• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: SEKILAS TENTANG MUHAMMAD NĀSHIR AL-DĪN AL-

D. Pemikiran al-Albānī Tentang Hadis

2. Kritik Sanad dan Matan al-Albānī

Sebuah hadis terdiri dari dua bagian utama yaitu sanad dan matan, sanad adalah jalan menuju matan, artinya sebuah matan hadis dan menyampaikannya secara keseluruhan mulai dari perawi awal hingga sampai nabi. Adapun yang dimaksud dengan matan adalah lafal dari sebuah hadis yang tersusun menjadi suatu pengertian.36

Para ulama termasuk al-Albānī menolak setiap hadis yang tidak memiliki sanad. Hal ini disebabkan merebaknya kebohongan yang mengatasnamakan Nabi

33 M. Nāṣir al-Dīn al-Albānī, al-Ḥadīts Ḥujjah bi Nafsihi fī al-„Aqīdah wa al-Aḥkām, h.

21.

34 al-Albānī, al-Ḥadīts Ḥujjah, h. 22. ة

35al-Albānī, al-Ḥadīts Ḥujjah, h. 22.

36 al-Albānī, al-Ḥadīts Ḥujjah, h. 23.

Saw. seorang ulama dari golongan tabi‟in, Muhammad Ibn Sirrin berkata: “dahulu para ulama tidaklah pernah menanyakan sanad suatu hadis. Namun, tatkala fitnah telah merebak, merekapun berkata “sebutkan sanadmu” setelah itu mereka menimbang, jika orang-orang yang ada dalam sanad tersebut tergolong ke dalam ahl al-bait, maka mereka tolak hadisnya”.37

Bagi al-Albānī setiap sanad yang dinukil kepada perawi, apabila orang-orang yang meriwayatkan termasuk dalam kriteria syarat hadis ṣaḥīḥ, maka hadis tersebut harus diterima. Karena untuk mengetahui kualitas sebuah hadis bisa dilihat dari susunan sanadnya. Abdullah Ibn al-Mubarak berkata “al-isnād adalah bagian dari agama. Jika seandainya bukan karena isnad niscaya seorang akan berkata sesuka hatinya”.38

Menurut al-Albānī, kriteria diterimanya sanad sebuah hadis adalah sebagai berikut:39

a. Sanadnya bersambung,

b. Periwayat hadis adalah seorang yang bersifat ḍabt, c. Periwayat hadis adalah seorang yang bersifat ādil,

d. Perawi hadis terbebas dari sifat syudzūdz (tidak menyalahi perawi yang kuat)dan „illah.

kriteria diterimanya sanad ini sama dengan kriteria ulama hadis lainnya karena memang hal itu telah disepakati oleh jumhur ulama.

37 M. Nāsir al-Din al-Albānī, hadis sebagai landasan akidah dan hukum, Penerjemah M.

Irfan Abu Zain, ed. Abu Fahmi Huaidi (Jakarta: Pustaka Azza, 2002), h. 22.

38M. Nāsir al-Din al-Albānī, hadis sebagai landasan akidah dan hukum, h. 23.

39al-Albānī, al-Ḥadīts Ḥujjah, h. 15.

3. Jarḥ Wa Ta’dil menurut al-Albānī

Ilmu jarḥ wa ta‟dil merupakan ilmu yang istimewa yang hanya bisa dikuasai oleh beberapa orang saja. Adapun syarat dasar yang harus ada dalam diri seorang ulama jarḥ wa ta‟dil adalah:40

a. Tidak memihak terhadap siapapun atau bersifat objektif,

b. Harus berani men- jarḥ seorang rawi yang sudah jelas kecacatannya walaupun dia sama akidahnya,

c. Harus berani menyatakan tsiqah seorang rawi yang tidak teridentifikasi kecacatan walaupun dia berbeda akidah,

d. Tidak melakukan jarḥ atau ta‟dil berdasarkan hawa nafsu.

Sedangkan syarat seorang dikatakan adil adalah muslim, baligh, berakal, selamat dari sebab fasik, dan dapat menjaga muru‟ah.41

Adapun seorang rawi yang majhūl al-Albānī membaginya menjadi dua macam, yaitu: 1) majhūl „ainiyyah, seorang perawi yang hanya menurunkan satu perawi darinya. Dan 2) majhūl ḥāliyah, yaitu seorang perawi yang menurunkan beberapa perawi darinya namun belum sampai kepada derajat tsiqah.42

Sesungguhnya riwayat masur dan majhūl tidak dapat ditolak atau diterima secara mutlak, tetapi tergantung pada kejelasan keadaan perawi oleh imam yang handal. Dengan kata lain majhūl ḥāliyah merupakan oarang yang teriwayatkan

40 „Aṣm Mūsā Hādy, „ulūm Ḥadīts li „Allāmah Albānī (Beirut: Dār al-Utsmaniyah, 2003), h. 52-53.

41 „Aṣm Mūsā Hādy, „ulūm al-Ḥadīts li al-„Allāmah al-Albānī, h. 53.

42M. Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Terjemah Tamamul Minnah(Koreksi Dan Komentar Secara Ilmiah Terhadap Kitab Fiqhus Sunnah Karya Sayyid Sabiq, Penerjemah Afifuddin Said, ed. Tim MSP (Tegal: Maktabah Salafy Press, 2002), h.7.

hadisnya oleh dua orang perawi atau lebih namun tidak ada pengakuan terpercaya.43

Bentuk dan tingkatan lafal jarḥ wa ta‟dil Albānī merujuk pada al-Dzahabī dalam kitabnya “Mīzān al-I„tidāl fī Naqd al-Rijāl”, untuk menentukan bentuk lafal ta‟dil tingkatannya yaitu:44

1) Tsabt ḥujjah, Tsabt Ḥāfdh, tsiqah mutqan, tsiqah 2) Tsiqah

3) ṣadūq, lā ba‟sa bih, laisa bih ba‟sa, maḥalluhu al-ṣidq, jayyīd al-ḥadīts, syayikh wasaṭ, syayikh ḥasan al-ḥadīts, ṣadūq insyā‟ Allāh, dan sebagainya.

Sedangkan tingkatan lafal jarḥ adalah:

1) sū‟ al-ḥifdh

2) Matrūk, tingkatan ḍa„īfnya berat 3) Munkar al-Ḥadīts

4) Kadzdzāb

Ta‟arud dalam jarḥ wa ta‟dīl, jika ditemukan perbedaan dalam yang harus dilakukan adalah mendahulukan jarḥ atas ta‟dīl dengan syarat sebab cacatnya telah diketahui dengan jelas.45

Menurut jumhur ulama‟ dan juga al-Albānī, untuk menyatakan keadilan bagi seorang perawi cukuplah dengan pernyataan satu orang ulama‟ saja. sehingga apabila perawi telah dinyatakan diterima periwayatannya. Ulama yang sependapat

43M. Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Terjemah Tamamul Minnah(Koreksi Dan Komentar Secara Ilmiah Terhadap Kitab Fiqhus Sunnah Karya Sayyid Sabiq), h. 8.

44 „Āṣām Mūsā Hādī, „Ulūm al-Ḥadīts li al-„Allāmah al-Albānī, h. 59-60.

45 Hādī, „Ulūm al-Ḥadīts, h. 67.

dengan pernyataan ini adalah Ibn Ṣālāḥ. Namun al-Albānī menambahkan bahwa maksud kaidah di atas bukanlah bersifat mutlak, namun berlaku bagi ulama jarḥ wa ta‟dīl yang belum mengetahui secara mendalam dan cenderung tasahhul.46

Penetapan jarḥ wa ta‟dīl, berdasarkan pendapat seorang Imam ada banyak pendapat tentang penetapan status seorang perawi berdasarkan pendapat seorang imam. Ada sebagian ulama‟ yang menerimanya dengan catatan seorang imam tersebut memberi keterangan sebab jarḥ terhadap seorang perawi. Pendapat ini juga bisa diambil apabila seorang imam tersebut memenuhi syarat sebagai seorang ulama jarḥ wa ta‟dīl yaitu dia harus seorang yang „ālim dan nāṣiḥ.47

Seorang perawi yang telah teridentifikasi jarḥ, maka secara otomatis hadis yang diriwayatkan menjadi ḍa„īf kecuali telah diketahui bahwa dia meriwayatkan hadis tersebut sebelum adanya ikhtilāṭ (percampuran). Kaidah “ikhtilāṭ” yang berlaku adalah jika seorang perawi mendengarkan hadis sebelum ikhtilāṭ maka periwayatannya diterima, namun jika dia mendengar sesudah dinyatakan ikhtilāṭ atau tidak diketahui apakah dia mendengar sebelum ikhtilāṭ atau dia dalam keadaan keduanya maka hadisnya tertolak.48

4. Kriteria Hadis Mauḍū’ dan Ḍa’īf Menurut al-Albānī a. Kriteria Hadis Mauḍū‟ Menurut al-Albānī

Al-Albānī belum merumuskan secara jelas kriteria hadis mauḍū‟ , hanya menetapkan secara global. Di antara kriteria yang ia rumuskan secara global dalam kitab silsilah al-Aḥādīts al-ḍa‟īfah wa al- mauḍū‟ah adalah al-Albānī menggunakan kriteria-kriteria dalam menetapkan kualitas hadis mauḍū‟ yang bisa

46Hādī, „Ulūm al-Ḥadīts,h. 47-48.

47 Hādī, „Ulūm al-Ḥadīts, h. 68.

48 Hādī, „Ulūm al-Ḥadīts, h. 70.

dirumuskan dari penjelasan-penjelasan yang dipaparkannya: “seorang zindik biasa memalsukan lebih dari empat ribu hadis, bahkan dipastikan dari tiga orang yang dikenal sebagai pemalsu hadis, puluhan ribu hadis bisa dibuat. Menurutnya, ada beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya hadis palsu yaitu: tendensi politik, demi aṣhabiyah (rasialisme) fanatisme madzhab, pengakuan demi bertaqarrub kepada Allah Swt. Dan juga karena kesalahan tak sengaja sebagian kaum sufi karena ketidak tahuannya”.49

Dalam kitab Silsilah al-Ḍa‟īfah wa al-Mauḍū‟ah pengakuan pemalsu hadis sebagai indikator palsunya sebuah hadis tidak banyak ditemukan dalam kitab ini, mayoritas penilaian al-Albānī diambil berdasarkan pemalsu hadis secara umum, bahwa periwayat pernah membuat hadis palsu, disamping pribadinya yang cacat karena dinilai pendusta.50

Al-Albānī dalam menentukan kualitas hadis mauḍū‟ berdasarkan kritik sanad dan kritik matan. Kriteria dari segi matan lebih mengarah pada redaksi hadis yang mengandung kedustaan yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw. baik dari segi perkataan yang tidak pernah dikatakan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan.51

Dari pernyataan di atas, bisa dirumuskan diantara kriteria penetapan kepalsuan hadis menurut al-Albānī: pengakuan pemalsu hadis, sesuai dengan madzab periwayat dan juga melebih-lebihkan pahala atau siksa atas amal sepele guna mendekatkan diri kepada Allah.

49 Al-Albānī, Silsilah al-Ḍa‟īfah wa al-Mauḍū‟ah, j. 2, h. 17.

50 Al-Albānī, Silsilah al-Ḍa‟īfah wa al-Mauḍū‟ah, j. 1, h. 229.

51 Usman al-Fallah ibn Ḥasan, al-Waḍ„u fī al-Ḥadīts (Beirut: Muassasah manahil Irfan, 1981), j. 1,h. 300.

b. Kriteria Hadis Ḍa‟īf

Kriteria hadis ḍa‟īf yang dikemukakan oleh ulama terdahulu (pada umumnya) yang dihimpun oleh M. Syuhudi Ismail, dalam kategori sanad adalah:52

1) Sanad yang tampak muttasil dan marfu‟, tetapi ternyata mawqūf 2) Sanad yang tampak muttasil dan marfu‟, tetapi ternyata mursal

3) Dalam suatu hadis terdapat kerancuan karena bercampur dengan hadis lain dalam sanad hadis tersebut terjadi kekeliruan penyebutan nama periwayat yang memiliki

kemiripan atau kesamaan nama dengan perawi lain yang kualitasnya berbeda.

Kriteria ini juga dianut oleh al-Albānī karena memang mayoritas ulama telah sepakat akan kriteria tersebut. Jika suatu hadis dinyatakan terputus atau teridentifikasi terkena syādz atau „illat maka dikategorikan ke dalam hadis ḍa‟īf.53 Selanjutnya hadis dinilai ḍa‟īf dari segi matan menurut al-Albānī adalah:54

1) Hadis yang matannya mengandung nakārah karena bertentangan dengan al-Qur‟an, hadis-hadis yang ṣaḥīḥ, kaidah syariat yang mapan, realita dan data yang pasti.

2) Hadis yang matannya tidak bertentangan namun tidak mendapat dukungan petunjuk al-Qur‟an, hadis-hadis yang ṣaḥīḥ, kaidah syariat yang mapan, realita dan data yang pasti.

52 M. Syuhudi Ismail, metodologi Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 89.

53 Al-Albānī, Silsilah al-Ḍa‟īfah wa al-Mauḍū‟ah, j. 1, lihat muqaddimah.

54 Abu Yahya Zakariya ibn Ghulam Qadir, Albānī wa Manhaj Aimmah al-Mutaqaddimīn fī „ilm al-Ḥadīts (Riyad: maktabah al-Ma‟arif, 1983), h. 29.

Sementara dari aspek hukum ber-hujjah dengan hadis ḍa‟īf al-Albānī berpendapat tidak boleh diamalkan walaupun untuk keutamaan (faḍāil al-a‟māl).

Al-Albānī mengakui bahwa pendapat yang populer dikalangan ulama hadis adalah ḍa‟īf boleh diamalkan dalam konteks keutamaan (faḍāil al-a‟māl).55

Dalam kitabnya Tamām al-Minah fī ta‟līq „alā Fiqh al-Sunnah, al-Albānī merumuskan beberapa kaidah untuk mendalami dan memahami sunnah sebagai berikut:56

a) Menolak hadis syādz b) Menolak hadis muḍtarīb c) Menolak hadis mudallas d) Menolak hadis majhūl

e) Mengukuhkan hadis dengan banyaknya jalur bersifat tidak mutlak, sebuah hadis akan menjadi kukuh dan dapat dijadikan hujjah jika diriwayatkan dari berbagai jalur, meskipun secara tersendiri masing-masing jalur itu lemah.

f) Meninggalkan hadis ḍa‟īf meski sabagai keutamaan (faḍāil al-a‟māl) dengan menyebutkan beberapa alasan, yakni, hadis ḍa‟īf hanya memberi manfaat bagi dugaan yang diunggulkan, tetapi disepakati untuk tidak diamalkan. Bagi yang ingin mengamalkan hadis tersebut harus dapat menyertakan dalil yang menguatkannya, dan jika ada suatu amal yang tidak disyariatkan berdasarkan hujjah yang kuat, tetapi

55 Muhammad Jamal Din Qasimi, Qawa‟id Taḥdīth min Funun Muṣṭalāḥ al-Ḥadīts (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), h. 113.

56 Dīn al-Albānī, Terjemah Tamamul Minnah(Koreksi Dan Komentar Secara Ilmiah Terhadap Kitab Fiqhus Sunnah Karya Sayyid Sabiq), h. 2-32).

disertai hadis yang menyebutkan khusus pahala bagi yang mengamalkannya.

60 A. Kritik Hadis ke-1

1. Kritik Sanad

Untuk menentukan kualitas suatu hadis, maka terlebih dahulu haruslah melakukan penelitian lebih lanjut baik dari segi sanad ataupun matannya.

a. Teks dan Terjemahannya

ُمَّلَكَتَ يَل َدْبَعْلا َّنِإَو ِْب

ِل َم َكل اَِبِ َُّللَّا ُوُعَ فْرَ ي ، ًلََب اََلَ يِقْلُ ي َلَ ِة

1

“Sungguh seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang diridlai Allah, suatu kalimat yang ia tidak mempedulikannya, namun dengannya Allah mengangkatnya beberapa derajat”2

b. Kegiatan Takhrij Hadis

Dalam men- takhrījhadis, seseorang haruslah mengetahuimetode apa saja yang digunakan dalam melakukan takhrīj hadisPengertian takhrīj adalah seperangkat ilmu yang mempelajari tentang bagaimana cara atau metode untuk mengeluarkan sebuah hadis dari sumbernya, sehingga diketahui asal-usul hadis tersebut berasal. Dari kitab apa, siapa yang meriwayatkannya, dan informasi-informasi penting lainnya, lengkap dengan sanad dan matannya.3 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1 Muhammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa‟ifah wa al-Mauḍū‟ah wa Ātsaruhā al-Sayyi‟ fī al-Ummah (Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif, 1992), j. 3, h. 463.

2 Ibn Hajar al-Asqalani, Fatḥ al-Bārī Syarah Shahih al-Bukhari, Penerjemah Amir Hamzah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), j. 31, h. 267.

3 Lihat Ali Imron, dkk, Ilmu Sanad Hadis (Yogyakarta: Idea Press, 2017), h. 250.

1. Takhrīj melalui awal matan hadis , menggunakan kitab Mausū‟ah Atrāf al-Hadīts al-Nabāwī al- Syarīf karya Muhammad Sa„id ibn Basyuni. Kitab ini memuat indeks lafadz pertama matan hadis yang terdapat dalam 150 Sembilan kitab induk. Berikut adalah salah satu contoh:

خ نامٌلإا

١ (di baca: hadis dengan lafadh tersebut terdapat di dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dalam tema “al-Īmān” dengan nomor bab 7.

Berdasarkan penelusuran dengan kata

ى ضر ,

data dari kitab Mu‟jam al-Mufahras tersebut yaitu sebagai berikut: Nabawī al-Syarīf (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.), j. 1, h, 16-21.

5 Keterangan nama-nama kitab yang dimaksud di dalam rumus terdapat dalam Muqaddimah Kitab Abū Hājar Muhammad Sa„īd bin Basyūnī Zaghlūl, Mausū‟ah Atrāf al-Ḥadīts al- Nabawī al-Syarīf, j. 1, h, 16-21.

6 Mahmud al-Ṭaḥḥān, Uṣl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānid (Riyadh: Maktabah al-M‟arif, 1991), h. 35.

7 Winsink, Al-Mu„jam al-Mufahras li Alfādz al-Ḥadīts al-Nabawī (Leiden: Beril, 1936), j.

2. h. 269.

Kemudian, Setelah ditelusuri melalui awal matan

ِة ِل َم َكل ِْب ُمَّلَكَتَ يَل َدْبَعْلا َّنِإ

dengan menggunakan kitab Mausū„ah al-Aṭrāf al-Ḥadīts al-Nabawī al-Syarīf, berdasarkan kitab tersebut, informasi yang didapat sebagai berikut:

ُمَّلَكَتَ يَل َدْبَعْلا َّنِإ

Berdasarkan petunjuk dengan menggunakan kedua metode takhrij tersebut, berikut ini adalah teks/ redaksi hadis yang berhasil ditemukan di dalam kitab-kitab rujukan:

Redaksi dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī :

َنْبا نِْعَ ي َِّللَّا ِدْبَع ُنْب ِنَْحَّْرلا ُدْبَع اَنَ ثَّدَح ،ِرْضَّنلا َبَأ َعَِسَ ،ٍيرِنُم ُنْب َِّللَّا ُدْبَع ِنَِثَّدَح

al-Nabawī al-Syarīf (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t. ), j. 3, h. 107.

9 Abī „Abdillāh Muḥammad bin Ismā„īl Bukhārī, Ṣaḥīḥ Bukhārī (Beirut: Syirkah al-Quds, 2008), h. 1304.

Redaksi dalam kitab al-Baihaqī:

Redaksi dalam kitab al-Adzk ār li al-Nawāwī:

ِنَع ،َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع

Redaksi dalam kitab Sunan Aḥmad bin Ḥanbal:

ِويِبَأ ْنَع ِنَْحَّْرلا ُدْبَع اَنَ ثَّدَح ِرْضَّنلا وُبَأ اَنَ ثَّدَح

10 Al-Jalīl Abī Bakr Aḥmad bin Ḥusain bin „Alī Baihaqī, Al-Sunan Kubrā (Dar al-fikr), h. 165.

11 Abū Zakariyā Muḥyī al-Dīn Yaḥyā bin Syarf al-Nawawī, al-Adzkār al-Nawawiyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 331-332.

12Muḥammad bin „īsā bin Saurah bin Mūsā bin al-Ḍaḥāk al-Tirmidzī, al-Jāmi„ al-Kabīr Sunan al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Islāmī, 1998), j. 4, h. 135.

13 Al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Musnad al-Imām al-ḥāfidh Abī „Abdullāh Aḥmad bin Ḥanbal (Saudi Arabia: Riyāḍ, 1998), h.8395

Redaksi dalam kitab Sunan Ibn Mājah:

Redaksi dalam kitab Misykāh li Maṣābīḥ:

:َمَّلَسَو ِوْيَلَع َُّللَّا ىَّلَص َِّللَّا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَعَو

Redaksi dalam kitab Syarḥ al-Sunnah li al-Baghāwī:

: َلاَق َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص ِِّبَّنلا ِنَع ،َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع

14 Al-ḥāfidh Abī „Abdullāh bin Yazīd Qazwainī, Sunan Ibn Mājah (Lebanon: Dār al-Kutb, 2008), h. 639.

15 Al-Khaṭīb al-Tabrīzī, Misykāt al-Maṣābīḥ (Beirut: Dār al-Kutub, 2012), h. 189.

16 Al-Ḥusain bin Mas‟ūd al-Baghawī, Syarḥ al-Sunnah (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1983), j. 14, h. 313.

c. I‟tibār Hadis

Kata i‟tibār (رابتعلإا) merupakan masdar dari kata زبتعإ menurut bahasa adalah “peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu yang jelas”. Sedangkan menurut istilah adalah penelitian jalan-jalan hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi untuk mengetahui apakah ada orang lain dalam meriwayatkan hadits itu atau tidak. Menurut istilah ilmu hadis, al-i‟tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanad-nya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah aada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis di-maksud.17

Dengan dilakukannya al-i‟tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama- nama periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Kegunaan al-i‟tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabi‟ atau syahid.18

Dalam melakukan i‟tibar dapat dibantu dengan pembuatan skema sanad, hal ini dilakukan untuk memudahkan pemahaman dan efektifitas keiatan penelitian mengenai hadis yang bersangkutan. Adapun skemanya sebagai berikut:

17 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 51.

18 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 52.

d. Sanad Hadis

Kegiatan penelitian sanad ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai periwayat, pada bagian ini diperlukan kitab-kitab yang menerangkan periwayat hadis baik dari segi biografinya, pribadinya, kritikan terhadapnya dan lain-lain. Dalam meneliti sanad hadis ini, dari awal penulis batasi yaitu hanya meneliti hadis yang ada pada kitab al-kutub al-sittah saja. Dalam kegiatan ini, kritik sanad dimulai dari periwayat terakhir (mukharrij).

Jalur Imām al-Bukhārī

1. Al-Bukhārī

a. Nama lengkap : Muḥammad bin Ismā‟īl bin Ibrāhīm bin al-Mughīrah ibn Bardizbah, lahir pada hari Jum‟at setelah solat Jum‟at di bulan Syawwāl tahun 194 H (810M) di Bukhara, usia 10 tahun dia mulai mempelajari dan menhafal hadis. Ketika berusia 11 tahun cita-citanya dalam mendalami ilmu hadis semakin menggebu-gebu dan akhirnya pergi menemui tokoh-tokoh ahli hadis di tanah airnya untuk mendalami hadis.19

Pada tahun 216 H dia berhijrah ke Mekkah dan mendalami hadis dari tokoh-tokoh ahli hadis seperti al-Wālid al-Azraqī dan Ismā„īl bin Salim, kemudian pergi ke Madinah mendalami hadis dari anak cucu nabi Saw. selama satu tahun.

Beberapa kota yang menjadi tempat belajar hadis adalah Mekkah, Madinah, Syam, Baghdad, Wasit, Basrah, Bukhara, Kufah, Mesir, Harah, Naisapur, Qarasibah, „Asqalan, Himsih, dan Khurasan.

19 Muhammad Muhammad Abū Syuhbah, Fī Riḥāb al-Kutub al-Ṣiḥāḥ al-Sittah (Kairo:

Majma‟ al-Buḥūs al-Islāmiyyah, 1969), h. 53.

Setelah berusia 62 tahun, anak yatim yang kemudian tersohor sebagai ahli hadis nomor satu itu kembali dan menetapdi Bukhara, dia pergi ke Khartank dikawasan Samarqand menjenguk saudaranya yang bernama Ghalib bin Jibril, beberapa hari kemudian beliau sakit hingga wafat pada malam Sabtu ketika hendak melaksanakan solat „Isyā‟ di Bulan Syawwāl tahun 256 H (870 M).20

b. Guru : Ibrāhīm bin Ḥamzah al-Zubairī, Ibrāhīm bin Mūsā al-Rāzī, Aḥmad bin Ḥanbal, Abī al-Naḍr Isḥāq bin Ibrāhīm, Ismā‟īl bin Abī Aus, Ibrāhīm bin al-Mudzir al-Ḥizāmī,‟Affān bin Muslim, : ‘Abdullāh bin Munīr, Muhammad bin Basysyār Bundār, „Ubaidullāh bin Mūsā, Muhammad bin Sinān, dll.

c. Murid : al-Tirmidzī, Ibrāhīm bin Isḥāq, Abū Bakr Aḥmad bin Rustum, Aḥmad bin Sahl bin mālik, Abū Bakr bin „Amr bin Abī „Āṣim, Abū al-„Ābbās Aḥmad bin Muhammad, Aḥmad bin Muhammad bin al-Jalīl, Abū ḥāmid Aḥmad bin Muhammad bin „Ammār al-Naisābūrī, dll.

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : ḥaddatsanā e. Pendapat ulama‟ hadis :

Aḥmad bin Sayyār al-Marwazī : “mencari ilmu, bermasyarakat, melakukan rihlah hadis, mencari ijazah hadis, bagus pengetahuannya, dan bagus hafalannya” 21

Abū Muṣ‟ab : “afqah „indanā wa abṣar min ibn Ḥanbal”

„Āmir bin al-Mutja‟ : “mā ra‟aynā mitsla Muhammad bin Ismā‟īl”

Ṣāliḥ bin Muhammad al-Asadī : Muhammad bin Ismā‟īl a‟lamuhum bi al-ḥadīts.22

20 Haji Khalifah, Kasyf Ḍuḥūn „an Asami„ Kutūb wa Mutūn (Beirut: Dar al-Haditsah, t.t.), h. 541.

21 Jamāl al-Dīn Abī al-Ḥajjāj Yūsuf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā al-Rijāl (Beirut:

Muassasah, 1983), j. 24, h. 430.

22 Abī Faḍl Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar Syihāb Dīn al‟Asqalānī Syāfi‟ī, Tadzhīb al-Tahdzīb (Beirut: Muassasah al-Risālah, t.t.), h. 509.

2. „Abdullāh bin Munīr

a. Nama lengkap : „Abdullāh bin Munīr, Abū „Abdurrahmān Marwazīy al-Zāhid, beliau tinggal di Farabr ulama berbeda pendapat tentang tahun wafatnya, Muḥammad bin Yūsuf mengatakan „Abdullāh bin Munīr wafat pada tahun 241 H dan Abū al-Qāsim mengatakan bulan Rabī‟ al-Ākhir 243 H.

b. Guru-guru : Abā Naḍr Hāsyim bin Qāsim, Aḥmad bin Sulaimān al-Marwazīy, Isḥāq bin Rāhawiyah, Asyhal bin Ḥātim, Ja‟far bin „Aun, Khālid bin Makhlad, Sa„īd bin „Āmir al-Ḍuba„ī, Abī „Āṣim al-Ḍaḥāk bin Makhlad Nabīl, „Abdullāh bin Abī Bakr Sahmī, „Abd Mulk bin Ibrāhīm Juddīy, „Abd Razzāq bin Hammām, „Ubaidullāh bin Mūsā, „Alī bin al-Ḥasan bin Syaqīq, al-Naḍr Hāsyim bin al-Qāsim, Wahb bin Jarīr bin Ḥāzim, Yazīd bin Abī Ḥakīm al-„Adanī, dan Yazīd bin Hārūn.

c. Murid-murid : al-Bukhārī, al-Tirmīdzī, al-Nasā‟ī, Abū Ya„qūb, „Abdān bin Muhammad bin „īsā Marwazīy, Hubairah bin Hasan, Yaḥyā bin Badr al-Qurasyī.

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : ḥaddatsanī e. Pendapat ulama‟ hadis :

al-Nasā‟ī : tsiqah

ibn Ḥibbān : dzakarahu fī kitāb “tsiqāt”

Muhammad bin Yūsuf : lam ara mitslahu23

23 Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 16, h. 178-180.

3. Abā al-Naḍr

a. Nama lengkap : Hāsyim bin al-Qāsim, Abū al-Naḍr al-Laitsī al-Baghdādī, lahir pada tahun 134 H. Dan wafat pada tahun 207 H. Berasal dari Khurasān bani al-Laitsī yang menjadi kinayahnya sendiri, pernah tinggal di Khurasān, Baghdād.

b. Guru-guru : Ibrāhīm bin Sa„ad, Ibrāhīm bin „Abdullah bin al-Ḥārits, Isḥāq bin Sa„īd al-Qurasyī, Bakr bin Khunais, Jarīr bin „Utsmān al-Raḥbī, Zuhair bin Mu„āwiyah, Ziyād bin „Abdullah bin „Alātsah, Sulaimān bin al-Mughīrah, Syarīk bin „Abdullah al-Nakh„ī, Syu„bah bin al-Ḥajjāj, Syaibān bin

„Abdurraḥman , Ṣāliḥ al-Murī, „Abdurraḥman bin Tsābit bin Tsaubān,

‘Abdurraḥman bin ‘Abdullāh bin Dīnār, dll.

c. Murid-murid : Ibrāhīm bin Ya„qūb al-Juzjānī, Aḥmad bin Ḥanbal, Aḥmad bin

c. Murid-murid : Ibrāhīm bin Ya„qūb al-Juzjānī, Aḥmad bin Ḥanbal, Aḥmad bin

Dokumen terkait