• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel

novellus yang diturunkan dari kata

menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), sebutan novel dalam bahasa Inggris-dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia-berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9) menyatakan bahwa secara harfiah novella

Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) memberikan batasan novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif. Meskipun bersifat imajinatif, namun dunia yang ditawarkan pengarang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, sehingga sangatlah tepat pabila Burhan menyebut novel sebagai sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan.

Pendapat lain tentang novel dikemukakan Goldmann (Faruk, 1994: 29) yang mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik adalah totalitas kehidupan.

Herman J. Waluyo (2002: 36-37) menyatakan bahwa istilah novel mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk klasifikasi cerita menengah. Dalam novel terdapat; (1) perubahan nasib dari tokoh

cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utamanya tidak sampai mati.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah cerita fiksi dengan berbagai unsur intrinsik yang di dalamnya terdapat problematik/ permasalahan hidup yang dialami tokoh-tokohnya sehingga membuat tokoh utamanya mengalami perubahan nasib.

b. Unsur-unsur Novel

Secara garis besar unsur pembangun novel dibagi menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang secara lahir akan dijumpai ketika membaca sebuah karya sastra. Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra yang secara tidak langsung mempengaruhi bangunan karya sastra. Dalam pembahasan mengenai unsur pembangun novel yang dibahas adalah unsur intrinsik karya sastra.

Stanton menjabarkan unsur pembangun fiksi atau cerita menjadi (1) fakta cerita yang meliputi plot, tokoh, dan latar; (2) sarana cerita yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan nada; dan (3) tema. Sementara itu, Luxemburg dkk. membahas teks dan juru cerita, cerita, visi terhadap dunia rekaan, alur, dan para pelaku dalam pembahasan mengenai teks naratif (Wiyatmi, 2006: 29).

Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (Herman J. Waluyo, 2002: 140) menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yakni (1) plot; (2) tema; (3) karakter; (4) setting; (5) point of view; (6) gaya; dan (7) suasana cerita. Tidak berbeda jauh dengan pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro dalam buku Teori

Pengkajian Fiksi (2005) membahas unsur intrinsik prosa, yaitu tema, pemplotan,

pelataran, cerita, penokohan, penyudutpandangan, gaya (bahasa), dan moral. Imbuhan pe(N)-an di atas dapat diartikan sebagai teknik pengungkapan. Jadi, pembahasan mengenai unsur intrinsik prosa menurut Burhan Nurgiyantoro meliputi tema, plot, latar, cerita, tokoh, sudut pandang, bahasa, dan moral.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, unsur intrinsik prosa pada dasarnya terdiri dari tema, latar, penokohan, plot, sudut pandang, gaya dan

commit to user

(bahasa). Kehadiran moral (amanat) sebagai penyusun prosa tidak selamanya diperhitungkan oleh para ahli, padahal setiap karya sastra pasti mempunyai pesan moral (amanat) yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.

a. Tema

Setiap karya sastra mengandung ide sentral yang mendasari cerita yang ada. Ide sentral inilah yang sering disebut dengan tema. Hal ini senada dengan pendapat Atar Semi (1993: 42) yang menyatakan bahwa tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Pengertian lain disampaikan oleh Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 67) yang memberi batasan tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Makna yang dikandung dalam sebuah cerita kadang tidak terlepas dari realita kehidupan manusia yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pendapat demikian diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 142) bahwa tema ada yang diambil dari khasanah kehidupan sehari-hari dan dimaksudkan pengarang untuk memberikan saksi sejarah atau mungkin sebagai reaksi terhadap praktek kehidupan masyarakat yang tidak disetujui. Menurutnya, tema adalah masalah hakiki menusia seperti halnya cinta, kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya. Panuti Sudjiman (1988: 50) juga memberikan definisi tema yang tidak jauh berbeda dengan pendapat ahli yang lain, bahwa tema merupakan gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tema adalah gagasan atau ide yang menjadi dasar sebuah karya sastra.

b. Latar

Gambaran latar sering digunakan untuk mengawali sebuah cerita. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 217) bahwa tahap awal karya fiksi pada umumnya bersifat penyituasian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan; misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin juga hubungan waktu, dll.

Herman J. Waluyo (2002: 200) memaparkan bahwa setting tidak hanya menampilkan lokasi, tempat dan waktu. Adat istiadat dan kebiasaan hidup dapat tampil sebagai setting. Jadi, latar yang terdapat dalam sebuah novel tidak hanya mengacu pada tempat saja.

Senada dengan pendapat di atas, Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 216) berpendapat bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Bertolak dari beberapa pendapat mengenai latar dapat disimpulkan bahwa Latar memang tidak hanya mengacu pada satu macam. Acuan latar yang tidak hanya mengarah pada satu segi akhirnya membentuk berbagai macam latar.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 27) membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dll yang tergolong latar spiritual.

Latar dalam sebuah karya sastra memberikan fungsi tersendiri. Montaque dan Henshan (Herman J. Waluyo, 2002: 198) menyatakan ada tiga fungsi setting, yaitu 1) mempertegas watak para pelaku, 2) memberikan tekanan pada tema, 3) memperjelas tema yang disampaikan.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 40) berpendapat bahwa latar memiliki fungsi sebagai metafor dan atmosfir. Diperjelas dengan pendapat Lakoff dan Johnson (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 241) yang menjelaskan fungsi pertama metafora adalah menyampaikan pengertian, pemahaman. Ekspresi yang berupa

commit to user

ungkapan-ungkapan tertentu sering lebih tepat disampaikan dengan bentuk metaphor daripada secara literal. Latar sebagai atmosfer artinya ia berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri, dsb.

Akhirnya meskipun dalam suatu cerita rekaan boleh jadi latar merupakan unsur dominan, latar itu tidak pernah berdiri sendiri. Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, ada unsur yang mendukung keberadaan latar yaitu plot dan penokohan. Diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 225) antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan memperngaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan, barangkali tak berlebihan jika dikatakan bahwa sifat seseorang akan dibentuk oleh keadaan latarnya. Hal ini akan tercermin, misalnya sifat orang desa yang hidup di pedalaman akan berbeda dengan sifat orang-orang kota. Adanya perbedaan tradisi, konvensi, keadaan sosial, dll yang menciri tempat-tempat tertentu, langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada penduduk, tokoh cerita.

Di pihak lain, juga dikatakan bahwa sifat-sifat dan tingkah laku tertentu yang ditujukkan oleh seorang tokoh mencerminkan dari mana dia berasal. Jadi, ia akan mencerminkan latar dalam kaitannya dengan hubungan waktu, langsung tak langsung akan berpengaruh terhadap cerita dan pengaluran, khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan.

c. Penokohan

Keadaan latar (setting) dalam sebuah karya sastra tidak akan berarti jika tidak didukung oleh unsur yang lain. Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 216) mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita). Sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.

Tokoh merupakan para pelaku yang menjalankan sebuah cerita. Para tokoh ditampilkan dengan membawa peran masing-masing sesuai dengan keinginan pengarangnya. Menurut Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165), tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif

atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 166).

Sudjiman (dalam Panuti Sudjiman, 1988: 23) menyebutkan penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Citra tokoh digambarkan melalui ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca.

Berdasarkan sudut pandang pengarang dalam menciptakan tokoh dalam cerita dapat dibedakan macam-macam tokoh. Burhan Nurgiyantoro (2005:176) mengkategorikan tokoh dalam sebuah karya sastra, yaitu 1)tokoh utama dan tokoh tambahan, 2) tokoh protagonis dan antagonis, 3) tokoh sederhana dan tokoh bulat, 4) tokoh statis dan tokoh berkembang, 5) tokoh tipikaldan tokoh netral.

Pendapat lain dikemukakan oleh Panuti Sudjiman (1988: 17) yaitu, tokoh dibedakan menjadi 1) tokoh sentral dan tokoh bawahan, 2) tokoh datar dan tokoh bulat. Berdasarkan atas pembedaan di atas, yang lebih dikenal oleh pembaca adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 168), tokoh protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita. Pendapat lain diungkapkan oleh Altenbend dan Lewis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 178) yang menyatakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero-tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita.

Panuti Sudjiman (1988: 17) menyatakan tokoh protagonis yaitu tokoh yang memegang pimpinan. Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral

commit to user

dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Dengan kata lain, mengacu pada beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang dihadirkan dalam karya sastra dengan membawa karakter yang disukai oleh kebanyakan pembaca.

Lawan dari protagonis adalah antagonis. Tokoh jenis ini biasanya tidak disukai pembaca karena dilahirkan dengan karakter yang bertentangan dengan protagonis. Dikatakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 179) bahwa tokoh yang menyebabkan konflik adalah antagonis. Di pihak lain Herman J. Waluyo (2002: 168) menyatakan bahwa tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai konflik dengan protagonis.

Untuk menampilkan tokoh ke dalam sebuah cerita, ada beberapa cara yang dilakukan pengarang. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 165) ada tiga cara, yaitu:

1. Metode analitis (langsung)

Dengan metode ini pengarang cecara langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terinci (analitis). Pendeskripsian dimulai dari keadaan fisik, psikis (wataknya) sampai keadaan sosial (kedudukan dan pangkat). Menurut Suminto (1996/1997: 57), dengan metode ini pengarang menyebutkan secara langsung masing-masing kualitas tokohnya.

2. Metode dramatik (tidak langsung)

Metode ini, selain menampilkan tokoh secara fisik, juga menggambarkan hubungannya dengan orang lain, cara hidup sehari-hari. Metode dramatik

dialog antara tokoh itu dengan tokoh lainnya. Menurut Suminto (1996/1997: 58), disebut metode dramatis karena tokoh-tokoh dinyatakan kepada kita seperti dalam drama. Pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan dirinya sendiri melalui kata-kata, tindakan atau perbuatan mereka sendiri.

3. Metode kontekstual

Berbeda dengan dua metode sebelumnya, metode ini dalam

digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Menurut Suminto (1996/1997: 68), metode kontekstual adalah cara menyatakan karakter tokoh dengan melalui konteks verbal yang mengelilinginya.

d. Plot

Unsur plot yang juga mempengaruhi keberartian latar (setting) menjadi hal yang penting pula dalam sebuah karya sastra (novel). Plot diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113).

Herman J. Waluyo (2002: 145) menyebut plot sebagai alur cerita yang berarti struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi. Boulton mengatakan bahwa plot berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan dating (Herman J. Waluyo, 2002: 145).

Alur adalah peristiwa yang diurutkan yang menjadi tulang punggung cerita (Panuti Sudjiman, 1988: 29). Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113) menyebutkan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.

Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa plot tidak sekadar sebuah rentetan peristiwa. Dinamakan plot karena di antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya memuat hubungan kausalitas. Hal ini menjadikan pembaca terhanyut untuk menikmati jalannya cerita.

Pengaluran dalam sebuah karya sastra memilik tahap-tahapan sebagaimana diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 147), alur cerita meliputi 1) eksposisi,

2) inciting moment (saat perkenalan), 3) rising action, 4) complication, 5)

climax, 6) falling action, 7) denonement (penyelesaian).

Eksposisi merupakan paparan awal cerita. Pengarang mulai

memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Inciting

commit to user

oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Rising

action adalah penanjakan konflik sampai terjadi peningkatan konflik.

Complication adalah konflik yang semakin ruwet. Falling action artinya

konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya.

Denonement artinya penyelesaian.

Sebuah alur cerita dapat dinikmati oleh pembaca karena terkandung beberapa hal di dalamnya. Menurut Panuti Sudjiman (1988: 37), faktor penting yang ada dalam alur yaitu kebolehjadian, kejutan, dan kebetulan. Kebolehjadian (plausibility)

e. Sudut pandang/Point of view

Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan di samping mempengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan, juga mempengaruhi kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, ketelitian, dan keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.

Sudut pandang pada intinya adalah cara atau strategi yang dengan sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248) menyatakan bahwa sudut pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang merupakan teknik atau strategi yang dipilih pengarang untuk mengungkapkan cerita.

Tarigan (1993: 140) menyatakan bahwa sudut pandang atau point of view

adalah hubungan yang terdapat antara sang pengarang dan alam fiktif cerita, atau antara pengarang dan pikiran serta perasaan para pembacanya. Pengarang harus dapat menjelaskan kepada para pembaca bahwa dia selaku narator atau pencerita mempunyai tempat berpijak tertentu dalam hubungannya dengan cerita itu. Herman J. Waluyo mengungkapkan bahwa point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita, apakah dia bertindak sebagai

pencerita yang tahu segala-galanya, ataukah ia sebagai orang yang terbatas.

Point of view dapat juga berarti cara yang digunakan pengarang dalam

melibatkan dirinya dalam cerita, apakah dia terlibat secara langsung sebagai orang pertama, ketiga atau orangn yang tahu segalanya (2005:184).

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 184-185) point of view dibagi menjadi tiga, yakni (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya t teknik aku-an; (2) pengarang sebagai orang -an;

omniscient narratif

ini pengarang tidak mengambil peran salah satu tokoh, tetapi ia mengambil peran sebagai pencerita yang serba tahu. Ia bebas memasuki segala peran tanpa batas. Kadang-kadang ketiga metode ini dikombinasikan oleh pengarang dalam sebuah cerita agar cerita tersebut lebih bervariatif.

Sedikit berbeda dengan Herman J. Waluyo, Burhan Nurgiyantoro memaparkan tiga jenis sudut pandang, yaitu pertama sudut pandang persona

yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang ini daapt

of view, third person omniscent , the omniscent narrator atau author

termasuk motivasi yang melatarbelakangi tindakannya. Kebebasannya ini tidak hany

penceritaan dengan narator bebas menceritakan apa saja yang berhubungna u tokoh saja atau hanya pada tokoh fokusnya.

commit to user

mengenai peristiwa atau tindakan yang dialami dan dirasakannya. Narator juga mempunyai sifat mahatahu, tapi terbatas hanya pada dirinya sendiri.

peran utama dalam cerita. Penggunaan sudut pandang ini memungkinkan pembaca merasa terlibat langsung dalam cerita sehingga akan memberikan

hanya tampil untuk mengantarkan dan menutup cerita, sedangkan inti cerita diserahkan sepenuhnya kepada tokoh utama cerita untuk mengisahkan kisahnya itu.

Ketiga, sudut pandang campuran. Dalam sebuah novel atau roman pengarang mungkin saja menggunakan penyudutpandangan lebih dari satu. Hal ini dilakukan agar cerita tidak membosankan dan lebih variatif. Penggunaan sudut pandang ini tergantung pada kemauan dan kreativitas pengarang dalam memanfaatkan teknik-teknik yang ada.

Jadi, pada dasarnya sudut pandang atau point of view adalah cara pandang pengarang dalam menggambarkan tokoh dan menyajikannya dalam suatu cerita fiksi.

f. Gaya/style

Bahasa dalam karya sastra merupakan unsur yang penting. Bahasa dapat disamakan dengan baju bagi manusia. Keduanya merupakan bahan atau sarana yang apabila dimanfaatkan dengan baik akan menimbulkan nilai lebih. Kuntowijoyo menyatakan bahwa sastra itu berada sedikit di atas dan sedikit di bawah kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan pun harus sesuai dengan sifatnya yang bukan kesehari-harian meskipun ia merupakan refleksi kehidupan manusia sehari-hari (Korrie Layun Rampan, 1995: 63). Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa karya sastra memang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Umumnya bahasa dalam karya sastra (roman) adalah bahasa yang emotif, bersifat konotatif, dan mengandung deotomisasi (penyimpangan).

Hal yang paling menonjol dalam pembahasan bahasa karya sastra adalah gaya atau style. Gaya merupakan cara pengungkapan yang khas dari seorang pengarang. Gaya atau style berhubungan erat dengan diksi, imajeri (citraan), dan sintaksis. Sifat gaya dalam karya sastra adalah khas, tidak mungkin dapat ditiru orang lain, dan bersifat individual. Dengan hanya melihat gaya penulisan sebuah karya sastra, pembaca langsung dapat menyimpulkan siapa pengarangnya dari berbagai bentuk linguistik yang berlaku dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Gaya atau style hadir setelah mengalami seleksi oleh pengarang. Keberhasilan suatu karya juga dipengaruhi oleh kecakapan pengarang dalam menggunakan gaya yang serasi dalam karyanya.

Dalam penentuan atau penggunaan gaya, pengarang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan struktur makna ke dalam struktur lahir yang dianggap paling efektif. Pemilihan bentuk struktur lahir dapat sampai pada berbagai

yang wajar. Namun, pemilihan wujud struktur lahir yang sesuai dengan selera tak selamanya dilakukan secara sadar oleh pengarang. Hal ini terjadi karena pengungkapan gaya kadang-kadang terjadi secara otomatis oleh pengarang, seolah-olah gaya tersebut telah menjadi bagian dari diri pengarang.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 277) menganggap gaya sebagai teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Bentuk ungkapan kebahasaan sendiri dibagi menjadi dua macam bentuk, yakni sebagai sebuah fiksi dan sebagai sebuah teks. Sebagai sebuah fiksi berarti pengarang bekerja dengan sarana bahasa, dan sebagai sebuah teks berarti pengarang bekerja dalam bahasa.

Leech dan Short (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 277) menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan hal yang pada umumnya tak lagi mengandung sifat konvensional, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dsb. Dengan demikian, gaya tergantung pada konteks ia digunakan, siapa pengarangnya, tujuannya ,dsb. Gaya ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan, seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, dan penggunan kohesi.

commit to user

Dokumen terkait