BAB II. POKOK-POKOK EKARISTI DAN HIDUP BERIMAN UMAT
B. Hidup Beriman Umat Kristiani
1. Hakikat Iman
Iman berasal dari suatu akar kata “aman” (bahasa Ibrani) yang berarti
sesuatu yang kuat, tetap dan teguh sehingga dapat menjadi pegangan hidup yang dapat dipercaya (Darmowigoto, 1972:5). Lebih tepatnya, iman merupakan
menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan
akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan” (Dei
Verbum art 5). Kutipan ini menjelaskan bahwa iman yang sesungguhnya ialah yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran itu sendiri. Menggerakkan hati agar mau dan selalu mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah. Misalnya dengan membantu sesama dan akhirnya bantuan itu mewujudkan kebenaran akan Allah itu sendiri. Maka penyerahkan diri seutuhnya kepada Allah merupakan hal yang harus dimiliki oleh umat beriman Kristiani.
Iman juga menjadi suatu dasar yang perlu dimiliki orang yang percaya akan Allah. Iman dapat diartikan juga sebagai suatu identitas seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr 11:1). Dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja sama dengan rahmat Ilahi (KGK, 155). Lebih jauh St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa iman adalah satu kegiatan akal budi yang menerima kebenaran ilahi atas perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah dengan perantaraan rahmat” (KGK: 155). Jadi iman merupakan operasi intellect atau akal budi, yaitu saat kita bekerja sama dengan rahmat Allah maka kita dapat menjawab panggilan-Nya dan percaya akan apa yang difirmankan-Nya. Namun kepercayaan ini bukan hanya asal percaya, atau percaya berdasarkan perasaan saja.
Kitab Suci menyatakan tentang “iman yang benar” yaitu dalam Ibr 11:1. Dalam Surat Ibrani tersebut tertulis, “Iman adalah suatu dasar dari segala sesuatu
yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Kata dasar
dan bukti menjadi kata kunci dalam kutipan Kitab Suci tersebut. Iman menjadi dasar segala sesuatu yang diharapkan oleh manusia, artinya iman menjadi patokan atau landasan umat manusia dalam segala pengharapan mereka, terutama harapan akan hal-hal yang positif, salah satunya harapan menjadi umat Kristiani yang melakukan kehendak-Nya. Iman juga menjadi bukti dari segala sesuatu yang tidak bisa manusia lihat. Hal ini juga diperkuat dengan kejadian saat Yesus menampakkan diri kepada para rasul, namun Thomas belum percaya. Sesaat
Thomas sudah melihat dengan matanya sendiri, Yesus berkata, “Berbahagialah yang tidak melihat namun percaya”. Dari situ dapat disimpulkan bahwa iman
menjadi bukti bagi sesuatu yang tak terlihat, terutama dalam hal wujud Yesus sendiri.
Kebenaran iman yang dihayati dalam agama adalah bagian yang amat penting dari setiap agama yang hidup di dunia ini; malah bisa dikatakan dengannyalah agama bisa bertahan, bertumbuh dan mempesona bagitu banyak manusia (Sinaga, 2009: No.24). Hal ini menjelaskan juga bahwa agama Katolik pun merasakannya. Iman menjadi tumpuan dan landasan adanya agama tersebut. Iman bertumbuh dari pengalaman akan kehadiran Allah sendiri dan kepercayaan yang hadir lewat komunitas, dalam hal ini Gereja. Gereja ikut ambil bagian dalam pertumbuhan iman yang semakin matang.
Iman dapat didefinisikan sebagai suatu persetujuan akal budi yang kokoh kepada kebenaran, bukan berdasarkan perasaan, namun berdasarkan kesaksian. (Katolisitas.org). Dapat dikatakan bahwa iman merupakan dasar yang perlu dimiliki oleh setiap orang karena dengan beriman, orang akan lebih mudah menjadi pribadi yang melakukan kebaikan di dunia ini. Iman adalah jiwa suatu pengalaman. Iman adalah pengakuan batin akan hubugan antara Allah dan manusia (Powell, 1991: 55). Iman dapat diartikan sebagai seseuatu yang sakral karena menghubungkan Allah sang pencipta dan manusia ciptaan-Nya. Di seluruh Kitab Suci terungkap bahwa kerinduan manusia untuk melihat Allah, misalnya dalam Mazmur tercetuslah kerinduan manusia melihat Allah. Hidup beriman juga sebagai kerinduan akan Allah yang hadir ditengah-tengah umat manusia (Hadisumarta, 2018: 43).
Iman, seperti cinta, adalah kenyataan yang sukar ditangkap. Iman atau kepercayaan, apakah kepercayaan kepada orang lain ataukah kepada Allah, berarti menerima atau menyambut sesuatu menurut perkataan orang lain (Powell, 1991: 79). Artinya iman merupakan suatu upaya bersandar atau berpegang akan perkataan orang lain atau orang yang dipercaya. Dalam hal iman kepercayaan akan Allah, sama saja. Allah memberi sabda-Nya atau wahyu-Nya (Powell, 1991: 79). Jika sabda-Nya diterima dan dipegang teguh oleh manusia berarti manusia itu mengimani Allah. Anggapan seperti ini harusnya menjadi suatu hal logis biasa yang harus dimiliki oleh awam. Banyak yang mengaku beriman namun hanya
mengerti bahwa iman adalah suatu “kepercayaan” saja, namun tidak bisa
Menurut tradisi Kristen, iman dilukiskan sebagai serah diri, yaitu manusia menyerahkan seluruh dirinya dan hidupnya secara bebas, dengan budi dan hati tunduk pada kehendak Allah yang mewahyukan, dan yang tidak dapat menipu ataupun ditipu (Powell, 1991: 81). Serah diri secara bebas ini berarti bahwa manusia yang mengimani Allah, yaitu manusia yang benar-benar menyerahkan dirinya secara utuh kepada Allah sendiri. Bukan manusia yang setengah-setengah, hanya perkataan saja beriman, namun kenyataannya tidak demikian. Dapat disimpulkan bahwa iman tidak bisa dilihat dari segi intelektual saja karena pasti hasilnya akan dangkal. Iman harus ditanamkan pada diri setiap pribadi suatu penyerahan diri total tanpa terkecuali dan meninggalkan kenikmatan duniawi demi Kerajaan Allah.