• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

2. Hakikat Struktur Novel

Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk memahaminya, khususnya novel A. Teeuw (dalam Heman J. Waluyo, 2002:59-60) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama

eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat bahasa yang dipakainya; kedua intern strukturrelation, yaitu struktur dalam yang bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia fantasi atau dunia inajinasi.

Berdasarkan uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002:60) memberikan pandangan pada karya sastra terdapat adanya faktor ekstrinsik, faktor intrinsik, dan dunia pengarang. Dunia pengarang dapat dimasukkan juga ke dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu sendiri.

Pengertian unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik juga diberikan Burhan Nurgiyantoro (1995:23). Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur ekstriksik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi tidak secara langsung mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus unsur ekstrinsik dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang

mempengaruhi bangun sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.

Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (1995;23) menyebutkan beberapa, yaitu peristiwa,cerita, plot, penokohan,tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa.

Meskipun tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, sebenarnya banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Rene Wellek dan AustinWarren (1989:75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra yaitu, biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat, dan filosofis.

Berikut ini akan dijabarkan beberapa unsur intrinsik dan ekstrinsik novel yang berkaitan erat dengan pengakajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik.

a. Unsur intrinsik

Unsur intrinsik novel adalah unsur-unsur di dalam novel yang secara langsung membangun cerita novel itu sendiri, mencakup:

1) Tema

Secara umum tema diartikan sebagai inti cerita novel. Cerita yang dirangkai melalui peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel semuanya berpusat pada tema. Definisi yang disampaikan Stanson dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 67) memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita.

Tema adalah masalah hakiki manusia, misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya (Herman J. Waluyo, 2002:142). Masalah hakiki manusia tersebut berasal dari rasa kejiwaan dengan manusia secara pribadi maupun sebagai manifestasi interaksi dengan manusia lain. Karena itu, gagasan utama dari suatu novel biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan. commit to user

Menurut Hartoko dan Rahmanto, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan dan pebedaan-perbedaan (dalam Burhan Nurgiyantoro 1995:68).

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema merupakan magma keseluruhan yang didukung cerita dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.

Berhubung tema tersembunyi di balik cerita, pencarian terhadapnya haruslah berdasarkan fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Hal itu dapat diawali dengan memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya “dibebani’ tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan itu (Burhan Nurgiyantoro,1995:85).

Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro 1995:87-88) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti dalam usaha menemukan tema sebuah novel. Pertama, yaitu mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kedua, yaitu mendasarkan diri pada bbukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan cerita.

Berkenaan dengan tema, Burhan Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional yang menunjuk pada tema yang “itu-itu” saja dan tema nontradisional yang bersifat tidak lazim. Ia juga mengungkakan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umu karya, dan tema tambahan atau tema minor.

Burhan Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional juga mengutip tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu manusia sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema tingkat organik, yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat

sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik, manusia sebagai individu.

2) Alur cerita

Alur cerita disebut juga plot. Plot merupakan jalan cerita yang dirangkaikan pada peristiwa-peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat. Sebagaimana dikemukakan oleh Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113) bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun urutan kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Pendapat senada disampaikan Kenney (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113) bahwa plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat.

Berdasarkan uraian banyak tokoh Herman J. Waluyo (2002:140) mengemukakan pengertian tentang plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator sebagai berikut:

a) Plot adalah kerangka atau struktur cerita yang merupakan jalin-menjalinnya cerita dari awal hingga akhir;

b) Dalam plot terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari peristiwa-peristiwa, baik dari tokoh, ruang, maupun waktu;

c) Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan tempat dan waktu kejadian cerita;

d) Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita;

e) Plot berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis.

Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungi plot memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki fungsi untuk membaca ke arah pemahaman cerita berikutnya.

Sebagaimana unsur intrinsik lainnya, plot terkandung di dalam cerita novel. Peristiwa-peristiwa cerita dapat diketahui dengan mengamati penokohan peran yang ada. Hal ini seperti dikemukakan Burhan Nargiyantoro (1995: 114) bahwa peritiwa-peristiwa cerita (dan atau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh utama cerita. Bahkan pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin. Plot merupakan cerminan, atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap menhadapi berbagai masalah kehidupan. Tidak dengan sendirinya semua tingkah laku kehidupan manusia boleh manusia bersifat plot. Apabila melihat kenyataan kehidupan yang begitu kompleks dan sering tidak berkaitan. Kejadian, perbuatan, atau tingkah laku kehidupan mannusia bersifat plot.

Secara teoritis plot biasanya dikembangkan dalam urutan-urutan tertentu. Herman J. Waluyo (2002: 147-48) membedakan plot menjadi tujuh tahapan: (1) eksposisi, yaitu paparan awal cerita; (2) inciting moment,yaitu peristiwa mulai adanya problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau ditingkatkan; (3) rising action, yaitu penanjakan konflik; (4) complication, yaitu konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya; (7) denovement, yaitu penyelesaian.

Plot ada dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut tinjauan kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (1995:153-163), mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, dan isi.

Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjdi dua kategori, yaitu: kronologis dan tak kronologis. Kategori koronologis disebut sebagai plot lurus; maju; atau progresif, sedangkan kategori tak commit to user

kronologis disebut sebagai plot sorot balik; mundur; flashback; regresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat ideologis, peristiwa pertama diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang kemudian. Jika cerita tidak dimulai dari tahap awal cerita dikisahkan, dikatakan berplot sorot balik atau flashback.

Istilah plot tunggal dan subplot digunakan menilik pada plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dn konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu menandakan adanya sub-subplot.

Plot berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot padat atau rapat dan plot longgar atau renggang. Novel yang berplot padat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunhya. Dalam novel yang berplot longgar antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain disertai dengan berbagai peristiwa tambahan atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyesuaian latar dan suasana.

Perbedaan plot berdasarkan kriteria isi dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu, plot peruntungan (plot of fortune), plot tokohan (plot of character) dan plot pemikiran (plot of thought). Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh cerita yang bersangkutan. Plot tokohan mengarah adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjai fokus perhatian. Sedangkan plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, dan kehidupan manusia.

3) Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam cerita novel. Istilah ”tokoh” digunakan untuk menunjuk pada orangnya commit to user

atau pelaku cerita. Istilah “penokohan” untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Herma J. Waluyo (2002:150) mengungkapkan bahwa novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan berasal, berpijak, dan berujung pada sang tokoh.

Herman J. Waluyo (2002:165) menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak ttokoh-tokoh itu. Dengan penggambaran watak-watak pada pelaku maka cerita tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidup. Dari interaksi antar tokoh dengan penokohannya memunculkan konflik yang kemudian berkembang menjadi peristiwa.

Klasifikasi tokoh terdapat beberapa jenis penamaan berdasrkan dari sudut pandang tertentu. Berikut ini beberapa jennis penamaan dalam cerita novel beserta penjelasannya:

a) Tokoh utama dan tokoh tambahan

Tokoh utama (central character) adalah tokoh yang mendominasi jalannya cerita. Tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam porsi cerita yang relatif pendek karena fungsinya hanya sebagai pelengkap.

b) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai konflik dengan tokoh protagonis.

c) Tokoh Datar atau Tokoh Bulat

Tokoh datar atau tokoh sederhana adalah tokoh yang mudah dikenali dan mudah diingat sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang wataknya tidak segera dapat dimaklumi pembaca.

d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adannya commit to user

peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan (dan perubahan)peristiwa dan plot yang dikisahkan. e) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitanya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau edangkan tokoh netral adalah tokoh yang hidu demi cerita itu sendiri.

Seorang peneliti harus mengetahui cara pengarang menampilkan tokoh jika ingin menganalisis penokahan dalam sebuahh cerita novel. Berdasarkan penyebutan Hudson dan Kenney, Herman J. Waluyo (2002:165-166) menyatakan bahwa pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita yang diciptakannya. Ketiga cara tersebut adalah: (1) metode

analisi/deskripsif/langsung, yaitu pengarang scara langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu secara rinci; (2) metode ltidak langsung/dramatik, yaitu pengarang tidak membeberkan tersendiri tokoh yang diciptakan, tetapi memberikan fakta tentang kehidupan tokohnya dalam suatu alur cerita; dan (3) metode konteksual, yaitu metode yang menggambarkan watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut.

Berkenaan dengan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokohnya, Robert Humpre menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior tak langsung; (2) teknik monolog interior langsung; (3) teknik pengarang serba tahu; dan (4) teknik solilokui.

Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya tidak ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain. Teknik “pengarang serba tahu” artinya pengarang menjelaskan semua tentang diri tokoh-tokoh dan mencampuri segala tindakan seolah-olah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di dalamnya. Teknik solilokui atau percakapan batin artinya penggambaran watak melalui percakapan tokoh itu sendiri. commit to user

4) Latar

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:216) mengatakan selain tema, alur, dan penokohan, latar juga memiliki pengaruh dalam karya novel. Latar berperan dalam menghidupkan gambaran yang diceritakan oleh pengarang. Latar itu sendiri didefinisikan sebagai landas tumpu yang mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Latar yang disebut juga setting, memiliki fungsi yang penting karena kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita novel. Berkaitan dengan ini, Kenney (dalam Herman J. Waluyo,2002:198) menyebutkan tiga fungsi, yaitu:

a) Sebagai metafora (seting spiritual) yang dapat dihayati pembaca setelah membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu, tempat, watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi.

b) Sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan, tidak hanya sekedar memberi tekanan kepada sesuatu. Penggambaran terhadap sesuatu dapat ditambahkan dengan ilustrasi tertentu.

c) Sebagai unsur yang dominan yang mendukungplot dan perwatakan, dapat dalam hal waktu dan tempat.

Pada hakikatnya unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Latar, tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwayang diceritakan dalam novel. Sedangkan latar sosial masyrakat di suatu tempat yang diceritakan dalam novel, mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro, 1995:227-235 )

5) Sudut Pandang

Sudut pandang, atau disebut dengan point of view, merupakan salah satu unsur novel yang digolongkan sebagai sarana cerita. Sudut pandang dalam novel mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Pada cerita novel, posisi novel diwakili oleh pengarang sebagai orang yang berkuasa.

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:248) mendefisikan sudut pandang itu sendiri sebagai cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentukcerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu, Booth (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.

Genette (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:250) berpendapat bahwa sudut pandang menyangktu teknis bercerita, karena pada dasarnya penggunaan sudut pandang merupakan masalah pilihan. Artinya, dengan proses itu akan mengarah soal bagaimana pandangan pribadi pengarang akan bisa diungkapkan sebaik-baiknya. Pengarang harus mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya atau oleh seorang narator yang di luar cerita itu sendiri.

Percy Lubbock (dalm Nyoman Kutha Ratna, 2003:113) mengatakan bahwa dalam pengertian ilmu sastra modern, sudut pandang dianggap sebagai cara yang paling halus untuk memahami hubungan antara penulis dengan struktur narativitas, yaitu dengan memanfaatkan mediasi-mediasi variasi narator. Sudut pandang menyangkut tempat berdirinya pengarang dalam sebuah cerita, sekaligus menentukan struktur gramatikal naratif.

Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra. Pandangan para pakar tersebut pada dasarnya memiliki pendapat yang sama, berkisar pada posisi pengarang sebagai orang commit to user

pertama, orang ketiga, atau bahkan campuran. Sebagaimana penggolongan yang dikemukakan Herman J. Waluyo (2002:184-185), yaitu (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku”, dan disebut teknik acuan, (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”, dan disebut sebagai teknik dia: (3) teknik yang disebut omniscient narratif atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas, pengrang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan.

b.Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik novel adalah unsur-unsur di luar novel yang mempengaruhi bangun cerita novel, mencakup:

1) Biografi

Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri, yaitu pengarang. Novel merupakan bentuk ungkapan seorang pengarang. Oleh karena itu keadaan subjekvitas individu pengarang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Artinya unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 24)

Biografi adalah genre yang sudah kuno, dan sesungguhnya merupakan bagian dari penulisan sejarah sebagai historigrafi. Berger dan Luckmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 199) berpendapat bahwa biografi sebagai pendekatan dokumenter dan alegoris berasal dari sedimentasi berbagai pengalaman individu, pengalaman-pengalaman yang tersimpan di dalam kesadaran yang pada saat-saat tertentu muncul kembali ke dalam ingatan. Pendapat tersebut diinterprestasiksn Nyoman Kutha Ratna (2003: 199-200) bahwa biografi harus dipahami sebagai referensi-referensi personalitas yang dikondisikan secara personal. commit to user

Herman J. Waluyo (2003: 68) menyatakan bahwa proses penciptaan cerita fiksi bersifat individual, artinya cara yang digunakan oleh pengarang yang satu dengan yang lainnya. Dalam penjelasannya, yang bersifat individual bukan hanya metodenya, tetapi juga munculnya proses kreatif dan cara mengekspresikan apayang ada dalam diri pengarang itu.

Sebagaimana pernyataan yang diungkapkan oleh Rene Wellek dan Austin Warren (1989: 82) bahwa biografi dapat jg dianggap sabagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Goldman (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 198) pada dasarnya memandang struktur psikologis yang berkaitan dengan kehidupan penulis sehari-hari sebagai memiliki relevansi terhadap pemahaman karya. Hal ini sekaligus menjawab pertayaan tentang sejauh mana boigrafi itu relevan dan penting untuk memahami karya sastra.

Menurut Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:89) karya sastra yang valid adalah karya sastra yang didasarkan atas keseluruhan kehidupan manusia, yaitu pengalaman subjek kreator sebagai warisan tradisi dan konvensi. Konvensi yang dipakai jelas berdasarkan pengalaman dan hidupnya sendiri. Dalam hubungan ini intensi-intensi penulis, didasari atau tidak, dipahami melalui referensi eksistensi penulis secara aktual yang pada umunya dikaitkan dengan unsur-unsur biografinya (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 202).

Pada karya sastra, novel khususnya studi biografi bermanfaat menjelaskan aktivitas sebagai penjelasan makna-makna individualitas, terutama mengenai hakikat psikologis pengarang (Nyoman Kutha Ratna 2003:198). Biografi juga mengumpulkan bahan untuk menjawab sejarah sastra seperti bacaan pengarang, persahabatan pengarang dengan sastrawan lain, serta daerah dan kota-kota yang pernah dikunjungi dan ditinggalinya (Rene Wellek dan Austin Warren, 1989:88). Maka itu, keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat juga dipelajari melalui dokumen biografi. commit to user

Di samping itu, biografi sebagai pernyataan-penyataan data mentah sebagai manifestasi fisikal struktur dan personalitas merupakan aspek inheren, artinya selalu menampakkan diri dalam proses pemahaman sastra (Nyoman Kutha Ratna 2003:202). Manfaat lain dari pendekatan biografi dalam konteks konvensi yang dipakai berguna untuk menjelaskan makna alusi dan kata-kata yang dipakai dalam novel. Kerangka biografi pun dapat membantu dalam mempelajari masalah pertumbuhan kedewasaan dan merasa kreativitas pengarang (Rene Wellek dan Austin Warren, 1990:288).

2) Sosial Budaya Masyarakat

Pandangan mengenai sastra adalah ungkapan masyarakat (literature is an expression of society) memberikan asumsi bahwa sastra sebagai cermin masyarakat. George Lukacs (dalam Sangidu, 2004:440 mengengkapkan teorinya sebagai pencerminan masyarakat. Ia mengatakan bahwa seni, (sastra) yang sejati tidak hanya merekam kenyataan bagaikan sebuah tustel foto tetapi melukiskan dalam keseluruhannhya. Maksud mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan realits, tetapi lebih dari itu, lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum. Kemudian Goldmann (dalam Faruk, 2003:43) mengukuhkan adanya hubungan antara sastra dan masyarakat melalui pandangan dunia, ideologi yang diekspresikannya. Ia meyakini bahwa karya sastra memiliki titik tolak yang kuat dalam menjelaskan aspirasi-aspirasi masyarakat tertentu (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 60).

Pendekatan sosiologi sastra memiliki pandangan terhadap keterkaitan aspek sastra dengan sosio budaya. Mempelajari pengaruh sosiobudaya terhadap karya sastra. Aspek pertama tersebut terkait masalah refleksi sastra sedangkan aspek kedua berhubungan konsep pengaruh (Suwardi Endraswara, 2003: 93). commit to user

Sementara itu, Grebstein (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 92) memberikan asumsi dasar kajian konteks sosiobudaya. Asumsi dasar tersebut diantaranya :

a) Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau perubahan atau yang telah mengahsilkannya. Ia harus dipealajari dalam konteks

Dokumen terkait