Kini marilah kita beralih dari masukan dari kumpulan tulisan (corpus) metode materialis Marx yang orisinal, ke kontribusi-kontribusi aliran neo-Marxis tertentu bagi pemahaman kita tentang budaya manusia.
Penganut aliran Marxis manapun yang paling menaruh perhatiannya pada permasalahan filosofis yang mendasar, memulai perjalanan pemikirannya dari suatu pandangan antroposentris atas sejarah sebagaimana yang diwariskan oleh Kant dan pencerahan Jerman secara umum kepada Marx dan Engels, yakni: manusia berdiri di tengah-tengah dunia masyarakat yang diciptakan oleh manusia
dan ‘dunia’ ini meliputi ruang seni yang merefleksikan suatu dimensi khusus spiritualitas manusia.9
Kemudian, Lichtheim memperkenalkan kita pada konsep estetika dari Georg Lukács, seorang filsuf Hungaria yang periode analisa budaya dan politiknya yang kreatif berkembang dari awal abad ini hingga akhir tahun 1960-an.
Lukács telah digambarkan sebagai ‘seorang Marx yang estetis’, sebuah julukan yang tidak sepenuhnya diberikan tanpa alasan kecuali bahwa ia adalah seseorang yang justru merusak proyek kehidupannya sendiri. Ia tidak dapat secara sederhana dikategorikan hanya sebagai filsuf belaka menurut pemikiran spekulatif para teoritisi yang hanya duduk di belakang meja, dan ia juga tidak dapat dibaca hanya sekedar merangkai pemikirannya untuk meraih representasi artistik, suatu aktivitas yang seakan- akan terlihat elitis. Lukács adalah seorang teoritisi yang memiliki kompleksitas yang besar. Meskipun ia seorang keturunan Hungaria dan menghabiskan banyak waktu untuk secara aktif terlibat dalam politik dan pendidikan di Hungaria, tetapi sebagian besar pendidikan dan kematangannya sebagai seorang pemikir berlangsung di Jerman dimana ia sangat dekat dan dipengaruhi oleh filsafat Romantisme Jerman melalui pemikiran Dilthey, Rickert, Simmel, dan Max Weber. Beberapa ilmuwan tersebut nantinya akan dibahas dalam kategori saya tentang “Budaya dan Tindakan Sosial’. Di situlah, berdasarkan pemikiran Hegel (sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi sepanjang hidup), Lukács mengembangkan kritik dan resistensinya, baik terhadap idealisme Neo- kantian maupun irasionalisme Nietzche. Semuanya ini adalah untuk membentuk suatu latar belakang bagi pembebasan Lukács di kemudian hari atas pengaruh modernisme borjuis, baik mengenai sifat individualisme maupun kemunduran modernisme borjuis itu sendiri. Apa yang juga dihasilkan dari periode modernisme, bagi Lukács adalah suatu komitmen utama terhadap metafisika yang sangat bercirikan Eropa, sebagai suatu pertahanan positivisme dan menjadi suatu pertimbangan baginya dalam teoritisasi sosial dan politik. Seluruh sumber bagi konsep intinya tentang suatu ‘totalitas’. Lukács bekerja di kota Wina pada saat teori-teori Freud sedang berada di puncak kejayaannya, dan ketika kaum positivis-logis menjadi kelompok yang aktif dan berpengaruh, serta ketika wacana monumental pertama dalam filsafat linguistik muncul. Lukács tetap tidak sepenuhnya tersentuh oleh salah satu perkembangan tersebut. Kesetiaan yang sangat bergairah, pengecualiaan, serta kontradiksi merupakan gambaran yang muncul secara kuat dalam ide-idenya. Hal yang secara konsisten berlaku bagi Lukács, sepenuhnya merupakan integrasi antara perkembangan intelektualnya sebagai suatu motivasi keterlibatan dengan kontribusinya bagi perkembangan budaya Eropa yang sosialis. Lukács adalah seorang aktivis politik yang memainkan peranan penting dalam Revolusi Hungaria yang tidak berhasil pada tahun 1919, ia juga seorang anggota Partai Komunis dan untuk sementara waktu adalah seorang ‘komisaris’ (seorang kepala kantor pemerintah dibawah pemerintahan Uni-Sovyet). Pengalamannya itu amat berpengaruh terhadap derajat pengakuannya yang terungkap dalam karyanya History and Class Consciousness (Sejarah dan Kesadaran Kelas) yang mengakibatkan keresahan yang amat besar pada level tertinggi dalam hierarki pemerintahan Uni-Sovyet dikarenakan unsur otentik filsafat Hegelian, serta percampuran antara ideologi Leninisme yang merusak dengan ide-ide yang diturunkan dari Rosa Luxemburg, pemikiran Lukács ini dicap sebagai suatu
‘penyimpangan’. Lenin memiliki kesempatan untuk membuktikan kembali tindakan- tindakannya yang ‘ultra-kiri’. Pada akhirnya di bawah rezim Stalin yang kejam, penuh kecurigaan dan semena-mena, Lukács tenggelam dalam ketakutan sepanjang hidupnya, untuk memodifikasi dan memformulasikan kembali beberapa pandangannya di depan publik, ke dalam suatu bentuk teori, bahkan sebagian besar pengikut setianya memiliki kesulitan untuk merekonstruksi pemikirannya itu sebagai suatu hal yang bukan sekedar slogan dan propaganda. Konsep Lukács mengenai ‘totalitas’ yang diterapkannya secara konsisten terhadap analisa atas karya seni, ataau setiap produk budaya manapun, dapat dipandang sebagai sesuatu yang ia terapkan juga dalam gaya hidupnya. Ia mempercayai sistem-sistem filosofis total, sebagaimana pemikiran Hegel, yang membutuhkan komitmen awal bagi terbentuknya suatu eksistensi atas sesuatu, yang berarti menjadi oposisi terhadap filsafat metafisika Inggris yang digantikan dengan empirisme yang lemah tetapi didukung oleh ilmu pengetahuan dan pemikiran umum. Antroposentrisme Lukács merupakan suatu kepercayaan ontologis dalam harkat dan tujuan eksistensi manusia, suatu prinsip budaya yang fundamental melalui tindakan manusia, dan kemungkinan-kemungkinan yang secara gamblang hadir bagi perubahan lewat sejarah. Semua hal ini terdapat dalam konteks dunia modern, suatu dorongan materialis yang kuat, yang meskipun dapat dipahami secara dialektik, tetap menjadi ancaman yang menekan kekuatan hidup dari ‘Geist’ (spiritualitas) yang muncul melalui kreativitas. Keadaan semacam ini secara langsung mengarah pada pandangan Lukács tentang ‘keterasingan’ (alienasi) dan ‘reifikasi’ (anggapan untuk menjadikan hal yang abstrak sebagai hal yang riil) sebagai buatan manusia. Bahkan keterbatasan-keterbatasan material bagi kehidupan manusia, masih dengan santainya dianggap sebagai suatu kepentingan yang diekspresikan oleh orang secara unik. Pemikiran Lukács mempercayai totalitas sebagai sistem-sistem filosofis yang berkembang, tanpa adanya suatu keretakan, ke dalam kebutuhan integrasi atas pemikiran dan tindakan. Secara konsekuen, hal ini merupakan keterlibatan politiknya yang tetap dan aktif apapun implikasinya. Mungkin motivasi mendasar Lukács, sebagai seorang filsuf tentang sistem-sistem, adalah untuk memproduksi teori estetika yang akan dicapai atas nama budaya baru sosialime Eropa Timur, yakni apa yang telah dicapai oleh idealisme Hegel dan Jerman bagi dunia moderen borjuis Barat. Lukács melahirkan suatu tradisi pemikiran sosialis yang bersifat orisinil, revolusioner dan layak diterima sebagai suatu pemikiran intelektual. Hal ini bukanlah suatu pencapaian yang sederhana dalam suatu periode sejarah yang hanya dapat ditembus lewat kecerdasan dan kumpulan pengetahuan intelektual tersebut tidak diperuntukkan bagi suatu kebijakan terbuka. Ini dikemukakan pula oleh Steiner, ‘Lukács selalu membuat dirinya sendiri bertanggung jawab atas sejarah. Ini memungkinkannya untuk memproduksi suatu bagan pemikiran kritis dan filosofis yang secara intens merupakan ekspresi atas semangat suatu zaman yang kejam dan serius’.10 Inilah yang mungkin merupakan warisan positif dari karya pemikiran Lukács berjudul ‘Devil Pact’ (Persekutuan Setan).
Bagi seorang penganut aliran Marxis seperti Lukács (yang beroposisi terhadap aliran generasi muda neo-kantian, sebagaimana yang diekspresikannya dalam The Theory of The Novel / ‘Teori tentang Novel’), hubungan antara politik, seni dan budaya tidak dapat dipisah-pisahkan. Pandangan seorang filsuf atas dunia semacam itu menyerupai pandangan seorang seniman kreatif yang berkaitan dengan perjuangan kelas. Hal ini,
tentu saja, mengarahkan kita pada estetika yang sentral dan obsesi yang tunggal, yang tentu saja menjadi aksioma dalam ide-ide Lukács, yakni bahwa ‘realisme’ dalam seni dan filsafat tidak hanya memproduksi versi lain tentang dunia, melainkan secara aktual menggambarkan dunia (konsep aktual yang diterapkan oleh Lukács adalah untuk ‘merefleksikan’ dunia). Hal ini bukan merupakan suatu kemunduran untuk kembali pada korelasi positivistik dengan teori mengenai kebenaran. Sebaliknya, ini berarti bahwa reifikasi dan distorsi apapun yang dapat dilalui, dan mediasi-mediasi formal apapun yang dibutuhkan bagi seni atau filsafat, hasil suatu proyek yang realistis ditujukan untuk memungkinkan manusia mempersepsikan sifat alamiah yang sesungguhnya atas hasil proyek itu sendiri. ‘Realisme bukan merupakan satu gaya diantara yang lainnya, melainkan suatu basis kesusasteraan.’11 Pernyataan-pernyataan yang secara potensial bersifat membatasi ini memberikan basis bagi kritik Lukács terhadap seni yang bersifat modernis, formalis dan eksperimental sebagai suatu pengakuan yang menyimpang dari kebenaran atas kondisi manusia yang terjerat dalam totalitas kondisi sosial, ekonomi, politik dan historis. Relasi sosial menjadi basis bagi teori budaya dan setiap isi di dalam bentuk representasi budaya haruslah didikte, seperti itulah relasi sosial, sebagaimana yang ditegaskan Lukács: ‘…disana tidak ada isi dimana manusia sendiri bukan menjadi fokus atas suatu situasi ’.12 Seni modernis yang menyimpang ke dalam situasi-situasi yang aneh dan teralienasi dari kehidupan kotemporer, diturunkan ke dalam kemerosotan (dekadensi) subyektivisme. Secara alternatif organisasi bisnis kaum borjuis memperjuangkan deskripsi yang kaku, yakni suatu representasi yang akurat yang menyetujui empirisme bagi ilmu-nya, dengan kata lain hal ini merupakan dekadensi ke dalam naturalisme. Pemikiran semacam ini, melalui keteguhannya pada deskripsi sebagai oposisi atas narasi, mengakibatkan manusia berada dalam kondisi yang stagnan. Pada sisi yang lain, seni realis yang kritis dan kesusasteraan harus bersifat dinamis yang memproyeksikan karakter-karakternya ke dalam proses historis dan menberikan petunjuk-petunjuk, perkembangan dan motivasi, serta kehendak untuk menciptakan perubahan bagi seni dan kesusasteraan itu sendiri. Kesusasteraan yang dinamis, bagi Lukács merupakan suatu realisme sosialis, yang mencerminkan gerakan dominan pada saat itu. Seni realis menyertakan di dalam gerakan dominan itu, bentuk-bentuk yang bersifat universal dan terintegrasi atas keindahan dan kebenaran yang bertentangan dengan fragmentasi dan mistifikasi yang tercipta melalui pembagian kerja kapitalis.
Tujuan bagi semua seni yang hebat adalah untuk memberikan suatu gambaran realitas dimana terdapat kontradiksi antara penampilan dengan realitas, antara yang khusus dengan yang umum, antara yang sementara dengan yang konseptual, dan lain sebagainya… , juga untuk menyelesaikan kedua keadaan yang kontradiktif itu ke dalam suatu integritas yang bersifat spontan....Sifat universal muncul ke dalam kualitas individu dan kekhususan, realitas bersifat manifes (dapat diwujudkan) dan dapat dialami lewat penampilan’13
Totalitas kehidupan manusia secara sistematis terkikis melalui pemisahan, pengasingan, isolasi dan keputusasaan yang muncul dalam struktur sosial kapitalis. Ini menjadi ‘keresahan’ dimana kesusasteraan modernis seperti Kafka, dan seni ekspresionis seperti karya-karya Munch, van Gogh maupun Kokoschka, seakan-akan dirayakan melalui pemujaan subyektif atas kesadaran diri sendiri.
Fungsi seni secara estetis menciptakan kesadaran yang kaya atas diri sendiri … Esensi dari semua seni (bagi Lukács) terletak dalam estetika realisnya, yang mencakup totalitas sosial dan universal dalam perkembangan sosial. Seni kemudian merupakan media pendidikan kemanusiaan ‘yang benar’, suatu totalitas yang melekat pada diri sendiri yang menunjukkan jalan menuju utopia.14