• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: SEKILAS TENTANG MUHAMMAD NĀSHIR AL-DĪN AL-

B. Metodologi Keshahihan Hadis

Setelah melalui proses dari kedua metode takhrij di atas dan semua hadis telah terkumpul, langkah kedua yaitu menyusun keseluruhan sanad dalam sebuah skema sanad (dengan tujuan memudahkan pembacaan jaringan sanad hadis yang sedang diteliti).3 Langkah ketiga yaitu melakukan kritik sanad hadis, yakni segala

1 Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 275.

2 Abdul Hakim Wahid, Autentisitas Hadis Nabi: Studi Riwayat Nāfi‟ mawlā Ibn „Umar dalam Kitab al-Ṣaḥīḥain ( Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2017), h. 21.

3 Hasan Asy‟ari Ulama‟I, Melacak Hadis Nabi Saw.: Cara Cepat Mencari Hadis dari Manual hingga Digital (Semarang: RaSAIL, 2006), h. 25.

syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas ṣaḥīḥ.4 Beberapa kriteria keṣaḥīḥan sanad hadis yaitu sebagai berikut:

Dalam melakukan kritik keṣaḥīḥan hadis, Ibn Ṣalāḥ yaitu seoarang ulama hadis al-Mutaakhirīn memiliki definisi atau pengertian hadis ṣaḥīḥ adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh perawi yang adil dan ḍābit sampai akhir sanad, tidak terdapat syādz (kejanggalan) dan „illat („illat).5 menurut al-Nawawi, bahwa yang disebut sebagai hadis ṣaḥīḥ adalah hadis yang bersambung sanadnya oleh rawi-rawi yang „adil dan ḍābit serta terhindar dari syādz dan „illat.6 Berikut ini adalah lima kriteria syarat hadis yaitu:

1. Rawinya bersifat adil, arti adil dalam periwayatan menurut Ibnu al-Sam„ānī harus memenuhi empat syarat, yaitu:

a. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat, b. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan

santun.

c. Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.

d. Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar syara„.

4 Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 123.

5 M. Syuhudi Isma‟il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan tinajauan kritis dengan pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 128.

6 Hasan Asy‟ari Ulama‟I, Melacak Hadis Nabi Saw., h. 26-30, dan lihat Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad, h. 128.

2. Ḍābiṭ, yang dimaksud dengan ḍābit adalah orang yang kuat ingatannya, artinya bahwa ingatannya lebih banyak dari pada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak dari pada kesalahannya.

3. Sanadnya bersambung, yang dimaksud sanadnya bersambung adalah sanad yang tidak terputus. Dengan kata lain, tiap-tiap rawi saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.

Untuk mengetahui bersambung suatu sanad, para muhdditsīn menempuh langkah-langkah sebagai berikut:7

1) Mencatat semua nama lengkap periwayat dalam sanad yang diteliti, mencatat biografi masing-masing periwayat (tahun lahir/wafat, guru dan murid), dan ṣighat (kata-kata) dalam proses taḥammul wa al-adā‟

(menerima dan menyampaikan hadis). Hal ini dilakukan dalam rangka mengetahui persambungan sanad hadis.

2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.

3) Meneliti kata-kata yang berhubungan antar periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa ḥaddatsanā, ḥaddatsanī, akhbaranā,dan kata-kata lainnya.

4. Tidak ber„illat, „illat hadis adalah suatu penyakit yang samar sehingga dapat menodai keshahihan hadis tersebut. Dengan kata lain suatu sisipan yang terdapat pada matan hadis.

5. Terhindar syādz, Syādz adalah kejanggalan suatu hadis terletak pada adanya perlawanan antara hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbūl

7 Subhi al-Ṣāliḥ, „Ulūm al-Ḥadīts wa Muṣṭalāḥuhu (Beirut: al-Ilm Li al-Malayin, 1997), h. 145.

(yang dapat diterima periwayatannya dengan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih rājih (kuat).8

Terkait syarat terhindar dari syādz dan „illat, sekiranya unsur sanad bersambung dan rawi ḍabt telah dilaksanakan dengan semestinya, niscaya unsur terhindar dari syādz dan „illat telah terpenuhi juga.9

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sanad hadis dapat dinyatakan bersambung jika seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar tsiqah („adil ḍabt) dan antara periwayat terdekat sebelumnya benar-benar terjadi hubungan periwwayatan berdasarkan ketentuan taḥammul wa al-„adā‟.

2. Al-Jarḥ wa al-Ta‘dīl a. Pengertian

Al-jarḥ secara bahasa berarti luka yang mengalirkan darah. Menurut istilah adalah munculnya sifat dalam diri perawi yang menodai sifat „adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya yang mengakibatkan gugur riwayatnya, lemah riwayatnya, atau bahkan tertolak riwayatnya. Al-ta„dīl menurut bahasa berarti tawsiyah (menyamakan). Sedang menurut istilah berarti lawan dari al-jarḥ, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia „adl atau ḍabt.10

Ilmu al-jarḥ wa al-ta„dīl adalah „timabangan‟ bagi para rawi hadis. Rawi yang berat timbangannya, diterima periwayatannya, dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui

8 Fatchur Rachman, Ikhtisār Musṭalāḥ al-Ḥadīts (Bandung: al-Ma‟arif, t.th), h. 119-123.

9 Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, h. 177-178.

10 Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), h. 233.

periwayat yang dapat diterima hadisnya dan kita dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima hadisnya.11

Para ahli hadis mendefinisikan al-jarḥ sebagai menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan „adalah atau keḍabtan perawi.

Sedangkan al-ta„dīl adalah kebalikan dari al-jarḥ yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia „adl dan ḍabt.

Mengingat penetapan ṣaḥīḥ dan ḍa„īfnya hadis didasarkan pada beberapa perkara, antara lain keadilan dan keḍabtan perawi, atau cacatnya keadilan dan keḍabtan mereka, maka para ulama telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskan tentang keadilan dan keḍabtan para perawi, yang diambil dari para imam mu„addil (ahli dalam menetapkan keadilan dan kecacatan seseorang) dan terpercaya.hal inilah yang dikenal dengan nama al-ta„dil. Adapun al-jarḥ yakni yang menjelaskan cacatnya aspek keadilan sebagian perawi, termasuk keḍabtan dan hafalan mereka. Yang diambil dari para imam yang tidak memiliki sikap ta„aṣub (fanatik terhadap suatu golongan).12

b. Syarat kritikus hadis

Imam-imam yang terjun dalam bidang penjelasan hal-ihwal perawi dan berusaha menjaga sunnah dengan membedakan antara yang ṣaḥīḥ dan cacat, di samping menggunakan hidup secara maksimal dan penuh kejujuran, juga menggunakan hidup mereka secara maksimal dalam bidang tersebut. Mereka mengetahui sebab-sebab keadilan, sebab-sebab jarḥ. Karena itu, ulama

11 Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis , Penerjemah Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 84.

12 Mahmaud Ṭāhan, Ilmu Hadis Praktis, Penerjemah Abu Fuad (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h. 193.

sependapat atas kewajiban terpenuhnya syarat-syarat itu dalam diri penta‟dil dan pentajriḥ. Adapun syarat-syarat itu sebagai berikut: (1) „alim, (2) bertakwa (3) wira„i (4) jujur (5) tidak terkena jarḥ (6) tidak fanatik terhadap sebagian perawi dan mengerti betul sebab-sebab jarḥ dan „adl.13

3. Kritik Matan

Perlunya penelitian matan hadis tidak hanya karena keadaan matan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga juga karena dalam periwayatan matan hadis dikenal adanya periwayatan yaitu secara makna (riwayah bi al-ma„na). Ulama ahli hadis memang telah menetapkan syarat-syarat sahnya periwayatan hadis telah mampu memenuhi dengan baik semua ketentuan itu.14

Adapun aspek penelitian tentang matan hadis, langkah-langkah sistematis disuguhkan oleh Syuhudi Ismailsebagai berikut: (1) meneliti matan dengan melihat dengan melihat kualitas sanadnya, (2) meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna, (3) meneliti kandungan matan, dan (4) menyimpulkan hasil penelitian.15

Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa hasil penelitian matan tidak mesti sejalan dengan hasil penelitian sanad. Karena, penelitian hadis berhubungan satu dengan yang lainnya yaitu antara unsur-unsur hadis, maka otomatis penelitian sanad harus diikuti dengan penelitian terhadap matan.16

13 Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 240.

14 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016), h.

21.

15 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 113.

16 Muhammad Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks ke Konteks, ed.

Shohibul Adib ( Yogyakarta: Kalimedia, 2016), h. 39.

Ulama hadis tidak merumuskan tentang urutan penggunaan kaidah keṣaḥīḥan matan. Penggunaan tolak ukur keṣaḥīḥan matan disesuaikan dengan masalah yang didapatinya di dalam matan. Menurut al-Dzahabī, tolak ukur penelitian matan ada empat macam, yaitu: (1) tidak bertentangan dengan al-Qur‟an, (2) tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, (3) tidak bertentangan dengan akal yang sehat, (4) susunan pernyataan menunjukkan sabda kenabian.17

Dokumen terkait