• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hakikat Sosiologi Sastra a. Hakikat Sosiologi Sastra

commit to user g. Amanat

3. Hakikat Sosiologi Sastra a. Hakikat Sosiologi Sastra

Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1839. Dari seorang ahli filsafat berkebangsaan Perancis, bernama Auguste Comte. Ia telah

mengusulkan agar penelitian terhadap masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri. Ilmu tersebut diberi nama

Yunani logos

Senada dengan pendapat Soerjono Soekanto sosiologi menurut Miekel Bal, dkk (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 363) yaitu sebagai ilmu yang relative muda, ini ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Positive-Philoshophy yang ditulis oleh Auguste Comte (1798-1857). Sosiologi berkembang pesat pada setengah abad kemudian disusul dengan terbitnya buku

Principles of Sociology yang ditulis oleh Herbert Spencer (1820-1903). Hasan

Shadily (1989: 2) juga berpendapat:

Sosiologi merupakan ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakatnya (tidak sebagai individu yang terlepas dari golongan atau masyarakatnya), dengan ikatan-ikatan adat, kebiasaan, kepercayaan atau agamanya, tingkah laku serta keseniannya atau yang disebut kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupan.

Nyoman Kutha Ratna menyatakan, kata sosiologi berasal dari akar kata

sosio (Yunani) dan logi atau logos. Sosio berarti bersama-sama, bersatu,

berkawan, dan teman. Sementara logi atau logos ,maksudnya sabda, perkataan, dan perumpamaan (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 1).

Selanjutnya kata sosio mengalami perubahan makna, soio/ socius yang berarti masyarakat. Logi atau logos berarti ilmu. Sosiologi sendiri, kemudian dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, dan mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris.

Sementara itu menurut Swingewood (dalam Faruk, 1999: 1) Sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi pada intinya hendak menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.

commit to user

Ritzer (dalam Faruk, 1999: 2) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multiparadigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam suatu ilmu pengetahuan. Paradigma itu berfungsi untuk menentukan apa yang harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana cara mengajukannya, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam interpretasi jawaban yang diperoleh. Ritzer sendiri kemudian menemukan tiga paradigma dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, paradigma perilaku sosial.

Max Weber (dalam Idianto M, 2004: 11) mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (dalam Soerjono Soekanto, 1990: 21) juga menambahkan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia dan hubungannya dengan proses sosial termasuk pada perubahan sosial.

Sementara itu, Teeuw (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 4)menyatakan bahwa sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu sas dan tra. Sas berarti mengarahkan, memberi petunjuk, maupun instruksi dan tra berarti alat atau sarana. Jadi secara lengkap sastra diartikan alat untuk mengajar, atau buku petunjuk yang baik. Kata sastra bersifat lebih spesifik setelah terbentuk menjadi kata jadian, kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik. Seperti halnya dengan sosiologi, sastra juga memiliki kajian yang sama yaitu mempelajari tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Laurenson dan Swingewood (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 78) karena sosiologi obyek studinya tentang manusia dan sastrapun demikian. Sedangkan Teeuw (dalam Atar Semi, 1993: 9) mengatakan bahwa sastra itu

adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Walaupun objek kajian sosiologi dan sastra sama, namun terdapat perbedaan di antara keduanya. Ekarini Saraswati (2003: 3) mengatakan perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra mencoba memahami setiap kehidupan sosial dari relung perasaan yang terdalam. Damono menambahkan (dalam Ekarini Saraswati, 2003: 3) yang satu beranjak dari hasil pemikiran sedangkan yang satu lagi beranjak dari hasil pergulatan perasaan yang merupakan 2 kutub yang berbeda, seandainya ada dua orang sosiologi mengadakan penelitian atas satu masyarakat yang sama, hasil penelitian itu besar kemungkinan menunjukkan persamaan juga, sedangkan seandainya ada dua orang novelis menulis tentang suatu masyarakat yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan seseorang.

Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra. Sehingga sosiologi dan sastra dapat saling melengkapi, sehingga lahirlah ilmu yang merupakan penggabungan dari keduannya yang disebut sosiologi sastra. Hal ini sesuai dengan pernyataan Levin (Suwardi Endraswara, 2003: 79)

yang memberikan arah bahwa penelitian sosiologi sastra dapat kearah hubungan pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra, yang keduanya akan saling mempengaruhi dalam hal-hal tertentu yang pada gilirannya menarik perhatian peneliti.

Penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (dalam Suwardi fantasticor mystical in content, is animated by a profound social concern, and this is true of even the a seperti apa bentuk karya sastra (fantastis atau mistis) pun akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Pencetus sosiologi sastra adalah seorang filsafat Perancis yang bernama Auguste Comte pada sekitar tahun 1839 melalui sebuah karyanya yang

commit to user

berjudul Cours de Philosophie Positive. Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya.

Tiga tahapan itu adalah:

c. Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.

d. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala terhadap kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.

e. Tahap positif; adalah tahap di mana manusia mulai berpikir secara alamiah. Wolff (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 77) menyatakan bahwa sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri atas sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semua berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Nyoman Kutha Ratna (2003:2) memberi pengertian sosiologi sastra sebagai usaha analisis terhadap unsur(-unsur) karya seni sebagai bagian integral unsur(-unsur) sosiokultural. Dari pengertian tersebut, sosiologi sastra adalah cara untuk membuktikan bahwa karya sastra termasuk bagian dari keseluruhan sosiokultural. Di mana, sosiologi sastra mencoba menjelaskan karya sastra dengan tidak mungkin dapat menghindar dari realitas masyarakat.

Lebih jauh sosiologi sastra dipahami sebagai pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Sapardi Djoko Damono, 1979: 2). Sosiologi sastra, dipandang sebagai usaha pendekatan yang mencoba menemukan kaitan antara karya sastra dan masyarakat. Dalam hal ini, sosiologi sastra merupakan cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Karya sastra dilihat sebagai cermin kehidupan masyarakat. Kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra,

sedangkan karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya. Sehingga antara karya sastra dan kehidupan sosial masyarakat selalu berkaitan satu sama lain. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Laurenson dan Swingewood (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 79) yang menjelaskan bahwa sosiologi sastra dapat dipandang dari tiga perspektif, yaitu (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra itu diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.

Teori sosiologi sastra lain dikemukakan oleh Ian Watt. Ian Watt (dalam Sapardi Djoko Damono, 1978: 3) mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi tiga macam pendekatan. Menurutnya, telaah karya sastra mencakup tiga hal utama, yakni konteks sosial pengarang, kajian karya sastra itu sendiri, dan fungsi sosial sastra. Pendapat ini senada dengan yang dikemukakan Rene Wellek dan Austin Warren (1993: 111) yang mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi tiga bentuk, (1) sosiologi pengarang, (2) karya sastra itu sendiri, (3) mempermasalahkan pembaca dan pengaruh karya sastra terhadap masyarakat.

Berdasarkan pendapat di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan dalam menganalisis karya sastra yang memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Sosiologi sastra berusaha mengungkapkan keterkaitan antara pengarang, pembaca, kondisi sosial budaya pengarang maupun pembaca, serta karya itu sendiri. Demikian beberapa ulasan tentang hakikat sosiologi sastra serta hubungan antara karya sastra dengan masyarakat yang dipakai dalam analisis sosiologi sastra terhadap novel Incest karya I Wayan Artika.

b. Pendekatan Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra bertolak dari suatu anggapan bahwa sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat, yang juga berarti bahwa sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan (Wellwk dan Warren, 1990: 110).

commit to user

Dengan demikian pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan sastra yang mempertimbangkan segi-segi sosial dan kemasyarakatan yang tercermin dalam karya sastra. Pendekatan sosiologi bermaksud menjelaskan bahwa karya sastra (novel) pada hakikatnya merupakan sebuah fakta sosial yang tidak hanya mencerminkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat tempat karya itu dilahirkan, melainkan juga merupakan tanggapan pengarang terhadap realitas sosial tersebut.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Rene Wellek dan Austin Warren, khususnya yang kedua dan yang ketiga. Yakni, penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial, selain itu juga mempermasalahkan pembaca dan pengaruh karya sastra terhadap masyarakat.

Dalam mengaplikasikan pendekatan ini, karya sastra tidak dilihat sebagai keseluruhan, melainkan hanya tertarik pada unsur sosio-budaya di dalamnya yang dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas dari kesatuan karya. Sehubungan dengan analisis terhadap novel Incest, penulis mengambil unsur yang menarik dalam karya tersebut, yakni perubahan sosial. Untuk menganalisis perubahan sosial dibutuhkan teori yang relevan dengan permasalahan yang dianalisis, yakni teori perubahan sosial.

c. Perubahan Sosial

Di dalam kehidupan, masyarakat selalu mengalami perubahan. Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi secara linear. Secara umum, perubahan sosial dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur/ tatanan di dalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat.

Perubahan terjadi pada tingkat makro, mezzo, dan mikro. Pada tingkat makro, terjadi perubahan ekonomi dan politik. Sedangkan pada tingkat mezzo

terjadi perubahan kelompok, komunitas dan organisasi. Dan di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah

kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat

ganda (Sztompka, 2004).

Bottomore mengatakan bahwa perubahan sosial mempunyai kerangka. Adapun susunan kerangka tentang perubahan sosial antara lain:

f. Perubahan sosial itu dimulai pada suatu masyarakat mana yang pertama-tama

mengalami perubahan.

g. Kondisi awal terjadinya perubahan mempengaruhi proses perubahan sosial

dan memberi ciri tertentu yang khas sifatnya.

h. Kecepatan proses dari perubahan sosial tersebut mungkin akan berlangsung

cepat dalam jangka waktu tertentu.

i. Perubahan-perubahan sosial memang disengaja dan dikehedaki. Oleh

karenanya bersumber pada perilaku para pribadi yang didasarkan pada kehendak-kehendak tertentu.

Perubahan sosial selalu mendapat dukungan/ dorongan dan hambatan dari berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan adalah:

a. Kontak dengan kebudayaan lain

salah satu proses yang menyangkut dalam hal ini adalah difusi. Difusi merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari perorangan kepada perorangan lain, dan dari masyarakat kepada masyarakat lain. Dengan difusi, suatu inovasi baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat disebarkan kepada masyarakat luas di dunia sebagai tanda kemajuan.

b. Sistem pendidikan yang maju

c. Sikap menghargai hasil karya dan keinginan-keinginan untuk maju. d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.

e. Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.

Sistem terbuka memungkinkan adanya gerakan mobilitas sosial vertikal secara luas yang berarti memberi kesempatan perorangan untuk maju atas dasar kemampuan-kemampuanya.

commit to user

Dokumen terkait