• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Pustaka

2.2.5 Media Massa dan Konstruksi Sosial

Universitas Sumatera Utara

3. Panning

Jika ingin menunjukkan deretan pasukan yang sedang berbaris atau objek lain yang berderet, seorang juru kamera akan menggunakan teknik panning, yakni menggerakkan kamera mengikuti urutan objek baik dari kanan ke kiri yang disebut pan left, sedangkan gerakan kamera dari kiri ke kanan pan right (Baksin, 2006: 131).

2.2.5 Media Massa dan Konstruksi Sosial

Realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial dari proses komunikasi tertentu. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality : A Tertise in The Sosiological of Knowladge tahun 1996. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisas. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).

Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehinggakonstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang dikonstruksi juga membentuk opini massa, massa yang cenderung aprori dan opini massa yang cenderung sinis (Bungin, 2008: 203). Tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa terjadi melalui:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi, ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: kebepihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu pada masyarakat, dan keberpihakan kepada kepentingan umum. 2. Tahap ebaran konstruksi, prinsip dasar dari sebaran konsruksi sosial media

massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang penting bagi media, penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

Universitas Sumatera Utara

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui konstruki realitas pembenaran, kesediaan dikonstruksi oleh media massa, dan sebagai pilhan konsumtif.

4. Tahap konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberikan argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi (Bungin, 2008: 188).

Pada kenyataannya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna manakala realitas itu dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksikan realitas sosial itu dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.

2.2.6 Citra

Informasi adalah segala sesuatu yang mengurangi ketidakpastian atau mengurangi jumlah kemungkinan alternatif dalam situasi. Citra menunjukkan keseluruhan informasi tentang dunia yang telah diolah, diorganisasikan dan disimpan oleh individu. Citra adalah peta kita tentang dunia. Tanpa citra kita akan selalu berada dalam suasana tak pasti. Frank Jefkins, dalam bukunya Public Relation Technique, menyimpulkan bahwa secara umum citra diartikan sebagai kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalaman. Jefkins mengatakan bahwa citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertian seseorang tentang fakta-fakta dan atau kenyataan. Sementara Jalaluddin Rakhmat mengatakan dalam bukunya Psikologi Komunikasi bahwa citra itu adalah penggambaran tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas, citra itu adalah dunia menurut persepsi.

Untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu objek dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Salomon dalam Rakhmat menyatakan semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, pada informasi dan pengetahuan

Universitas Sumatera Utara

yang kita miliki. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang (Soemirat, 2004: 114).

Salah satu sarana yang digunakan untuk memperoleh informasi adalah media massa. Lazarsfeld dan Merton menjelaskan fungsi media dalam memberikan status. Karena namanya, gambarnya atau kegiatannya dimuat oleh media, maka orang, organisasi, atau lembaga mendadak mendapat reputasi yang tinggi. Dalam hal ini dikenal dengan names makes news. Sebaliknya dalam kaitannya dengan citra yang sekarang adalah news makes name. Artinya orang yang tidak terkenal mendadak melejit namanya karena ia diungkapkan secara besar-besaran dalam media massa. Bahkan orang yang terkenal perlahan-lahan akan dilupakan orang karena tidak pernah diliput oleh media.

George Gerbner (1969) mengatakan media massa menyebabkan munculnya kepercayaan tertentu mengenai realitas yang dimiliki bersama oleh konsumen media massa. Menurutnya, sebagian besar yang kita ketahui atau apa yang kita pikir kita tahu, tidak kita alami sendiri. Kita mengetahuinya karena ada berbagai cerita yang kita lihat dan kita dengar. Dengan kata lain kita memahami realitas melalui perantaraan media massa sehingga realitas yang kita terima adalah realitas yang diperantarai atau mediated reality (Morisan, 2010: 252).

Berger dan Luckman dalam Subiakto (1997: 93) mengatakan bahwa realitas sosial terdiri dari tiga macam yaitu realitas subjektif, realitas objektif dan realitas simbolik. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sementara itu realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi (Bungin, 2008: 5).

Realitas yang disampaikan oleh media massa adalah realitas yang sudah diseleksi, yang disebut realitas tangan kedua (second hand reality). Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu dan mengeyampingkan tokoh-tokoh lain. Surat

Universitas Sumatera Utara

kabar melalui proses yang disebut gate keeping menapis berbagai berita dan memuat berita tentang darah dan dada daripada tentang keteladanan dan kesuksesan. Dikarenakan khalayak tidak dapat dan tidak sempat untuk mengecek apa yang disampaikan oleh media massa, maka khalayak cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan apa yang dilaporkan oleh media massa. Sehingga pada akhirnya khalayak membentuk citra tentang lingkungan sosial berdasarkan realitas kedua yang disampaikan oleh media massa (Riswandi, 2013: 114).

George Gerbner meyakini media massa memiliki kekuatan yang berasal dari pesan simbolik drama kehidupan nyata. Kata simbolik menunjukkan bahwa pesan yang disampaikan media hanya bersifat simbolik dan bukan senyatanya. Media dalam hal ini TV merupakan institusi penyampai cerita yang menyampaikan satu gambaran mengenai apa yang ada, apa yang penting, apa yang berhubungan dengan apa serta apa yang benar (Morissan, 2010: 253).

Media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu media massa mempengaruhi citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias dan tidak cermat. Oleh karena itu terjadilah stereotype. Streotype adalah gambaran umum tentang individu, kelompok, porfesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah bersifat klise dan seringkali timpang serta tidak benar. Beberapa ahli memandang komunikasi massa sebagai ancaman terhadap nilai dan dehumanisasi manusia. Media massa bukan saja menyajikan realitas kedua tapi karena distorsi media massa juga menipu manusia dan memberikan citra dunia yang keliru. Dalam hal ini C. Wright Mills menyebutnya sebagai pseudoworld yang tidak sesuai dengan perkembangan manusia.

Bagi kritikus sosial, media massa sering menampilkan lingkungan sosial yang tidak sebenarnya. Dengan cara itu media massa membentuk citra khalayaknya ke arah yang dikehendaki media. Selain berperan membentuk citra, media massa juga berperan dalam mempertahankan citra yang sudah dimiliki oleh khalayaknya. Reflective-projective theory beranggapan bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang mencerminkan suatu citra yang ambigu, artinya

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan tafsir yang macam-macam sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya. Media massa mencerminkan citra khalayak dan khalayak memproyeksikan citranya pada penyajian media massa (Riswandi, 2013: 115).

Menurut Klapper media bukan saja mempertahankan citra khalayak media lebih cenderung mempertahankan status quo ketimbang perubahan. Roberts menganggap kecenderungan timbul karena ada hal sebagai berikut:

1. Reporter dan editor memandang dan menafsirkan dunia sesuai dengan citranya tentang realitas seeprti kepercayaan dan nilai dan norma.

2. Karena citra itu disesuaikan dengan norma yang ada maka ia cenderung untuk melihat atau mengabaikan alternatif lain untuk mempersepsi dunia.

3. Wartawan selalu memberikan respon pada tekanan halus yang merupakan kebijaksanaan pemimpin media.

4. Media massa sendiri cenderung menghindari hal-hal yang kontrovesial karena kuatir hal-hal tersebut akan menurunkan jumlah khalayak.

Media massa mengubah citra khalayak tentang lingkungannya, media massa memberikan perincian, serta analisis dan tinjauan mendalam tentang berbagai peristiwa. Penjelasan itu tidak mengubah tetapi menjernihkan citra kita tentang lingkungan. Oleh karena itu kita dapat menentukan mana yang penting dan mana yang tidak penting (Riswandi, 2013: 117).

Universitas Sumatera Utara 2.3 Model Teoritik

Bagan Model Teoritik Penelitian Dramaturgi Citra Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un Dalam Film The Interview

Objek Penelitian Gambar hasil screen shoot dari

scene atau adegan film The Interview

Dramaturgi Erving Goffman 1. Panggung Depan

2. Panggung Belakang

Citra Pemimpin Korea Utara “Kim Jong Un”

1 Universitas Sumatera Utara