• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Novel Incest Karya I Wayan Artika : (Kajian Struktural Dan Perubahan Sosial)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Novel Incest Karya I Wayan Artika : (Kajian Struktural Dan Perubahan Sosial)"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

ANALISIS NOVEL INCEST KARYA I WAYAN ARTIKA :

(KAJIAN STRUKTURAL DAN PERUBAHAN SOSIAL)

Skripsi

oleh :

Angga Aulia Aswagata K 1204013

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

ANALISIS NOVEL INCEST KARYA I WAYAN ARTIKA :

(KAJIAN STRUKTURAL DAN PERUBAHAN SOSIAL)

oleh :

Angga Aulia Aswagata K 1204013

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan

Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Swandono, M. Pd. Dra. Raheni Suhita, M. Hum.

(4)

commit to user

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk

memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari :

Tanggal :

Tim penguji skripsi:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dr. Rr. E. Nugraheni Eko W, M. Hum ...

Sekretaris : Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. ...

Anggota I : Drs.Swandono, M. Hum. ...

Anggota II : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. ...

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan,

(5)

commit to user

v

ABSTRAK

Angga Aulia Aswagata. ANALIS NOVEL INCEST KARYA I WAYAN ARTIKA : KAJIAN STRUKTURAL DAN PERUBAHAN SOSIAL. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1) Unsur-unsur

intrinsik yang terdapat dalam novel Incest karya I Wayan Artika. 2) Perubahan

sosial yang terdapat dalam novel Incest karya I Wayan Artika. 3) Tanggapan

masyarakat tentang novel Incest karya I Wayan Artika.

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menggunakan

pendekatan struktural dan sosiologi sastra. Sumber data dalam penelitian ini ada

dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data

primer berupa novel Incest karya I Wayan Artika yang diterbitkan oleh Interpre

Book KPP (Kelompok Penerbit Pinus), Yogyakarta pada tahun 2008 dengan

jumlah halaman 268. Sedangkan sumber data sekunder yaitu dokumen yang

meliputi profil pengarang yang berisi perjalanan hidup dan latar belakang sosial

pengarang. teknik pengumpulan data yang digunakan dengan teknik dokumen dan

wawancara. Teknik sampling (cuplikan) yang digunakan dalam penelitian ini

adalah purposive sampling. Kesahihan data dalam penelitian ini menggunakan

triangulasi teori, sumber data dan triangulasi metode. Teknik analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik analisis mengalir (flow

model of analysis) yaitu proses analisis dengan tiga komponen (reduksi data,

sajian data dan penarikan kesimpulan dengan verifikasinya). Penelitian ini dimulai

dari tahap persiapan, pelaksanaan dan penyusunan laporan.

Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan: 1) Struktur novel Incest

karya I Wayan Artika dapat dideskripsikan sebagai berikut : tema dalam novel

Incest adalah perkawinan sedarah. Penokohan dalam novel Incest dibagi menjadi

dua yaitu tokoh utama dan tokoh utama tambahan. Latar dalam novel Incest

adalah masyarakat Bali. Alur yang digunakan dalam novel Incest karya I Wayan

(6)

commit to user

vi

Incest adalah teknik sudut pandang campuran. Perubahan yang terdapat dalam

(7)

commit to user

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

1. Ibu dan Bapakku yang bekerja lebih keras

dan konsisten dengan idealisme.

2. Teman-teman satu angkatan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu

memberi motivasi kepadaku.

3. Kakak dan adikku tercinta yang selalu

menghiburku.

4. Serta orang-orang hebat yang memberi

pelajaran berharga kepadaku, yang tidak bisa

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena

atas rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat peneliti selesaikan. Skripsi ini

peneliti tulis dan ajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar

Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan

dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu,

peneliti menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah

memberikan izin penyusunan skripsi ini;

2. Dr. Muhammad Rohmadi, M Hum selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan

persetujuan penyusunan skripsi ini;

3. Dr. Kundharu Saddhono, M Hum selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa,

Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang juga telah memberikan persetujuan

penyusunan skripsi ini;

4. Dr. Kundharu saddhono, M Hum selaku Pembimbing Akademik yang

senantiasa memantau kegiatan akademik dan memberikan nasihat, saran, dan

bimbingan kepada peneliti selama kuliah;

5. Drs. Swandono, M. Pd. selaku Pembimbing I dan Dra. Raheni Suhita, M.

Hum. selaku Pembimbing II atas bimbingan yang diberikan;

6. Keluargaku (Bapak, Ibu, kakak dan adikku) yang menjadi naungan dan

pelarianku;

7. Perpustakaan di lingkup UNS, teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa

Indonesia satu angkatan; dan

8. Berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, namun tidak

(10)

commit to user

x

Semoga kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan terbaik dari Tuhan

yang Maha Esa.

Surakarta, April 2012

(11)

commit to user

3. Hakikat Pendekatan Struktural ... 19

(12)

commit to user

xii

D. Teknik Pengumpulan Data ... 35

E. Teknik Cuplikan ... 36

F. Validitas data ... 36

G. Teknik Analisis Data ... 36

H. 37 BABIV. HASILPENELITIAN ... 39

A. Deskripsi Novel Incest ... 39

B. Analisis Data ... 43

1. Tema ... 43

2. Alur / Plot ... 47

3. Penokohan ... 49

4. Latar atau Setting ... 54

5. Sudut Pandang... 57

6. Perubahan Sosial... 57

BABV. SIMPULAN, IMPLIKASI, DANSARAN ... 60

A. Simpulan ... 60

B. Implikasi ... 61

C. Saran ... 62

DAFTARPUSTAKA... 63

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ... 33

(15)

commit to user

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Sinopsis ... 65

(16)

ANALISIS NOVEL

INCEST

KARYA I WAYAN ARTIKA :

(KAJIAN STRUKTURAL DAN PERUBAHAN SOSIAL)

Oleh:

Angga Aulia Aswagata

K 1204013

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(17)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya

merupakan sarana menuangkan ide-ide kreatif dari pengarangnya. Kehidupan

manusia dengan segala permasalahannya sering kali menjadi sumber inspirasi

bagi pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra. Dalam hal ini pengarang

bebas memilih realitas manusia yang akan diangkat menjadi sebuah tulisan,

tentunya diiringi dengan pengetahuan yang cukup tentang realitas tersebut

sehingga dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang hal-hal yang

sebelumnya tidak diketahui. Karya sastra bagi pengarang adalah sarana untuk

menyampaikan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap, dan pandangannya

kepada pembaca tentang hidup dan kehidupan. Dengan demikian karya sastra bisa

dianggap sebagai cermin masyarakat.

Karya sastra sebagai cermin kehidupan bermasyarakat merupakan suatu

karya yang dapat dinikmati, dipahami, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Banyak hal yang dapat diketahui dengan membaca sebuah karya sastra, maka

tidak berlebihan jika Daniel Dhakidae memandang karya sastra sebagai social

stock of knowledge, yakni tempat terhimpunnya suatu pengetahuan tentang

masyarakat dan sebagai pembaca dapat senantiasa menimbanya (Toha dan

Sarumpaet (ed), 2002: 38).

Karya sastra, selain sebagai tempat terhimpunnya pengetahuan, juga terdapat

pelajaran yang mengandung nilai kemanusiaan. Dalam penyampaian

nilai-nilai tersebut dikemas dengan style (bahasa) yang berbeda. Pengarang dalam hal

ini, memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan struktur maknanya ke

dalam struktur lahir (baris-baris kalimat sebuah novel) yang dianggap paling

efektif. Penulisan lahir bisa sampai pada berbagai bentuk penyimpangan, bahkan

bahasa yang wajar (Burhan Nurgiyantoro,

2005: 279). Di sinilah letak estetika yang ada dalam sebuah karya sastra (novel).

Hal ini tidak mengherankan jika pembaca tidak merasa bosan untuk membaca

(18)

sebuah karya sastra. Inilah satu hal yang menunjukkan bahwa fungsi sastra

berguna.

Bentuk karya sastra yang kerap menampilkan potret kehidupan manusia

adalah novel. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), sebutan novel dalam

bahasa Inggris-dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia-berasal dari bahasa

Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Sedangkan Abrams (Burhan

Nurgiyantoro, 2005: 9) menyatakan bahwa secara harfiah novella

Novel merupakan sebuah karya fiksi yang berbentuk prosa dengan

mengambil suatu tema tertentu, biasanya tentang realitas kehidupan masyarakat,

yang disampaikan sesuai dengan sudut pandang dan imajinasi pengarang. Hal ini

sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro yang memberikan batasan novel

sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model

kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai

unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut

pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif (2005:

4).

Novel dibangun melalui berbagai macam unsur. Secara garis besar unsur

pembangun novel dibagi menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur

inilah yang secara lahir akan dijumpai ketika membaca sebuah karya sastra. Unsur

intrinsik prosa pada dasarnya terdiri dari tema, latar, penokohan, plot, sudut

pandang, gaya dan (bahasa). Tema adalah gagasan atau ide yang menjadi dasar

sebuah karya sastra. Sedangkan latar atau setting disebut juga sebagai landas

tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial

tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Penokohan adalah

penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Plot diartikan sebagai

peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana,

karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab

(19)

commit to user

menggambarkan tokoh dan menyajikannya dalam suatu cerita fiksi. Gaya

merupakan cara pengungkapan yang khas dari seorang pengarang, gaya atau style

berhubungan erat dengan diksi, imajeri (citraan), dan sintaksis. Amanat adalah

pesan-pesan moral yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca, baik

secara implisit maupun eksplisit. Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah unsur yang

berada di luar karya sastra yang secara tidak langsung mempengaruhi bangunan

karya sastra.

Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang

signifikan terhadap karya sastra, misalnya saja novel, baik dalam segi isi maupun

bentuk. Keberadaan pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut

mempengaruhi karya yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu

yang ditempati pengarang akan dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra

tertentu yang dihasilkan pengarang. Hal ini sesuai dengan pendapat Mursal Esten

(dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 261) yang mengemukakan hipotesis

bahwa latar belakang sejarah dan zaman serta latar belakang kemasyarakatan

mempunyai pengaruh yang besar dalam proses penciptaan, begitu juga dalam

novel Indonesia; pengaruhnya tidak hanya dalam tema-tema, tetapi juga dalam

strukturnya. Novel-novel Indonesia merupakan gambaran suatu proses perubahan

sosial dan tata nilai.

Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses

pergeseran atau berubahnya struktur/ tatanan di dalam masyarakat, meliputi pola

pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan

penghidupan yang lebih bermartabat. Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa

mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian

sosiologis, perubahan dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan tidak linear.

Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi secara linear. Maksudnya, perubahan

terjadi pada tingkat makro, mezo dan mikro. Pada tingkat makro, terjadi

perubahanan ekonomi, politik, sedangkan di tingkat mezo terjadi perubahan

kelompok, komunitas, dan organisasi, dan di tingkat mikro sendiri terjadi

(20)

fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat ganda

(Sztompka, 2004).

Incest adalah novel yang terbit dengan kontroversi, sehingga membawa

penulisnya I Wayan Artika harus mempertanggungjawabkan tulisannya ini di

depan para tokoh modern, pemuka adat, tokoh tradisional adat di balai desa pada

Natal 2003. Novel yang mengisahkan tentang pasangan suami istri yaitu Nyoman

Sika dan Ketut Artini yang melahirkan sepasang bayi kembar buncing, laki-laki

dan perempuan ini, dianggap melecehkan adat desa setempat. Hal ini karena

teknik yang dipakai pengarang dalam menulis novel ini adalah teknik etnografi,

sehingga penggambaran peristiwa berdasar pada fakta dan realitas di desa

tersebut. Menurut adat, kelahiran kembar buncing merupakan aib besar bagi

masyarakat desa. Dan di novel Incest semua tentang kembar buncing itu dikupas

secara mendalam melalui kisah Nyoman Sika dan Ketut Artini beserta bayi

kembar buncingnya yaitu Gek Bulan Armani dan Putu Geo Antara.

Pemilihan novel ini sebagai bahan kajian penelitian karena dalam novel

Incest bercerita tentang keadaan sosiologis suatu masyarakat Indonesia khususnya

Bali dengan balutan adat yang menyertainya, sehingga dirasa cocok untuk

menjadi objek kajian sosiologi sastra. Juga isinya yang mengarah pada perubahan

baik dari segi ekonomi maupun sosial membuat peneliti tertarik untuk

menganalisis perubahan sosial yang ada dalam novel tersebut. Untuk itu peneliti

juga membutuhkan pendapat dari masyarakat tentang novel ini untuk memperkuat

hasil penelitian.

B. Pembatasan Masalah

Luasnya permasalahan yang disajikan dalam novel, tentu akan lebih baik

jika dalam pengkajiannya dibatasi pada permasalahan tertentu dengan tujuan agar

penelitian ini lebih terarah dan lebih mendalam. Sehubungan dengan latar

belakang masalah yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian ini dibatasi

pada:

1. Unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Incest karya I Wayan Artika.

2. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jelungkap yang terkandung

(21)

commit to user

3. Tanggapan masyarakat tentang novel Incest karya I Wayan Artika.

C. Rumusan Masalah

Sesuai dengan pembatasan masalah yang ada maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana unsur-unsur intrinsik dalam novel Incest karya I Wayan Artika?

2. Bagaimana perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jelungkap yang

terkandung dalam novel Incest karya I Wayan Artika?

3. Bagaimana tanggapan masyarakat tentang novel Incest karya I Wayan Artika?

D. Tujuan Penelitian

Bertolak dari rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini sebagai

berikut:

1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dalam novel Incest karya I Wayan

Artika.

2. Mendeskripsikan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jelungkap

yang terkandung dalam novel Incest karya I Wayan Artika.

3. Mendeskripsikan tanggapan masyarakat tentang novel Incest karya I Wayan

Artika.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi

secara teoretis dan praktis.

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan,

khususnya dalam bidang studi analisis novel dengan pendekatan struktural dan

sosiologi sastra. Selain itu juga dapat membuktikan sejauh mana sosiologi

sastra dapat diaplikasikan kepada novel Indonesia modern dalam hal ini novel

Incest karya I Wayan Artika dilihat sebagai dokumen sosio-budaya.

2. Manfaat Praktis

(22)

Hasil penelitian ini berupa deskripsi unsur-unsur intrinsik dan perubahan

sosial pada masyarakat Jelungkap dalam novel Incest. Penelitian ini juga

merupakan salah satu wujud usaha untuk membuka pola pikir masyarakat

dalam menyikapi adat daerahnya yang dirasa sudah tidak sesuai dengan

perkembangan zaman juga akibat yg ditimbulkannya. Oleh karena itu,

Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menjadikan hasil penelitian ini

sebagai materi dalam pembelajaran apresiasi dan kritik sastra di perguruan

tinggi.

b. Bagi Guru Sekolah Menegah Atas (SMA)

Hasil penelitian ini mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik novel Incest.

Oleh karena itu, guru SMA dapat menjadikan novel itu sebagai materi

pembelajaran di SMA.

c. Bagi Mahasiswa dan Peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi penting bagi

penelitian sosiologi sastra selanjutnya.

(23)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN

PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Landasan Teori

1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

novellus yang diturunkan dari kata

menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), sebutan novel dalam bahasa Inggris-dan

inilah yang kemudian masuk ke Indonesia-berasal dari bahasa Itali novella (yang

dalam bahasa Jerman: novelle). Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9)

menyatakan bahwa secara harfiah novella

Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) memberikan batasan novel sebagai sebuah

karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang

diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya

seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain

yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif. Meskipun bersifat

imajinatif, namun dunia yang ditawarkan pengarang tidak jauh dari kehidupan

sehari-hari, sehingga sangatlah tepat pabila Burhan menyebut novel sebagai

sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan.

Pendapat lain tentang novel dikemukakan Goldmann (Faruk, 1994: 29)

yang mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang

terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang

problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi. Yang dimaksud dengan

nilai-nilai yang otentik adalah totalitas kehidupan.

Herman J. Waluyo (2002: 36-37) menyatakan bahwa istilah novel

mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi

menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk

klasifikasi cerita menengah. Dalam novel terdapat; (1) perubahan nasib dari tokoh

(24)

cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya

tokoh utamanya tidak sampai mati.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah

sebuah cerita fiksi dengan berbagai unsur intrinsik yang di dalamnya terdapat

problematik/ permasalahan hidup yang dialami tokoh-tokohnya sehingga

membuat tokoh utamanya mengalami perubahan nasib.

b. Unsur-unsur Novel

Secara garis besar unsur pembangun novel dibagi menjadi dua, yaitu unsur

intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun

karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang secara lahir akan dijumpai ketika

membaca sebuah karya sastra. Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah unsur yang

berada di luar karya sastra yang secara tidak langsung mempengaruhi bangunan

karya sastra. Dalam pembahasan mengenai unsur pembangun novel yang dibahas

adalah unsur intrinsik karya sastra.

Stanton menjabarkan unsur pembangun fiksi atau cerita menjadi (1) fakta

cerita yang meliputi plot, tokoh, dan latar; (2) sarana cerita yang meliputi judul,

sudut pandang, gaya dan nada; dan (3) tema. Sementara itu, Luxemburg dkk.

membahas teks dan juru cerita, cerita, visi terhadap dunia rekaan, alur, dan para

pelaku dalam pembahasan mengenai teks naratif (Wiyatmi, 2006: 29).

Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (Herman J. Waluyo, 2002: 140)

menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yakni (1) plot; (2) tema; (3)

karakter; (4) setting; (5) point of view; (6) gaya; dan (7) suasana cerita. Tidak

berbeda jauh dengan pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro dalam buku Teori

Pengkajian Fiksi (2005) membahas unsur intrinsik prosa, yaitu tema, pemplotan,

pelataran, cerita, penokohan, penyudutpandangan, gaya (bahasa), dan moral.

Imbuhan pe(N)-an di atas dapat diartikan sebagai teknik pengungkapan. Jadi,

pembahasan mengenai unsur intrinsik prosa menurut Burhan Nurgiyantoro

meliputi tema, plot, latar, cerita, tokoh, sudut pandang, bahasa, dan moral.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, unsur intrinsik prosa pada

(25)

commit to user

(bahasa). Kehadiran moral (amanat) sebagai penyusun prosa tidak selamanya

diperhitungkan oleh para ahli, padahal setiap karya sastra pasti mempunyai pesan

moral (amanat) yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.

a. Tema

Setiap karya sastra mengandung ide sentral yang mendasari cerita yang

ada. Ide sentral inilah yang sering disebut dengan tema. Hal ini senada dengan

pendapat Atar Semi (1993: 42) yang menyatakan bahwa tema tidak lain dari

suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Pengertian lain

disampaikan oleh Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 67)

yang memberi batasan tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.

Makna yang dikandung dalam sebuah cerita kadang tidak terlepas dari realita

kehidupan manusia yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pendapat

demikian diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 142) bahwa tema ada yang

diambil dari khasanah kehidupan sehari-hari dan dimaksudkan pengarang

untuk memberikan saksi sejarah atau mungkin sebagai reaksi terhadap praktek

kehidupan masyarakat yang tidak disetujui. Menurutnya, tema adalah masalah

hakiki menusia seperti halnya cinta, kasih, ketakutan, kebahagiaan,

kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya. Panuti Sudjiman (1988: 50) juga

memberikan definisi tema yang tidak jauh berbeda dengan pendapat ahli yang

lain, bahwa tema merupakan gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar

suatu karya sastra.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

tema adalah gagasan atau ide yang menjadi dasar sebuah karya sastra.

b. Latar

Gambaran latar sering digunakan untuk mengawali sebuah cerita. Hal ini

seperti yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 217) bahwa tahap

awal karya fiksi pada umumnya bersifat penyituasian, pengenalan terhadap

berbagai hal yang akan diceritakan; misalnya pengenalan tokoh, pelukisan

keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin juga hubungan waktu,

(26)

Herman J. Waluyo (2002: 200) memaparkan bahwa setting tidak hanya

menampilkan lokasi, tempat dan waktu. Adat istiadat dan kebiasaan hidup

dapat tampil sebagai setting. Jadi, latar yang terdapat dalam sebuah novel

tidak hanya mengacu pada tempat saja.

Senada dengan pendapat di atas, Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005:

216) berpendapat bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landas

tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan

sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Bertolak dari beberapa pendapat mengenai latar dapat disimpulkan bahwa

Latar memang tidak hanya mengacu pada satu macam. Acuan latar yang tidak

hanya mengarah pada satu segi akhirnya membentuk berbagai macam latar.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 27) membedakan unsur latar ke dalam tiga

unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran pada

lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur

tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu,

inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

-peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan latar sosial menyaran

pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat

di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial

masyarakat mencakup berbagai masalah kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,

keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dll yang tergolong

latar spiritual.

Latar dalam sebuah karya sastra memberikan fungsi tersendiri. Montaque

dan Henshan (Herman J. Waluyo, 2002: 198) menyatakan ada tiga fungsi

setting, yaitu 1) mempertegas watak para pelaku, 2) memberikan tekanan pada

tema, 3) memperjelas tema yang disampaikan.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 40) berpendapat bahwa latar memiliki fungsi

sebagai metafor dan atmosfir. Diperjelas dengan pendapat Lakoff dan Johnson

(Burhan Nurgiyantoro, 2005: 241) yang menjelaskan fungsi pertama metafora

(27)

commit to user

ungkapan-ungkapan tertentu sering lebih tepat disampaikan dengan bentuk

metaphor daripada secara literal. Latar sebagai atmosfer artinya ia berupa

deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya

suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri, dsb.

Akhirnya meskipun dalam suatu cerita rekaan boleh jadi latar merupakan

unsur dominan, latar itu tidak pernah berdiri sendiri. Seperti yang sudah

diungkapkan sebelumnya, ada unsur yang mendukung keberadaan latar yaitu

plot dan penokohan. Diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 225)

antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat dan bersifat

timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan memperngaruhi sifat-sifat

tokoh. Bahkan, barangkali tak berlebihan jika dikatakan bahwa sifat seseorang

akan dibentuk oleh keadaan latarnya. Hal ini akan tercermin, misalnya sifat

orang desa yang hidup di pedalaman akan berbeda dengan sifat

orang-orang kota. Adanya perbedaan tradisi, konvensi, keadaan sosial, dll yang

menciri tempat-tempat tertentu, langsung atau tidak langsung akan

berpengaruh pada penduduk, tokoh cerita.

Di pihak lain, juga dikatakan bahwa sifat-sifat dan tingkah laku tertentu

yang ditujukkan oleh seorang tokoh mencerminkan dari mana dia berasal.

Jadi, ia akan mencerminkan latar dalam kaitannya dengan hubungan waktu,

langsung tak langsung akan berpengaruh terhadap cerita dan pengaluran,

khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan.

c. Penokohan

Keadaan latar (setting) dalam sebuah karya sastra tidak akan berarti jika

tidak didukung oleh unsur yang lain. Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro,

2005: 216) mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam

fakta (cerita). Sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat

diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.

Tokoh merupakan para pelaku yang menjalankan sebuah cerita. Para tokoh

ditampilkan dengan membawa peran masing-masing sesuai dengan keinginan

pengarangnya. Menurut Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165),

(28)

atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang

dilakukan dalam tindakan.

mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan

bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga

sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Burhan

Nurgiyantoro, 2005: 166).

Sudjiman (dalam Panuti Sudjiman, 1988: 23) menyebutkan penokohan

adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Citra tokoh

digambarkan melalui ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar

wataknya juga dikenal oleh pembaca.

Berdasarkan sudut pandang pengarang dalam menciptakan tokoh dalam

cerita dapat dibedakan macam-macam tokoh. Burhan Nurgiyantoro

(2005:176) mengkategorikan tokoh dalam sebuah karya sastra, yaitu 1)tokoh

utama dan tokoh tambahan, 2) tokoh protagonis dan antagonis, 3) tokoh

sederhana dan tokoh bulat, 4) tokoh statis dan tokoh berkembang, 5) tokoh

tipikaldan tokoh netral.

Pendapat lain dikemukakan oleh Panuti Sudjiman (1988: 17) yaitu, tokoh

dibedakan menjadi 1) tokoh sentral dan tokoh bawahan, 2) tokoh datar dan

tokoh bulat. Berdasarkan atas pembedaan di atas, yang lebih dikenal oleh

pembaca adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 168), tokoh protagonis adalah tokoh

sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita. Pendapat lain

diungkapkan oleh Altenbend dan Lewis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:

178) yang menyatakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi

yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero-tokoh yang merupakan

pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita.

Panuti Sudjiman (1988: 17) menyatakan tokoh protagonis yaitu tokoh

(29)

commit to user

dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Dengan kata

lain, mengacu pada beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa tokoh

protagonis adalah tokoh yang dihadirkan dalam karya sastra dengan membawa

karakter yang disukai oleh kebanyakan pembaca.

Lawan dari protagonis adalah antagonis. Tokoh jenis ini biasanya tidak

disukai pembaca karena dilahirkan dengan karakter yang bertentangan dengan

protagonis. Dikatakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 179) bahwa tokoh

yang menyebabkan konflik adalah antagonis. Di pihak lain Herman J. Waluyo

(2002: 168) menyatakan bahwa tokoh antagonis adalah tokoh yang

mempunyai konflik dengan protagonis.

Untuk menampilkan tokoh ke dalam sebuah cerita, ada beberapa cara yang

dilakukan pengarang. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 165) ada tiga cara,

yaitu:

1. Metode analitis (langsung)

Dengan metode ini pengarang cecara langsung mendeskripsikan keadaan

tokoh itu dengan terinci (analitis). Pendeskripsian dimulai dari keadaan fisik,

psikis (wataknya) sampai keadaan sosial (kedudukan dan pangkat). Menurut

Suminto (1996/1997: 57), dengan metode ini pengarang menyebutkan secara

langsung masing-masing kualitas tokohnya.

2. Metode dramatik (tidak langsung)

Metode ini, selain menampilkan tokoh secara fisik, juga menggambarkan

hubungannya dengan orang lain, cara hidup sehari-hari. Metode dramatik

dialog antara tokoh itu dengan tokoh lainnya. Menurut Suminto (1996/1997:

58), disebut metode dramatis karena tokoh-tokoh dinyatakan kepada kita

seperti dalam drama. Pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk

menyatakan dirinya sendiri melalui kata-kata, tindakan atau perbuatan mereka

sendiri.

3. Metode kontekstual

Berbeda dengan dua metode sebelumnya, metode ini dalam

(30)

digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Menurut Suminto

(1996/1997: 68), metode kontekstual adalah cara menyatakan karakter tokoh

dengan melalui konteks verbal yang mengelilinginya.

d. Plot

Unsur plot yang juga mempengaruhi keberartian latar (setting) menjadi hal

yang penting pula dalam sebuah karya sastra (novel). Plot diartikan sebagai

peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat

sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan

kaitan sebab akibat (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113).

Herman J. Waluyo (2002: 145) menyebut plot sebagai alur cerita yang

berarti struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi. Boulton mengatakan

bahwa plot berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan waktu yang

menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan

mengetahui kejadian yang akan dating (Herman J. Waluyo, 2002: 145).

Alur adalah peristiwa yang diurutkan yang menjadi tulang punggung

cerita (Panuti Sudjiman, 1988: 29). Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro,

2005: 113) menyebutkan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur

peristiwa-peristiwa yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan

penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek

artistik tertentu.

Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa plot tidak

sekadar sebuah rentetan peristiwa. Dinamakan plot karena di antara peristiwa

satu dengan peristiwa lainnya memuat hubungan kausalitas. Hal ini

menjadikan pembaca terhanyut untuk menikmati jalannya cerita.

Pengaluran dalam sebuah karya sastra memilik tahap-tahapan sebagaimana

diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 147), alur cerita meliputi 1) eksposisi,

2) inciting moment (saat perkenalan), 3) rising action, 4) complication, 5)

climax, 6) falling action, 7) denonement (penyelesaian).

Eksposisi merupakan paparan awal cerita. Pengarang mulai

memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Inciting

(31)

commit to user

oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Rising

action adalah penanjakan konflik sampai terjadi peningkatan konflik.

Complication adalah konflik yang semakin ruwet. Falling action artinya

konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya.

Denonement artinya penyelesaian.

Sebuah alur cerita dapat dinikmati oleh pembaca karena terkandung

beberapa hal di dalamnya. Menurut Panuti Sudjiman (1988: 37), faktor

penting yang ada dalam alur yaitu kebolehjadian, kejutan, dan kebetulan.

Kebolehjadian (plausibility)

e. Sudut pandang/Point of view

Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang

menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat.

Dengan demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan di samping

mempengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan, juga

mempengaruhi kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, ketelitian, dan

keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.

Sudut pandang pada intinya adalah cara atau strategi yang dengan sengaja

dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Abrams

(Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248) menyatakan bahwa sudut pandang adalah

cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk

menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk

cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut

pandang merupakan teknik atau strategi yang dipilih pengarang untuk

mengungkapkan cerita.

Tarigan (1993: 140) menyatakan bahwa sudut pandang atau point of view

adalah hubungan yang terdapat antara sang pengarang dan alam fiktif cerita,

atau antara pengarang dan pikiran serta perasaan para pembacanya. Pengarang

harus dapat menjelaskan kepada para pembaca bahwa dia selaku narator atau

pencerita mempunyai tempat berpijak tertentu dalam hubungannya dengan

cerita itu. Herman J. Waluyo mengungkapkan bahwa point of view adalah

(32)

pencerita yang tahu segala-galanya, ataukah ia sebagai orang yang terbatas.

Point of view dapat juga berarti cara yang digunakan pengarang dalam

melibatkan dirinya dalam cerita, apakah dia terlibat secara langsung sebagai

orang pertama, ketiga atau orangn yang tahu segalanya (2005:184).

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 184-185) point of view dibagi menjadi

tiga, yakni (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya

t teknik aku-an; (2) pengarang sebagai orang

-an;

omniscient narratif

ini pengarang tidak mengambil peran salah satu tokoh, tetapi ia mengambil

peran sebagai pencerita yang serba tahu. Ia bebas memasuki segala peran

tanpa batas. Kadang-kadang ketiga metode ini dikombinasikan oleh pengarang

dalam sebuah cerita agar cerita tersebut lebih bervariatif.

Sedikit berbeda dengan Herman J. Waluyo, Burhan Nurgiyantoro

memaparkan tiga jenis sudut pandang, yaitu pertama sudut pandang persona

yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan

menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang ini daapt

of view, third person omniscent , the omniscent narrator atau author

termasuk motivasi yang melatarbelakangi tindakannya. Kebebasannya ini

tidak hany

penceritaan dengan narator bebas menceritakan apa saja yang berhubungna

u tokoh saja atau hanya pada

(33)

commit to user

mengenai peristiwa atau tindakan yang dialami dan dirasakannya. Narator

juga mempunyai sifat mahatahu, tapi terbatas hanya pada dirinya sendiri.

peran utama dalam cerita. Penggunaan sudut pandang ini memungkinkan

pembaca merasa terlibat langsung dalam cerita sehingga akan memberikan

hanya tampil untuk mengantarkan dan menutup cerita, sedangkan inti cerita

diserahkan sepenuhnya kepada tokoh utama cerita untuk mengisahkan

kisahnya itu.

Ketiga, sudut pandang campuran. Dalam sebuah novel atau roman

pengarang mungkin saja menggunakan penyudutpandangan lebih dari satu.

Hal ini dilakukan agar cerita tidak membosankan dan lebih variatif.

Penggunaan sudut pandang ini tergantung pada kemauan dan kreativitas

pengarang dalam memanfaatkan teknik-teknik yang ada.

Jadi, pada dasarnya sudut pandang atau point of view adalah cara pandang

pengarang dalam menggambarkan tokoh dan menyajikannya dalam suatu

cerita fiksi.

f. Gaya/style

Bahasa dalam karya sastra merupakan unsur yang penting. Bahasa dapat

disamakan dengan baju bagi manusia. Keduanya merupakan bahan atau sarana

yang apabila dimanfaatkan dengan baik akan menimbulkan nilai lebih.

Kuntowijoyo menyatakan bahwa sastra itu berada sedikit di atas dan sedikit di

bawah kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan pun

harus sesuai dengan sifatnya yang bukan kesehari-harian meskipun ia

merupakan refleksi kehidupan manusia sehari-hari (Korrie Layun Rampan,

1995: 63). Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa karya sastra memang berbeda

dengan bahasa sehari-hari. Umumnya bahasa dalam karya sastra (roman)

adalah bahasa yang emotif, bersifat konotatif, dan mengandung deotomisasi

(34)

Hal yang paling menonjol dalam pembahasan bahasa karya sastra adalah

gaya atau style. Gaya merupakan cara pengungkapan yang khas dari seorang

pengarang. Gaya atau style berhubungan erat dengan diksi, imajeri (citraan),

dan sintaksis. Sifat gaya dalam karya sastra adalah khas, tidak mungkin dapat

ditiru orang lain, dan bersifat individual. Dengan hanya melihat gaya

penulisan sebuah karya sastra, pembaca langsung dapat menyimpulkan siapa

pengarangnya dari berbagai bentuk linguistik yang berlaku dalam sistem

bahasa yang bersangkutan. Gaya atau style hadir setelah mengalami seleksi

oleh pengarang. Keberhasilan suatu karya juga dipengaruhi oleh kecakapan

pengarang dalam menggunakan gaya yang serasi dalam karyanya.

Dalam penentuan atau penggunaan gaya, pengarang memiliki kebebasan

untuk mengekspresikan struktur makna ke dalam struktur lahir yang dianggap

paling efektif. Pemilihan bentuk struktur lahir dapat sampai pada berbagai

yang wajar. Namun, pemilihan wujud struktur lahir yang sesuai dengan selera

tak selamanya dilakukan secara sadar oleh pengarang. Hal ini terjadi karena

pengungkapan gaya kadang-kadang terjadi secara otomatis oleh pengarang,

seolah-olah gaya tersebut telah menjadi bagian dari diri pengarang.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 277) menganggap gaya sebagai teknik, teknik

pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang

akan diungkapkan. Bentuk ungkapan kebahasaan sendiri dibagi menjadi dua

macam bentuk, yakni sebagai sebuah fiksi dan sebagai sebuah teks. Sebagai

sebuah fiksi berarti pengarang bekerja dengan sarana bahasa, dan sebagai

sebuah teks berarti pengarang bekerja dalam bahasa.

Leech dan Short (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 277) menyatakan bahwa

gaya bahasa merupakan hal yang pada umumnya tak lagi mengandung sifat

konvensional, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam

konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dsb. Dengan

demikian, gaya tergantung pada konteks ia digunakan, siapa pengarangnya,

tujuannya ,dsb. Gaya ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan, seperti pilihan

(35)

commit to user

g. Amanat

Selain memberi keindahan, juga bermanfaat bagi pembaca. Bermanfaat

disebabkan di dalam karya sastra terdapat hal-hal yang dapat dipetik oleh

pembaca. Hal-hal tersebut sebenarnya adalah pesan yang ingin disampaikan

pengarang kepada pembaca. Menurut Panuti Sudjiman (1988: 57) amanat

adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang.

Sedang Zulfahnur (1996/1997: 26) memberikan batasan amanat sebagai pesan,

berupa ide, gagasan, ajaran, moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin

disampaikan atau dikemukakan pengarang lewat cerita. Amanat pengarang ini

biasanya disajikan secara implisit dan eksplisit. Cara penyampaian implisit

misalnya disiratkan dalam tingkah laku tokoh-tokoh ceritanya. Sedangkan

secara eksplisit, bila dalam tengah atau akhir cerita pengarang menyampaikan

pesan-pesan, saran, nasihat, pemikiran, dsb.

Bertolak dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa amanat

adalah pesan-pesan moral yang hendak disampaikan pengarang kepada

pembaca, baik secara implisit maupun eksplisit.

2. Hakikat Pendekatan Struktural

a. Pengertian Pendekatan Struktural

Ali Imron (2006: 20) menyatakan bahwa sesuai dengan teori Abrams,

pendekatan struktural disebut juga pendekatan objektif. Teori struktural

memandang karya sastra sebagai sebuah struktur yang otonom, berdiri sendiri,

dan terlepas dari unsur yang berada di luar dirinya. Telaah ini terlepas dari unsur

sosial, budaya, pengarang, dan pembacanya. Hal yang berada di luar pengarang

seperti biografi pengarang, psikologi, sosiologi, dan sejarah tidak diikutkan dalam

analisis.

Peaget dan Hawkes (dalam Ali Imron, 2006: 16) menyatakan bahwa

(36)

a. Keseluruhan unsur-unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah

intrinsik yang menentukan, baik keseluruhan struktur maupun

bagian-bagiannya;

b. Transformasi struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang

memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru; dan

c. Keteraturan yang mandiri atas struktur itu yang tidak memerlukan hal yang di

luar dirinya. Artinya, struktur itu otonom terhadap sistem rujukan lain.

Sementara itu, Aristoteles (dalam A. Teeuw, 2003: 100) mengenalkan

strukturalisme dalam konsep: wholeness, unity, complexity, dan coherence Dia

memandang bahwa keseluruhan makna bergantung pada keseluruhan unsur

tersebut. Wholeness berarti keseluruhan; unity berarti semua unsur harus ada;

complexity berarti luasnya ruang lingkup harus memungkinkan perkembangan

peristiwa yang masuk akal; dan coherence berarti sastrawan bertugas untuk

menyebutkan hal-hal yang mungkin atau hal yang harus terjadi sesuai dengan

konsistensi logika cerita.

Lebih lanjut A. Teeuw (2003: 112) menyatakan bahwa tujuan analisis

dalam pendekatan struktural adalah memaparkan secermat, seteliti, dan sedalam

mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang

bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis itu bukan penjumlahan

dari unsur, tetapi yang paling penting justru sumbangan yang diberikan oleh

semua gejala pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya.

Pendekatan strukturalisme memberikan peluang untuk telaah karya sastra dengan

lebih rinci, namun di sisi lain justru menyebabkan masalah estetika atau makna

sastra terkorbankan. Pengkajian karya sastra dengan pendekatan struktural pada

umumnya hanya sampai pada analisis unsur-unsur pembentuknya. Hubungan

antarunsur sebagai kebulatan dalam membentuk makna masih jarang dilakukan.

Padahal unsur-unsur dalam karya sastra tidak dapat berdiri sendiri dalam

keseluruhan makna. Oleh sebab itu, untuk sampai pada pengungkapan makna,

(37)

commit to user

Teeuw (2003: 115-116) juga menyatakan bahwa pendekatan

strukturalisme memiliki empat kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut,

sebagai berikut.

a. Pendekatan strukturalisme belum memiliki syarat sebagai teori yang lengkap

dan tepat;

b. Karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam

rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah;

c. Karya sastra dipisahkan dengan pembaca selaku pemberi makna; dan

d. Analisis yang menekankan otonomi akan menghilangkan konteks dan

fungsinya, karena karya sastra dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang

melatarbelakanginya.

Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian memacu munculnya

pendekatan-pendekatan lain dalam analisis sastra. Karena itulah, dalam telaah novel, penelaah

jangan hanya menggunakan pendekatan struktural. Hal itu dilakukan agar telaah

sampai pada tataran pengungkapan makna karya sastra secara utuh.

Terlepas dari berbagai kelemahan pendekatan struktural di atas,

pendekatan tersebut ternyata sangat populer. Hal itulah yang menyebabkannya

sering digunakan dalam analisis karya sastra, khususnya dalam pembelajaran

sastra di sekolah. Pendekatan itu dipandang lebih mudah untuk dilaksanakan

karena memfokuskan analisis pada unsur-unsur dan hubungan antarunsur yang

membangun karya itu sendiri. Adapun aspek yang dikaji dalam pendekatan

struktural adalah unsur-unsur intrinsik karya sastra yang berupa: tema, nada,

suasana, alur, latar, penokohan, stilistik, dan hubungan antaraspek yang

membuatnya menjadi karya sastra (Ali Imron, 2006: 20-21). Dalam penelitian ini,

peneliti hanya akan menguraikan latar dan tokoh utama karena fokus kajian novel

ini hanya berhubungan dengan dua unsur tersebut.

3. Hakikat Sosiologi Sastra

a. Hakikat Sosiologi Sastra

Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1839. Dari seorang

(38)

mengusulkan agar penelitian terhadap masyarakat ditingkatkan menjadi suatu

ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri. Ilmu tersebut diberi nama

Yunani logos

Senada dengan pendapat Soerjono Soekanto sosiologi menurut Miekel

Bal, dkk (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 363) yaitu sebagai ilmu yang

relative muda, ini ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul

Positive-Philoshophy yang ditulis oleh Auguste Comte (1798-1857). Sosiologi

berkembang pesat pada setengah abad kemudian disusul dengan terbitnya buku

Principles of Sociology yang ditulis oleh Herbert Spencer (1820-1903). Hasan

Shadily (1989: 2) juga berpendapat:

Sosiologi merupakan ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakatnya (tidak sebagai individu yang terlepas dari golongan atau masyarakatnya), dengan ikatan-ikatan adat, kebiasaan, kepercayaan atau agamanya, tingkah laku serta keseniannya atau yang disebut kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupan.

Nyoman Kutha Ratna menyatakan, kata sosiologi berasal dari akar kata

sosio (Yunani) dan logi atau logos. Sosio berarti bersama-sama, bersatu,

berkawan, dan teman. Sementara logi atau logos ,maksudnya sabda, perkataan,

dan perumpamaan (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 1).

Selanjutnya kata sosio mengalami perubahan makna, soio/ socius yang

berarti masyarakat. Logi atau logos berarti ilmu. Sosiologi sendiri, kemudian

dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari asal-usul dan pertumbuhan (evolusi)

masyarakat, dan mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam

masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris.

Sementara itu menurut Swingewood (dalam Faruk, 1999: 1) Sosiologi

merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat,

studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi pada intinya

hendak menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan,

(39)

commit to user

Ritzer (dalam Faruk, 1999: 2) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu

pengetahuan yang multiparadigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai

beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut

hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri

diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam

suatu ilmu pengetahuan. Paradigma itu berfungsi untuk menentukan apa yang

harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana cara

mengajukannya, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam interpretasi

jawaban yang diperoleh. Ritzer sendiri kemudian menemukan tiga paradigma

dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi

sosial, paradigma perilaku sosial.

Max Weber (dalam Idianto M, 2004: 11) mengatakan bahwa sosiologi

adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial. Selo Soemardjan

dan Soelaeman Soemardi (dalam Soerjono Soekanto, 1990: 21) juga

menambahkan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari

struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi

adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia dan hubungannya dengan

proses sosial termasuk pada perubahan sosial.

Sementara itu, Teeuw (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 4)menyatakan

bahwa sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu sas dan tra. Sas berarti

mengarahkan, memberi petunjuk, maupun instruksi dan tra berarti alat atau

sarana. Jadi secara lengkap sastra diartikan alat untuk mengajar, atau buku

petunjuk yang baik. Kata sastra bersifat lebih spesifik setelah terbentuk menjadi

kata jadian, kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik. Seperti halnya

dengan sosiologi, sastra juga memiliki kajian yang sama yaitu mempelajari

tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan

pendapat Laurenson dan Swingewood (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 78)

karena sosiologi obyek studinya tentang manusia dan sastrapun demikian.

(40)

adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah

manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Walaupun objek kajian sosiologi dan sastra sama, namun terdapat

perbedaan di antara keduanya. Ekarini Saraswati (2003: 3) mengatakan perbedaan

yang ada antara keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang

objektif, sedangkan sastra mencoba memahami setiap kehidupan sosial dari relung

perasaan yang terdalam. Damono menambahkan (dalam Ekarini Saraswati, 2003:

3) yang satu beranjak dari hasil pemikiran sedangkan yang satu lagi beranjak dari

hasil pergulatan perasaan yang merupakan 2 kutub yang berbeda, seandainya ada

dua orang sosiologi mengadakan penelitian atas satu masyarakat yang sama, hasil

penelitian itu besar kemungkinan menunjukkan persamaan juga, sedangkan

seandainya ada dua orang novelis menulis tentang suatu masyarakat yang sama,

hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat

dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan seseorang.

Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun

sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra. Sehingga

sosiologi dan sastra dapat saling melengkapi, sehingga lahirlah ilmu yang

merupakan penggabungan dari keduannya yang disebut sosiologi sastra. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Levin (Suwardi Endraswara, 2003: 79)

yang

memberikan arah bahwa penelitian sosiologi sastra dapat kearah hubungan

pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra, yang keduanya akan saling

mempengaruhi dalam hal-hal tertentu yang pada gilirannya menarik perhatian

peneliti.

Penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (dalam Suwardi

fantasticor mystical in

content, is animated by a profound social concern, and this is true of even the

a seperti apa bentuk

karya sastra (fantastis atau mistis) pun akan besar perhatiannya terhadap

fenomena sosial. Pencetus sosiologi sastra adalah seorang filsafat Perancis yang

(41)

commit to user

berjudul Cours de Philosophie Positive. Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada

tiga tahap perkembangan intelelektual, yang masing-masing merupakan

perkembangan dari tahap sebelumnya.

Tiga tahapan itu adalah:

c. Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di

dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di

atas manusia.

d. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa di dalam setiap

gejala terhadap kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan

dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita

terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan

hukum-hukum alam yang seragam.

e. Tahap positif; adalah tahap di mana manusia mulai berpikir secara alamiah.

Wolff (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 77) menyatakan bahwa

sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan

baik, terdiri atas sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang

agak general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa

semua berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Nyoman Kutha

Ratna (2003:2) memberi pengertian sosiologi sastra sebagai usaha analisis

terhadap unsur(-unsur) karya seni sebagai bagian integral unsur(-unsur)

sosiokultural. Dari pengertian tersebut, sosiologi sastra adalah cara untuk

membuktikan bahwa karya sastra termasuk bagian dari keseluruhan sosiokultural.

Di mana, sosiologi sastra mencoba menjelaskan karya sastra dengan tidak

mungkin dapat menghindar dari realitas masyarakat.

Lebih jauh sosiologi sastra dipahami sebagai pendekatan terhadap sastra

yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Sapardi Djoko Damono,

1979: 2). Sosiologi sastra, dipandang sebagai usaha pendekatan yang mencoba

menemukan kaitan antara karya sastra dan masyarakat. Dalam hal ini, sosiologi

sastra merupakan cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Karya sastra

dilihat sebagai cermin kehidupan masyarakat. Kelahiran sastra tidak dalam

(42)

sedangkan karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu

merefleksikan zamannya. Sehingga antara karya sastra dan kehidupan sosial

masyarakat selalu berkaitan satu sama lain. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Laurenson dan Swingewood (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 79) yang

menjelaskan bahwa sosiologi sastra dapat dipandang dari tiga perspektif, yaitu (1)

penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di

dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra itu diciptakan, (2)

penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan

(3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan

keadaan sosial budaya.

Teori sosiologi sastra lain dikemukakan oleh Ian Watt. Ian Watt (dalam

Sapardi Djoko Damono, 1978: 3) mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi tiga

macam pendekatan. Menurutnya, telaah karya sastra mencakup tiga hal utama,

yakni konteks sosial pengarang, kajian karya sastra itu sendiri, dan fungsi sosial

sastra. Pendapat ini senada dengan yang dikemukakan Rene Wellek dan Austin

Warren (1993: 111) yang mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi tiga bentuk,

(1) sosiologi pengarang, (2) karya sastra itu sendiri, (3) mempermasalahkan

pembaca dan pengaruh karya sastra terhadap masyarakat.

Berdasarkan pendapat di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa

sosiologi sastra adalah pendekatan dalam menganalisis karya sastra yang

memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya.

Sosiologi sastra berusaha mengungkapkan keterkaitan antara pengarang, pembaca,

kondisi sosial budaya pengarang maupun pembaca, serta karya itu sendiri.

Demikian beberapa ulasan tentang hakikat sosiologi sastra serta hubungan antara

karya sastra dengan masyarakat yang dipakai dalam analisis sosiologi sastra

terhadap novel Incest karya I Wayan Artika.

b. Pendekatan Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra bertolak dari suatu anggapan bahwa sastra

adalah ungkapan perasaan masyarakat, yang juga berarti bahwa sastra

(43)

commit to user

Dengan demikian pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan sastra yang

mempertimbangkan segi-segi sosial dan kemasyarakatan yang tercermin dalam

karya sastra. Pendekatan sosiologi bermaksud menjelaskan bahwa karya sastra

(novel) pada hakikatnya merupakan sebuah fakta sosial yang tidak hanya

mencerminkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat tempat karya itu

dilahirkan, melainkan juga merupakan tanggapan pengarang terhadap realitas

sosial tersebut.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh

Rene Wellek dan Austin Warren, khususnya yang kedua dan yang ketiga. Yakni,

penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial, selain itu juga

mempermasalahkan pembaca dan pengaruh karya sastra terhadap masyarakat.

Dalam mengaplikasikan pendekatan ini, karya sastra tidak dilihat sebagai

keseluruhan, melainkan hanya tertarik pada unsur sosio-budaya di dalamnya yang

dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas dari kesatuan karya. Sehubungan dengan

analisis terhadap novel Incest, penulis mengambil unsur yang menarik dalam

karya tersebut, yakni perubahan sosial. Untuk menganalisis perubahan sosial

dibutuhkan teori yang relevan dengan permasalahan yang dianalisis, yakni teori

perubahan sosial.

c. Perubahan Sosial

Di dalam kehidupan, masyarakat selalu mengalami perubahan. Menurut

Sztompka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat

kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dilihat sebagai

sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi

secara linear. Secara umum, perubahan sosial dapat diartikan sebagai suatu proses

pergeseran atau berubahnya struktur/ tatanan di dalam masyarakat, meliputi pola

pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan

penghidupan yang lebih bermartabat.

Perubahan terjadi pada tingkat makro, mezzo, dan mikro. Pada tingkat

(44)

terjadi perubahan kelompok, komunitas dan organisasi. Dan di tingkat mikro

terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah

kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat

ganda (Sztompka, 2004).

Bottomore mengatakan bahwa perubahan sosial mempunyai kerangka.

Adapun susunan kerangka tentang perubahan sosial antara lain:

f. Perubahan sosial itu dimulai pada suatu masyarakat mana yang pertama-tama

mengalami perubahan.

g. Kondisi awal terjadinya perubahan mempengaruhi proses perubahan sosial

dan memberi ciri tertentu yang khas sifatnya.

h. Kecepatan proses dari perubahan sosial tersebut mungkin akan berlangsung

cepat dalam jangka waktu tertentu.

i. Perubahan-perubahan sosial memang disengaja dan dikehedaki. Oleh

karenanya bersumber pada perilaku para pribadi yang didasarkan pada

kehendak-kehendak tertentu.

Perubahan sosial selalu mendapat dukungan/ dorongan dan hambatan dari

berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan

adalah:

a. Kontak dengan kebudayaan lain

salah satu proses yang menyangkut dalam hal ini adalah difusi. Difusi

merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari perorangan kepada

perorangan lain, dan dari masyarakat kepada masyarakat lain. Dengan difusi,

suatu inovasi baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat disebarkan kepada

masyarakat luas di dunia sebagai tanda kemajuan.

b. Sistem pendidikan yang maju

c. Sikap menghargai hasil karya dan keinginan-keinginan untuk maju.

d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.

e. Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.

Sistem terbuka memungkinkan adanya gerakan mobilitas sosial vertikal secara

luas yang berarti memberi kesempatan perorangan untuk maju atas dasar

(45)

commit to user

f. Penduduk yang heterogen

Masyarakat-masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang

memiliki latar belakang, ras, dan ideologi yang berbeda mempermudahkan

terjadinya kegoncangan yang mendorong terjadinya proses perubahan.

Selain itu, perubahan sosial juga mendapatkan hambatan-hambatan. Adapun

faktor-faktor penghambat tersebut adalah :

a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain.

b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.

c. Sikap masyarakat yang masih tradisional.

d.Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali

atau vested interest.

e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan.

f. Prasangka terhadap hal-hal yang asing atau baru.

g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.

h. Adat atau kebiasaan.

B. Penelitian yang Relevan

Novel Incest karya I Wayan Artika pernah dibahas oleh Nita Handayani

Hasan, mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret

Surakarta, sebagai skripsi untuk meraih gelar Sarjana Sastra. Karya Ilmiah

t Incest karya I Wayan Artika : Tinjauan Antropologi

naratif didapat melalui pengelompokkan miteme-miteme ke dalam unit-unit

naratif. Kemudian, unit-unit naratif yang didapat digolongkan pada tiga

permasalahan yaitu perkawinan sedarah yang terjadi pada kembar buncing,

pergeseran pekerjaan dari petani menjadi buruh pabrik, dan perjuangan seorang

petani organik yang tetap mempertahankan profesinya sebagai petani. Ketiga

permasalahan tersebut kemudian dianalisis secara sintagmatik paradigmatik, dan

sinkronik diakronik. (2) pola berpikir masyarakat Jelungkap didapatkan setelah

mengetahui relasi logis antarunit naratif. Pola pikir yang didapatkan berbentuk

Gambar

Tabel                                                                                                        Halaman
Gambar
gambar kerangka berpikir.
Gambar 1. Kerangka berpikir
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) Tema dalam novel Jaring Kalamangga termasuk dalam tema tradisional, (2) Penokohan pada tokoh (a) Adib Darwan

Dalam sudut pandang ini narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya: ia, dia,

Kesimpulan dari hasil penelitian ini bahwa refleksi budaya Banjar dan Dayak dalam novel Jendela Seribu Sungai dapat dilihat dari tradisi dan adat kebiasaan masyarakat Banjar

Dalam kutipan tersebut merupakan data keempat dari majas hiperbola yang ditemukan dalam analisis diksi dan gaya bahasa dalam novel garis waktu karya Fiersa Besari

Orang tua Rara tidak hanya mengerti dan memahami ajaran agama saja tetapi mereka juga menerapkan apa yang mereka ketahui terhadap Rara.. Kedua orang tua Rara

Keempat, pada bab ganjil Nona Saeki meminta kepada Tamura Kafuka agar segera keluar dari dunia “ lain” dan memberi pengakuan kalau dia adalah anaknya, sedangkan

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini lebih difokuskan pada struktur novel dan eksistensi tokoh perempuan yang terdapat dalam novel “Mars” karya Aishworo Ang

Hasil penelitian ini dilihat dari permasalahan adat Minangkabau yang dikritik.Permasalahan adat Minangkabau tergambar pada setiap alur yang terdapat dalam novel