• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesejahteraan Petan

Dalam dokumen DOKUMEN PENDUKUNG KONSEP STRATEGI INDUK (Halaman 35-37)

Mengingat adanya gap yang masih cukup besar antara pangsa (share) sektor pertanian terhadap PDB yang semakin menurun dan masih besarnya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, maka harus ada upaya secara gradual untuk menurunkan pangsa tenaga kerja di sektor pertanian. Upaya ini dapat dilakukan melalui peningkatan

aktivitas off-farm, yaitu melalui pengembangan agro-industri hulu

dan hilir yang melibatkan secara langsung petani dan masyarakat perdesaan.

Dengan menurunnya pangsa tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian maka diharapkan terjadi peningkatan produktivitas sektor pertanian, yang selanjutnya akan menurunkan jumlah petani yang hidup dalam kemiskinan absolut. Kondisi seperti ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat perdesaan dari waktu ke waktu, dan pada akhirnya akan memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif sama dengan sektor industri dan jasa lainnya. Upaya pengurangan kemiskinan di perdesaan dan rumah tangga pertanian ini ditandai meningkatnya pendapatan rumah tangga petani dan pendidikan bagi anak- anaknya serta terbebasnya petani dari kemiskinan absolut.

Tahun 2010-2045 adalah kurun waktu penting bagi petani-nelayan dan pertanian Indonesia. Sejak tahun 2000 sampai hari ini ketika terjadi peningkatan produksi dan produktivitas petani-nelayan, ternyata tidak segera diikuti dengan pendapatan dan kesejahteraannya. Disparitas pendapatan antara buruh tani dan petani-nelayan dengan pemilik modal dan kelompok yang berada di hulu, hilir dan penunjang dalam sistem usaha agribisnis makin melebar. Sementara itu harga pangan dan hasil olahan pertanian makin meningkat, jauh meninggalkan produk primernya. Selain itu kesenjangan antara buruh tani, petani

dan pemilik lahan juga makin lebar khususnya di sektor perkebunan. Kecenderungan ini cepat atau lambat akan menimbulkan distorsi dalam produksi pangan dan hasil pertanian.

Dalam jangka pendek, kesenjangan pendapatan antara buruh tani, petani dan kelompok yang di luar sistem on-farm akan menyebabkan kuantitas dan juga kualitas produksi turun sementara itu harganya naik. Dalam jangka menengah petani akan malas berproduksi sehingga produksi akan turun dalam kurun waktu lama dan sulit ditingkatkan. Dalam jangka panjang kualitas petani akan makin buruk, produksi sulit ditingkatkan dan akan terjadi ketergantungan pasokan dari impor. Jika dibiarkan maka ketahanan pangan menurun drastis, ketergantungan pangan terjadi dan kedaulatan pangan terancam. Pada dasarnya tidak akan ada kesinambungan produksi pangan dan pertanian tanpa kesejahteraan petani dan nelayan. Karena itu pemberdayaan petani-nelayan dan perlindungan usahatani menjadi sangat penting dan mendesak.

Proteksi dan promosi untuk kesejahteraan petani-nelayan sudah saatnya dibuat serta dilaksanakan karena kebijakan pangan- pertanian Indonesia sedang di persimpangan jalan. Pemerintahan Orde Reformasi (1998-sekarang) berusaha meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian dan pangan tetapi ternyata kesejahteraan petani dan nelayan makin tertinggal. Sepuluh tahun terakhir masa Orde Baru (1988-1998) hingga sejak reformasi sampai hari ini (1998-2011), Indonesia telah melupakan jasa (hasil kerja) dan jerih payah petani-nelayan menjaga produksi dan produktivitas pangan dan pertanian.

Kebijakan proteksi dan promosi petani untuk menunjang

keberhasilan on-farm (kelebihan produksi petani) tidak segera

dibuat. Kebijakan off farm hulu (perbenihan, agrokimia, alat- mesin pertanian) untuk meningkatkan produktivitas petani- nelayan terlambat dibuat dan dilaksanakan. Kebijakan off farm hilir (infrastruktur, pasca panen, penyimpanan, pengemasan,

industrialisasi, pemasaran antar wilayah dan ekspor-internasional, pembiayaan penunjang) supaya ada nilai tambah hasil pangan dan pertanian terlepas dari kepentingan langsung petani-nelayan. Hal ini menyebabkan produktivitas petani-nelayan sulit dipacu dan pendapatan petani-nelayan tidak sebanding dengan pengeluaran mereka (nilai tukar tetap-turun).

Akibat keterlambatan kebijakan yang menghubungkan antara kepentingan petani-nelayan yang lebih banyak berada di sisi on-farm, maka terjadi disintegrasi antara on-farm dan off farm. Resiko kerugian (on-farm) akibat gagal panen-tangkap (nelayan) dan kelebihan produksi (harga jatuh) harus ditanggung sendiri oleh petani-nelayan dan keluarganya. Petani-nelayan menikmati juga sedikit keuntungan di hulu dan hilir tetapi distribusinya seringkali terlambat. Terjadi ketimpangan distribusi kemakmuran antara petani-nelayan dan yang menikmati hasil pertanian-perikanan. Tetesan ke bawah (tricle- down) yang diharapkan terjadi secara alamiah ternyata sulit dirasakan petani-nelayan dan keluarganya.

Keterlambatan integrasi kebijakan di hulu, on-farm dan hilir juga berakibat pada penurunan pendapatan dan kesejahteraan petani-nelayan. Kesenjangan sosial dan ekonomi antara petani- nelayan yang lebih banyak di sisi on-farm (tangkap, tambak) dan sektor pertanian-perikanan hulu-hilir serta sektor penunjangnya (perbankan, asuransi, hukum, informasi, pendidikan) makin lebar. Jika tidak segera diatasi maka akan terjadi penurunan nilai tukar, kemerosotan kualitas hidup petani-nelayan dan penurunan produktivitas mereka. Akibat selanjutnya ketergantungan hasil pangan dari negara lain akan makin tinggi. Jika tidak segera diatasi, Indonesia bisa benar-benar terperangkap pada jebakan pangan (food trap) yang dibuatnya sendiri.

Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan keragaan kesejahteraan penduduk antara lain adalah dengan mencermati perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita

dan Nilai Tukar Petani (NTP). Namun demikian pencapaian tingkat kesejahteraan juga dapat dicermati dari sisi ketidaktepatan atau belum tercapainya sasaran seperti yang diharapkan. Hal ini bisa dilihat dari jumlah dan proporsi penduduk miskin (tingkat kemiskinan), tingkat pengangguran, dan ketimpangan distribusi pendapatan.

Secara makro, kesejahteraan penduduk dilihat dari besaran PDB per kapita dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan. Hal yang berbeda apabila dilihat dari indikator nilai tukar petani (NTP). Walaupun NTP tidak sepenuhnya menggambarkan tingkat kesejahteraan petani, namun sebagai indikasi daya beli petani menunjukkan adanya kecenderungan penurunan. Dengan kata lain, meningkatkan kesejahteraan penduduk secara makro, belum menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan di tingkat petani.

Gambaran tentang ketimpangan distribusi pendapatan dilihat dari indeks Gini Ratio boleh dikatakan relatif tetap, bahkan ada sedikit peningkatan kesenjangan yang ditunjukkan oleh nilai indeks Gini yang sedikit meningkat. Dengan kata lain pembangunan ekonomi termasuk pembangunan pertanian di dalamnya, belum mampu memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan secara signifikan, bahkan ada kecenderungan makin memburuk.

Searah dengan keragaan makro terjadinya peningkatan kesejahteraan penduduk ditunjukkan pula oleh terjadinya penurunan kemiskinan baik secara jumlah (absolute) maupun persentase. Namun demikian, walau secara jumlah maupun persentase jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah tersebut masih cukup besar (sekitar 30 juta orang) pada tahun 2011. Penurunan kemiskinan searah dengan terjadinya penurunan jumlah pengangguran. Turunnya jumlah penganngguran berarti pula terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja dengan kata lain terjadi peningkatan kesempatan kerja. Meningkatnya kesempatan kerja secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan

pendapatan penduduk yang berarti terjadi penurunan kemiskinan atau jumlah penduduk yang miskin.

Dari beberapa indikator kesejahteraan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan akhir pembangunan khususnya pembangunan pertanian yaitu peningkatan kesejahteraan petani (termasuk nelayan) belum sepenuhnya tercapai, ke depan diperlukan kebijakan yang lebih inovatif di bidang pertanian dan pangan dalam rangka pemerataan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam sesuai dengan kondisi alam wilayahnya masing-masing.

Bukti empiris kontribusi pembangunan pertanian dalam perekonomian Indonesia mengungkapkan bahwa suatu pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha serta menyerap tenaga kerja serta mencapai peningkatan devisa negara di Indonesia akan lebih efektif dan strategis melalui pembangunan pertanian yang terintegrasi (agribisnis). Belajar dari pengalaman masa lalu, sudah menjadi suatu kebutuhan dan keharusan untuk merumuskan paradigma baru pembangunan pertanian nasional di masa mendatang. Paradigma ini harus diarahkan terutama untuk dapat secara mendasar dan berkelanjutan meningkatkan pendapatan petani dan kesejahteraan petani, dan seiring dengan itu mampu membangun ketahanan pangan nasional yang kuat dan tangguh serta mampu membawa perekonomian nasional ke tahap industrialisasi modern dalam tahap pembangunan ekonomi yang lebih maju, khususnya di bidang pangan dan pertanian.

Dalam dokumen DOKUMEN PENDUKUNG KONSEP STRATEGI INDUK (Halaman 35-37)