilaku diri sang aktor pada konteks waktu tertentu atau sehari-hari tidak sama seperti ketika diperlihatkan pada waktu lalu. Hal ini tidak terlepas dari pengelolaan kesan sebagai suatu cara yang dilakukan diri sang aktor yang ingin menyajikan gambaran diri yang akan diterima sang aktor lain. Dalam proses ini diri sang aktor yang membuat pernyataan dapat memanipulasi pernyataan yang diberikan maupun pernyataan lepas. Sang aktor berusaha untuk mengendalikan perilaku sang aktor lain dengan jalan memberikan pernyataan yang dapat menghasilkan kesan yang diinginkan (Umiarso & Elbadiansyah, 2014: 257).

Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukan. Kenneth Burke mengatakan bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif dan impresif aktivitas manusia. Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme. Burke memberikan

Universitas Sumatera Utara

pengertian yang berbeda antara gerakan dan aksi. Aksi terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Seseorang dapat berkata-kata atau berbicara tentang ucapan-ucapan, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Karena adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerjasama dalam aksi-aksi mereka maka bahasapun membentuk perilaku.

Konsep yang digunakan oleh Goffman yang berasal dari gagasan Burke sering disebut dengan konsep “peran sosial” yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah ekspektasi yang didefenisikan secara sosial yang dimainkan seseorang dalam suatu situasi untuk memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang aktor berperilaku tergantung pada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu ganbaran diri yang akan diterima oleh orang lain. Ia menyebut itu dengan istilah pengelolaan kesan, yaitu teknik-teknik yang digunakan oleh aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu (Surip, 2011: 136).

Kontribusi Erving Goffman yang juga memiliki pengaruh adalah tentang stigma. Dalam bukunya “stigma: notes on the management of spoiled identity” dimana ia mencoba utnuk meneliti bagaimana diri sang aktor mengelola penampilan diri mereka sendiri. Terlebih ketika penampilan mereka tidak sesuai dengan standart yang disetujui dalam perilaku atau penampilan yang semestinya, maka mereka mencoba untuk melindungi identitas mereka tersebut dengan cara mengelola penampilan dirinya. Perlindungan ini terutama dilakukan melalui penyembunyian penampilan yang tidak sesuai tersebut dengan mengelola penampilannya kembali. Stigma mengacu pada perasaan rendah diri atau perasaan malu bahwa seseorang mungkin merasa gagal untuk memenuhi standar orang lain, sehingga meyebabkan mereka untuk tidak mengungkapkan kesalahan mereka.

Dalam memperkenalkan konsep stigma, Erving Goffman mengidentifikasi tiga jenis stigma yaitu, stigma sifat karakter, stigma fisik, dan stigma identitas kelompok. Stigma sifat karakter merupakan cacat karakter yang melekat pada diri individu yang dianggap lemah, dominan, atau ambisi yang wajar, keyakinan yang

Universitas Sumatera Utara

berbahaya dan kaku dan ketidakjujuran. Stigma fisik mengacu pada kelainan tubuh sang aktor. Stigma identitas kelompok merupakan stigma yang berasal dari ras mahkluk tertentu, ras, bangsa dan agama dan sebagainya. Stigma ini ditransimisikan melalui garis keturunan dan mencemari semua anggota keluarga (Umiarso & Elbadiansyah, 2014: 254).

Semua diri sang aktor terlibat dalam proses manajemen kesan karena mereka semua memprioritaskan memunculkan kesan yang baik pada orang lain. Dengan demikian dramaturgi merupakan suatu perspektif sosiologis yang mendekripsikan tentang diri sang aktor yang secara aktif mencoba utnuk membentuk persepsi orang lain dari mereka dengan menghadirkan diri dengan cara memunculkan penampilan atau citra terbaik yang akan membantu mereka mencapai tujuan tersebut. Diri sang aktor akan bertindak berbeda didepan orang yang berbeda dan dalam lingkungan yang berbeda pula untuk membentuk penampilan citra yang terbaik sebagaimana mereka merasakan.