• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

2. TINJAUAN TEORITIS

2.1 Realitas Sosial-Budaya dan Biofisik Provinsi Lampung

Seperti dapat dirujuk dalam BPS Provinsi Lampung (1992) bahwa Provinsi Lampung didirikan pada tanggal 18 Maret 1964 dengan Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Lampung. Provinsi ini merupakan hasil fragmentasi dari Provinsi Sumatera Selatan. Kini Provinsi Lampung memiliki populasi sekitar 7,6 juta jiwa dengan kepadatan populasi rata- rata 2,1 juta jiwa/ha (BPS, 2010) yang berada dalam 2 kota dan 10 kabupaten lainnya. Empat kabupaten terbaru dibentuk 4 belakangan yaitu Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Mesuji, dan Kabupaten Tulang Bawang Barat belum mempunyai data sosial-ekonomi yang cukup. Karena itu

dalam analisis penelitian ini keempat kabupaten tersebut dimasukkan ke kabupaten induknya.

Pada Gambar 1 disajikan Peta Administratif Provinsi Lampung sampai Tahun 2006. Dua wilayah yurisdiksi kota yang telah ada adalah Bandar Lampung (sebagai Ibu Kota Provinsi dengan populasi 812.133 jiwa dan kepadatan populasi 42,1 jiwa/ha) dan Kota Metro (dengan populasi 132.044 jiwa dan kepadatan populasi 21,4 jiwa/ha). Ke delapan kabupaten itu (dengan total populasi atau kepadatan populasi)-nya masing-masing adalah Kabupaten Lampung Selatan (1.341.238 jiwa atau 6,7 jiwa/ha); Kabupaten Tanggamus (826.610 jiwa atau 2,5 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Tengah (1.160.221 jiwa atau 2,4 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Timur (936.734 jiwa atau 2,2 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Utara (562.314 jiwa atau 2,1 jiwa/ha); Kabupaten Tulang Bawang (774.265 jiwa atau 1,0 jiwa/ha; Kabupaten Way Kanan (362.749 jiwa atau 0,9 jiwa/ha); dan Kabupaten Lampung Barat (381.349 jiwa atau 0,8 jiwa/ha).

Kota Bandar Lampung merupakan wilayah yurisdiksi yang paling padat, disusul oleh Kota Metro, kemudian diikuti oleh 8 kabupaten dengan urutan seperti di atas. Distribusi tersebut secara umum dapat memberikan indikasi terjadinya konsentrasi dan intensitas yang padat akan rente ekonomi seluruh wilayah, yang juga dapat merefleksikan muara dari aliran manfaat sumberdaya dari daerah belakang atau hulunya. Bahkan juga dapat menggambarkan kualitas sumberdaya biofisik wilayah hulunya.

Adapun realitas sosial budaya atau etnis di Provinsi Lampung juga merupakan melting pot dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Tetapi ada 5 etnis besar yang lebih dominan dari sisi jumlahnya. Etnis Jawa merupakan etnis dominan disusul oleh Sunda dan Bali. Ketiga etnis besar ini meliputi sekitar 70% dari seluruh total populasi, yang merupakan pendatang melalui transmigrasi mulai fase pertama pada masa kolonial Belanda sejak tahun 1905. Fase ke dua adalah melalui Program BRN (Biro Rekonstruksi Nasional), yaitu suatu program transmigrasi pada masa Pemerintahan Orde Lama pada dekade 1950-an. Urutan ke empat dan ke lima di provinsi ini adalah Etnis Lampung dan Etnis Semendo, yang populasinya kurang dari 30%. Distribusi kuantitas etnis ini dapat dijadikan

acuan dalam analisis sosial, budaya ataupun analisis kelembagaan yang dapat mempunyai peranan penting dalam pembangunan perekonomian wilayah.

Keterangan: {Jiwa/ha}

[1] Kota Bandar Lampung {42,1} [2] Kota Metro {21,4}

[3] Kabupaten Lampung Selatan { 6,7 } [4] Kabupaten Tanggamus {2,5} [5] Kabupaten Lampung Tengah {2,4} [6] Kabupaten Lampung Timur {2,2} [7] Kabupaten Lampung Utara {2,1} [8] Kabupaten Tulang Bawang {1,0 } [9] Kabupaten Way Kanan {0,9} [10] Kabupaten Lampung Barat {0,8}

Gambar 1. Peta Administratif Provinsi Lampung Sampai Tahun 2006 dengan 2 Kota dan 8 Kabupaten di Dalamnya (Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2008)

Adapun realitas biofisik wilayah Provinsi Lampung ini antara lain dapat dirujuk melalui dokumen LREPP (Land Resource Evaluation and Planning Project) yang diterbitkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat atau Puslitanak (CSR, 1989). Dari dokumen tersebut dapat dilihat bahwa Provinsi Lampung secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu subwilayah hulu yang bersesuaian dengan Kabupaten Barat dan Kabupaten Tanggamus dengan subwilayah hilir yang meliputi 2 kota serta 8 kabupaten selainnya. Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus dapat dikatagorikan sebagai subwilayah hulu karena merupakan hulu dari daerah aliran sungai (DAS) utama seperti DAS Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulang Bawang, Way Semangka dan lain-lainnya.

Pada Bagian Barat memiliki fisiografi perbukitan, dataran tinggi dan pegunungan yang merupakan rangkaian Pegunungan Bukit Barisan sebagai hasil dari up lift lempeng Sumatera akibat aktivitas subduction dari lempeng Samudera Indonesia (lihat CSR, 1989). Punggung Pegunungan Bukit Barisan ini berada pada sekitar sepertiga dari Pantai Barat membentang ke arah Barat Laut dengan puncak tertinggi pada Gunung Pesagi sekitar 2.239 m dpl dan Gunung Tanggamus sekitar 2.010 m dpl. 1 2 10 4 9 7 5 6 3 8

Dengan bentang alam seperti itu, setiap kali terjadi musim angin moonson Barat yang bergerak ke Timur, aliran massa udara terhalang oleh punggung Pegunungan Bukit Barisan, maka udara jenuh (yang membawa uap air dari Samudera Indonesia) tersebut seperti dipaksa naik di sepanjang Bukit Barisan. Akibatnya terjadi awan konvektif yang menyebabkan penurunan temperatur udara secara adiabatis dan akhirnya terjadi kondensasi dan jatuh sebagai hujan utamanya di Bagian Barat. Karena itu pada Bagian Barat Provinsi Lampung memiliki tipe iklim A. Semakin ke Timur menuju ke Pantai Timur provinsi ini maka curah hujan semakin rendah, bahkan ada yang beriklim D (Oldeman, 1982 seperti dapat diperiksa dalam CSR, 1989). Di Bagian Barat di bawah curah hujan yang tinggi telah berlangsung proses pembentukan tanah yang cepat, yang dalam keadaan alami dapat menghasilkan solum tanah yang tebal. Bersamaan dengan itu curah hujan yang tinggi dalam jutaan tahun lamanya telah menghasilkan suksesi vegetasi alami yang kuat, menghasilkan keragaman flora dan fauna yang tinggi.

Atas pertimbangan curah hujan yang tinggi dengan elevasi yang tinggi pula, maka sejak masa Kolonial Belanda subwilayah hulu ini dalam proporsi yang besar telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Selain itu juga atas pertimbangan tingginya keanekaragama hayati dengan berbagai spesies endemiknya juga ditetapkan sebagai kawasan pelestarian yang sekarang merupakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Keberadaan semua hutan lindung maupun TNBSS di subwilayah hulu ini dimaksudkan juga untuk menjamin fungsi intrinsik hutan utamanya untuk perasapan air, untuk pencegahan erosi, dan untuk pengendalian debit agar tidak berfluktuasi secara besar sehingga dapat menjadi sumber air yang kontinyu bagi semua bendungan yang berada di Bagian Tengah Provinsi Lampung ini. Tujuan akhirnya adalah agar pada bagian hilir tidak terjadi banjir pada musim hujan dan terhindar dari kekeringan di musim kemarau, bermanfaat untuk irigasi dan suplai air berlangsung secara kontinyu sepanjang tahun bagi semua PLTA di Provinsi Lampung ini. Dengan begitu maka dapat diharapkan aktivitas perekonomian di subwilayah hilir dapat berkembang baik dan kesejahteraan masyarakat di provinsi ini diharapkan dapat ditingkatkan.

Namun pada realitasnya seperti dilaporkan oleh Sihite (2004), dan Nurhaida et al. (2006), luasan tutupan hutan di sub wilayah hulu ini makin

berkurang dan berubah terutama menjadi pertanaman kopi, coklat, lada, dan karet (cash crop) dalam sistem wanatani yang sederhana. Bahkan sebagian besar hutan lindung di subwilayah resapan ini telah banyak berubah menjadi pertanaman kopi atau cash crop lainnya. Akibatnya, seperti dilaporkan Nurhaida et al. (2006) tingkat erosi sangat besar, fluktuasi debit semua aliran sungai juga besar. Pada saat musim hujan beberapa kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang, Way Kanan, Lampung Tengah dan Lampung Timur belakangan ini sering dilanda banjir yang sangat mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Selain itu, beberapa bendungan juga banyak mengalami sedimentasi sehingga menyebabkan kerugian produksi listrik, hasil pertanian maupun industri. Sebaliknya pada musim kemarau sering defisit air, baik bagi irigasi maupun untuk PLTA yang juga sangat menekan perekonomian masyarakat. Sebagai gambaran untuk kerusakan bendungan Way Besai telah menyebabkan kerugian pada Bagian Tengah dan hilir melebihi Rp 63M/tahun (Sihite, 2004).

Diskusi pada bagian ini memperlihatkan bahwa sub wilayah hulu sebagai wilayah resapan tidak memperoleh kompensasi apapun atas pembebanan sebagai penyedia jasa resapan air maupun jasa lingkungan lainnya. Sementara wilayah Bagian Tengah dan Bagian Timur selama ini oleh otoritas publik telah dibiarkan menjadi sebagai ―free rider” dalam menikmati jasa lingkungan tersebut. Akibatnya kerusakan wilayah resapan ini telah banyak menimbulkan berbagai kerugian ekonomi di subwilayah hilir. Ketidakadilan antarsubwilayah ini telah mengarah pada pola hubungan hulu-hilir di Provinsi Lampung yang saling parasitik. Semua itu pada akhirnya akan menekan kinerja ekonomi wilayah Provinsi Lampung secara agregat bahkan menghambat pertumbuhan ekonomi disertai pengangguran dan kemiskinan. Akibat dari degradasi sumberdaya biofisik wilayah ini, berarti resource endowment (Re) yang dimiliki Provinsi Lampung tidak dapat menjadi penggerak perkembangan ekonomi wilayah bahkan telah menimbulkan stagnasi.

2.2 Degradasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan sebagai Penyebab