• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hakikat Pragmatik a. Pengertian Pragmatik a.Pengertian Pragmatik

BAB II LANDASAN TEORI

2. Hakikat Pragmatik a. Pengertian Pragmatik a.Pengertian Pragmatik

Pragmatik mulai berkembang dalam bidang kajian linguistik pada tahun 1970-an. Kehadirannya dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan terhadap kaum strukturalis yang hanya mengkaji bahasa dari segi bentuk, tanpa mempertimbangkan bahwa satuan-satuan kebahasaan itu sebenarnya hadir dalam konteks yang bersifat lingual maupun ekstralingual. Pragmatik (pragmatics)

adalah merupakan kajian atau makna yang muncul dalam penggunaan bahasa. Pragmatik didefinisikan berbeda-beda menurut pandangan berbagai pakar. Pragmatik adalah kajian tentang arti yang disampaikan atau dikomunikasikan oleh pembicara dan diinterpretasikan oleh pendengar. Dengan kata lain pragmatik mencakup kajian makna yang dikomunikasikan oleh pemakai bahasa. Arti atau makna yang disampaikan oleh pemakai bahasa melebihi dari makna yang terucap dalam tulisan.

commit to user

Perkembangan lebih lanjut tentang pragmatik memunculkan berbagai batasan. Leech (dalam terjemahan Oka, 1993:32) mengemukakan bahwa, “Pragmatik merupakan studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar atau speech situations.” Lubis (1993:4) menambahkan bahwa bahasa merupakan gejala sosial dan pemakaiannya jelas banyak ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor linguistik saja seperti kata-kata, kalimat-kalimat saja tidak cukup untuk melancarkan komunikasi.

Menurut Levinson (dalam Tarigan, 1990:33), pragmatik merupakan telaah mengenai relasi antara bahasa dengan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Dengan kata lain, pragmatik adalah telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Pendapat lain dikemukakan oleh Wijana (1996:14) bahwa pragmatik menganalisis tuturan, baik tuturan panjang, satu kata atau injeksi. Ia juga mengatakan bahwa pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana suatu kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Gunarwan (dalam Rustono, 1999:4) menambahkan bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji hubungan (timbal-balik) fungsi ujaran dan bentuk (struktur) kalimat yang mengungkapkan ujaran.

Penerapan pragmatik dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dengan menganalisis bentuk-bentuk penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulisan yang berwujud tuturan. Menurut Cruse (dalam Cummings, 2007:3), pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut (penekanan ditambahkan). Dalam tulisan Tri Sulistyaningtyas, (Yule, 1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (a) bidang yang mengkaji makna pembicara; (b) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (c) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasi-kan oleh

commit to user

pembicara; (d) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala aspek makna tuturan berdasarkan maksud penutur yang dihubungkan dengan konteks bahasa dan konteks nonbahasa. Konteks ini sangat mempengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai pada sebuah wacana.

Pemahaman terhadap konteks merupakan salah satu ciri kajian pragmatik. Untuk memahami bahwa kartun tersebut tidak semata-mata sebagai editorial tetapi juga mengandung maksud dan tujuan, diperlukan pemahaman terhadap konteks yang melatarbelakanginya. Alasan pemilihan kajian pragmatik dalam mengkaji kartun editorial Kaba Bang One dilandasi karena penelitian ini memberikan kerangka kerja untuk menganalisis fungsi bahasa dalam kartun editorial. Fungsi dan makna bahasa yang tidak dapat dianalisis dalam pendekatan struktural dapat dijabarkan melalui pendekatan pragmatik. Analisis dalam tataran struktural hanya melihat bentuk bahasa (form). Bentuk dalam hal ini merupakan satuan-satuan lingual (linguistic units) bunyi, sukukata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan sebagainya. Walaupun makna terdapat di balik satuan-satuan lingual itu, tetapi ilmu bahasa dengan pendekatan struktural hanya dapat membahas makna dalam tataran makna literal atau tersurat, sedangkan dalam tataran fungsi (function), makna bahasa dapat ditelaah, dianalisis sampai pada makna non-literal, implisit, atau tersirat.

Kajian pragmatik digunakan untuk mengeksplisitkan norma-norma dan aturan-aturan bahasa yang implisit, dengan menelaah aspek-aspek tindak tutur, deiksis, presuposisi, dan implikatur. Hal ini diperkuat dengan pendapat Dowty (melalui Tarigan, 1990:33) bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai ujaran langsung dan tak langsung, presuposisi, implikatur, konvensional dan konversasional sehingga kajian pragmatik dipandang paling ideal dalam menganalisis kartun editorial dalam skripsi ini. Kajian pragmatik dipergunakan untuk memahami strategi yang digunakan Bang One untuk menyampaikan

commit to user

pandangan dalam kartun editorial tersebut. Implikatur dan tindak tutur banyak dimanfaatkan Bang One untuk menciptakan praanggapan bagi penonton.

b. Situasi Tutur

Pragmatik merupakan kajian bahasa yang mencakup tataran makrolinguistik. Hal ini berarti bahwa pragmatik mengkaji hubungan unsur-unsur bahasa yang dikaitkan dengan pemakai bahasa, tidak hanya pada aspek kebahasaan dalam lingkup ke dalam saja. Tataran pragmatik lebih tinggi cakupannya. Secara umum, pragmatik dapat diartikan sebagai kajian bahasa yang telah dikaitkan dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa dalam hubungannya dengan pengguna bahasa. Pragmatik terpola dan berkaitan dengan ilmu lain sehingga menelurkan beberapa kajian. Kajian dalam bidang pragmatik sangat beragam. Bidang kajian itu meliputi: variasi bahasa, tindak bahasa, implikatur, percakapan, teori deiksis, praanggapan, analisis wacana dan lain-lain. Bidang kajian tersebut memiliki lingkup kajian yang lebih sempit. Seluruh bidang kajian ini tentu berpokok pada penggunaan bahasa dalam konteks.

Leech (1993:19) menjelaskan bahwa aspek yang perlu diperhatikan dalam sebuah konteks adalah situasi tutur, dalam mengkajinya perlu dipertimbangkan beberapa aspek seperti di bawah ini.

1) Penutur dan lawan tutur

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penyampai informasi dan penonton bila tuturan yang bersangkutan dikomunikasikan dalam bentuk visual.

2) Konteks tuturan

Konteks di sini meliputi semua latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menunjang interpretasi lawan tutur terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu.

3) Tujuan tuturan

Setiap situasi tuturan atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Kedua belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu.

commit to user

Dalam pragmatik ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan yaitu kegiatan tindak ujar.

5) Tuturan sebagai produk tindak verbal

Dalam pragmatik tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya pada tindak verbalnya itu sendiri. Jadi, yang dikaji oleh pragmatik bukan hanya tindak ilokusi, tetapi juga makna atau kekuatan ilokusinya.

Penutur dan lawan tutur biasanya terbantu oleh keadaan di sekitar lingkungan tuturan itu. Keadaan semacam ini, termasuk juga tuturan-tuturan yang lain, disebut peristiwa tutur. Pengertian peristiwa tutur yang lain menyatakan bahwa peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok pikiran dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Chaer, 1995: 61).

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa situasi tutur merupakan hubungan unsur-unsur bahasa yang dikaitkan dengan pemakai bahasa, berdasarkan aspek yang berpengaruh terhadap pemahaman konteks yang terdiri dari (1) penutur dan lawan tutur; (2) konteks tuturan; (3) tujuan tuturan; (4) tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur; dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal

c. Konteks

Cummings (2007:5) mengungkapkan bahwa definisi pragmatik yang lengkap tidak akan lengkap apabila konteksnya tidak disebutkan. Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Perhatikan defenisi pragmatik berikut:

Pragmatics is the study of the relations between language and context that are

basic to an account of language understanding (Levinson, 1983:21).

‘Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dan konteks sebagai dasar pertimbangan untuk memahami bahasa.’

Berdasarkan definisi tersebut jelas sekali bahwa pragmatik itu memang harus mengkaji bahasa dan konteks secara bersamaan Dalam tata bahasa konteks

commit to user

tuturan itu mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain, biasa disebut ko-teks. Sementara itu, konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks itu berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks ini berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.

Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog atau polilog).

Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.

Wujud konteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, paragraf, dan bahkan wacana. Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana.

Konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, peristiwa, topik, bentuk amanat, kode, dan sarana (dalam Dardjowidjojo, 2003 : 421).

Konteks pemakaian bahasa dibedakan menjadi empat macam (Lubis, 1993: 58), yaitu :

commit to user

1) Konteks fisik, yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu. 2) Konteks epistemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama

diketahui oleh pembicara atau pendengar.

3) Konteks linguistik, yang terdiri dari kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.

4) Konteks sosial, yaitu relasi sosial dan latar seting yang melengkapi hubungan antara pembicara dengan pendengar.

Keempat konteks tersebut mempengaruhi kelancaran komunikasi. Ciri-ciri konteks harus dapat diidentifikasikan untuk menangkap pesan si pembicara. Dengan konteks linguistik, kita dapat berkomunikasi dengan baik, namun harus dilengkapi dengan konteks fisiknya, yaitu di mana komunikasi itu terjadi, apa objek yang dibicarakan dan begitu juga bagaimana tindakan si pembicara. Kita pun harus melengkapi dengan konteks sosial dan epistemiknya.

Sejalan dengan pernyataan tersebut Nurkamto (2002:2) memberikan penjabaran konteks berdasarkan pendapat Hymes meliputi enam dimensi. Pertama, tempat dan waktu (setting); seperti di ruang kelas, di pasar, stasiun, masjid, dan warung kopi. Kedua, pengguna bahasa (participants); seperti dokter dengan pasien, dosen dengan mahasiswa, penjual dengan pembeli, menteri dengan presiden, dan anak dengan orang tua. Ketiga, topik pembicaraan (content); seperti pendidikan, kebudayaan, politik, bahasa, dan olah raga. Keempat, tujuan

(purpose); seperti bertanya, menjawab, memuji, menjelaskan, dan menyuruh.

Kelima, nada (key); seperti humor, marah, ironi, sarkastik, dan lemah lembut. Keenam, media/saluran (channel); seperti tatap muka, melalui telepon, melalui surat, melalui e-mail, dan melalui telegram. Peneliti memutuskan untuk menggunakan deskripsi konteks tersebut karena lebih spesifik dan mudah untuk dipahami.

Dalam menganalisis wancana sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat, tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun konteks ekstralinguistik. Tiga manfaat konteks dalam

commit to user

analisis wacana, yaitu: (1) penggunaan konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan konteks linguistik; (2) penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks wacana; dan (3) penggunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar, yaitu bentuk yang memiliki unsur tak terujar atau bentuk eliptis adalah bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks.

Dari penjelasan tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa makna yang dikaji dalam pragmatik pada prinsipnya berkaitan dengan maksud penutur

(speaker meaning). Oleh sebab itu, pemakaian konteks pada hakikatnya adalah

semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur (Yule, 2006:146).

Melalui beberapa penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa maksud ataupun tujuan pembicara akan dipahami dan dapat dimengerti melalui konteks yang berupa tempat dan waktu (setting); Kedua, pengguna bahasa (participants); Ketiga, topik pembicaraan (content); Keempat, tujuan (purpose); Kelima, nada

(key); dan Keenam, media/saluran (channel); seperti tatap muka, melalui

telepon,antara penutur dan lawan tutur. Berkaitan dengan penelitian ini untuk memahami makna kartun editorial diperlukan pemahaman terhadap konteks-konteks tersebut.

d. Praanggapan (Presuposisi)

1) Pengertian Praanggapan

Presuposisi atau praanggapan berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang lawan bicara atau yang dibicarakan. Selain definisi tersebut beberapa definisi lain tentang praanggapan diantaranya adalah Levinson (dalam Nababan, 19887: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna. Lubis (1991:59) mengatakan bahwa yang disebut presuposisi (praanggapan) adalah hakikat rujukan yang dirujuk oleh kata atau frasa atau kalimat. Maksudnya kalau ada suatu pernyataan, maka selalu ada presuposisi

commit to user

bahwa nama-nama (atau kata benda) yang dipakai baik secara sederhana maupun majemuk mempunyai suatu rujukan.

Cummings (2007: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Nababan (1987: 46) memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Kridalaksana (dalam Sarwidji, dkk. 1996: 40) memberi batasan praanggapan sebagai syarat yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat.

Yule ( 2006: 43) menegaskan bahwa presupposisi adalah suatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang menghasilkan presupposisi adalah penutur bukan kalimat Kita dapat mengindentifikasi sebagai informasi yang diasumsikan secara tepat. Sebenarnya semua presupposisi ini menjadi milik penutur dan semua anggapan itu boleh jadi salah.

Pendapat senada diungkapkan oleh Cummings (1999: 42) bahwa memang ciri-ciri praanggapan itu sendirilah yang telah menyebabkan pokok permasalahan ini diteliti baik dilihat dari perspektif semantik maupun perspektif pragmatik. Selanjutnya, Cummings (2007: 52) mengatakan bahwa perlakuan pragmatik didasarkan pada ketidakcukupan semantik yang bergantung pada kebenaran untuk menerangkan banyak fenomena praanggapan. Adapun Sarwidji, dkk. (1996: 51a) mengungkapkan hal yang sama. Praanggapan dibagi menjadi dua jenis, yaitu praanggapan semantik dan praanggapan pragmatik. Praanggapan semantik adalah praanggapan yang dihasilkan oleh pengetahuan leksikon, sedangkan praanggapan pragmatik adalah praanggapan yang ditentukan oleh konteks kalimat atau percakapan.

Dari beberapa pendapat ahli di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa

presupposition yang dalam bahasa Indonesia berarti praanggapan dimaknai secara

commit to user

menampilkan beberapa kesamaan sudut pandang, sehingga dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut :

A: “Aku sudah membeli bukunya Pak sarwiji kemarin” B:“Dapat potongan 30 persen kan?

Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur A memiliki praanggapan bahwa B mengetahui maksudnya, yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Sarwiji.

2) Ciri Praanggapan (presuposisi)

Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di bawah penyangkalan (Yule;2006:45). Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan (presuposisi) suatu pernyataan akan tetap ajeg (tetap benar) walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh perhatikan beberapa kalimat berikut.

a) Sepatu Adi itu baru

b) Sepatu Adi tidak baru

Kalimat (b) merupakan bentuk negatif dari kaliamt (a). Praanggapan dalam kalimat (a) adalah Adi mempunyai sepatu. Dalam kalimat (b), ternyata praanggapan itu tidak berubah meski kalimat (b) mengandung penyangkalan tehadap kalimat (a), yaitu memiliki praanggapan yang sama bahwa Adi mempunyai sepatu.

Wijana (dalam Nadar, 2009 : 64) menyatakan bahwa sebuah kalimat dinyatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua (kalimat yang diprosuposisikan) mengakibatkan kalimat pertama (kalimat yang memprosuposisikan) tidak dapat dikatakan benar atau salah. Untuk memperjelas pernyataan tersebut perhatikan contoh berikut.

c) Istri pegawai itu cantik sekali

d) pegawai itu mempunyai istri

Kalimat (d) merupakan praanggapan (presuposisi) dari kalimat (c). Kalimat tersebut dapat dinyatakan benar atau salahnya bila pegawai tersebut mempunyai

commit to user

istri. Namun, bila berkebalikan dengan kenyataan yang ada (pegawai tersebut tidak mempunyai istri), kalimat tersebut tidak dapat ditentukan kebenarannya.

3) Jenis-jenis Praanggapan (presuposisi)

Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur (Yule; 2006 : 46). Selanjutnya Yule (2006) mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural,dan presuposisi konterfaktual.

a) Presuposisi Esistensial

Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah praaanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.

(1)Orang itu berlari

(2)Ada orang berlari

b) Presuposisi Faktif

Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.

(3) Dia tidak menyadari bahwa ia mengantuk

(4) Dia mengantuk

c) Presuposisi Leksikal

Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.

(5) Dia berhenti mendengkur

(6) Dulu dia biasa mendengkur

d) Presuposisi Non-faktif

Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.

(7) Saya membayangkan bahwa saya berada di Bali

(8) Saya tidak berada di Bali

commit to user

Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada struktur kalimat-kalimat tertentu dan telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) sesudah diketahui sebagai masalah.

(9) Di mana Anda membeli mobil itu?

(10) Anda membeli mobil

f) Presuposisi konterfaktual

Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan, contohnya adalah kata “seandainya”.

e. Implikatur

Implikatur disebut-sebut sebagai penemuan yang mengagumkan dan mengesankan dalam kajian ilmu pragmatik. Hal ini patut dinilai kebenarannya karena pada penggunaan bahasa di kehidupan sehari-hari sering terjadi salah paham (misunderstanding) yang menyebabkan maksud dan informasi dari sebuah ujaran tidak tersampaikan dengan baik.

Konsep tentang implikatur pertama kali dikenalkan oleh Grice (1975) untuk memecahkan masalah tentang makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan dengan teori semantik biasa. Suatu konsep yang paling penting dalam ilmu pragmatik dan yang menonjolkan pragmatik sebagai suatu cabang ilmu bahasa ialah konsep implikatur percakapan. Konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang diimplikasi”.

Implikatur dalam percakapan telah banyak dikaji dan diteliti. Gazdar (1979) dalam bukunya Pragmatics: Implicature, Presupposition, and Logical

Form membahas mengenai implikatur, tindak ilokusi, pragmatik dan semantik.

Pembahasannya mengenai implikatur memiliki makna yang penting. Ia mencoba merumuskan kembali urutan bidal prinsip kerjasama Grice sebagai dasar timbulnya implikatur. Baginya, bidal yang paling penting adalah bidal cara,

commit to user

disusul kemudian oleh bidal relevansi, kualitas, dan kuantitas. Modifikasi urutan bidal itu dapat dipandang sebagai kritik sekaligus perbaikan atas pendapat Grice. Sayang sekali bahwa tumpang tindihnya bidal-bidal itu tidak terungkap.

Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan preposisi, yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari ujaran tersebut dan bukan pula merupakan konsekuensi logis dari ujaran. Dapat didefinisikan bahwa implikatur adalah maksud yang tersirat dalam sebuah ujaran. Kadang kala suatu ujaran sulit mendapat pengertian karena menyembunyikan suatu maksud tertentu. Levinson (dalam Rani dkk, 2006:173) mengemukakan ada empat kegunaan konsep implikatur, yaitu:

1) Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta yang tidak terjangkau oleh teori linguistik.

2) Dapat memberikan suatu penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa.

3) Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.

4) Dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora). Penggunaan implikatur dalam berbahasa bukan berarti sebuah ketidaksengajaan atau tidak memiliki fungsi tertentu. Penggunaan implikatur dalam berbahasa mempunyai pertimbangan seperti untuk memperhalus tuturan, menjaga etika kesopanan, menyindir dengan halus (tak langsung), dan menjaga agar tidak menyinggung perasaan secara langsung.

Dalam tuturan implikatif, penutur dan lawan tutur harus mempunyai konsep yang sama dalam suatu konteks. Jika tidak, maka akan terjadi suatu kesalahpahaman atas tuturan yang terjadi di antara keduanya. Dalam hubungan