• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persamaan VII Pertumbuhan Ekonom

Alokasi 2 , Hasil Peningkatan Penerimaan Pajak Digunakan:

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Rancangan Praksis Pengembangan Ekonomi Wilayah

5.4.1 Strategi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Dengan mengacu pada Gambar 18, maka pembahasan dimulai dengan deskripsi tentang peranan kinerja (I)nstitution dan (L)eadership tehadap kinerja (E)ntrepreneurship, yang telah dihipotesiskan menjadi motor penghela akumuluasi kapital maupun penghela kesejahteraan masyarakat di setiap wilayah. Untuk kepentingan intervensi kebijakan, maka dalam penelitian ini dipisahkan antara peran kelompok wirausahawan kecil versus wirausahan besar-sedang yang karteristiknya secara generik dihipotesiskan berbeda, utamanya dalam hal efisiensi alokasi penggunaan sumberdaya, kemampuan dalam mengakses kredit, kemampuan dalam menangkap peluang pasar, kelenturan terhadap guncangan termasuk terhadap kriminalitas ataupun terhadap para pemburu rente (free riders) lainnya. Untuk keperluan yang sama (dan juga dikaitkan konteks kerentanan biofisik wilayah) maka deskripsi kinerja E tersebut juga dipisahkan antara yang beroperasi di subwilayah hulu (HU) maupun hilir (HI). Deskripsi hubungan ini diwakili oleh Pers. {4.4} sampai {4.7}.

(1) Kinerja (E)ntrepreneurship di Subwilayah Hulu

Deskripsi hubungan kinerja E terhadap setting kelembagaan dan kinerja (L)eadership di subwilayah hulu untuk kelompok industraiawan kecil [IKC_HU] disajikan dalam Pers.{4.4}. Dari persamaan ini terungkap intensitas kejahatan sangat nyata dalam menurunkan kinerja E di subwilayah hulu yang diproksi dengan kepadatan industri kecil per 10 ribu penduduk (IKC_HU).

Tabel 22. Hasil Regresi Beberapa Persmaan Simulatan untuk Perancangan Praksis Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung

No Persamaan Bentuk Relasi R2 (adj) P-value

{4.4} Kerapatan Industri Kecil/10 Ribu Penduduk di Hulu

[IKC_HU] t = - 87,0 + 13,3*[KOP_HU]t -11.4 **[KJ_HU]t + 6.28* [IBD_HU]t - 7.4 [RZ] 79.2% 0,001 {4.5} Kerapatan Industri Besar- Sedang /10Ribu Penduduk di Hulu [IBS_HU] t = 0,0480 + 0,00006 [IKC-HU] + 0,0211**[KOP_HU]t + 0,00381[KJ_HU]t + 0,0044 [IBD_HU]t - 0,00797[RZ] 81,3% 0,001 {4.6} Kerapatan Industri Kecil /10 Ribu Penduduk di Hilir

[IKC_HI] t = -192** +7,15*[KOP_HI]t -21,6*[KJ_HI]t-1 + 8,77**[IBD_HI]t + 2,03*[ORG_HI]t + 0,126[RLW] - 6,62^[RZ] 97,8% 0,003 {4.7} Kerapatan Industri Besar- Sedang /10Ribu Penduduk di Hilir

[IBS_HI] t = -12,8 + 0,0547 [IKC_HI]t - 0,325 [KOP_HI]t + 0,825 [KJ_HI]t-1 -0,534 IBD_HI]t - 0,169 [ORG_HI]t - 0,00346 [RLW_HI]t + 0,296 [RZ] 33,0% 0,431 {4.8} Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri (%) [G_IND_SH] t = - 530** + 0,0485^ [IKC_HU]t-1 – 43,6^[IBS_HU]t-1 + 0,194** [IKC_HI]t -1 –18,3[IBS_HI] t-1 + 5,44**[AGR_SH]t-1 + 4,48** [MIN_SH]t -1 + 6,56** [OTH_SH]t-1 – 6,24 **[RZ] 93,9% 0,001 {4.9} Pertumbuhan Pendapatan/ Kapita Sekt. Pertanian (%) [G_INCP_ AGR]t = - 128* + 11,8*[HR_HU]t-1 + 0,377*[HN_HU]t-1 + 6,02* [HR_HI]t-1 + 0,0664 [HN_HI]t-1 + 0,174[JL_HU]t + 1,60** [JL_HI]t + 30,7**[RZ] 99,6% 0,043 {4.10} Pertumbuhan Ekonomi (%) [G_ECONM]t = 2,98** + 0,745**[G_IND_SH] t +0,462**[G_INCP_AGR]t-1 + 0,46[RZ] 78,2% 0,001 {4.11} Nilai Tukar Petani [NTP]t = 59,7** + 3,69**[G_ECONM]t-1 + 26,6**[RZ] 91,7% 0,000 {4.12} Indeks Pembangunan Manusia [HDI] t = 67,57 **+ 0,05101* [NTP]t - 0,26916** [R_POOR]t + 2,2067* [RZ] 99,9% 0,000

Keterangan: **=sangat nyata (taraf 1%), *= nyata (taraf 5%), dan ^= nyata (taraf 10%) Sumber: Hasil Penelitian (2011)

Secara rata-rata, jika faktor lain tetap, maka setiap ada satu kejahatan akan menurunkan IKC_HU sebesar 11.4 buah per tahun. Namun sebaliknya tempat ibadah di subwilayah hulu ini (IBD_HU) dapat dijadikan ukuran bagi keefektivan atau kinerja (I)nstitution, yang dapat menstimulasi tumbuhnya (E), dimana jika faktor lain tetap, maka setiap ditemuui satu tempat ibadah akan bersisian dengan

6.4 buah IKC_HU. Arti lebih lanjut, bahwa tempat ibadah di subwilayah hulu ini secara efektif dapat menjadi tempat penempaan tata aturan hidup bersama atau moral code formation (Hayami, 2001) untuk saling berhubungan dengan fihak lain sehingga secara efektif berbagai macam bentuk transaksi dapat dijamin relatif aman, tak terkecuali untuk transaksi yang bermotifkan ekonomi secara langsung.

Tempat ibadah tampaknya juga dapat menjadi tempat berinteraksi, membangun social capital, pengembangan jejaring dan akhirnya dapat menumbuhkan berbagai ide kreatif yang bermuara pada perkembangan usaha kecil yang pada akhirnya bermuara juga pada manfaat ekonomi. Sebagaimana menurut Yamamoto (1992 dikutip Hayami, 2001) di Jepang pada abad ke 18 perekonomian pasar dapat berkembang pesat mengiringi kejayaan ajaran moral utamanya dari Mazhab Isihada yang merupakan hasil interaksi ajaran Konghucu, Budha dan Shinto yang substansinya mirip dengan ajaran moral ekonomi dari Adam Smith yaitu: kebersahajaan, ketekunan, kejujuran dan dapat dipercaya (frugality, industry, honesty, and fidelity).

Kinerja I yang efektif ini merupakan aset sosial yang dapat menekan biaya-biaya transaksi. Perlu ditekankan di sini, bahwa biaya transaksi (seperti untuk pencarian informasi, biaya pengikatan, biaya pengawasan, biaya asuransi dll) akan sangat direduksi bila keefektivan I di suatu wilayah tersebut efektif, yang akan menjadi insentif bagi setiap aktivitas wiraushawan mikro di subwilayah (IKC_HU) ini.

Keefektifan kinerja I di subwilayah ini ternyata juga bersisian dengan relatif kuatnya kinerja L, yang dalam hal ini jika faktor lain tetap, maka setiap ditemui 1 koperasi terkait dengan adanya IKC_HU sebanyak 13,3 buah. Kinerja E dari kalangan usaha mikro juga secara nyata dipengaruhi oleh kekuatan (L)eadership yang berkembang di subwilayah hulu ini. Menurut Stimson dan Stough (2008) bahwa kinerja I relatif tidak cepat berubah, namun kekuatan L seringkali dapat menstimulasi dan memfasilitasi berkembangnya interaksi antarwarga dalam suatu komunitas.

Kuatnya interaksi tersebut pada gilirannya juga dapat menstimulasi untuk saling menghargai sesamanya, silih asih dan silih asuh, tidak terkecuali dalam menghargai kepemilikan (property right) dan sekaligus dapat menekan free rider,

yang kemudian dapat menfasilitasi berkembangnya kinerja E. Sebalikya dengan kinerja I yang efektif dapat mempunyai feedback loop yang menguatkan terhadap kinerja L dan pada akhirnya juga bersama-sama menguatkan E kembali. Deskripsi penguatan E oleh kinerja L di subwilayah hulu ini juga dapat ditangkap dalam penelitian ini melalui peranan kerapatan koperasi per 10 ribu penduduk atau [KOP_HU] yang bersifat secara positif nyata terhadap kerapatan industri kecil di subwilayah hulu [IKC_HU]. Dalam konteks ini jiwa silih asah dan silih asuh yang tertanam dari para anggota koperasi tersebut berpengaruh dalam menstimulasi berkembangnya keinerja E di di subwilayah hulu ini.

Namun situasi-situasi tersebut tidak berbeda nyata antara sebelum dan sesudah berlangsungnya disentralisasi fiskal (RZ). Dengan kata lain bahwa desentralisasi fiskal belum memberikan dampak nyata terhadap perkembangan kewirausahaan di subwilayah hulu, khususnya bagi kelompok wirausahawan kecil. Nampaknya desentralisasi seperti DAU, DAK dapat meningkatkan kinerja layanan publik yang bertalian dengan kepentingan kewirausahaan kelompok mikro di wilayah hulu ini.

Kecuali itu dari Pers. {4.4} secara keseluruhan dapat ditarik makna bahwa keempat variabel penjelas tersebut secara bersama memiliki pengaruh sangat nyata terhadap kinerja E di subwilayah hulu (P_value=0,001 atau setiap 1000 pengamatan ada 1 penyimpangan) dan keragaman data IKC_HU (sebagai proksi bagi kinerja E) sebanyak 79,2% dapat dijelaskan oleh keragaman keempat variabel penjelas tersebut secara bersama seperti ditunjukkan oleh nilai R2(adj)- nya.

Peranan L terhadap kinerja E seperti ini juga dapat ditunjukkan pada kalangan wirausahawan besar-sedang (IBS_HU) di subwilayah hulu, bahkan kerapatan jumlah koperasi per 10 ribu penduduk (KOP_HU) secara sangat nyata bersisian dengan (IBS_HU). Seperti dapat diperiksa pada Pers.{4.5}, bahwa jika faktor lain tetap, maka setiap ditemui 1 koperasi per 10 ribu penduduk maka terkait dengan kepadatan industri besar-sedang sebanyak 0,0211 buah (IBS_HU). Sedangkan variabel intensitas kejahatan di hulu (KJ_HU), kerapatan jumlah tempat ibadah di hulu (IBD_HU) maupun rezim tata pemerintahan (RZ) tidak secara nyata terkait dengan kinerja E dari kelompok wirausahawan besar-sedang

di subwilayah hulu ini. Artinya perkembangan kelompok wirausahawan ini tidak secara nyata terpegaruh oleh kinerja keamanan maupun, tata aturan, maupun rezim. Walaupun begitu, keempat variabel ini secara bersama berperan sangat nyata bagi perkembangan kinerja E dari kalangan wirausahawan besar-sedang di subwilayah hulu (IBS_HU) seperti tunjukkan oleh Pvalue-nya=0,001.

(2) Kinerja (E)nterpreneurship di Subwilayah Hilir

Secara umum subwilayah hilir dicirikan oleh kepadatan populasi yang relatif lebih tinggi sehingga interaksi antarorang menjadi lebih intensif. Interaksi ini pada gilirannya dapat membangkitkan demand dan berarti pula dapat meningkatkan kinerja E. Interaksi tersebut juga dapat menempa keefektifan kinerja I maupun penguatan kinerja L dalam masyarakat, yang kemudian dapat menstimulasi perkembangangan kinerja E kembali tidak terkecuali dalam sub kelompok masyarakat wirausahawan mikro. Faktanya seperti dapat dilihat dalam Pers. {4.6}. Kepadatan koperasi atau KOP_HI (sebagai proksi bagi L) secara positif nyata terkait dengan intensitas atau kepadatan IKC_HI. Begitu pula dengan kepadatan organisasi sosial kemasyarakatan (ORG_HI). Kuatnya L ini juga dapat dibuktikan beriringan dengan efektifnya I.

Seperti diperlihatkan pada Pers. {4.6} bahwa bila faktor lain tetap, maka jika ditemukan IBD_HI satu buah maka akan terkait secara positif nyata dengan IKC_HI sebesar 8,77 buah. Sebaliknya, jika faktor lain tetap, maka setiap ada kejahatan di tahun yang lalu (t-1) sebesar 1 kejadian maka jumlah IKC_HI akan berkurang 21,6 buah. Fakta ini juga merupakan cerminan dari pentingnya peranan kinerja I dalam perkembangan kinerja E. Selain itu, dalam Pers.{4.6} ini juga ditemukan peranan kekuatan L untuk tujuan yang sama.

Kecuali itu, temuan yang cukup menarik dari penelitian ini bahwa ternyata desentralisasi fiskal (RZ) mempunyai relasi yang nyata negatif bagi perkembangan kewirausahaan mikro di subwilayah hilir (IKC_HI) ini. Tampaknya fungsi-fungsi fiskal yang didesentralisasikan sejauh ini tidak cukup dapat membangkitkan insentif agar tumbuh banyak orang yang berkeinginan

untuk lepas dari posisinya sebagai ―orang upahan‖ untuk kemudian bisa menggaji

Temuan yang sangat menarik justru pada kinerja wirausahawan besar- sedang di subwilayah hilir (IBS_HI) ini. Seperti dapat diperiksa pada Pers. {4.7}, bahwa perilaku kelompok wirausahawan besar-sedang (IBS_HI) agak aneh, terkesan perkembangannya tidak terpengaruh oleh norma-norma (kinerja I) ataupun terhadap bentuk-bentuk kerjasama (kinerja L) baik itu pada sebelum ataupun sesudah rezim tata pemerintahan (RZ) diberlakukan. Jikalau memang bentuk-bentuk ataupun tata aturan kerjasama tidak dapat diperankan untuk tujuan pengembangan E di kalangan ini, maka kelompok ini sulit untuk diharapkan manjadi bapak angkat bagi IKC_HI. Makna penting lainnya dari temuan ini adalah berarti kita belum dapat berharap banyak agar kelompok IBS_HI ini berperan sebagai agen transfer IPTEKS kepada IKC_HI dan berarti pula selama ini secara umum IBS_HI telah menjadi beban bagi seluruh masyarakat di Provinsi Lampung tersebut.

(3) Peranan (E)ntrepreneurship dalam Proses Transfomasi Struktural

Menurut Kitzner (1976 dikutip Hien, 2010) wirausahawan atau (E)ntrepreneur adalah orang yang mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada di masyarakat untuk melakukan inovasi dalam rangka mengeskploitasi peluang untuk mendapatkan keuntungan yang sama sekali baru sementara orang lain belum melihat peluang itu. Ketika para wirausahawan atau (E)ntrepreneur memanfaatkan dana masyarakat melalui intermediary sources (perbankan, pasar saham, ventura dll) dan menginvestasikannya untuk tujuan-tujuan inovatif, maka

akan terjadi inflasi yang ―memaksa‖ masyarakat untuk menekan tingkat

konsumsinya, untuk berhemat dan menabung. Dengan tabungan masyarakat itu, maka akan selalu tersedia dana bagi para wirausahawan. Ketika suatu inovasi ditemukan, maka keuntungan dapat diraup oleh wirausahawan tersebut dengan memasang tarif yang relatif besar. Bahkan dapat ditempuh melalui pengukuhan hak esklusif seperti paten.

Di sisi lain, karakter dari suatu inovasi selalu diikuti oleh para peniru (followers) dengan cara membuat produk-produk yang sejenis yang umumnya dengan hanya membuat sedikit perubahan sampai imitasinya, yang seringkali juga kualitasnya menjadi lebih bagus dari pada yang lebih awal ditemukan. Proses

yang terakhir ini yang menyebabkan ketersediaan berbagai pilihan produk menjadi sangat banyak yang dapat menekan harga melalui kompetisi sehingga menjadi lebih murah. Dengan begitu tingkat konsumsi dan kesejahteraan masyarakat secara agregat dapat ditingkatkan oleh inovasi yang terus dilakukan para wirausahawan, yang selalu digerakkan oleh insentif adanya peluang keuntungan baru dan penyediaan dana tabungan oleh masyarakat tersebut. Karena itu Stimson dan Stough (2008) menyebut kepadatan jumlah entrepreneur merupakan motor pertumbuhan endogenik di setiap wilayah.

Penelitian ini ingin mengukur peranan kinerja (E)ntrepreneur (yang telah banyak mengeksploitasi sumberdaya yang ada di masyarakat selama) juga punya andil yang besar bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat di Provinsi Lampung. Untuk itu, terlebih dahulu perlu diuji apakah peran tersebut pada awalnya juga dapat membangkitkan lapangan pekerjaan yang ada di sektor-sektor modern sekaligus untuk dapat menyerap tenaga sektor-sektor pertanian dan ekstraksi sumberdaya alam yang senantiasa mengalami decreasing return to scale. Dengan kata lain apakah para entrepreneur yang beropreasi di Provinsi Lampung selama ini juga telah cukup berperan penting dalam transformasi struktural perekonomian secara sehat dengan menyumbangkan akumulasi kapital yang dicerminkan oleh pertumbuhan ekonomi di wilayah? Atau malah bukan dan malah sebaliknya.

Jawaban terhadap serangkaian pertanyaan tersebut data diperiksa pada Pers. {4.9}. Model persamaan ini memiliki Pvalue=0.001 dengan Rsq(adj)=93.9%, berarti sangat nyata dalam mendeskripsikan pertumbuhan pangsa sektor industri [G_IND_SH] dari kedelapan prediktornya tersebut. Dengan demikian memang benar bahwa wirausahawaan di Provinsi Lampung telah berperan nyata bahkan sangat nyata dalam proses transformasi tersebut walaupun memerlukan waktu tunda 1 tahun lamanya (t-1). Tapi peran tersebut bukan berasal dari kalangan wirausahawan besar-sedang (IBS), melainkan hanya berasal dari industri kecil, baik yang beroperasi di subwilayah hulu (IKC_HU) maupun di subwilayah hilir (IKC_HI). Peran industri kecil tersebut yang secara positif sangat nyata juga disokong oleh peran sektor pertanian (AGR_SH), pertambangan (MIN_SH) dan sektor-sektor selainnya seperti perdagangan; komunikasi; dan jasa-jasa (OTH_SH).

Dengan demikian perilaku dari IBS_HI yang tampaknya sama sekali tidak terkait dengan tata aturan dan norma-norma (kinerja I) dan terkesan tidak terkait dengan bentuk-bentuk kebutuhan akan kerjasama (seperti dalam Pers.{4.7}) tersebut juga dapat dikuatkan buktiknya di sini. Dengan menggunakan Pers.{4.8} dapat diperiksa bahwa industri besar yang ada di hilir (IBS_HI) tidak punya kontribusi positif bahkan cenderung menekan proses transformasi struktural perekonomian (G_IND_SH) selama ini. Bahkan yang beroperasi di hulu (IBS_HU) malah secara nyata telah menekan proses modernisasi perekonomian di Provinsi Lampung. Padahal kalangan IBS ini yang telah banyak melakukan eksploitasi terhadap segala sumberdaya yang ada di wilayah ini, termasuk dalam bentuk eksploitasi tabungan masyarakat, memanfaatkan buruh murah yang difasilitasi oleh penyediaan pangan murah yang memaksa pada berlanjutnya deforestasi hutan, mendegradasikan sumberdaya lahan serta memerosotkan kinerja lingkungan maupun kesehatan. Proses ini secara sangat nyata makin menguat sejak disentralisasi tata pemerintahan berlangsung, seperti ditunjukkan oleh keofisien dari RZ= -6,24 dengan Pvalue =0,006 pada Pers.{4.8} tersebut.

Fenomena tersebut juga dikenal sebagai kebocoran wilayah (regional leakage) dalam arti rente ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat di luar Provinsi Lampung. Fenomena ini dapat mengarah kepada kegagalan pemeritah (government failure) setidaknya untuk urusan pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Seperti dapat dirujuk dalam penelitian Affandi (2009), bahwa telah terjadi aglomerasi IBS di subwilayah hilir. Dapat dicatat berbagai perusahaan besar yang beroperasi di subwilayah hilir seperti kelompok PT Sugar Group, PT Great Giant Pinneapple, PT Gunung Madu Plantation, PT Dipasena, PT Bratasena, PT Nusantara Tropical Fruit dll. Namun kelompok ini secara agregat belum punya peran nyata dalam proses transformasi struktural perekonomian wilayah Provinsi Lampung seperti dapat diperiksa dalam Pers. {4.8}. Telah terjadi kebocoran ekonomi wilayah (regional leakage) diperkirakan yang menjadi penyebabnya. Keadaan itu harus segera diatasi oleh otoritas publik dengan menghadirkan suatu kebijakan yang mampu untuk memberdayakan masyarakat melalui penguatan kinerja L di kalangan wirausahawa kecil [IKC] agar makin berperan dalam proses transformasi

struktural perekonomian melalui penciptaan lapangan pekerjaan di sektor-sektor industri kecil tersebut.

(4) Peranan Sumberdaya Hutan dalam Menopang Transformasi Struktural

Sebagaimana telah diuaraikan di atas, bahwa ternyata di wilayah Provinsi Lampung pertumbuhan pangsa sektor industri [G_IND_SH] yang menjadi batu pijakan proses modernisasi perekonomian selama ini telah dipikul oleh para wirausahawan dari kalangan industri kecil (IKC) yang ditopang oleh sektor pertanian. Beban yang harus dipikul oleh sektor pertanian di wilayah ini menjadi semakin berat karena harus menyediakan bukan hanya bahan baku untuk agroindustri yang telah menjadi leading sector di wilayah ini (Affandi, 2009) tetapi juga untuk menopang kebutuhan pangan murah berkaitan dengan perilaku para entrepreneur kapitalis dari kalangan industri besar (IBS) untuk menekan upah buruh sampai pada level subsisten (Hayami, 2001). Apalagi terbukti kalangan (IBS) ini telah menekan proses transformasi sruktural di wilayah ini seperti diuraikan sebelumnya.

Secara agroekelogis tidak ada sistem pertanian intensif (seperti perkebunan, pertanian pangan, peternakan dan perikanan darat) yang dapat berdiri sendiri tanpa ada penyediaan jasa lingkungan seperti jasa pengaturan siklus air (hidro-orologis), jasa-jasa ekologis kawasan (kesetimbangan ekologi dan keanekaragam hayati), jasa sekuestrasi karbon dan jasa amenitas lingkungan. Hanya sumberdaya hutan yang menjadi tumpuan dalam penyediaan jasa-jasa non- konvenisonal tersebut. Sistem pertanian pangan seperti serealia dan umbian di Provinsi Lampung utamanya terdistribusi pada bentang lahan dataran rendah di bagian Tengah sampai Timur (subwilayah hilir) ini yang beriklim relatif kering. Dalam keadaan itu, sistem catu air (suplay) untuk budidaya maupun kegiatan lainnya sangat bergantung pada keberadaan hutan yang berada di Bagian Barat dengan bentang lahan utama berupa pegunungan dan perbukitan yang beriklim sangat basah pula. Bukan hanya pada jasa siklus air, khususnya untuk serealia seperti dibuktikan oleh Warsito (dikutip Arief, 2011) bahwa 90% dari total penyerbukannya dilakukan oleh aktifitas lebah: suatu fonemena penyediaan jasa ekologis kawasan yang eksistensinya sangat dikontrol oleh keberadaan

sumberdaya hutan melalui fungsi intrinsiknya, baik berupa penyediaan amenitas lingkungan maupun sistem keanekaragaman hayati bagi keberlangsungan kehidupan lebah tersebut maupun kehidupan sekutu dan musuh alaminya. Ringkasnya proses transformasi struktural perekonomian di wilayah ini telah berlangsung melalui moderinisasi sistem perekonomian utamanya bertumpu pada sektor agroindustri (Affandi, 2009) yang telah ditopang sistem pertanian intensif.

Sehubungan dengan itu, mengingat setiap sistem pertanian sangat bergantung pada kinerja sumberdaya hutan, maka baik secara transitif maupun secara langsung nasib kebersinambungan proses transformasi struktural perekonomian di wilayah sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya hutan. Karena jasa-jasa non konvesional di wilayah ini telah begitu merosot (sejalan dengan deforestasi akut seperti dapat diperiksa dalam Tabel 13) akibat ketidakadilan dalam sistem upah buruh murah yang berimplikasi pada keharusan pangan murah tersebut, maka telah muncul gejala Ricardian Trap di wilayah ini.

Gejala tersebut dapat dicermati dalam laporan Affandi (2009), bahwa 12 kelompok agroindustri yang merupakan leading sector di wilayah ini mengalami skala pengembalian yang makin menurun (DRS: Decreasing return to scale). Padahal sektor-sektor ini telah mulai berhasil mengalami aglomerasi di bagian Tengah sampai bagian Timur (subwilayah hilir) dalam Provinsi Lampung yang seharusnya dapat menampilkan kinerja yang bersifat IRS (increasing retrun to scale). Lebih lagi Affandi (2009) juga melaporkan untuk kelompok industri pangan sangat elastis terhadap penambahan input bahan baku, tetapi tidak terhadap penambahan input kapital serta menurun dengan input tenaga kerja maupun energi. Fenomena serupa juga dilaporkan oleh Igliori (2008) di Brasil akibat deforestasi akut, yang disebutnya sebagai demand congestion atau excess demand terhadap bahan baku. Stagnasi pertumbuhan sektor industri akibat stagnasi suplai bahan baku seperti ini dikenal sebagai Ricardian trap (Hayami, 2001; Witha-Jacobsen, 2009).

Adapun peran sumberdaya hutan dalam menopang pertumbuhan pangsa sektor industri melalui penyediaan bahan baku dan pangan murah tersebut dapat diperiksa dalam Pers. {4.9}. Persamaan ini dapat digunakan untuk merancang proses kebijakan dalam upaya agar dapat escape dari Ricardian Trap sekaligus

untuk merancang transformasi struktural perekonomian yang bertumpu pada sektor pertanian. Persamaan itu mendemonstrasikan bahwa pertumbuhan tingkat pendapatan di sektor pertanian per kapita (G_INCP_AGR) secara positif nyata dipengaruhi oleh luasan hutan rakyat di hulu (HR_HU) dan di hilir (HR_HI) serta hutan negara di hulu (HN_HU) walaupun pengaruh tersebut tertunda satu tahun kemudian (t-1). Peranan G_INCP_AGR ini merupakan refleksi dari kapasitas sektor pertanian yang harus mampu menopang (bolstering) perkembangan agroindustri, yang telah menyumbang rata-rata 28% dari total PDRB Provinsi Lampung selama ini (lihat Affandi, 2009).

Dari catatan statistik 2001-2008 (BPS Prop. Lampung 2000-2009 diolah) pangsa produk material dari hasil hutan hanya sekitar 0,45% dari total PDRB. Artinya peranan hutan terhadap G_INCP_AGR tersebut yang paling mungkin utamanya diatribusi oleh fungsi intrinsiknya, bukan oleh produk material hasil hutannya (seperti kayu, getah, madu, sarang walet dll). Atas produk jasa lingkungan ini seharusnya para petani pemilik HR memperoleh imbalan, tidak seharusnya terus-menerus mengalami ―free-riding‖ oleh seluruh kelompok masyarakat penikmat rente gratis yang bergerak di sektor-sektor hilir seperti yang terjadi selama ini.

Mengenai relatif rendahnya peranan fungsi intrinsik HN dibandingkan HR tersebut, tampaknya terletak pada property right-nya. Selama ini pemerintah kurang mampu menyediakan biaya yang cukup (seperti biaya monitoring, pengawasan, law enforcement dll) sehingga sumberdaya HN ini menjadi setara dengan open access resource dan sekarang nasibnya menjadi seperti nasib barang publik (public good), yang umumnya mengalami tragedy of the common seperti yang dilukiskan dalam karya klasik Hardin (1968). Data dari Dinas Kehutanan Provinsil Lampung (2005 dikutip Watala, 2008) menguatkan bukti adanya tragedy di wilayah ini, bahwa tutupan hutan negara di Provinsi Lampung telah terdegradasi akut yaitu 80% di hutan lindung, 76% di hutan produksi tetap, 71% di hutan produksi terbatas, 70% di Taman Hutan Raya, 36% di Taman Nasional Way Kambas & 16% di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Mengenai ada waktu tenggang 1 tahun (t-1) dari peranan hutan tersebut juga merupakan bukti tambahan dari atribusi peran fungsi intrinsik hutan

ketimbang peran hasil produk materialnya dalam peningkatan pendapatan per kapita di sektor pertanian (G_INCP_AG) tersebut. Fungsi regulasi dalam tata air, kesetimbangan ekologis, penambat karbo dan penyedia amenitas lingkungan yang diperankan oleh hutan secara alamiah tidak mungkin memberikan respon seketika terhadap hasil-hasil pertanian ataupun G_INCP_AG. Dalam persamaan ini pula ditemukan bahwa pengaruh market tapping yang diproksi dengan kerapatan jaringan jalan beraspal per 10 ribu hektar untuk di wilayah hilir (JL_HI) tersebut juga secara nyata berpangaruh terhadap G_INCP_AGR. Dalam konteks ini juga pengaruh rezim fiskal (RZ) sudah memberikan kontribusinya secara nyata.

Pada Pers. {4.10} juga dimaksudkan untuk mengekspresikan fenomena transformasi struktural perekonomian, dimana antarsektor juga saling jalin- menjalin. Bahwa pertumbuhan pangsa sektor pertanian (G_AGR_SH) sangat nyata secara sistemik berelasi positif dengan G_INCP_AGR sekaligus nyata berelasi negatif terhadap pertumbuhan pangsa semua sektor lainnya. Artinya bila pertumbuhan pendapatan per kapita di sektor pertanian meningkat maka akan diiringi oleh (G_AGR_SH). Sedangkan bila terjadi peningkatan pertumbuhan pendapatan perkapita dalam sektor industri (G_INCP_IND), sektor pertambangan (G_INCP_MIN) ataupun dalam sektor-sektor transportasi; komunikasi; konstruksi; perdagangan dan jasa-jasa (G_INCP_OTH) maka akan terjadi penurunan G_AGR_SH. Artinya dengan Pers. {4.10} ini perancangan