• Tidak ada hasil yang ditemukan

GOLDMANN : STRUKTURALISME GENETIK

…. estetika dialektik memandang setiap karya seni sebagai ekspresi, dalam bahasa kesusasteraan secara spesifik, lukisan, musik atau seni pahat, dan lain-lain sebagai suatu visi dunia. Sehingga apa yang akan kita harapkan adalah bahwa visi ini juga mengekspresikan dirinya sendiri dalam sejumlah level filosofis dan teologis lainnya, seperti halnya juga pada tindakan dan aktivitas manusia sehari-

hari. Kriteria yang esensial dimana estetika materialisme dialektis menentukan nilai setiap ekspresi atas suatu visi dunia, merupakan koherensi terdalam suatu karya seni, khususnya koherensi antara bentuk dan isi.24

Lucien Goldmann adalah seorang sosiolog, pemikir humanis dan kritikus budaya yang lahir di Rumania sebelum Perang Dunia Pertama. Tulisannya tentang produksi dan ruang seni dalam sebuah analisa budaya memberikan kontribusi yang kompleks dan bahkan menantang bagi tradisi materialistis-Marxisme, dimana saya sebagai penulis buku ini memposisikannya. Bagian dari ide-ide orisinil Goldmann berasal dari keinginannya yang konsisten untuk memunculkan suatu metode dialektis untuk analisis ‘kreativitas’ kesusastraan (suatu istilah yang dirujuknya sebagai ‘produksi’ sebagai dasar yang ia adopsi tentang penempatan subyektivitas di dalam prosesnya). Di seluruh pemikirannya, Goldmann tetap bertahan dari reduksionisme yang mentah tentang penjelasan-penjelasan yang paling konvensional, mekanis dan materialis mengenai representasi dan bentuk- bentuk budaya untuk suatu kritik yang tajam, kebisuan, dan pengabaian yang menekan, sebagaimana realitas dan praktek komunisme Sovyet yang ditentangnya dengan keras. Jadi, pemikirannya tentang kelemahan kebijakan suatu partai dan kekagumannya yang tidak umum terhadap Marx muda (tentang Ideologi Jerman) dan juga terhadap Hegelianisme, telah membuat banyak pemikir yang lain mengatakan bahwa Goldmann mungkin tidak sepenuhnya Marxis, melainkam hanya sekedar mengajukan kritik ideologis dan bukan kritik atas fakta.

Goldmann mengembangkan suatu pendekatan bagi analisis kesusasteraan dan praktek artistik yang ia sebut sebagai ‘strukturalisme genetik’. Metode ini berakar pada ‘Geist’ (spiritualitas) yang terdapat dalam idealisme Jerman, khususnya bentuk-bentuk dialektika dalam aliran Hegelian. Metode ini juga menganut pandangan Marxis bahwa budaya adalah ekspresi dari kesadaran kelompok yang ditujukan melalui perubahan struktur sosial dan politik yang dilembagakan. Sementara, konsep ‘totalitas’ yang berasal dari intelektual ‘pra-Sovyet’ Lukács, juga menjadi dasar bagi metode Goldmann ini. Ia juga mengambil ide tentang kepekaan yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kategori kognitif dalam teori perkembangan strukturalisme menurut Piaget yang bekerjasama dengannya selama bertahun-tahun. Strukturalisme genetik dimulai dengan suatu premis bahwa analisis apapun tentang kreativitas intelektual dan hubungannya dengan eksistensi praktek sosial, berkaitan dengan kategori kognitif yang membentuk baik dunia imajiner maupun dunia nyata. Goldmann berargumentasi bahwa kesusastraan yang esensial (atau seni apapun yang esensial) dari suatu periode sejarah tertentu membentuk artikulasi yang dilahirkan melalui munculnya ‘dunia visi’ dalam tatanan sosial yang baru.

Apakah visi dunia itu? Visi ini bukanlah suatu fakta empirik yang bersifat sementara saja, melainkan suatu hipotesa kerja konseptual yang amat berharga bagi pemahaman tentang cara individu mengekspresikan gagasan mereka secara aktual. Bahkan dalam suatu derajat empirik, arti penting dan realitas suatu visi dapat dilihat selama kita dapat melampaui ide atau karya dari seorang penulis tunggal dan mulai mempelajarinya secara menyeluruh.25

Goldmann mengikat pandangannya ini dengan konsep kelas sosial :

Visi dunia merupakan istilah yang sesuai untuk seluruh ide-ide yang kompleks, aspirasi dan perasaan yang saling terkait dengan para anggota suatu kelompok sosial…dan kelompok apa saja yang bertentangan dengan mereka sebagai bagian dari kelompok sosial yang lain. Ini merupakan…suatu kecenderungan yang benar- benar eksis diantara para anggota kelompok sosial tertentu yang semuanya mencapai kesadaran kelas dalam suatu perilaku yang kurang jelas …dalam beberapa kasus…ada individu-individu yang berbeda, yaitu yang secara aktual memperoleh, atau yang hampir pemperoleh suatu pandangan yang secara komplit terintegrasi dan koheren, atas apa yang diupayakan oleh kelas sosial mereka dalam melakukan sesuatu. Orang yang mengekspresikan visi ini pada suatu derajat imajinasi atau konseptual adalah para penulis dan para filsuf, dan semakin dekat karya mereka mengekspresikan visi ini ke dalam bentuk yang komplit dan terintegrasi, maka semakin penting karya itu. Kemudian mereka mungkin mendapatkan kesadaran yang maksimal dari kelompok sosial yang sifat dasarnya mereka ekspresikan.26

Tatanan sosial yang baru dan berkembang ini tidak harus menjadi suatu tatanan sosialis. Disinilah letak ketidaksepahaman Goldmann dengan Lukács, yang berkenaan dengan keadaan-keadaan yang searah, dan hubungan yang mempertajam perbedaan antara ‘seni yang luhur’ dan realisme. Bentuk-bentuk artistik dan sastra yang lain, menyesuaikan perubahan dan visi-visi dunia yang berbeda. Bahkan, kritik proletarian sendiri tidak dapat dipercaya untuk memiliki masa depan kreativitas budaya, dengan kata lain, memanipulasi utopia politik. Seni yang agung atau kesusasteraan bagi Goldmann, tidak terkunci dalam hubungan yang dapat diprediksi melalui realisasi potensi kaum sosialis yang tak terhindari. Seni semacam ini memuja semangat yang ada pada zaman itu, sesuatu yang berkaitan dengan konsep ‘Geist’ (spiritualitas) menurut aliran Hegelian, yakni apa saja yang dicari oleh bacaan, kritik dan apresiasi untuk diungkapkan.

Gambaran kedua yang orisinil dan signifikan dari metode Goldmann adalah penempatan kembali subyektivitas. Berbeda dengan sebagian besar strukturalisme lainnya, kita tidak menemukan ‘kematian seorang penulis’ disini. Subyek yang aktif atau dinamis ini diakui sebagai pusat kreativitas budaya. Subyek yang aktif, seperti subyek yang berkembang dan imanen dalam teori Piaget, bersifat pro-aktif dalam penciptaan dan transformasi bentuk-bentuk budaya representatif. Akan tetapi, bentuk-bentuk ini, meskipun riil dan dapat diukur manifestasinya, berasal dari struktur-struktur kognitif dan kolektif, seperti halnya subyektivitas itu sendiri. Hal ini berarti bahwa dalam rangka merekonsiliasikan pengertian tentang suatu totalitas, suatu struktur holistik, dengan individu yang kreatif, dalam tuntutan-tuntutan teori strukturalis, Goldmann menciptakan ‘subyek kolektif’ atau ‘subyek trans-individual’. Struktur kognitif yang memungkinkan tindakan invididu muncul sebagai hasil yang diperoleh dari kombinasi perilaku sekelompok orang yang hidup lewat pengalaman bersama dengan perencanaan strategi kolektif, yang dengan itu semua tindakan individu ditangani dan dikontrol. Sehingga struktur-struktur kognitif yang melahirkan subyek yang aktif, seama halnya dengan

kesadaran kolektif, keduanya merupakan fenomena sosial dan bukan termasuk dalam wilayah psikologi individu.

Determinisme struktural kini muncul untuk mengatasi voluntarisme (kesukarelaan) para penulis. Para penulis seolah-olah menjadi bidan yang mendorong munculnya visi dari rahim dunia. Seperti yang dikatakan oleh Swingewood: ‘strukturalisme Goldmann berdampak dalam menekan dialektika antara subyek dengan obyek, penulis dengan teks, juga antara penulis dan kelompok yang mengubah relasi- relasi yang hidup ke dalam formalisme yang disesuaikan dengan skema.’27

Penilaian Goldmann atas budaya kontemporer yang problematis, terletak pada perluasan konsep Lukács mengenai reifikasi yang berasal dari pandangan orisinil aliran Marxian tentang komoditas fetisisme. Dunia muncul melalui kemajuan kapitalisme dan persebarannya dalam masyarakat madani (civil society) untuk berbagi pemahaman riil tentang nilai guna dibawah pengaruh kuat nilai tukar. Goldmann memetakan perkembangan ini dalam novel (fiksi) melalui sisi perubahan dalam cara-cara produksi masyarakat. Hal ini memungkinkan diakronisitas strukturalismenya untuk tetap eksis sejajar dengan sinkronisitas analisisnya tentang bentuk-bentuk kognitif.

Apapun kegagalan-kegalan dalam aspek-aspek yang kurang berguna mengenai idealisme yang dilontarkannya sendiri, karya Goldmann ini melampaui suatu jarak yang patut dipertimbangkan atas pencapaian sudut pandang budaya yang semi-otonom dalam konteks materialisme Marxis.

Secara prinsip, agama, moralitas, seni dan sastra bukan merupakan kehidupan ekonomi yang otonom dan bebas, bukan pula merupakan refeleksi sederhana atas hal tersebut. Meskipun demikian, dalam suatu masyarakat kapitalis, agama, moralitas,seni dan sastra itu, cenderung berfungsi seperti sistem ekonomi masyarakat tersebut, yang secara progresif mengontrol semua aspek yang terkait.28