RIWAYAT HIDUP
2. TINJAUAN TEORITIS
2.9 Risalah Teori Pembangunan Ekonomi Wilayah
2.9.2 Globalisasi, Pembangunan Berkesinambungan dan Gagasan tentang Regional Self-Help
Terjadinya kelimpahan modal di pasar uang pada decade 1980-an diikuti dengan guncangan tahun 1987 dan resesi di tahun 1989, telah mengarah pada pergeseran paradigma yang berfokus pada pembangunan yang berkesinambungan. Pada dekade 1980-an dan memasuki dekade awal 1990-an, berbagai peristiwa telah terjadi secara paralel yang kemudian memberikan dampak nyata terhadap pemikiran ekonomi dan evolusi tentang the best practice dalam strategi perencanaan pembangunan wilayah. Ini termasuk dalam globalisasi, pembangunan berkesinambungan dan ekonomi rasionalisme. Pertama kali perlu melihat berbagai kekuatan interaksi bersama dan kemudian melakukan analisis imperatif dari semua pengaruh itu dalam strategi perencanaan pembangunan dan upaya-upaya yang berkaitan (Stimson dan Stough, 2008).
Pertama, bahwa globalisasi terus berlangsung mempunyai dampak utama dalam restrukturisasi perekonomian dari suatu wilayah yang bisa positif maupun merugikan terhadap kinerjanya ataupun kemungkinan di masa depan. Pada awal dekade 1990-an, dampak globalisasi telah mengubah wajah dan lokasi produksi, menyebabkan terjadinya spesilaisasi lanjut ataupun terjadinya klastering (Dicken, 1992 dikutip Stimson dan Stough, 2008). Globalisasi telah menyebabkan
munculnya masyarakat yang bersifat borderless disertai dengan bebasnya arus informasi, dan mobilitas dana antarnegara secara cepat. Adanya transparasi dana yang lebih baik dalam proses bisnis ataupun dalam pemerintahan.
Berbagai perubahan tersebut mereduksi pentingnya nation state dan meningkatnya arah fokus ke berbagai kota maupun wilayah-wilayah utama sebagai pusat dan mesin pertumbuhan. Terutama, beberapa wilayah metropolitan dunia dipandang menjadi fokus dominan dari kekuatan-kekuatan yang mengendalikan pertumbuhan lapangan pekerjaan, investasi, dan distribusi jaringan tempat pasar global yang sedang berlangsung. Dengan berbagai perubahan itu maka muncul fokus baru kepada wilayah ketimbang fokus kepada perekonomian nasional, seperti pemerintah meletakkan penekanan pada kebutuhan akan keahlian dari tenaga kerja (yaitu kualitas buruh) dan penekanan pada technology driven investment. Sebagai tambahan bahwa dengan globalisasi tersebut, korporasi tranasional kemudian melakukan eksploitasi terhadap adanya perbedaan regional yang tercipta, baik oleh karena strategi keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif, seperti kebijakan-kebijakan proteksi dan intervensionist yang ditarik oleh pemerintah (Stimson dan Stough, 2008).
Kedua, adanya berbagai isu yang berhubungan dengan pembangunan berkesinambungan dan kualitas hidup mulai punya pengaruh nyata terhadap pengembangan ekonomi lokal dan kibijakan perencanaan. Tumbuhnya kesadaran akan lingkungan, masalah-masalah sosial, pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan telah mengarahkan kepada integrated strategic planning untuk pengembangan ekonomi pada dekade 1990, seperti Gambar 15 (Stimson dan Stough, 2008).
Selama dekade 1990-an dan memasuki dekade milenium baru, maka mulai muncul clash antara globalisasi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu-isu untuk melakukan pembangunan berkesinambungan dan peningkatan kualitas hidup. Fenomena itu mengarahkan munculnya paradigma baru dalam pemikiran ekonomi, yaitu bagaimana untuk mencapai pembangunan secara berkesinambungan. Untuk mencapai pembangunan berkesinambungan sekarang menghadapi tantangan yang mengerikan (formidable) bagi para pembuat kebijakan ekonomi regional karena mereka harus mencari formula strategi dalam
suatu lingkungan yang baru dan cepat berubah, ketidakmenentuan juga berhubungan dengan pencapain pemeliharaan secara kontinyu, renewable dan berkaitan dengan sistem sosial serta lingkungan yang berkesinambungan pula.
Ketiga, antara dekade 1980-1990-an juga merupakan abad ekonomi rasionalisme dengan penekanan pada kebijakan publik akan korporatisasi dan privatisasi terhadap aset-aset publik dan fungsi-fungsinya. Ideologi neoliberal yang menjadi batu loncatan bagi pengembangan ekonomi wilayah dan strategi perencanaan di berbagai negara difokuskan pada pandangan bahwa kebijakan sentral ataupun nasional harus mencari kondisi fasilitasi yang akan mampu mendorong pengembangan kapasitas dan kapabilitas lokal dalam tiap wilayah dengan mengandalkan pada strategi self-help. Hal itu mewakili pergeseran nyata pada penekanan proses-proses endogenik bagi pertumbuhan dan perkembangan wilayah. Jadi dari dekade 1990-an, peningkatan fokus pada integrated strategic planning sebagai suatu paradigma yang pervasive bagi pengembangan ekonomi telah mengarahkan suatu interest baru dalam klaster-klaster industri dan peranan dari smart and soft infrastructure dalam berbagai proses penyusunan perencanaan dan pengembangan ekonomi wilayah.
Sebagiamana dibahas oleh Stimson et al. (2006) munculnya perhatian kepada keberkesinambungan telah mengarahkan pada evolusi dari suatu paradigm baru untuk memandang pertumbuhan dan pembangunan. Model-model pertumbuhan tradisional didasarkan pada premis-premis lama seperti: (i) tujuan maksimalisasi keuntungan, (ii) produksi masyarakat dan konsumsi yang merupakan sumberdaya intensif dan konsentrasi di pusat-pusat kota besar, (iii) teknologi berbasis energi fosil, (iv) pemusatan skala besar sistem industri, (iv) asumsi bahwa manusia dominan terhadap sumberdaya alam (yang dianggap melimpah dan tak terbatas) maupun terhadap lingkungan (v) maksimalisasi tujuan dari sosial benefit. Namun paradigma pembangunan berkesinambungan yang baru tersebut adalah didasarkan pada premis: (i) tujuan yang viable bagi pertumbuhan jangka panjang yang berkesinambungan, (ii) konservasi sumberdaya dalam proses produksi melalui efisiensi energi, teknologi, dan penyebaran pusat-pusat produksi pada skala yang lebih lokal, (iii) suatu pergeseran ke arah energi alternatif, daur ulang dan konservasi sumberdaya yang dapat habis berpaham bahwa
kebergantungan sumberdya yang dapat habis dan sering tidak dapat digantikan, dan bahwa konservasi merupakan suatu prinsip long term viability.
Jadi perbaikan dalam kinerja regional mungkin tidak perlu didefinisikan ataupun dipandang dalam ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi saja sebagaimana definisi tipikal dalam ukuran pertumbuhan PDB perkapita. Lebih lanjut bahwa tidak ada pertumbuhan tidak sama dengan tidak ada pengembangan. Lebih merupakan pada apa yang dipandang sebagai yang menjadi penting oleh sasaran pembangunan berkesinambungan, walaupun pembangunan yang demikian ini harus meminimalkan biaya (baik itu biaya ekonomi, sosial, maupun biaya lingkungan) dan eksternalitas negatif, serta maksimalisasi manfaat. Ini melangsir isu-isu trade off yang menantang bagi para perencana maupun para pengambil kebijakan (Stimson dan Stough, 2008).