• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variabel untuk Perancangan Praksis Pembangunan Wilayah, Sumber Data dan Prosedur Ekstraksinya

LANDASAN IDEOLOGI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

4. METODE PENELITIAN

4.2 Pelaksanaan Penelitian

4.2.3 Variabel untuk Perancangan Praksis Pembangunan Wilayah, Sumber Data dan Prosedur Ekstraksinya

Seluruh variabel yang digunakan untuk perancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah di Provinsi Lampung, simbol-simbol dan proksi yang digunakan, sumber data dan prosedur ekstraksinya disajikan dalam Tabel 9. Sebagaimana yang diadopsi dari postulat aslinya (lihat Stimson dan Stough, 2008), maka beberapa variabel yang digunakan dapat dirinci sebagai berikut.

(1) Kinerja Resource Endowment yang Dipilih

Segala sesuatu yang telah tersedia di suatu wilayah yang dapat digunakan sebagai sumberdaya untuk berbagai kegiatan pereknomian yang dapat diperoleh tanpa memerlukan investasi khusus dikenal sebagai sumberdaya anugearh atau (Re)sourec endowment. Dalam penelitin ini dipilih sumberdaya hutan sebagai variabel Re. Argumentasi yang penting untuk dikemukakan di sini adalah bahwa sumberdaya hutan merupakan suatu sumberdaya alam yang cukup luas (yaitu sekitar 1 juta Ha) di Provinsi Lampung yang awalnya digunakan sebagai modal pembangunan. Kini sekalipun telah terdegradasi akut, fungsi instrisiknya sumberdaya ini (sebagai penyedia jasa hidrologis, jasa ekologis kawasan, jasa biodiversitas, jasa sekuestrasi karbon maupun jasa amenitas lingkungan) tetap harus difungsikan agar tetap mampu menopang perekonomian wilayah melalui

pertumbuhan total volume pertanian sebagai resource base untuk melandasi proses transformasi struktural perekonomian wilayah melalui batu pijakan pengembangan agroindustri (lihat Affandi, 2009).

Dalam penelitian ini Re diproksi menggunakan luas tuutupan hutan, Sehubungan dengan pilihan ini luasan tutupan hutan dibedakan untuk hutan rakyat [HR] dan hutan negara [HN]. Motif pemisahan ke dalam kedua macam kelompok hutan tersebut dimaksudkan untuk memperbandingkan perbedaan property right dari Re tersebut terhadap kinerja pertumbuhan pendapan per kapita di sektor pertanian dan akhirnya pada kinerja pembangunan ekonomi wilayah. Adanya perbedaan respon tersebut punya implikasi penting khususnya dalam pengembangan insentif agar keberadaan keduanya tetap lestari, terhindar dari deforestasi lanjutan maupun untuk menekan sebarannya agar tidak meluas. Dengan begitu fungsi instrinsiknya dapat dipulihkan untuk menopang seluruh aktivitas perekonomian maupun seluruh aktivitas perikehidupan (life support system) di wilayah Provinsi Lampung. Kecuali itu, kedua jenis tutupan hutan tersebut juga dipisahkan antara yang berada di subwilayah hulu [HU] dan subwilayah hilir [HI], utamanya dimaksudkan untuk menangkap pengaruh yang dapat dibangkitkan oleh jasa hidro-orologis kawasan.

(2) Kinerja Market Tapping yang Digunakan

Dalam abad kontemporer seperti dewasa ini, hampir tidak ada wilayah yang dapat berdiri sendiri, tidak ada yang tidak berhubungan dengan wilayah lain bahkan dengan belahan dunia yang lain. Tangkapan terhadap peluang pasar atau (M)arket tapping oleh para pakar ekonomi geografi dipandang sebagai suatu determinan penting bagi perkembangan suatu wilayah. Dalam konteks penelitian ini, variabel M diproksi dengan kerapatan jalan beraspal per 10 ribu Ha wilayah atau [JL].

Perlu disadari di sini bahwa pengaruhnya tidak selalu positif, karena semakin baik [JL] dapat juga menyebabkan berbagai produk langsung diangkut ke luar wilayah atau malah diekspor tanpa diolah terlebih dahulu yang berarti akan menyebabkan hilangnya nilai tambah atau yang dikenal sebagai kebocoran wilayah (regional leakage). Tetapi mungkin juga sebaliknya dengan semakin

berkembangnya [JL] dapat menjadi insentif bagi para wirausahaan untuk melakukan investasi di wilayah yang bersangkutan. Dalam penelitian ini M juga dipisahkan yang berada di subwilayah hulu [HU] terhadap yang berkembang di subwilyah hilir [HI]. Pemisahan ini juga dimaksudkan untuk menangkap pengaruh geografis atau geomorfologis wilayah terhadap kinerja faktor endogenik maupun responnya terhadap kinerja pembangunan wilayah.

(3) Kinerja Kepemimpinan atau Leadership yang Digunakan

Dalam penelitian ini pengertian kepemimpinan atau (L)eadership mengadopsi pemikiran kotemporer dari De Santis dan Stough (1999). Kedua pakar ini memandang bahwa dalam dunia yang sudah semakin mengglobal seperti dewasa ini kepemimpinan tidak bisa lagi dipandang seperti dalam pengertian tradisional, yang menempatkan seorang pemimpin sebagai sentral pembuat keputusan, one man show, yang dipisahkan secara tegas dengan para pengikutnya. Dalam pandangan De Santis dan Stough (1999) L harus dipandang sebagai tendensi atau afinitas dalam suatu masyarakat untuk berkolaborasi dalam berbagai sektor kehidupan. Argumentasi yang diajukan oleh kedua pakar ini adalah bahwa perekonomian wilayah tidak mungkin ditetukan atau bergantung atau dijalankan oleh satu ataupun beberapa orang saja, melainkan akan selalu melibatkan banyak partisipan. Semakin banyak partisipan yang terlibat maka akan semakin besar perkembangan aktivitas perekonomian di suatu wilayah yang berarti semakin besar pula aktivitas seluruh derap kehidupan.

Sehubungan definisi tersebut, untuk konteks Indonesia pada umumnya dan untuk Provinsi Lampung pada khususnya maka koperasi [KOP] dapat digunakan sebagai proksi dalam penelitian ini. Karakter organisasi perekonomian ini dipandang cocok dengan kinerja L seperti yang dimaksudkan oleh De Santis dan Stough (1999) tersebut. Oleh karena itu, kerapatan jumlah koperasi dapat dipandang sebagai kinerja L di suatu wilayah. Dalam penelitian ini [KOP] juga dipisahkan antara yang berkembang di subwilayah hulu [HU] dengan yang berkembang di hilir. Dengan begitu diharapkan dapat ditangkap secara makro pengaruh biofisik di kedua subwilayah tersebut melalui derajat untuk berinteraksi, pengaruh kenyamanan lingkungan terhadap karakter masyarakat yang kemudian

pada kebutuhan untuk bersinergi, bertransaksi, timbulnya konflik ataupun untuk akomodasi dan berkolaborasi yang sangat penting bagi perkembangan setiap koperasi.

(4) Kinerja Kelembagaan atau (I)nstitusi

Kelembagaan atau (I)nstitution merupakan tata aturan atau norma-norma yang hidup dan dipelihara oleh suatu komunitas (Hayami, 2001). Karena I merupakan tata aturan yang hidup, maka di dalamnya memuat sanksi-sanksi yang mengikat para warganya. Aturan tersebut dapat berupa konvensi yang tidak tertulis maupun yang tertulis seperti produk hukum formal dan sebagainya. Namun demikian dunia ini tidak pernah absen dari para pemburu rente (free rider) sehingga tidak setiap tata aturan ataupun norma yang ada tersebut efektif dalam mengikat para warganya. Banyak sekali mungkin aturan yang disepakati dan diberlakukan, tetapi banyak pula yang melanggar. Artinya institusi tersebut belum tentu efektif. Keefektivam I akan sangat menjadi penentu perkembangan ekonomi wilayah.

Sehubungan itu maka dalam penelitian ini kinerja atau keefektivan I diproksi dengan intensitas kejahatan [KJ], kerapatan tempat ibadah [IBD], banyaknya atau kerapatan organisasi kemasyarakatan [ORG], dan kerapatan jumlah relawan. Bila di suatu wilayah banyak kejahatan itu berarti institusi- institusi yang ada tidak efektif, dan tentunya tidak akan banyak orang yang mau datang ke wilayah tersebut apalagi untuk melakukan investasi karena keamanan yang tidak terjamin. Namun tempat ibadah [IBD] merupakan suatu ruang publik (public sphere) tempat masyarakat untuk bertemu, berkumpul, membangun pemahaman bersama (mutual understanding), bermusyawarah, bertansaksi berbagai ide dan gagasan, membangun pengetahuan dan sekaligus tempat untuk membangun moral atau moral code formation (Hayami, 2001) yang kemudian dapat saling menghargai property right, membentuk jejaring, membangun trust dan akhir membangkitkan berbagi ide kreatif yang dapat bermuara pada transaksi- transaksi yang bermotifkan ekonomi. Proses-proses semacam ini juga dapat melahirkan perkembang organisasi sosial kemasyarakatan [ORG].

Demikian pula dengan [RLW], yang menggambarkan suatu fihak yang mencari kepuasan diri melalui aktualisasi sifat altruism, menekan sifat egoism maupun aktualisasi jiwa filantropia. Dengan makin besarnya [RLW] di suatu wilayah berarti telah terjadi akumulasi norma-norma yang kuat, yang berarti pula dapat diharapkan telah terjadi peningkatan keefektivan I. Karena itu juga dapat diharapkan berelasi secara positif terhadap kinerja perkembangan perekonomian wilayah. Lebih lanjut proksi-proksi tersebut juga dibedakan antara yang berekembang di subwilayah hulu [HU] dengan di hilir, agar dapat mengangkap pengaruh perbedaan kondisi biofisik wilayah tersebut seperti yang telah diuraikan dalam mempengaruhi kinerja L tersebut.

(5) Kinerja Kewirausahaan atau (E)ntreperenurship

Wirausahawan atau (E)ntrepreneur adalah orang yang mampu melihat suatu peluang baru untuk memperoleh suatu keuntungan di pasar (Kitzner, 1976 dikutip Hien, 2010). Dalam konteks penelitian ini kinerja E diproksi dengan kerapatan industri kecil [IKC] dan industri besar-sedang [IBS]. Pilihan ini selain dimaksudkan sebagai proksi bagi agen pembaharu atau inovator, kerapatan industri diharapkan juga dapat menjadi penjelas bagi perkembangan proses transformasi struktural perekonomian di Provinsi Lampung. Digunakan dikotomi antara [IKC] terhadap [IBS] dimaksudkan untuk menangkap peran atau kontribusi masing-masing kelompok industri tersebut dalam perkembangan atau proses transformasi struktural perekonoman wilayah ini. Kecuali itu pembedaan tersebut penting berkaitan dengan perbedaannya dalam skala usaha, daya serap tenaga kerja, akses terhadap permodalan maupun akses terhadap kekuatan sosial politik lainnya.

Mengingat kinerja E sangat dipengaruhi oleh keefektivan I maupun kekuatann L maka dalam penelitian ini juga dipisahkan menurut subwilayah hulu aupunn hilir. Dengan begitu maka pengaruh biofisik wilayah terhadap kinerja I maupu L akhirnya juga akan bermuara pada kinerja E. Dengan begitu pula peranan fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung juga dapat diguanakan untuk stimulus perkembangan E melalui penguatan kinerja I maupun L.

Gambar 18. Rancangan Praksis Pembangunan Wilayah Provinsi Lampung

Masalah Stagnasi Kinerja Pembangunan Ekonomi

Wilayah

Kinerja dari: (Re)source Endowment: Tutupan Hutan Rakyat [HR] & Hutan Negara [HN]

(M)arket Tapping: Kerapatan Akses Jalan [JL]

Kinerja Faktor Endogen Pertumbuhan Ekonomi Wilayah:

(L)eaderships: Kerapatan Jumlah Koperasi [KOP]

(I)nstitution: Kerapatan Tempat Ibadah [IBD], Intensitas Kejahatan [KJ], Ormas [ORG], dan Relawan [RLW]

Persamaan V Persamaan I sampai IV