• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

2. TINJAUAN TEORITIS

2.3 Stagnasi Capaian Indikator Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung

Secara umum kinerja perekonomian Provinsi Lampung sejak berlangsungnya desentralisasi tata pemerintahan dapat digambarkan dengan kinerja tingkat PDRB per kapita, tingkat kemiskinan, tingkat pertumbuhan ekonomi dan IPM=indeks pembangunan manusia (HDI=Human Developmen Index). Keempat indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah Provinsi Lampung tersebut untuk periode 2000 sampai 2008 disajikan pada Tabel 1. Perlu ditegaskan di sini bahwa untuk memperlihatkan adanya stagnasi capaian indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah bagi Provinsi Lampung tersebut maka sebagai bandingan pada Tabel 1 tersebut juga disertakan nilai keempat kinerja ekonomi bagi nasional.

Tabel 1. Perbandingan Rataan Indikator Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung terhadap Nasional Periode Tahun 2000-2008

Indikator Kinerja Rataan [Sd]

Provinsi Lampung Nasional

PDRB/Kpt (Rp Jt)* 4,41 [0,57] 8,08 [0,68]

Pertumbuhan Ekonomi** (%) 4,87 [2,89] 5,52 [0,65]

Kemiskinan (%) 21,63 [1,23] 16,09 [0,69]

IPM 68,25 [2,10] 70,32 [0,64]

Keterangan: * =dihitung atas dasar harga konstan Tahun 2000, **=tanpa migas Sumber: BPS Provinsi Lampung (2001-2009 Diolah)

Seperti dapat dicermati pada Tabel 1, dalam periode pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, insidensi kemiskinan dan indeks pembangunan

manusia untuk Provinsi Lampung berturut-turut [dengan Sd]: 4,41[0,57] juta rupiah; 4,87[2,89]%; 21,63[1,23]%; dan 68,25[2,1]. Sementara untuk rata-rata nasonal dengan urutan yang sama telah mencapai posisi: Rp 8,08[0,68] juta; 5,52[0,65]; 16,09[0,69] dan 70,32 [0,64].

Sementara itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Verbist dan Pasya (2004), Verbist et al. (2004) ataupun lainnya bahwa deforestasi di Provinsi Lampung mengalami ekskalasi sejak awal dekade 1970-an ketika produk hutan kayu menjadi andalan devisa bagi negara. Deforestai ini memuncak ketika berlangsung desentralisasi tata pemerintahan. Pada tahun 2005 menurut Departemen Kehutanan Provinsi Lampung (2009) tutupan hutan hanya tinggal sekitar 7,40%. Tampaknya ada pertalian yang erat antara stagnasi keempat indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah tersebut dengan degradasi fungsi instrinsik hutan akibat deforestasi yang akut tersebut. Kecuali itu degradasi fungsi intrinsik hutan tersebut juga memperlihatkan pertalian yang erat dengan kinerja sektor-sektor agroindustri yang telah mulai beraglomerasi di sub wilayah hilir (Affandi, 2009) sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Elastisitas Output/Input & Skala Pengembalian (RTS: Return to Scale) Rataan dari 12 Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Selama Desentralisasi Tata Pemerintahan

Sektor Elastisitas output/input:

Kapital Bhn.Baku Tng. Kerja Energi Total=RTS

Rataan 12 Agroindustri 0,05 0,32 0,34 0,17 0,88* [Stándar Deviasi] [0,13] [0,62] [0,38] [0,36] [0,26]

Industri Makanan 0,10 0,93 -0,12 -0,01 0,89

Sumber: Affandi (2009, diolah)

Keterangan: *berbeda nyata (pada Uji t taraf 10%) terhadap RTS=1 (Constant Return to Scale)

Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 tersebut di atas bahwa kinerja skala pengembalian (RTS) dari ke-12 kelompok agroindustri mengalami skala pengembalian yang menurun (DRS: decreasing return to scale) yaitu rata-rata hanya sebesar 0,88. Artinya apabila keempat faktor produksi (kapital, bahan baku, tenaga kerja, dan energi yang masing-masing dinyatakan dalam satuan moneter) dinaikan sebesar 1%, maka total output hanya bertambah 0,88%.

Lebih lanjut dalam realitasnya, kini faktor input kapital dan energi hanya memberikan respon terhadap output yang relatif rendah yaitu masing-masing 0,05 dan 0,17; sedangkan faktor input bahan baku dan tenaga kerja memiliki respon yang cukup baik terhadap outputnya yaitu masing-masing 0,32 dan 0,34. Artinya secara rata-rata keduabelas sektor agroindustri tersebut masih relatif cukup responsif terhadap faktor tambahan input bahan baku maupun tenaga kerja tetapi kurang responsif terhadap tambahan input kapital maupun energi.

Mengingat dasar análisis yang digunakan Affandi (2009) adalah data jangka panjang (yaitu tahun 1988-2005), maka fenomena ini dapat memberikan imajinasi tentang kendala kelangkaan bahan baku. Dalam istilah Igliori (2008) telah terjadi demand congestion terhadap bahan baku. Imajinasi ini didukung oleh kinerja elastisitas industri makanan. Elastisitas input bahan baku bagi industri makanan dapat mencapai 0,93 sementara untuk input kapital, tenaga kerja dan input energi masing-masing 0,10, -0,12 dan -0,01. Artinya input tenaga kerja maupun energi di dalam industri makanan telah jenuh, sedangkan kapital sudah mendekati jenuh dan bahan baku masih sangat responsif terhadap peningkatan input. Kongesti akan bahan baku ini telah menyebabkan sektor industri makanan ini juga turut mengalami skala pengembalian yang DRS yaitu hanya berkisar 0,89. Adanya fenomena kongesti ini juga diperlihatkan oleh statistik laju pertumbuhan PDRB sektor agroindustri ataupun industri pengolahan yang secara rata-rata lebih besar dari pada sektor pertanian sebagai sektor yang menjadi pemasok bahan baku bagi input agroindustri tersebut. Fakta ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Rataan Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian, Sektor Agroindustri, dan Industri Pengolahan pada Periode 2000-2008 di Provinsi Lampung

No. Sektor (Subsektor) Pangsa (%PDRB) Pertumbuhan

(%)

Sd

1 Pertanian 43,19 4,34 1,66

(a) Tanaman Pangan 20,76 3,97 4,53

(b) Tanaman Perkebunan 10,54 2,86 3,17

(c) Peternakan 5,44 3,64 6,03

(d) Perikanan 6,00 7,80 7,37

(e) Kehutanan 0,45 29,69 32,15

2. Industri Tanpa Migas 13,79 3,49 13,68

3. Agroindustri 13,26 5,20 14,63

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung (2000-2004; 2005-2009, diolah) Analisis Indikator Ekon Makro Regional Provinsi Lampung

Seperti dapat dicermati pada Tabel 3 tersebut, bahwa laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian secara umum tertinggal dari sektor-sektor hilirnya yaitu utamanya sektor-sektor agroindustri. Dalam kurun waktu yang sama sektor pertanian tumbuh hanya sebesar 4,34(Sd=1,66) % sedangkan untuk agroindustri tumbuh secara rata-rata 5,20 (Sd=14,63)%.

Dengan demikian tampak hubungan antara fenomena degradasi fungsi intrinsik dengan stagnasi pertumbuhan PDRB sektor pertanian. Lebih lanjut stagnasi sektor pertanian telah menimbulkan excess demand akan input bahan baku bagi sektor-sektor industri pengolahan ataupun agroindustri yang bermuara pada kinerja decreasing return sektor agroindustri sebagai sektor yang menjadi pijakan penting dalam transformasi struktural perekonomian menuju perekonomian industri modern di Provinsi Lampung.

Pada akhirnya serangkaian fenomena tersebut telah bermuara pada stagnasi indikator capaian kinerja pembangunan ekonomi wilayah Propisi Lampung pada masa desentralisasi tata pemerintahan selama ini. Benang merah yang sangat penting yang dapat ditarik dari sub bagian ini adalah bahwa telah muncul kendala sumberdaya dalam pembangunan ekonomi wilayah Popinsi Lampung semasa desentralisasi tata pemerintahan ini. Kendala sumberdaya yang diatribusi oleh degradasi sumberdaya alam semacam ini dikenal sebagai Ricardian trap. Fenomena Ricardian trap ini umum dijumpai pada negara-negara berkembang ketika mulai melakukan transformasi struktural dalam skenario pertumbuhan penduduk yang belum dapat ditekan. Tetapi untuk memperoleh gambaran yang lebih obyektif tentang ekstraksi sumberdaya anugerah alam (Resource endowment), sebelum melakukan kajian terhadap teori kendala sumberdaya maka perlu ditinjau dampak deforestasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.