• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persamaan VII Pertumbuhan Ekonom

Alokasi 2 , Hasil Peningkatan Penerimaan Pajak Digunakan:

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Tingkat Kesejahteraan versus Kinerja Lingkungan

5.3.1 Model Perilaku Kinerja Kesejahteraan dan Lingkungan

Menurut Jha dan Murthy (2003) bahwa di negara-negara berkembang yang capaian tingkat kesejahteraannya tergolong medium (HDI berkisar 60-70) proses degradasi lingkungan sebagai dampak dari proses pembangunan masih

akan terus berlangsung. Di sisi lain, dari capaian tingkat kesejahteraannya tersebut, telah terjadi kemerosotan kualitas lingkungan. Terjadi eskalasi degradasi jasa lingkungan tersebut seperti ditunjukkan oleh gejala eskalasi frekuensi: (i) konflik manusia dengan satwa liar di setiap zona penyangga dari setiap kawasan konservasi yang ada di provinsi ini (Nyhus et al, 2004), (ii) frekuensi kekeringan (Sihite, 2004) dan (iii) banjir dari 3,61% menjadi 6,43% dan kelongsoran tanah dari 1,20% menjadi 2,14% dari total desa-desanya untuk semua kabupaten/kota di lingkup provinsi ini dari tahun 2005 sampai 2008 (BPS Provinsi Lampung, 2006a dan 2009a).

Secara deskriptif kinerja tingkat kesejahteraan dan korbanan lingkungan untuk setiap kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Lampung disajikan pada Lampiran Tabel 4 sampai 6). Hasil analisis regresi secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran. Sedangkan hasil dugaan parameter model untuk capain kinerja indek pembangunan manusia ke depan [HDI]t+1; proposi desa di setiap

kabupaten/kota yang dilanda tanah longsor [LSLIDE] maupun yang dilanda banjir [FLOOD] masing-masing diungkapkan dengan Pers.{4.1}, Pers. {4.2} dan Pers.{C} seperti disajikan pada Tabel 20.

Seperti dapat diperiksa pada Pers.{4.1}, bahwa kinerja capaian indeks pembangunan manusia tahun depan [HDI]t+1 hanya dipengaruhi oleh capaian

indek pembangunan manusia tahun berjalan [HDI]t maupun kinerja perkebunan

kopi rakyat [COFF]t. Fenomena ini memberi makna bahwa tingkat kesejahteraan

masyarakat di setiap kabupaten/kota satu tahun ke depan sangat ditentukan oleh tingkat konsumsi di tahun berjalan ini. Demikian pula dengan tingkat kesehatan maupun tingkat pencapaian pengetahuannya.

Adapun kinerja hutan rakyat [HR]t maupun maupun hutan negara [HN]t

tahun berjalan sekalipun memiliki kontribusi positif terhadap kinerja [HDI]t+1,

tetapi kontribusinya tidak nyata. Fenomena ini juga memberikan isyarat bahwa sesuai dengan derajat deforestasi yang sudah sangat akut, maka produk material hasil hutan, baik kayu maupun nir kayu, (yang sifatnya dapat dipanen secara seketika pada tahun berjalan) tidak cukup memberikan kontribusi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setahun ke depan. Namun sangat mungkin dapat diharapkan untuk peningkatan kesejahteraan di tahun-tahun mendatang.

Peranan perkebunan kopi rakyat di tahun berjalan [COFF] yang bersifat positif nyata terhadap capaian kinerja [HDI]t+1 dapat difahami mengingat Provinsi

Lampung yang merupakan eksportir biji kopi urutan ke dua setelah Sumatera Selatan (Ditjen Perkebunan, 2009). Dengan kinerja ekspor tersebut dapat mendorong aktivitas di berbagai sektor lainnya yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara agregat dan akhirnya berperannya nyata terhadap kinerja [HDI]t+1.

Tabel 20. Model Dugaan Kinerja Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tahun Depan

[HDI]t+1, Intensitas Banjir [FLOOD]t dan Longsor [LSLIDE]t di Wilayah

Penelitian

No. Persamaan Bentuk Relasi R2 (adj) P-

value {4.1} Capaian Indeks Pemb.Manu sia Setahun ke Depan [HDI] t+1 = 5,17 + 0,928**[HDI] t + 0,0646[HR] t + 0,00368 [HN] t + 0,00151[LDEG] t +0,00724[SWH] t + 0,0208*[COFF] t - 0,0039[ESTPL] t +0,000001[CH] t + 0,322 [D1_URBAN] 99,5% 0,000 {4.2} Intensitas Kelongsoran Tanah dalam Tahun Berjalan [LSLIDE] t = 2,09 - 0,451^ [HR] t - 0,114[HN] t - 0,0109[LDEG] t - 0,0894** [SWH] t - 0,0548[COFF] t +0,0147[ESTPL] t + 0,00207^[SHIFT] t - 0,0979[FALLOW] t + 0,477[POND] t - 0,0780 [SWAMP] +0,000302 [CH] + 2,08* [D1_URBAN] - 0,391 [D2_VOLC] + 3,40* [D3_PLUT] + 0,084 [D4_HILL] + 3,22* [D5_MOUNT] 95,9% 0,09 {4,3} Intensitas Bencana Banjir dalam Tahun Berjalan [FLOOD] t = 18,1 - 0,218 [HR] t - 0,525*[HN] - 0,0187 [LDEG] - 0,235* [SWH] - 0,300* [COFF] - 0,253*[ESTPL] - 0,0867 [SHIFT] -0,000186 [CH] - 3,46* [D1_URBAN] - 1,09 [D4_HILL] + 7,16 [D5_MOUNT] 99,0% 0,074

Keterangan: ** =sangat nyata pada taraf 1%; * =nyata pada taraf 5%; ^ =nyata pada taraf 10%; Simbol-simbol yang digunakan dalam Tabel 20 ini sama dengan yang digunakan dalam Lampiran Tabel 1

Dari Pers. {4.1}tersebut juga terungkap bahwa peranan luasan sawah [SWH]t. perkebunan besar [ESTPLT]t di tahun berjalan juga tidak berperan nyata

dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat di tahun depan [HDI]t+1. Begitu pula

mengenai status yurisdiksi wilayah [D1_URBAN], yang memberi arti bahwa tidak ada bedanya bagi rata-rata warga masyarakat untuk memperoleh peningkatan kesejahteraannya apakah bertempat tinggal di wilayah yurisdiksi berstatus kota ataupun berstatus kabupaten di lingkup Provinsi Lampung.

Seperti dapat diperiksa pada Pers. {4.2}, bahwa sekalipun belum dapat memberikan kontribusi secara nyata dalam meningkatan kesejahteraan di tahun depannya [HDI]t+1, ternyata kinerja hutan rakyat di tahun berjalan [HR]t dapat

secara sangat nyata mereduksi intensitas bencana kelongsoran tanah pada tahun yang sama [LSLIDE]t. Seperti ditunjukkan oleh koefisien (parameter) yang

dimiliki oleh variabel [HR]t yang bernilai -0,451% memberi makna bahwa bila

faktor-faktor lain dipertahankan tetap, setiap ada penambahan luasan hutan rakyat sebesar 1%, maka akan ada sekitar 0,451% (kali total desa yang ada di setiap kabupaten/kota) yang terbebas dari bencana kelongsoran tanah di tahun berjalan. Adapun peranan hutan negara [HN]t juga demikian terhadap reduksi kelongsoran

tanah sekalipun pengaruhnya belum nyata.

Sekalipun variabel [SWH]t tidak memberikan kontribusi terhadap

[HDI]t+1, tetapi seperti dapat diperiksa dalam Pers.{4.2} juga, bahwa proporsi

sawah di tahun berjalan secara sangat nyata dapat mereduksi intensitas kelongsoran tanah pada tahun yang sama [LSLIDE]t. Tampaknya konstruksi fisik

bangunan sawah yang berteras-teras dapat berfungsi dalam pengaturan aliran permukaan (run off), menahan air secara sementara, dan mengalirkan kelebihan air permukaan melalui saluran-saluran drainase yang telah dibuat untuk menuju ke saluran alami. Perilaku dalam pengaturan aliran air ini sangat ditunjang oleh adanya lapisan bajak yang relatif kedap sehingga perkolasi air kedalam profil tanah juga berlagsung secara teratur, tidak menyebabkan lapisan dalam profil tanah jenuh dengan air yang berarti juga tidak terbentuk bidang luncur dalam proril tanah yang menjadi prasyarat terjadinya kelongsoran tanah.

Dalam Pers. {4.2} juga dapat diperiksa bahwa variabel [D1_URBAN] dapat meningkatkan kelongsoran tanah secara nyata, itu mungkin sekali berkaitan dengan kepadatan populasi per satuan luas areal. Penggerombolan bangunan fisik tampaknya telah memperluas lapisan kedap di satu sisi, membuat kosentrasi aliran permukaan yang dapat juga menerjang bangunan drainase perkotaan utamanya yang terletak di areal yang geomorfiknya agak curam berbukit-bukit kecil (hillockies) seperti di Kota Bandar Lampung.

Bentuk geomorfik Kota Bandar Lampung yang seperti itu terbentuk oleh aktivitas geologi yang kemudian membentuk Sesar Lampung yang relatif peka

terhadap gaya-gaya eksogen seperti kelongsoran tanah. Perilaku ini juga ditunjukan oleh batuan geologik sebagai bahan pembentuk tanah yang berumur tua (seperti batuan beku dalam atau plutonik) yang umumnya juga telah mengalami pelapukan oleh gaya-gaya iklim (weathering) yang sudah lanjut. Oleh karena itu maka variabel [D3_PLUT] juga bersifat nyata terhadap [LSLIDE]t.

dibandingkan dengan yang berbahan induk volkanik [D2_VOLC]. Sementara itu juga dalam Pers.{4.2} tersebut juga terungkap bahwa wilayah yurisdiksi yang berada di atas batuan induk volkanik tidak berbeda nyata terhadap batuan sedimen ataupun lainnya. Selain itu wilayah yurisdiksi yang terletak di atas bentang lahan kelompok pegunungan [D5_MOUNT] secara nyata memiliki intensitas kelongsoran secara rata-rata 3,22% lebih besar dibandingkan kabupaten yang terletak di atas bentang lahan perbukitan [D4_HILL]. Sedangkan yang berada di atas bentang lahan [D4_HILL] tidak berbeda nyata dengan wilayah yang berada di atas dataran.

Pada Pers.{4.3} dapat diperiksa bahwa hutan negara [HN]t secara nyata

dapat mereduksi intensitas banjir di tahun berjalan [FLOOD]t. Jika faktor-faktor

lain tetap, setiap ada pertambahan luas [HN] sebesar 1% di suatu kabupaten maka intensitas banjir yang melanda desa-desa di kabupaten yang bersangkutan akan berkurang sebesar 0,525% seperti terungkap sebagai parameter [HN] dalam Pers.{4.3} tersebut. Untuk proporsi hutan rakyat [HR]t sekalipun dapat mereduksi

intensita banjir, tetapi pengaruhnya tidak nyata. Proporsi sawah [SWH]t juga

secara nyata dapat mereduksi [FLOOD]t. Sebagaimana pengaruh terhadap

intensitas kelongsoran tanah, konstruksi bangunan sawah berupa terassering tampaknya juga dapat mengendalikan laju aliran permukaan. Menampung kelebihan air hujan (excess rainfall), memfasilitasi air untuk tinggal sementara waktu di dalam petak-petak sawah yang mengalirkan secara perlahan dan kontinyu ke petak-petak yag lebih rendah elevasinya dan akhirnyya menuju ke saluran-saluran drainase alami. Dengan begitu dapat menghindari terjadinya konsentrasi masa air dalam volume yang besar dalam waktu yang relatif singkat, yang berarti pula dapat mereduksi banjir.

5.3.2 Ambang Toleransi Deforestasi Lanjutan dan Konversi Hutan dan Kebun