• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: SEKILAS TENTANG MUHAMMAD NĀSHIR AL-DĪN AL-

C. Kriteria Hadis Berdasarkan Kualitas

3. Hadis Ḍa‘īf

Hadis ḍa„īf menurut bahasa adalah lawan dari qawiy (kuat), kategori ḍa„īf ada dua macam yaitu lahiriyah dan maknawiyah, sedangkan yang dimaksud di sini adalah yang ḍa„īf maknawiyah. 24 Sedangkan hadis ḍa„īf menurut istilah, Ibn Ṣālah memberikan definisi sebagai hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat hadis ṣaḥīḥ maupun hadis ḥasan.25

Istilah ḍa„īf adalah predikat yang umum dan mencakup semua hadis yang ditolak dengan sebab apapun. Hadis ḍa„īf banyak sekali macamnya, hal ini desebabkan apabila kita menetapkan Apabila kita menetapkan sua

Para ulama hadis mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua faktor, yaitu dari segi sanad dan segi matan. Dan jenis hadis ḍa„īf sangat banyak dan tidak cukup jika dijelaskan secara keseluruhan. Maka dari itu, penulis berusaha untuk memilah menjadi beberapa bagian, yaitu hadis ḍa„īf berdasarkan terputusnya sanad, dan karena sebab selain sanadnya muttasil.

23 Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis, 268-269.

24 Syaikh Manna‟ al-Qattan, Pengantar Ilmu Hadis, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 129.

25 Nawir Yuslem, „Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1997), h. 237.

a. Hadis ḍa„īf berdasarkan terputusnya sanad

Dalam kaitan keterputusan sanad, Ibn Ḥajar al-Asqalānī membagi hadis ḍa„īf kepada lima macam26, yaitu hadis mu‟allaq, hadis mursal, hadis munqaṭi‟, hadis mu„ḍal, dan hadis mudallas.

1) Hadis Mursal

Pengertian hadis mursal secara terminologi ialah hadis yang dimarfu‟kan baik berupa sabda, perbuatan, maupun taqrīr, baik pada tabi‟in kecil maupun besar. Dengan kata lain definisi di atas dapat dipahami bahwa seorang tabi‟in mengatakan Rasulullah berkata demikian, namun pada hakikatnya tabi‟in tersebut menghilangkan sahabat sebagai generasi perantara antara Rasulullah dengan tabi‟in.

2) Hadis Munqaṭi„

Pengertian hadis munqaṭi„ adalah hadis yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat, di satu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berurutan.

3) Hadis Mudallas

Berasal dari kata dallasa yang berarti menipu atau menyembunyikan cacat, hadis mudallas berarti suatu hadis yang terdapat di dalamnya tipuan atau cacat. Menurut istilah, hadis mudallas adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak bercacat. Periwayat menyembunyikan kecacatan disebut mudallis, hadis dari mudallis disebut al-mudallas dan perbuatannya disebut tadlis. Tadlis memiliki tiga macam, yaitu:

26 Idri, Studi Hadis, h. 179.

a) Tadlis isnad, yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan dari orang yang pernah bertemu dengannya, tetapi rawi tersebut tidak mendengar hadis daripadanya. Agar rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi yang digugurkan, ia menggunakan lafal menyampaikan hadis dengan

„an fulān (dari si fulan) atau anna fulānan yaqūlu (sesungguhnya sifulan berkata).

b) Tadlis Suyukh, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadis yang didengarnya dari seorang guru dengan menyebutkan kuniyah gurunya, nama keturunannya, atau menyifati gurunya dengan sifat-sifat yang tidak/belum dikenal oleh orang banyak.

c) Tadlis Taswiyah, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadis dari gurunya yang tsiqah, guru tersebut menerima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari seorang guru yang tsiqah pula. Tetapi si mudallis tersebut meriwayatkannya tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan dengan lafal yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.

4) Hadis Muallaq

Hadis muallaq menurut bahasa berarti hadis yang tergantung.

Menurut istilah, Hadis muallaq adalah hadis yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad.27

27 M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushūl al-Ḥadīts (Jakarta: Gaya Mwdia Pratama, 1998), h. 305-310

5) Hadis Mu„ḍal

Hadis mu„ḍal adalah hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut. Termasuk ke dalam jenis ini hadis yang dimursalkan oleh tābi„ tābi„īn. Hadis ini juga sama derajatnya dengan hadis munqaṭī„ bahkan lebih rendah.28

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hadis ḍa„īf karena gugurnya rawi, artinya tidak adanya satu, dua, atau beberapa rawi yang seharusnya ada dalam satu sanad.

b. Hadis-hadis ḍa„īf karena sebab selain sanadnya muttasil ada enam macam, di antaranya:

1) Hadis Muḍa„af, yaitu hadis yang tidak disepakati keḍa„īfannya.

Sebagian ahli hadis menilainya mengandung ḍa„īf baik dari segi sanad atau matannya, namun, sebagian lainnya menilainya kuat.

Namun lebih dominan adalah penilaian ḍa„īfnya.

2) Hadis Muḍtarrib, yaitu hadis yang diriwayatkan dngan beberapa bentuk yang saling berbeda dan tidak mungkin dilakukan tarjih.

3) Hadis Maqlūb, hadis yang terjadi pemutarbalikkan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu sanadnya, atau sanad untuk matan lain.

4) Hadis Syādz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah dan di antara perawinya ada yang menyimpang dari yang

28 M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushūl al-Ḥadīts, h. 306.

lainnya. Imam Syafi‟i menjelaskan hadis syādz merupakan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat.

5) Hadis Munkar, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang ḍa„īf dan bertentangan dengan perawi-perawi yang tsiqah.

6) Hadis Matruk,yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tertuduh dusta dalam hadis atau sering berdusta dalam pembicaraannya, jelas kefasikannya atau sering lupa dan salah.29 c. Kehujjahan Hadis Ḍa„Īf

Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadis ḍa„īf yang mauḍū„ tanpa menyebutkan kemauḍū„annya, sedangkan hadis ḍa„īf itu bukan hadis mauḍū„, karena itu diperselisihkan tentang boleh tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah.

Dalam hal ini ada 3 pendapat, diantaranya:

1) Mengamalkan secara mutlak. Yakni baik yang berkenaan dengan masalah halal-haram, maupun berkenaan dengan masalah kewajiban, dengan syarat tidak ada hadis lain yang menerangkannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Aḥmad bin Ḥanbal, Abū Dāwud, dan sebagainya.

2) Melarang secara mutlak. Meriwayatkan segala macam hadis ḍa„īf, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakr Ibnu al-Arabī, Syihāb al-Khafajī, al-Jalāl al-Dawānī.

29 „Abdurrahman al-Suyuti, Tadrīb al-Rāwī Fī Ṣarḥ Taqrīb al-Nawāwī (Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1972), h. 152.

3) Membolehkan. Kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberikan sugesti, menerangkan keutamaan amal (faḍā‟il a„mal), dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti hala-haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Aḥmad bin Ḥanbal, „Abdurrahman bin Mahdy, „Abdullah bin al-Mubarok.30

Selain itu, Ibnu Ḥajar al-„Asqalānī termasuk ulama ahli hadis yang membolehkan berhujjah dengan hadis ḍa„īf untuk faḍā‟il a„mal memberikan 3 syarat, yaitu:

a) Hadis ḍa„īf itu tidak keterlaluan, oleh karena itu hadis ḍa„īf yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah tidak dapat dibuat hujjah kendatipun sebagai faḍā‟il a„mal.

b) Dasar a‟mal yang ditunjuk oleh hadis ḍa„īf tersebutmasih di bawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadis yang dapat diamalkan (ṣaḥīḥ dan ḥasan).

c) Dalam mengamalkannya meni‟tikadkan bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber dari nabi. Tetapi mengamalkannya hanya semata-mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.31

Adapun demikian, pengamalan hadis ḍa„īf banyak terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama hadis. Periwayatan hadis ḍa„īf hendaknya dengan jalur sanadnya serta jika telah di-takhrij oleh ulama

30 Fatchur Rachman, Ikhtisar Mushtalah al-Hadis,h. 229.

31 Rachman, Ikhtisar Mushtalah al-Hadis, 230.

hadis, maka wajiblah untuk menyebutkan „illah hadis yang terkandung di dalamnya . sehingga dapat diketahui bahwa hadis tersebut ḍa„īf .

Dokumen terkait