• Tidak ada hasil yang ditemukan

Globalisasi, dinamika kerjasama investasi dan perdagangan

Dalam dokumen DOKUMEN PENDUKUNG KONSEP STRATEGI INDUK (Halaman 49-51)

Perubahan Iklim dan Pertanian Indonesia

2. Globalisasi, dinamika kerjasama investasi dan perdagangan

Untuk mendukung pertumbuhan output sektor pertanian, FAO memperkirakan negara berkembang hingga tahun 2050, membutuhkan rata-rata investasi netto tahunan sebesar US$ 83 miliar. Dari nilai tersebut, sejumlah US$ 20 miliar diperlukan

untuk pengembangan produksi tanaman, US$ 13 miliar untuk pengembangan peternakan, dan sisanya sebesar US$ 50 miliar untuk dukungan sektor hilir seperti fasilitas penyimpanan, dan pengolahan tahap pertama. Kebutuhan investasi ini belum termasuk penyediaan fasilitas publik pendukung seperti jalan, irigasi, listrik dan lain-lain.

Berdasarkan data di atas, diperlukan kerjasama antar negara terkait dengan investasi dan perdagangan global, termasuk di sektor pertanian. Hal itu diperlukan dalam rangka mempermudah mobilisasi barang dan modal untuk mendukung peningkatan output pertanian, dan mencegah terjadinya kerawanan pangan.

Semenjak berakhirnya Perang Dunia II dimulailah era perdagangan bebas dalam rangka memulihkan perekonomian pasca perang dan mengantisipasi proteksionisme. Hal ini ditandai dengan terbentuknya GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun 1948 di Jenewa, Swiss. GATT yang awalnya didirikan oleh 23 negara diharapkan menjadi wadah perundingan perdagangan dalam rangka mengupayakan penyelesaian hambatan perdagangan dan terciptanya liberalisasi perdagangan.

Sistem perdagangan dunia berjalan semakin kompleks yang tidak hanya terbatas pada perdagangan barang, pada sisi lain GATT bukanlah organisasi melainkan hanya suatu perjanjian, hal ini mendorong terbentuknya organisasi yang lebih terstruktur yaitu World Trade Organization (WTO) pada 1 Januari 1995. Selain untuk menggantikan GATT, WTO juga memayungi perjanjian baru yang dicapai dalam putaran Uruguay yaitu kesepakatan di bidang perdagangan barang (General Agreement on Tariff and Trade/GATT), kesepakatan di bidang perdagangan jasa (General Agreement on Trade and Services/GATS), kesepakatan di bidang hak kekayaan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/TRIPs) serta penyelesaian sengketa (Dispute Settlements).

Dalam kerangka WTO, sistem perdagangan multilateral didasarkan atas prinsip (a) tanpa diskriminasi, yaitu suatu negara tidak boleh melakukan diskriminasi diantara mitra dagangnya dan harus memberi perlakuan yang sama (most-favoured-nation atau MFN), serta perlakuan yang sama atas produk impor dan lokal (national treatment); (b) perdagangan yang bebas, dimana hambatan dikurangi melalui negosiasi; (c) sistem yang dapat diprediksi: perusahaan, investor dan pemerintah asing harus diyakinkan bahwa hambatan perdagangan, termasuk tarif dan hambatan non-tarif tidak boleh dinaikkan secara semena-mena; (d) lebih kompetitif dengan mencegah praktik perdagangan yang tidak adil seperti subsidi ekspor dan dumping untuk memperluas pangsa pasar; dan (e) lebih bermanfaat bagi negara berkembang, dengan memberikan lebih banyak waktu untuk melakukan penyesuaian, fleksibilitas yang lebih besar, dan hak-hak istimewa.

Dalam perjalanannya, sejak Putaran Uruguay hingga Putaran Doha, yang difokuskan pada penurunan tarif dari produk pertanian serta liberalisasi perdagangan di bidang jasa, selalu mengalami jalan buntu. Hambatan terbesar masih di sektor pertanian, terkait dengan besaran pengurangan subsidi termasuk penerapan tarif yang adil. Sebagian kalangan beranggapan bahwa sektor pertanian tidak dapat diperlakukan sama dengan sektor manufaktur karena sektor pertanian merupakan sektor yang multifungsi dan melibatkan banyak kepentingan publik (Moon, 2011). Kegagalan dari Putaran Doha dan perkembangan krisis keuangan dan pangan yang terjadi saat ini menimbulkan kekhawatiran baru timbulnya kembali kebijakan proteksionisme.

Kebuntuan perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka WTO dan pergeseran lansekap perekonomian ini mendorong munculnya kerjasama ekonomi di tingkat bilateral maupun kerjasama di tingkat kawasan regional. Keadaan ini membentuk struktur perdagangan dan blok perdagangan baru, seperti ASEAN

Free Trade Area (AFTA). Dalam perkembangan selanjutnya, ASEAN telah memperluas kerjasama ekonomi dengan negara mitra antara

lain ASEAN plus three (ASEAN dengan Jepang, China dan Korea

Selatan). Beberapa kesepakatan dalam perdagangan wilayah seperti ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) mempengaruhi pola investasi dan perdagangan antar negara yang tergabung dalam perjanjian kerjasama ini.

Sejalan dengan pengurangan hambatan perdagangan dalam bentuk tarif, mekanisme standardisasi, regulasi teknis dan penilaian kesesuaian menjadi aspek yang dominan terkait dengan perdagangan internasional. Berbagai ketentuan perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT) dan perjanjian Sanitary and Phyto-Sanitary (SPS) merupakan bagian tak terpisahkan dari beberapa perjanjian yang ada dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) – WTO.

Pola hubungan antar negara selain dipengaruhi berbagai kesepakatan dan perjanjian sebagaimana disebutkan di atas, revolusi teknologi informasi dan transportasi telah menisbikan sekat-sekat antar negara. Kondisi ini menyebabkan pergerakan masyarakat dan informasi berjalan semakin cepat, dan ini mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, termasuk dalam kegiatan pertanian. Berbagai informasi tentang inovasi pertanian sudah semakin mudah diperoleh, demikian juga pola transaksi hasil pertanian semakin terbuka dan mudah diikuti. Dalam kondisi semacam ini akan semakin sulit bagi suatu negara untuk memproteksi masyarakatnya dari serbuan produk dari negara lain, sehingga upaya ke arah pengembangan produksi yang efisien perlu terus dikembangkan, jika tidak ingin menjadi pasar produk dari berbagai negara.

Implikasinya Bagi Indonesia

Pengembangan sektor pertanian yang bersandar pada pengelolaan sumberdaya alam saat ini dihadapkan dengan berbagai macam regulasi yang terkait dengan lingkungan. Tantangan untuk

memenuhi regulasi ini akan semakin berat dihadapi oleh produsen di negara berkembang dengan skala usaha kecil (smallholder) dan tingkat pendidikan yang rendah. Ke depan para pelaku sektor pertanian Indonesia harus dapat membenahi diri untuk memenuhi segala ketentuan dan regulasi teknis tersebut. Termasuk didalamnya adalah mendapatkan berbagai macam bentuk sertifikasi, sebagai bukti pemenuhan kesesuaian.

Liberalisasi perdagangan berdampak pada struktur perdagangan dan pembentukan blok perdagangan secara regional dan bilateral. Kecenderungan ini perlu diantisipasi dengan baik, sehingga ketika blok perdagangan ini disepakati, Indonesia sudah berada dalam kondisi siap dan dapat memanfaatkannya untuk kepentingan Indonesia. Contoh konkret adalah bagaimana kesepakatan ASEAN dan China dalam perdagangan mempengaruhi pola perdagangan produk pertanian Indonesia, dan dalam banyak kasus Indonesia terkesan tidak siap, sehingga banyak dirugikan. Kasus pada perdagangan produk hortikultura dapat menjadi pembelajaran. Hal lain yang perlu diantisipasi adalah bagaimana kita membangun kapasitas, sehingga keleluasaan dan independensi dalam pengambilan kebijakan dapat semakin tinggi.

Dalam dokumen DOKUMEN PENDUKUNG KONSEP STRATEGI INDUK (Halaman 49-51)