commit to user
ANALISIS NOVEL INCEST KARYA I WAYAN ARTIKA :
(KAJIAN STRUKTURAL DAN PERUBAHAN SOSIAL)
Skripsi
oleh :
Angga Aulia Aswagata K 1204013
PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
ANALISIS NOVEL INCEST KARYA I WAYAN ARTIKA :
(KAJIAN STRUKTURAL DAN PERUBAHAN SOSIAL)
oleh :
Angga Aulia Aswagata K 1204013
Skripsi
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan
Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
iii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Swandono, M. Pd. Dra. Raheni Suhita, M. Hum.
commit to user
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk
memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari :
Tanggal :
Tim penguji skripsi:
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Dr. Rr. E. Nugraheni Eko W, M. Hum ...
Sekretaris : Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. ...
Anggota I : Drs.Swandono, M. Hum. ...
Anggota II : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. ...
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
commit to user
v
ABSTRAK
Angga Aulia Aswagata. ANALIS NOVEL INCEST KARYA I WAYAN ARTIKA : KAJIAN STRUKTURAL DAN PERUBAHAN SOSIAL. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2012.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1) Unsur-unsur
intrinsik yang terdapat dalam novel Incest karya I Wayan Artika. 2) Perubahan
sosial yang terdapat dalam novel Incest karya I Wayan Artika. 3) Tanggapan
masyarakat tentang novel Incest karya I Wayan Artika.
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menggunakan
pendekatan struktural dan sosiologi sastra. Sumber data dalam penelitian ini ada
dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data
primer berupa novel Incest karya I Wayan Artika yang diterbitkan oleh Interpre
Book KPP (Kelompok Penerbit Pinus), Yogyakarta pada tahun 2008 dengan
jumlah halaman 268. Sedangkan sumber data sekunder yaitu dokumen yang
meliputi profil pengarang yang berisi perjalanan hidup dan latar belakang sosial
pengarang. teknik pengumpulan data yang digunakan dengan teknik dokumen dan
wawancara. Teknik sampling (cuplikan) yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sampling. Kesahihan data dalam penelitian ini menggunakan
triangulasi teori, sumber data dan triangulasi metode. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik analisis mengalir (flow
model of analysis) yaitu proses analisis dengan tiga komponen (reduksi data,
sajian data dan penarikan kesimpulan dengan verifikasinya). Penelitian ini dimulai
dari tahap persiapan, pelaksanaan dan penyusunan laporan.
Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan: 1) Struktur novel Incest
karya I Wayan Artika dapat dideskripsikan sebagai berikut : tema dalam novel
Incest adalah perkawinan sedarah. Penokohan dalam novel Incest dibagi menjadi
dua yaitu tokoh utama dan tokoh utama tambahan. Latar dalam novel Incest
adalah masyarakat Bali. Alur yang digunakan dalam novel Incest karya I Wayan
commit to user
vi
Incest adalah teknik sudut pandang campuran. Perubahan yang terdapat dalam
commit to user
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada:
1. Ibu dan Bapakku yang bekerja lebih keras
dan konsisten dengan idealisme.
2. Teman-teman satu angkatan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu
memberi motivasi kepadaku.
3. Kakak dan adikku tercinta yang selalu
menghiburku.
4. Serta orang-orang hebat yang memberi
pelajaran berharga kepadaku, yang tidak bisa
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat peneliti selesaikan. Skripsi ini
peneliti tulis dan ajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan
dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu,
peneliti menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan izin penyusunan skripsi ini;
2. Dr. Muhammad Rohmadi, M Hum selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
persetujuan penyusunan skripsi ini;
3. Dr. Kundharu Saddhono, M Hum selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa,
Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang juga telah memberikan persetujuan
penyusunan skripsi ini;
4. Dr. Kundharu saddhono, M Hum selaku Pembimbing Akademik yang
senantiasa memantau kegiatan akademik dan memberikan nasihat, saran, dan
bimbingan kepada peneliti selama kuliah;
5. Drs. Swandono, M. Pd. selaku Pembimbing I dan Dra. Raheni Suhita, M.
Hum. selaku Pembimbing II atas bimbingan yang diberikan;
6. Keluargaku (Bapak, Ibu, kakak dan adikku) yang menjadi naungan dan
pelarianku;
7. Perpustakaan di lingkup UNS, teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa
Indonesia satu angkatan; dan
8. Berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, namun tidak
commit to user
x
Semoga kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan terbaik dari Tuhan
yang Maha Esa.
Surakarta, April 2012
commit to user
3. Hakikat Pendekatan Struktural ... 19
commit to user
xii
D. Teknik Pengumpulan Data ... 35
E. Teknik Cuplikan ... 36
F. Validitas data ... 36
G. Teknik Analisis Data ... 36
H. 37 BABIV. HASILPENELITIAN ... 39
A. Deskripsi Novel Incest ... 39
B. Analisis Data ... 43
1. Tema ... 43
2. Alur / Plot ... 47
3. Penokohan ... 49
4. Latar atau Setting ... 54
5. Sudut Pandang... 57
6. Perubahan Sosial... 57
BABV. SIMPULAN, IMPLIKASI, DANSARAN ... 60
A. Simpulan ... 60
B. Implikasi ... 61
C. Saran ... 62
DAFTARPUSTAKA... 63
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Berpikir ... 33
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Sinopsis ... 65
ANALISIS NOVEL
INCEST
KARYA I WAYAN ARTIKA :
(KAJIAN STRUKTURAL DAN PERUBAHAN SOSIAL)
Oleh:
Angga Aulia Aswagata
K 1204013
PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya
merupakan sarana menuangkan ide-ide kreatif dari pengarangnya. Kehidupan
manusia dengan segala permasalahannya sering kali menjadi sumber inspirasi
bagi pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra. Dalam hal ini pengarang
bebas memilih realitas manusia yang akan diangkat menjadi sebuah tulisan,
tentunya diiringi dengan pengetahuan yang cukup tentang realitas tersebut
sehingga dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang hal-hal yang
sebelumnya tidak diketahui. Karya sastra bagi pengarang adalah sarana untuk
menyampaikan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap, dan pandangannya
kepada pembaca tentang hidup dan kehidupan. Dengan demikian karya sastra bisa
dianggap sebagai cermin masyarakat.
Karya sastra sebagai cermin kehidupan bermasyarakat merupakan suatu
karya yang dapat dinikmati, dipahami, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Banyak hal yang dapat diketahui dengan membaca sebuah karya sastra, maka
tidak berlebihan jika Daniel Dhakidae memandang karya sastra sebagai social
stock of knowledge, yakni tempat terhimpunnya suatu pengetahuan tentang
masyarakat dan sebagai pembaca dapat senantiasa menimbanya (Toha dan
Sarumpaet (ed), 2002: 38).
Karya sastra, selain sebagai tempat terhimpunnya pengetahuan, juga terdapat
pelajaran yang mengandung nilai kemanusiaan. Dalam penyampaian
nilai-nilai tersebut dikemas dengan style (bahasa) yang berbeda. Pengarang dalam hal
ini, memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan struktur maknanya ke
dalam struktur lahir (baris-baris kalimat sebuah novel) yang dianggap paling
efektif. Penulisan lahir bisa sampai pada berbagai bentuk penyimpangan, bahkan
bahasa yang wajar (Burhan Nurgiyantoro,
2005: 279). Di sinilah letak estetika yang ada dalam sebuah karya sastra (novel).
Hal ini tidak mengherankan jika pembaca tidak merasa bosan untuk membaca
sebuah karya sastra. Inilah satu hal yang menunjukkan bahwa fungsi sastra
berguna.
Bentuk karya sastra yang kerap menampilkan potret kehidupan manusia
adalah novel. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), sebutan novel dalam
bahasa Inggris-dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia-berasal dari bahasa
Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Sedangkan Abrams (Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 9) menyatakan bahwa secara harfiah novella
Novel merupakan sebuah karya fiksi yang berbentuk prosa dengan
mengambil suatu tema tertentu, biasanya tentang realitas kehidupan masyarakat,
yang disampaikan sesuai dengan sudut pandang dan imajinasi pengarang. Hal ini
sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro yang memberikan batasan novel
sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model
kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai
unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut
pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif (2005:
4).
Novel dibangun melalui berbagai macam unsur. Secara garis besar unsur
pembangun novel dibagi menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur
inilah yang secara lahir akan dijumpai ketika membaca sebuah karya sastra. Unsur
intrinsik prosa pada dasarnya terdiri dari tema, latar, penokohan, plot, sudut
pandang, gaya dan (bahasa). Tema adalah gagasan atau ide yang menjadi dasar
sebuah karya sastra. Sedangkan latar atau setting disebut juga sebagai landas
tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Penokohan adalah
penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Plot diartikan sebagai
peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana,
karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab
commit to user
menggambarkan tokoh dan menyajikannya dalam suatu cerita fiksi. Gaya
merupakan cara pengungkapan yang khas dari seorang pengarang, gaya atau style
berhubungan erat dengan diksi, imajeri (citraan), dan sintaksis. Amanat adalah
pesan-pesan moral yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca, baik
secara implisit maupun eksplisit. Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah unsur yang
berada di luar karya sastra yang secara tidak langsung mempengaruhi bangunan
karya sastra.
Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang
signifikan terhadap karya sastra, misalnya saja novel, baik dalam segi isi maupun
bentuk. Keberadaan pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut
mempengaruhi karya yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu
yang ditempati pengarang akan dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra
tertentu yang dihasilkan pengarang. Hal ini sesuai dengan pendapat Mursal Esten
(dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 261) yang mengemukakan hipotesis
bahwa latar belakang sejarah dan zaman serta latar belakang kemasyarakatan
mempunyai pengaruh yang besar dalam proses penciptaan, begitu juga dalam
novel Indonesia; pengaruhnya tidak hanya dalam tema-tema, tetapi juga dalam
strukturnya. Novel-novel Indonesia merupakan gambaran suatu proses perubahan
sosial dan tata nilai.
Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses
pergeseran atau berubahnya struktur/ tatanan di dalam masyarakat, meliputi pola
pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan
penghidupan yang lebih bermartabat. Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa
mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian
sosiologis, perubahan dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan tidak linear.
Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi secara linear. Maksudnya, perubahan
terjadi pada tingkat makro, mezo dan mikro. Pada tingkat makro, terjadi
perubahanan ekonomi, politik, sedangkan di tingkat mezo terjadi perubahan
kelompok, komunitas, dan organisasi, dan di tingkat mikro sendiri terjadi
fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat ganda
(Sztompka, 2004).
Incest adalah novel yang terbit dengan kontroversi, sehingga membawa
penulisnya I Wayan Artika harus mempertanggungjawabkan tulisannya ini di
depan para tokoh modern, pemuka adat, tokoh tradisional adat di balai desa pada
Natal 2003. Novel yang mengisahkan tentang pasangan suami istri yaitu Nyoman
Sika dan Ketut Artini yang melahirkan sepasang bayi kembar buncing, laki-laki
dan perempuan ini, dianggap melecehkan adat desa setempat. Hal ini karena
teknik yang dipakai pengarang dalam menulis novel ini adalah teknik etnografi,
sehingga penggambaran peristiwa berdasar pada fakta dan realitas di desa
tersebut. Menurut adat, kelahiran kembar buncing merupakan aib besar bagi
masyarakat desa. Dan di novel Incest semua tentang kembar buncing itu dikupas
secara mendalam melalui kisah Nyoman Sika dan Ketut Artini beserta bayi
kembar buncingnya yaitu Gek Bulan Armani dan Putu Geo Antara.
Pemilihan novel ini sebagai bahan kajian penelitian karena dalam novel
Incest bercerita tentang keadaan sosiologis suatu masyarakat Indonesia khususnya
Bali dengan balutan adat yang menyertainya, sehingga dirasa cocok untuk
menjadi objek kajian sosiologi sastra. Juga isinya yang mengarah pada perubahan
baik dari segi ekonomi maupun sosial membuat peneliti tertarik untuk
menganalisis perubahan sosial yang ada dalam novel tersebut. Untuk itu peneliti
juga membutuhkan pendapat dari masyarakat tentang novel ini untuk memperkuat
hasil penelitian.
B. Pembatasan Masalah
Luasnya permasalahan yang disajikan dalam novel, tentu akan lebih baik
jika dalam pengkajiannya dibatasi pada permasalahan tertentu dengan tujuan agar
penelitian ini lebih terarah dan lebih mendalam. Sehubungan dengan latar
belakang masalah yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian ini dibatasi
pada:
1. Unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Incest karya I Wayan Artika.
2. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jelungkap yang terkandung
commit to user
3. Tanggapan masyarakat tentang novel Incest karya I Wayan Artika.
C. Rumusan Masalah
Sesuai dengan pembatasan masalah yang ada maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana unsur-unsur intrinsik dalam novel Incest karya I Wayan Artika?
2. Bagaimana perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jelungkap yang
terkandung dalam novel Incest karya I Wayan Artika?
3. Bagaimana tanggapan masyarakat tentang novel Incest karya I Wayan Artika?
D. Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dalam novel Incest karya I Wayan
Artika.
2. Mendeskripsikan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jelungkap
yang terkandung dalam novel Incest karya I Wayan Artika.
3. Mendeskripsikan tanggapan masyarakat tentang novel Incest karya I Wayan
Artika.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi
secara teoretis dan praktis.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan,
khususnya dalam bidang studi analisis novel dengan pendekatan struktural dan
sosiologi sastra. Selain itu juga dapat membuktikan sejauh mana sosiologi
sastra dapat diaplikasikan kepada novel Indonesia modern dalam hal ini novel
Incest karya I Wayan Artika dilihat sebagai dokumen sosio-budaya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini berupa deskripsi unsur-unsur intrinsik dan perubahan
sosial pada masyarakat Jelungkap dalam novel Incest. Penelitian ini juga
merupakan salah satu wujud usaha untuk membuka pola pikir masyarakat
dalam menyikapi adat daerahnya yang dirasa sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman juga akibat yg ditimbulkannya. Oleh karena itu,
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menjadikan hasil penelitian ini
sebagai materi dalam pembelajaran apresiasi dan kritik sastra di perguruan
tinggi.
b. Bagi Guru Sekolah Menegah Atas (SMA)
Hasil penelitian ini mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik novel Incest.
Oleh karena itu, guru SMA dapat menjadikan novel itu sebagai materi
pembelajaran di SMA.
c. Bagi Mahasiswa dan Peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi penting bagi
penelitian sosiologi sastra selanjutnya.
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN
PENELITIAN YANG RELEVAN
A. Landasan Teori
1. Hakikat Novel
a. Pengertian Novel
novellus yang diturunkan dari kata
menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), sebutan novel dalam bahasa Inggris-dan
inilah yang kemudian masuk ke Indonesia-berasal dari bahasa Itali novella (yang
dalam bahasa Jerman: novelle). Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9)
menyatakan bahwa secara harfiah novella
Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) memberikan batasan novel sebagai sebuah
karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang
diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya
seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain
yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif. Meskipun bersifat
imajinatif, namun dunia yang ditawarkan pengarang tidak jauh dari kehidupan
sehari-hari, sehingga sangatlah tepat pabila Burhan menyebut novel sebagai
sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan.
Pendapat lain tentang novel dikemukakan Goldmann (Faruk, 1994: 29)
yang mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang
terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang
problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi. Yang dimaksud dengan
nilai-nilai yang otentik adalah totalitas kehidupan.
Herman J. Waluyo (2002: 36-37) menyatakan bahwa istilah novel
mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi
menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk
klasifikasi cerita menengah. Dalam novel terdapat; (1) perubahan nasib dari tokoh
cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya
tokoh utamanya tidak sampai mati.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah
sebuah cerita fiksi dengan berbagai unsur intrinsik yang di dalamnya terdapat
problematik/ permasalahan hidup yang dialami tokoh-tokohnya sehingga
membuat tokoh utamanya mengalami perubahan nasib.
b. Unsur-unsur Novel
Secara garis besar unsur pembangun novel dibagi menjadi dua, yaitu unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang secara lahir akan dijumpai ketika
membaca sebuah karya sastra. Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah unsur yang
berada di luar karya sastra yang secara tidak langsung mempengaruhi bangunan
karya sastra. Dalam pembahasan mengenai unsur pembangun novel yang dibahas
adalah unsur intrinsik karya sastra.
Stanton menjabarkan unsur pembangun fiksi atau cerita menjadi (1) fakta
cerita yang meliputi plot, tokoh, dan latar; (2) sarana cerita yang meliputi judul,
sudut pandang, gaya dan nada; dan (3) tema. Sementara itu, Luxemburg dkk.
membahas teks dan juru cerita, cerita, visi terhadap dunia rekaan, alur, dan para
pelaku dalam pembahasan mengenai teks naratif (Wiyatmi, 2006: 29).
Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (Herman J. Waluyo, 2002: 140)
menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yakni (1) plot; (2) tema; (3)
karakter; (4) setting; (5) point of view; (6) gaya; dan (7) suasana cerita. Tidak
berbeda jauh dengan pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro dalam buku Teori
Pengkajian Fiksi (2005) membahas unsur intrinsik prosa, yaitu tema, pemplotan,
pelataran, cerita, penokohan, penyudutpandangan, gaya (bahasa), dan moral.
Imbuhan pe(N)-an di atas dapat diartikan sebagai teknik pengungkapan. Jadi,
pembahasan mengenai unsur intrinsik prosa menurut Burhan Nurgiyantoro
meliputi tema, plot, latar, cerita, tokoh, sudut pandang, bahasa, dan moral.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, unsur intrinsik prosa pada
commit to user
(bahasa). Kehadiran moral (amanat) sebagai penyusun prosa tidak selamanya
diperhitungkan oleh para ahli, padahal setiap karya sastra pasti mempunyai pesan
moral (amanat) yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.
a. Tema
Setiap karya sastra mengandung ide sentral yang mendasari cerita yang
ada. Ide sentral inilah yang sering disebut dengan tema. Hal ini senada dengan
pendapat Atar Semi (1993: 42) yang menyatakan bahwa tema tidak lain dari
suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Pengertian lain
disampaikan oleh Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 67)
yang memberi batasan tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Makna yang dikandung dalam sebuah cerita kadang tidak terlepas dari realita
kehidupan manusia yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pendapat
demikian diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 142) bahwa tema ada yang
diambil dari khasanah kehidupan sehari-hari dan dimaksudkan pengarang
untuk memberikan saksi sejarah atau mungkin sebagai reaksi terhadap praktek
kehidupan masyarakat yang tidak disetujui. Menurutnya, tema adalah masalah
hakiki menusia seperti halnya cinta, kasih, ketakutan, kebahagiaan,
kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya. Panuti Sudjiman (1988: 50) juga
memberikan definisi tema yang tidak jauh berbeda dengan pendapat ahli yang
lain, bahwa tema merupakan gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar
suatu karya sastra.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
tema adalah gagasan atau ide yang menjadi dasar sebuah karya sastra.
b. Latar
Gambaran latar sering digunakan untuk mengawali sebuah cerita. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 217) bahwa tahap
awal karya fiksi pada umumnya bersifat penyituasian, pengenalan terhadap
berbagai hal yang akan diceritakan; misalnya pengenalan tokoh, pelukisan
keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin juga hubungan waktu,
Herman J. Waluyo (2002: 200) memaparkan bahwa setting tidak hanya
menampilkan lokasi, tempat dan waktu. Adat istiadat dan kebiasaan hidup
dapat tampil sebagai setting. Jadi, latar yang terdapat dalam sebuah novel
tidak hanya mengacu pada tempat saja.
Senada dengan pendapat di atas, Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005:
216) berpendapat bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landas
tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Bertolak dari beberapa pendapat mengenai latar dapat disimpulkan bahwa
Latar memang tidak hanya mengacu pada satu macam. Acuan latar yang tidak
hanya mengarah pada satu segi akhirnya membentuk berbagai macam latar.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 27) membedakan unsur latar ke dalam tiga
unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran pada
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur
tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu,
inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.
-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan latar sosial menyaran
pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat
di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dll yang tergolong
latar spiritual.
Latar dalam sebuah karya sastra memberikan fungsi tersendiri. Montaque
dan Henshan (Herman J. Waluyo, 2002: 198) menyatakan ada tiga fungsi
setting, yaitu 1) mempertegas watak para pelaku, 2) memberikan tekanan pada
tema, 3) memperjelas tema yang disampaikan.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 40) berpendapat bahwa latar memiliki fungsi
sebagai metafor dan atmosfir. Diperjelas dengan pendapat Lakoff dan Johnson
(Burhan Nurgiyantoro, 2005: 241) yang menjelaskan fungsi pertama metafora
commit to user
ungkapan-ungkapan tertentu sering lebih tepat disampaikan dengan bentuk
metaphor daripada secara literal. Latar sebagai atmosfer artinya ia berupa
deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya
suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri, dsb.
Akhirnya meskipun dalam suatu cerita rekaan boleh jadi latar merupakan
unsur dominan, latar itu tidak pernah berdiri sendiri. Seperti yang sudah
diungkapkan sebelumnya, ada unsur yang mendukung keberadaan latar yaitu
plot dan penokohan. Diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 225)
antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat dan bersifat
timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan memperngaruhi sifat-sifat
tokoh. Bahkan, barangkali tak berlebihan jika dikatakan bahwa sifat seseorang
akan dibentuk oleh keadaan latarnya. Hal ini akan tercermin, misalnya sifat
orang desa yang hidup di pedalaman akan berbeda dengan sifat
orang-orang kota. Adanya perbedaan tradisi, konvensi, keadaan sosial, dll yang
menciri tempat-tempat tertentu, langsung atau tidak langsung akan
berpengaruh pada penduduk, tokoh cerita.
Di pihak lain, juga dikatakan bahwa sifat-sifat dan tingkah laku tertentu
yang ditujukkan oleh seorang tokoh mencerminkan dari mana dia berasal.
Jadi, ia akan mencerminkan latar dalam kaitannya dengan hubungan waktu,
langsung tak langsung akan berpengaruh terhadap cerita dan pengaluran,
khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan.
c. Penokohan
Keadaan latar (setting) dalam sebuah karya sastra tidak akan berarti jika
tidak didukung oleh unsur yang lain. Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro,
2005: 216) mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam
fakta (cerita). Sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat
diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.
Tokoh merupakan para pelaku yang menjalankan sebuah cerita. Para tokoh
ditampilkan dengan membawa peran masing-masing sesuai dengan keinginan
pengarangnya. Menurut Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165),
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan.
mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan
bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 166).
Sudjiman (dalam Panuti Sudjiman, 1988: 23) menyebutkan penokohan
adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Citra tokoh
digambarkan melalui ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar
wataknya juga dikenal oleh pembaca.
Berdasarkan sudut pandang pengarang dalam menciptakan tokoh dalam
cerita dapat dibedakan macam-macam tokoh. Burhan Nurgiyantoro
(2005:176) mengkategorikan tokoh dalam sebuah karya sastra, yaitu 1)tokoh
utama dan tokoh tambahan, 2) tokoh protagonis dan antagonis, 3) tokoh
sederhana dan tokoh bulat, 4) tokoh statis dan tokoh berkembang, 5) tokoh
tipikaldan tokoh netral.
Pendapat lain dikemukakan oleh Panuti Sudjiman (1988: 17) yaitu, tokoh
dibedakan menjadi 1) tokoh sentral dan tokoh bawahan, 2) tokoh datar dan
tokoh bulat. Berdasarkan atas pembedaan di atas, yang lebih dikenal oleh
pembaca adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Menurut Herman J. Waluyo (2002: 168), tokoh protagonis adalah tokoh
sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita. Pendapat lain
diungkapkan oleh Altenbend dan Lewis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:
178) yang menyatakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi
yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero-tokoh yang merupakan
pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita.
Panuti Sudjiman (1988: 17) menyatakan tokoh protagonis yaitu tokoh
commit to user
dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Dengan kata
lain, mengacu pada beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa tokoh
protagonis adalah tokoh yang dihadirkan dalam karya sastra dengan membawa
karakter yang disukai oleh kebanyakan pembaca.
Lawan dari protagonis adalah antagonis. Tokoh jenis ini biasanya tidak
disukai pembaca karena dilahirkan dengan karakter yang bertentangan dengan
protagonis. Dikatakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 179) bahwa tokoh
yang menyebabkan konflik adalah antagonis. Di pihak lain Herman J. Waluyo
(2002: 168) menyatakan bahwa tokoh antagonis adalah tokoh yang
mempunyai konflik dengan protagonis.
Untuk menampilkan tokoh ke dalam sebuah cerita, ada beberapa cara yang
dilakukan pengarang. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 165) ada tiga cara,
yaitu:
1. Metode analitis (langsung)
Dengan metode ini pengarang cecara langsung mendeskripsikan keadaan
tokoh itu dengan terinci (analitis). Pendeskripsian dimulai dari keadaan fisik,
psikis (wataknya) sampai keadaan sosial (kedudukan dan pangkat). Menurut
Suminto (1996/1997: 57), dengan metode ini pengarang menyebutkan secara
langsung masing-masing kualitas tokohnya.
2. Metode dramatik (tidak langsung)
Metode ini, selain menampilkan tokoh secara fisik, juga menggambarkan
hubungannya dengan orang lain, cara hidup sehari-hari. Metode dramatik
dialog antara tokoh itu dengan tokoh lainnya. Menurut Suminto (1996/1997:
58), disebut metode dramatis karena tokoh-tokoh dinyatakan kepada kita
seperti dalam drama. Pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk
menyatakan dirinya sendiri melalui kata-kata, tindakan atau perbuatan mereka
sendiri.
3. Metode kontekstual
Berbeda dengan dua metode sebelumnya, metode ini dalam
digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Menurut Suminto
(1996/1997: 68), metode kontekstual adalah cara menyatakan karakter tokoh
dengan melalui konteks verbal yang mengelilinginya.
d. Plot
Unsur plot yang juga mempengaruhi keberartian latar (setting) menjadi hal
yang penting pula dalam sebuah karya sastra (novel). Plot diartikan sebagai
peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat
sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan
kaitan sebab akibat (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113).
Herman J. Waluyo (2002: 145) menyebut plot sebagai alur cerita yang
berarti struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi. Boulton mengatakan
bahwa plot berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan waktu yang
menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan
mengetahui kejadian yang akan dating (Herman J. Waluyo, 2002: 145).
Alur adalah peristiwa yang diurutkan yang menjadi tulang punggung
cerita (Panuti Sudjiman, 1988: 29). Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro,
2005: 113) menyebutkan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur
peristiwa-peristiwa yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan
penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek
artistik tertentu.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa plot tidak
sekadar sebuah rentetan peristiwa. Dinamakan plot karena di antara peristiwa
satu dengan peristiwa lainnya memuat hubungan kausalitas. Hal ini
menjadikan pembaca terhanyut untuk menikmati jalannya cerita.
Pengaluran dalam sebuah karya sastra memilik tahap-tahapan sebagaimana
diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 147), alur cerita meliputi 1) eksposisi,
2) inciting moment (saat perkenalan), 3) rising action, 4) complication, 5)
climax, 6) falling action, 7) denonement (penyelesaian).
Eksposisi merupakan paparan awal cerita. Pengarang mulai
memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Inciting
commit to user
oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Rising
action adalah penanjakan konflik sampai terjadi peningkatan konflik.
Complication adalah konflik yang semakin ruwet. Falling action artinya
konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya.
Denonement artinya penyelesaian.
Sebuah alur cerita dapat dinikmati oleh pembaca karena terkandung
beberapa hal di dalamnya. Menurut Panuti Sudjiman (1988: 37), faktor
penting yang ada dalam alur yaitu kebolehjadian, kejutan, dan kebetulan.
Kebolehjadian (plausibility)
e. Sudut pandang/Point of view
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang
menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat.
Dengan demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan di samping
mempengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan, juga
mempengaruhi kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, ketelitian, dan
keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.
Sudut pandang pada intinya adalah cara atau strategi yang dengan sengaja
dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Abrams
(Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248) menyatakan bahwa sudut pandang adalah
cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut
pandang merupakan teknik atau strategi yang dipilih pengarang untuk
mengungkapkan cerita.
Tarigan (1993: 140) menyatakan bahwa sudut pandang atau point of view
adalah hubungan yang terdapat antara sang pengarang dan alam fiktif cerita,
atau antara pengarang dan pikiran serta perasaan para pembacanya. Pengarang
harus dapat menjelaskan kepada para pembaca bahwa dia selaku narator atau
pencerita mempunyai tempat berpijak tertentu dalam hubungannya dengan
cerita itu. Herman J. Waluyo mengungkapkan bahwa point of view adalah
pencerita yang tahu segala-galanya, ataukah ia sebagai orang yang terbatas.
Point of view dapat juga berarti cara yang digunakan pengarang dalam
melibatkan dirinya dalam cerita, apakah dia terlibat secara langsung sebagai
orang pertama, ketiga atau orangn yang tahu segalanya (2005:184).
Menurut Herman J. Waluyo (2002: 184-185) point of view dibagi menjadi
tiga, yakni (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya
t teknik aku-an; (2) pengarang sebagai orang
-an;
omniscient narratif
ini pengarang tidak mengambil peran salah satu tokoh, tetapi ia mengambil
peran sebagai pencerita yang serba tahu. Ia bebas memasuki segala peran
tanpa batas. Kadang-kadang ketiga metode ini dikombinasikan oleh pengarang
dalam sebuah cerita agar cerita tersebut lebih bervariatif.
Sedikit berbeda dengan Herman J. Waluyo, Burhan Nurgiyantoro
memaparkan tiga jenis sudut pandang, yaitu pertama sudut pandang persona
yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan
menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang ini daapt
of view, third person omniscent , the omniscent narrator atau author
termasuk motivasi yang melatarbelakangi tindakannya. Kebebasannya ini
tidak hany
penceritaan dengan narator bebas menceritakan apa saja yang berhubungna
u tokoh saja atau hanya pada
commit to user
mengenai peristiwa atau tindakan yang dialami dan dirasakannya. Narator
juga mempunyai sifat mahatahu, tapi terbatas hanya pada dirinya sendiri.
peran utama dalam cerita. Penggunaan sudut pandang ini memungkinkan
pembaca merasa terlibat langsung dalam cerita sehingga akan memberikan
hanya tampil untuk mengantarkan dan menutup cerita, sedangkan inti cerita
diserahkan sepenuhnya kepada tokoh utama cerita untuk mengisahkan
kisahnya itu.
Ketiga, sudut pandang campuran. Dalam sebuah novel atau roman
pengarang mungkin saja menggunakan penyudutpandangan lebih dari satu.
Hal ini dilakukan agar cerita tidak membosankan dan lebih variatif.
Penggunaan sudut pandang ini tergantung pada kemauan dan kreativitas
pengarang dalam memanfaatkan teknik-teknik yang ada.
Jadi, pada dasarnya sudut pandang atau point of view adalah cara pandang
pengarang dalam menggambarkan tokoh dan menyajikannya dalam suatu
cerita fiksi.
f. Gaya/style
Bahasa dalam karya sastra merupakan unsur yang penting. Bahasa dapat
disamakan dengan baju bagi manusia. Keduanya merupakan bahan atau sarana
yang apabila dimanfaatkan dengan baik akan menimbulkan nilai lebih.
Kuntowijoyo menyatakan bahwa sastra itu berada sedikit di atas dan sedikit di
bawah kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan pun
harus sesuai dengan sifatnya yang bukan kesehari-harian meskipun ia
merupakan refleksi kehidupan manusia sehari-hari (Korrie Layun Rampan,
1995: 63). Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa karya sastra memang berbeda
dengan bahasa sehari-hari. Umumnya bahasa dalam karya sastra (roman)
adalah bahasa yang emotif, bersifat konotatif, dan mengandung deotomisasi
Hal yang paling menonjol dalam pembahasan bahasa karya sastra adalah
gaya atau style. Gaya merupakan cara pengungkapan yang khas dari seorang
pengarang. Gaya atau style berhubungan erat dengan diksi, imajeri (citraan),
dan sintaksis. Sifat gaya dalam karya sastra adalah khas, tidak mungkin dapat
ditiru orang lain, dan bersifat individual. Dengan hanya melihat gaya
penulisan sebuah karya sastra, pembaca langsung dapat menyimpulkan siapa
pengarangnya dari berbagai bentuk linguistik yang berlaku dalam sistem
bahasa yang bersangkutan. Gaya atau style hadir setelah mengalami seleksi
oleh pengarang. Keberhasilan suatu karya juga dipengaruhi oleh kecakapan
pengarang dalam menggunakan gaya yang serasi dalam karyanya.
Dalam penentuan atau penggunaan gaya, pengarang memiliki kebebasan
untuk mengekspresikan struktur makna ke dalam struktur lahir yang dianggap
paling efektif. Pemilihan bentuk struktur lahir dapat sampai pada berbagai
yang wajar. Namun, pemilihan wujud struktur lahir yang sesuai dengan selera
tak selamanya dilakukan secara sadar oleh pengarang. Hal ini terjadi karena
pengungkapan gaya kadang-kadang terjadi secara otomatis oleh pengarang,
seolah-olah gaya tersebut telah menjadi bagian dari diri pengarang.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 277) menganggap gaya sebagai teknik, teknik
pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang
akan diungkapkan. Bentuk ungkapan kebahasaan sendiri dibagi menjadi dua
macam bentuk, yakni sebagai sebuah fiksi dan sebagai sebuah teks. Sebagai
sebuah fiksi berarti pengarang bekerja dengan sarana bahasa, dan sebagai
sebuah teks berarti pengarang bekerja dalam bahasa.
Leech dan Short (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 277) menyatakan bahwa
gaya bahasa merupakan hal yang pada umumnya tak lagi mengandung sifat
konvensional, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam
konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dsb. Dengan
demikian, gaya tergantung pada konteks ia digunakan, siapa pengarangnya,
tujuannya ,dsb. Gaya ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan, seperti pilihan
commit to user
g. AmanatSelain memberi keindahan, juga bermanfaat bagi pembaca. Bermanfaat
disebabkan di dalam karya sastra terdapat hal-hal yang dapat dipetik oleh
pembaca. Hal-hal tersebut sebenarnya adalah pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca. Menurut Panuti Sudjiman (1988: 57) amanat
adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Sedang Zulfahnur (1996/1997: 26) memberikan batasan amanat sebagai pesan,
berupa ide, gagasan, ajaran, moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin
disampaikan atau dikemukakan pengarang lewat cerita. Amanat pengarang ini
biasanya disajikan secara implisit dan eksplisit. Cara penyampaian implisit
misalnya disiratkan dalam tingkah laku tokoh-tokoh ceritanya. Sedangkan
secara eksplisit, bila dalam tengah atau akhir cerita pengarang menyampaikan
pesan-pesan, saran, nasihat, pemikiran, dsb.
Bertolak dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa amanat
adalah pesan-pesan moral yang hendak disampaikan pengarang kepada
pembaca, baik secara implisit maupun eksplisit.
2. Hakikat Pendekatan Struktural
a. Pengertian Pendekatan Struktural
Ali Imron (2006: 20) menyatakan bahwa sesuai dengan teori Abrams,
pendekatan struktural disebut juga pendekatan objektif. Teori struktural
memandang karya sastra sebagai sebuah struktur yang otonom, berdiri sendiri,
dan terlepas dari unsur yang berada di luar dirinya. Telaah ini terlepas dari unsur
sosial, budaya, pengarang, dan pembacanya. Hal yang berada di luar pengarang
seperti biografi pengarang, psikologi, sosiologi, dan sejarah tidak diikutkan dalam
analisis.
Peaget dan Hawkes (dalam Ali Imron, 2006: 16) menyatakan bahwa
a. Keseluruhan unsur-unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah
intrinsik yang menentukan, baik keseluruhan struktur maupun
bagian-bagiannya;
b. Transformasi struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang
memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru; dan
c. Keteraturan yang mandiri atas struktur itu yang tidak memerlukan hal yang di
luar dirinya. Artinya, struktur itu otonom terhadap sistem rujukan lain.
Sementara itu, Aristoteles (dalam A. Teeuw, 2003: 100) mengenalkan
strukturalisme dalam konsep: wholeness, unity, complexity, dan coherence Dia
memandang bahwa keseluruhan makna bergantung pada keseluruhan unsur
tersebut. Wholeness berarti keseluruhan; unity berarti semua unsur harus ada;
complexity berarti luasnya ruang lingkup harus memungkinkan perkembangan
peristiwa yang masuk akal; dan coherence berarti sastrawan bertugas untuk
menyebutkan hal-hal yang mungkin atau hal yang harus terjadi sesuai dengan
konsistensi logika cerita.
Lebih lanjut A. Teeuw (2003: 112) menyatakan bahwa tujuan analisis
dalam pendekatan struktural adalah memaparkan secermat, seteliti, dan sedalam
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang
bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis itu bukan penjumlahan
dari unsur, tetapi yang paling penting justru sumbangan yang diberikan oleh
semua gejala pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya.
Pendekatan strukturalisme memberikan peluang untuk telaah karya sastra dengan
lebih rinci, namun di sisi lain justru menyebabkan masalah estetika atau makna
sastra terkorbankan. Pengkajian karya sastra dengan pendekatan struktural pada
umumnya hanya sampai pada analisis unsur-unsur pembentuknya. Hubungan
antarunsur sebagai kebulatan dalam membentuk makna masih jarang dilakukan.
Padahal unsur-unsur dalam karya sastra tidak dapat berdiri sendiri dalam
keseluruhan makna. Oleh sebab itu, untuk sampai pada pengungkapan makna,
commit to user
Teeuw (2003: 115-116) juga menyatakan bahwa pendekatan
strukturalisme memiliki empat kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut,
sebagai berikut.
a. Pendekatan strukturalisme belum memiliki syarat sebagai teori yang lengkap
dan tepat;
b. Karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam
rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah;
c. Karya sastra dipisahkan dengan pembaca selaku pemberi makna; dan
d. Analisis yang menekankan otonomi akan menghilangkan konteks dan
fungsinya, karena karya sastra dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang
melatarbelakanginya.
Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian memacu munculnya
pendekatan-pendekatan lain dalam analisis sastra. Karena itulah, dalam telaah novel, penelaah
jangan hanya menggunakan pendekatan struktural. Hal itu dilakukan agar telaah
sampai pada tataran pengungkapan makna karya sastra secara utuh.
Terlepas dari berbagai kelemahan pendekatan struktural di atas,
pendekatan tersebut ternyata sangat populer. Hal itulah yang menyebabkannya
sering digunakan dalam analisis karya sastra, khususnya dalam pembelajaran
sastra di sekolah. Pendekatan itu dipandang lebih mudah untuk dilaksanakan
karena memfokuskan analisis pada unsur-unsur dan hubungan antarunsur yang
membangun karya itu sendiri. Adapun aspek yang dikaji dalam pendekatan
struktural adalah unsur-unsur intrinsik karya sastra yang berupa: tema, nada,
suasana, alur, latar, penokohan, stilistik, dan hubungan antaraspek yang
membuatnya menjadi karya sastra (Ali Imron, 2006: 20-21). Dalam penelitian ini,
peneliti hanya akan menguraikan latar dan tokoh utama karena fokus kajian novel
ini hanya berhubungan dengan dua unsur tersebut.
3. Hakikat Sosiologi Sastra
a. Hakikat Sosiologi Sastra
Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1839. Dari seorang
mengusulkan agar penelitian terhadap masyarakat ditingkatkan menjadi suatu
ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri. Ilmu tersebut diberi nama
Yunani logos
Senada dengan pendapat Soerjono Soekanto sosiologi menurut Miekel
Bal, dkk (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 363) yaitu sebagai ilmu yang
relative muda, ini ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul
Positive-Philoshophy yang ditulis oleh Auguste Comte (1798-1857). Sosiologi
berkembang pesat pada setengah abad kemudian disusul dengan terbitnya buku
Principles of Sociology yang ditulis oleh Herbert Spencer (1820-1903). Hasan
Shadily (1989: 2) juga berpendapat:
Sosiologi merupakan ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakatnya (tidak sebagai individu yang terlepas dari golongan atau masyarakatnya), dengan ikatan-ikatan adat, kebiasaan, kepercayaan atau agamanya, tingkah laku serta keseniannya atau yang disebut kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupan.
Nyoman Kutha Ratna menyatakan, kata sosiologi berasal dari akar kata
sosio (Yunani) dan logi atau logos. Sosio berarti bersama-sama, bersatu,
berkawan, dan teman. Sementara logi atau logos ,maksudnya sabda, perkataan,
dan perumpamaan (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 1).
Selanjutnya kata sosio mengalami perubahan makna, soio/ socius yang
berarti masyarakat. Logi atau logos berarti ilmu. Sosiologi sendiri, kemudian
dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari asal-usul dan pertumbuhan (evolusi)
masyarakat, dan mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam
masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris.
Sementara itu menurut Swingewood (dalam Faruk, 1999: 1) Sosiologi
merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat,
studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi pada intinya
hendak menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan,
commit to user
Ritzer (dalam Faruk, 1999: 2) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang multiparadigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai
beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut
hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri
diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam
suatu ilmu pengetahuan. Paradigma itu berfungsi untuk menentukan apa yang
harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana cara
mengajukannya, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam interpretasi
jawaban yang diperoleh. Ritzer sendiri kemudian menemukan tiga paradigma
dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi
sosial, paradigma perilaku sosial.
Max Weber (dalam Idianto M, 2004: 11) mengatakan bahwa sosiologi
adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial. Selo Soemardjan
dan Soelaeman Soemardi (dalam Soerjono Soekanto, 1990: 21) juga
menambahkan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari
struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi
adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia dan hubungannya dengan
proses sosial termasuk pada perubahan sosial.
Sementara itu, Teeuw (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 4)menyatakan
bahwa sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu sas dan tra. Sas berarti
mengarahkan, memberi petunjuk, maupun instruksi dan tra berarti alat atau
sarana. Jadi secara lengkap sastra diartikan alat untuk mengajar, atau buku
petunjuk yang baik. Kata sastra bersifat lebih spesifik setelah terbentuk menjadi
kata jadian, kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik. Seperti halnya
dengan sosiologi, sastra juga memiliki kajian yang sama yaitu mempelajari
tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Laurenson dan Swingewood (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 78)
karena sosiologi obyek studinya tentang manusia dan sastrapun demikian.
adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah
manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Walaupun objek kajian sosiologi dan sastra sama, namun terdapat
perbedaan di antara keduanya. Ekarini Saraswati (2003: 3) mengatakan perbedaan
yang ada antara keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang
objektif, sedangkan sastra mencoba memahami setiap kehidupan sosial dari relung
perasaan yang terdalam. Damono menambahkan (dalam Ekarini Saraswati, 2003:
3) yang satu beranjak dari hasil pemikiran sedangkan yang satu lagi beranjak dari
hasil pergulatan perasaan yang merupakan 2 kutub yang berbeda, seandainya ada
dua orang sosiologi mengadakan penelitian atas satu masyarakat yang sama, hasil
penelitian itu besar kemungkinan menunjukkan persamaan juga, sedangkan
seandainya ada dua orang novelis menulis tentang suatu masyarakat yang sama,
hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat
dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan seseorang.
Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun
sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra. Sehingga
sosiologi dan sastra dapat saling melengkapi, sehingga lahirlah ilmu yang
merupakan penggabungan dari keduannya yang disebut sosiologi sastra. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Levin (Suwardi Endraswara, 2003: 79)
yang
memberikan arah bahwa penelitian sosiologi sastra dapat kearah hubungan
pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra, yang keduanya akan saling
mempengaruhi dalam hal-hal tertentu yang pada gilirannya menarik perhatian
peneliti.
Penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (dalam Suwardi
fantasticor mystical in
content, is animated by a profound social concern, and this is true of even the
a seperti apa bentuk
karya sastra (fantastis atau mistis) pun akan besar perhatiannya terhadap
fenomena sosial. Pencetus sosiologi sastra adalah seorang filsafat Perancis yang
commit to user
berjudul Cours de Philosophie Positive. Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada
tiga tahap perkembangan intelelektual, yang masing-masing merupakan
perkembangan dari tahap sebelumnya.
Tiga tahapan itu adalah:
c. Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di
dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di
atas manusia.
d. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa di dalam setiap
gejala terhadap kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan
dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita
terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan
hukum-hukum alam yang seragam.
e. Tahap positif; adalah tahap di mana manusia mulai berpikir secara alamiah.
Wolff (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 77) menyatakan bahwa
sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan
baik, terdiri atas sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang
agak general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa
semua berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Nyoman Kutha
Ratna (2003:2) memberi pengertian sosiologi sastra sebagai usaha analisis
terhadap unsur(-unsur) karya seni sebagai bagian integral unsur(-unsur)
sosiokultural. Dari pengertian tersebut, sosiologi sastra adalah cara untuk
membuktikan bahwa karya sastra termasuk bagian dari keseluruhan sosiokultural.
Di mana, sosiologi sastra mencoba menjelaskan karya sastra dengan tidak
mungkin dapat menghindar dari realitas masyarakat.
Lebih jauh sosiologi sastra dipahami sebagai pendekatan terhadap sastra
yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Sapardi Djoko Damono,
1979: 2). Sosiologi sastra, dipandang sebagai usaha pendekatan yang mencoba
menemukan kaitan antara karya sastra dan masyarakat. Dalam hal ini, sosiologi
sastra merupakan cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Karya sastra
dilihat sebagai cermin kehidupan masyarakat. Kelahiran sastra tidak dalam
sedangkan karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu
merefleksikan zamannya. Sehingga antara karya sastra dan kehidupan sosial
masyarakat selalu berkaitan satu sama lain. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Laurenson dan Swingewood (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 79) yang
menjelaskan bahwa sosiologi sastra dapat dipandang dari tiga perspektif, yaitu (1)
penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di
dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra itu diciptakan, (2)
penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan
(3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan
keadaan sosial budaya.
Teori sosiologi sastra lain dikemukakan oleh Ian Watt. Ian Watt (dalam
Sapardi Djoko Damono, 1978: 3) mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi tiga
macam pendekatan. Menurutnya, telaah karya sastra mencakup tiga hal utama,
yakni konteks sosial pengarang, kajian karya sastra itu sendiri, dan fungsi sosial
sastra. Pendapat ini senada dengan yang dikemukakan Rene Wellek dan Austin
Warren (1993: 111) yang mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi tiga bentuk,
(1) sosiologi pengarang, (2) karya sastra itu sendiri, (3) mempermasalahkan
pembaca dan pengaruh karya sastra terhadap masyarakat.
Berdasarkan pendapat di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
sosiologi sastra adalah pendekatan dalam menganalisis karya sastra yang
memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya.
Sosiologi sastra berusaha mengungkapkan keterkaitan antara pengarang, pembaca,
kondisi sosial budaya pengarang maupun pembaca, serta karya itu sendiri.
Demikian beberapa ulasan tentang hakikat sosiologi sastra serta hubungan antara
karya sastra dengan masyarakat yang dipakai dalam analisis sosiologi sastra
terhadap novel Incest karya I Wayan Artika.
b. Pendekatan Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi sastra bertolak dari suatu anggapan bahwa sastra
adalah ungkapan perasaan masyarakat, yang juga berarti bahwa sastra
commit to user
Dengan demikian pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan sastra yang
mempertimbangkan segi-segi sosial dan kemasyarakatan yang tercermin dalam
karya sastra. Pendekatan sosiologi bermaksud menjelaskan bahwa karya sastra
(novel) pada hakikatnya merupakan sebuah fakta sosial yang tidak hanya
mencerminkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat tempat karya itu
dilahirkan, melainkan juga merupakan tanggapan pengarang terhadap realitas
sosial tersebut.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh
Rene Wellek dan Austin Warren, khususnya yang kedua dan yang ketiga. Yakni,
penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial, selain itu juga
mempermasalahkan pembaca dan pengaruh karya sastra terhadap masyarakat.
Dalam mengaplikasikan pendekatan ini, karya sastra tidak dilihat sebagai
keseluruhan, melainkan hanya tertarik pada unsur sosio-budaya di dalamnya yang
dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas dari kesatuan karya. Sehubungan dengan
analisis terhadap novel Incest, penulis mengambil unsur yang menarik dalam
karya tersebut, yakni perubahan sosial. Untuk menganalisis perubahan sosial
dibutuhkan teori yang relevan dengan permasalahan yang dianalisis, yakni teori
perubahan sosial.
c. Perubahan Sosial
Di dalam kehidupan, masyarakat selalu mengalami perubahan. Menurut
Sztompka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat
kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dilihat sebagai
sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi
secara linear. Secara umum, perubahan sosial dapat diartikan sebagai suatu proses
pergeseran atau berubahnya struktur/ tatanan di dalam masyarakat, meliputi pola
pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan
penghidupan yang lebih bermartabat.
Perubahan terjadi pada tingkat makro, mezzo, dan mikro. Pada tingkat
terjadi perubahan kelompok, komunitas dan organisasi. Dan di tingkat mikro
terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah
kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat
ganda (Sztompka, 2004).
Bottomore mengatakan bahwa perubahan sosial mempunyai kerangka.
Adapun susunan kerangka tentang perubahan sosial antara lain:
f. Perubahan sosial itu dimulai pada suatu masyarakat mana yang pertama-tama
mengalami perubahan.
g. Kondisi awal terjadinya perubahan mempengaruhi proses perubahan sosial
dan memberi ciri tertentu yang khas sifatnya.
h. Kecepatan proses dari perubahan sosial tersebut mungkin akan berlangsung
cepat dalam jangka waktu tertentu.
i. Perubahan-perubahan sosial memang disengaja dan dikehedaki. Oleh
karenanya bersumber pada perilaku para pribadi yang didasarkan pada
kehendak-kehendak tertentu.
Perubahan sosial selalu mendapat dukungan/ dorongan dan hambatan dari
berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan
adalah:
a. Kontak dengan kebudayaan lain
salah satu proses yang menyangkut dalam hal ini adalah difusi. Difusi
merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari perorangan kepada
perorangan lain, dan dari masyarakat kepada masyarakat lain. Dengan difusi,
suatu inovasi baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat disebarkan kepada
masyarakat luas di dunia sebagai tanda kemajuan.
b. Sistem pendidikan yang maju
c. Sikap menghargai hasil karya dan keinginan-keinginan untuk maju.
d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
e. Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.
Sistem terbuka memungkinkan adanya gerakan mobilitas sosial vertikal secara
luas yang berarti memberi kesempatan perorangan untuk maju atas dasar
commit to user
f. Penduduk yang heterogenMasyarakat-masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang
memiliki latar belakang, ras, dan ideologi yang berbeda mempermudahkan
terjadinya kegoncangan yang mendorong terjadinya proses perubahan.
Selain itu, perubahan sosial juga mendapatkan hambatan-hambatan. Adapun
faktor-faktor penghambat tersebut adalah :
a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain.
b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.
c. Sikap masyarakat yang masih tradisional.
d.Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali
atau vested interest.
e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan.
f. Prasangka terhadap hal-hal yang asing atau baru.
g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.
h. Adat atau kebiasaan.
B. Penelitian yang Relevan
Novel Incest karya I Wayan Artika pernah dibahas oleh Nita Handayani
Hasan, mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, sebagai skripsi untuk meraih gelar Sarjana Sastra. Karya Ilmiah
t Incest karya I Wayan Artika : Tinjauan Antropologi
naratif didapat melalui pengelompokkan miteme-miteme ke dalam unit-unit
naratif. Kemudian, unit-unit naratif yang didapat digolongkan pada tiga
permasalahan yaitu perkawinan sedarah yang terjadi pada kembar buncing,
pergeseran pekerjaan dari petani menjadi buruh pabrik, dan perjuangan seorang
petani organik yang tetap mempertahankan profesinya sebagai petani. Ketiga
permasalahan tersebut kemudian dianalisis secara sintagmatik paradigmatik, dan
sinkronik diakronik. (2) pola berpikir masyarakat Jelungkap didapatkan setelah
mengetahui relasi logis antarunit naratif. Pola pikir yang didapatkan berbentuk