• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU (Tinjauan Sosiologi Sastra)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU (Tinjauan Sosiologi Sastra)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

i

NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU

(Tinjauan Sosiologi Sastra)

SKRIPSI

Oleh:

MARIA CAHYANING KESUMA X 1204019

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

ii

NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU (Tinjauan Sosiologi Sastra)

Oleh:

MARIA CAHYANING KESUMA X 1204019

SKRIPSI

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2012

(3)
(4)
(5)

v

ABSTRAK

Maria Cahyaning Kesuma. X 1204019. NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU (Tinjauan Sosiologi Sastra). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, April. 2012

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik, nilai-nilai sosial dan tanggapan komunitas pembaca tentang novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah analisis isi yang ditinjau dari aspek struktural dan sosiologi sastra. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu, profil pengarang yang berisi perjalanan hidup dan latar belakang sosial pengarang, buku-buku dan artikel yang berhubungan dengan penelitian juga beberapa pendapat komunitas pembaca tentang novel yang dikaji.

Pelaksanaan penelitian dimulai dengan meneliti unsur-unsur intrinsik novel Nayla yang meliputi tema, latar, penokohan, dan plot/alur. Peneliti kemudian mengkajinya dengan pendekatan sosiologi sastra dengan didasarkan pada teori yang ada untuk mengetahui nilai-nilai sosial dalam novel tersebut serta merangkum pendapat dari beberapa komunitas pembaca tentang novel Nayla

karya Djenar Maesa Ayu.

Hasil yang didapatkan adalah (1) Novel ini bertema tentang cinta yang terdistorsi antara manusia dalam setiap wujud relasinya antara sesama, antara laki-laki dan perempuan, antara ibu dan anak, yang diceritakan dengan alur maju-mundur, dengan beberapa tokoh yang mendominasi cerita antara lain: Nayla, Juli, Ayah dan Ibu Ratu, Ibu, dan Ben. Latar atau setting yang digunakan adalah kota Jakarta pada kisaran tahun 1980-an sampai dengan 2005 yang dilatarbelakangi kehidupan masyarakat kelas atas. (2) Nilai-nilai sosial pada dalam novel Nayla

karya Djenar Maesa Ayu yaitu nilai material; vital; kerohanian; berdasarkan sifatnya nilai yang terdapat pada novel tersebut antara lain: nilai kepribadian, kebendaan, biologis, kepatuhan hukum, pengetahuan, agama, dan keindahan; berdasarkan cirinya, nilai yang terdapat pada novel tersebut yaitu nilai yang tercernakan (internalized value) dan nilai dominan; berdasarkan tingkat keberadaannya, nilai yang terdapat pada novel tersebut yaitu nilai yang berdiri sendiri dan nilai yang tidak berdiri sendiri. (3) Komunitas pembaca mengemukakan tanggapannya terhadap novel Nayla. Pembaca mengemukakan bahwa novel Nayla begitu khas dengan cerita-cerita Djenar Maesa Ayu mengangkat Nayla sebagai tokoh utamanya. Seorang perempuan yang mengalami perlakuan keras dari ibunya, pelecehan seksual, perkosaan, kriminalitas, dunia diskotek, broken home, suka mabuk, lesbian, biseks, dan hidup terlunta-lunta mencari cinta. Pengarang dalam novel ini menggunakan bahasa yang vulgar. Secara garis besar, novel ini menarik untuk dibaca layak dikoleksi.

(6)

vi

ABSTRACT

Maria Cahyaning Kesuma. X 1204019. Nayla, a novel by Djenar Maesa Ayu (Literary Sociology Analysis). Undergraduate Thesis. Surakarta: Teachers Training and Education Faculty. Sebelas Maret University, Surakarta, April. 2012) This thesis aims at describing the intrinsic elements, social values and readers’ responds about the Nayla novel by Djenar Maesa Ayu.

This analysis applies descriptive qualitative approach using content analysis methodology observed from literary structural and sociological view. The sources of data analyzed in this research are Nayla novel by Djenar Maesa Ayu, the writer’s biography including her life and social background, books, articles related to the analysis and communal readers’ responds toward the novel.

The analysis is set up with analyzing intrinsic elements Nayla novel including theme, background, characters and plot. Then the researcher analyses them using literary sociology approach based on applicable theory to understand social values found in the novel and concludes communal readers’ responds about Nayla novel by Djenar Maesa Ayu.

The results of analysis are: (1) The main theme of Nayla novel is the distorted love on humans’ relationship between man and woman and mother and children, written with chronological-flashback plot with some dominated characters such as Nayla, Juli, Ratu’s Father and Mother, Mother and Ben. The setting of place and time used in the novel is Jakarta from 1980s till 2005 of high class society’s life. (2) The social values found in Nayla novel by Djenar Maesa Ayu are material; vital; spiritual; while according to behavior, the values are personality, materialistic, biology, law obedience, knowledge, religion and beauty; according to the characteristic, the values are internalized value and dominated value; according to the existence, the values are independent value and nondependent value. (3)The communal readers act in response to Nayla novel by giving opinion that the novel is identical with Djenar Maesa Ayu’s stories lifting Nayla as the main character representing a woman who is tortured by her mother, sexually abused, raped, trapped in crime, night club, broken home, drunk addict, lesbian, bisexual and yearning for love in her life. The writer employs vulgar language but overall, the novel is worth to read and collect.

(7)

vii MOTTO

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia.

Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu.

Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.

(I Korintus 10: 13)

(8)

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada: · Bapak Frans Kiat dan Ibu Ester Kartini.

Terima kasih yang tak terhingga atas segala doa, dukungan, perhatian, dan kesabaran yang tiada henti.

· Kakak-kakaku tersayang , Sari, Indra,

Siska. Kalianlah saudara terbaik yang Allah beri. Janjiku adalah membahagiakan kalian.

· Sahabat-sahabatku Ika, Ajeng, Jaguar,

Indah, Erma, Pipit, Sari, Zhie, Eni, Buyung, Cipo, Indra(ys), Angga, Joko. Terima kasih telah menjadi pelangi di hidupku. Kalian sahabat terbaik.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan, karena atas kasih karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Namun berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat diatasi. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan izin mengadakan penelitian;

2. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP-UNS yang telah memberi izin penulisan skripsi;

3. Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta izin untuk menyusun skripsi ini;

4. Dr. Suyitno, M.Pd., selaku pembimbing I yang telah memberikan dorongan, semangat, dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi;

5. Drs. Purwadi, selaku pembimbing II yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan memberi masukan positif bagi penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan;

6. Dr. Rr. Nugraheni Eko W, M. Hum, selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa;

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, khususnya Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang dengan tulus menularkan ilmunya kepada penulis;

8. Narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai dan memberikan pendapatnya sebagai salah satu data penelitian.

9. Keluarga besar ku yang tak pernah lelah dalam memberikan doa dan dorongan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini;

(10)

x

Semoga segala bantuan yang telah diberikan senantiasa mendapatkan limpahan berkat dari Tuhan. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena penulis hanya manusia yang serba terbatas. Berawal dari itu saran dan kritik yang dapat memberikan masukan senantiasa penulis harapkan untuk menambah wawasan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia. Amin.

Surakarta, April 2012

Penulis

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL... i

PENGAJUAN ... ii

PERSETUJUAN... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ………. vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ……… xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 9

A. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Hakikat Novel ... 10

2. Hakikat Struktur Novel ... 12

a. Unsur Intrinsik ……….. 13

b. Unsur Ekstrinsik ……… 22

3. Hakikat Sosiologi Sastra ……… 27

a. Pengertian Sastra………. 27

b. Pengertian Sosiologi………...…... 29

(12)

xii

C. Kerangka Berpikir ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 43

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 43

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 43

C. Sumber Data ... 43

D. Teknik Pengumpulan Data ... 44

E. Teknik Validitas Data ... 44

F. Teknik Analisis Data ... 45

G. Prosedur Penelitian ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Deskripsi Data ... 47

B. Analisis Unsur Intrinsik Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu ... 49

C. Analisis Nilai Sosial dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu ... 72

D. Analisis Tanggapan Komunitas Pembaca tentang Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu……….……….. 83

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 88

A. Simpulan ... 88

B. Implikasi ... 89

C. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA………... 91 LAMPIRAN

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Kerangka Berpikir ... 42 Gambar 2: Flow Model of Analysis ... 46

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan bagian hidup sebagian besar pencipta dan penikmat karya sastra. Oleh sebab itu, pada zaman modern ini kedudukan sastra dianggap mempunyai peran penting. Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni yang objeknya manusia dan kehidupan dengan bahasa sebagai media penyampaiannya. Hasil dari sastra berupa karya sastra dan karya sastra sebagai potret kehidupan bermasyarakat berupa karya sastra yang dapat dinikmati, dipahami dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra juga dapat berupa luapan pemikiran dari sikap dan perasaan pengarang, pengalaman batin pengarang mengenai kehidupan dirinya maupun masyarakat di mana pengarang itu berada. Sebuah karya sastra tercipta dari adanya pengalaman batin pengarang berupa peristiwa atau masalah dunia yang menarik, sehingga muncul gagasan dan imajinasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Karya sastra diciptakan pengarang memang untuk dinikmati dan dipahami masyarakat (pembaca) dengan mengambil nilai-nilai penting dalam karya satra tersebut.

Karya sastra adalah sebuah karya yang bersifat imajinatif, tetapi cerita ini bersumber dari kehidupan nyata sehari-hari, sehingga tidak jarang apa yang diceritakan dalam karya sastra memiliki kesamaan cerita dalam kehidupan nyata. Sebagai mahkluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan diri dari ikatan suatu masyarakat. Dalam masyarakat itu manusia yang satu selalu berhubungan dengan manusia yang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alatnya. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan alat yang paling sempurna jika dibandingkan dengan alat komunikasi yang lain. Persamaan sebagai alat komunikasi yaitu mewujudkan ide dalam pemikiran manusia. M. Atar Semi (1993:12) menyatakan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi dan kontrol sosial tentu tidak semuanya dapat diterima sebagai seni sastra.

(15)

Kata sastra dalam Bahasa Indonesia menurut A. Teeuw (1998:23) berasal dari bahasa Sansekerta, akar kata sas- dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau intruksi. Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat untuk mengajar, buku intruksi, alat, sarana, buku, dan pengajaran.

Sastra sebagai pengungkapan baku dari apa yang disaksikan orang dalam kehidupan, yang dialami, direnungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.

M. Atar Semi (1993: 8) membahas karya sastra ada beberapa permasalahan yang muncul, antara lain kurangnya kemampuan pembaca dalam memahami karya sastra yang brsifat kompleks dan tidak langsung dalam bentuk pengungkapannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiantoro (1995: 32-33) menyatakan ‘’suatu penyebab sulitnya pembaca dalam menafsirkan karya sastra yaitu dikarenakan novel merupakan sebuah struktur yang kompleks, unik, serta mengungkapkan sesuatu tidak secara langsung, oleh karena itu perlu dilakukan suatu usaha terhadap karya sastra untuk menjelaskan nya dengan disertai bukti-bukti hasil kerja analisis’’.

George Santarya (dalam Suyitno, 1986:4) menjelaskan bahwa sastra dapat berperan sebagai penuntun hidup. Novel merupakan karya sastra yang fiksional yang menggambarkan realitas kehidupan manusia dari sudut pandang sastra. Kehidupan fiksional tidak dapat lepas dari fakta sosial sehari-hari. Fakta yang pernah dilihat, dirasakan,dialami dan dicita-citakan pengarang atau orang lain yang ada disekitar pengarang. Cita-cita pengarang biasanya tergambar jelas dalam karyanya. Novel merupakan perpaduan antara fakta, imajinasi dan idealisme pengarang. Pengarang selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan sebuah karya sastra yang mampu menggugah emosi pembacanya. Terdapat nilai-nilai imajinasi yang menghiasi bahasa yang komunikatif dan dinamis, imajinasi yang menghiasi dan mewarnai setiap karya penciptanya.

(16)

Karya sastra adalah karya seni yang mempersoalkan kehidupan manusia dari berbagai segi kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, budaya, agama dan berbagai sendi kehidupan manusia lainnya,antara lain:

1. Mendorong dan menumbuhkan nilai-nilai positif manusia. (suka menolong, berbuat baik, beriman dan bertaqwa)

2. Memberi pesan kepada manusia, khususnya pemimpin, agar berbuat sesuai dengan harapan masyarakat. (mencintai keadilan, kebenaran dan kejujuran) 3. Menggajak orang untuk bekerja keras demi kepentingan diri dan kepentingan

bersama.

4. Merangsang munculnya watak-watak pribadi yang tangguh dan kuat.

Dibutuhkan satu metode untuk mengoperasikan sebuah karya sastra untuk menilai secara obyektif. Metode tersebut adalah metode struktural genetik, karena dengan metode tersebut karya sastra dinilai dari berbagai aspek, baik dari dalam dari luar karya sastra itu sendiri atau intrinsik unsur dari luar karya sastra, yang juga mempengaruhi karya sastra ekstrinsik mupun aspek genetik. Aspek genetik sastra yaitu asal usul karya sastra, yaitu pengarang dan kenyataan sejarah yang melatarbelakangi lahirnya sebuah karya sastra (Iswanto, 2001: 5).

Dikemukakan oleh Goldman (dalam Faruk,1994: 31), terdapat suatu kolerasi atau hubungan yang kuat antara bentuk novel dengan keseharian antar manusia dengan komoditi pada umumnya atau secara lebih luas, antar manusia dengan sesamanya dalam masyarakat.

Mencermati perkembangan karya sastra, khususnya prosa Indonesia, ada 2 hal yang menarik yang diutarakan oleh (Faruk, 1994: 1)

1. Munculnya beberapa karya sastra yang mengungkapkan latar jawa sebagai elemen pembentukan cerita.

2. Di dalam prosa Indonesia yang mengungkapkan latarJawa tersebut terlibat adanya usaha pengarang untuk mendukung tokoh wanita dalam porsi besar sebagai tokoh utama atau tokoh pengerak cerita.

(17)

sangat memprihatinkan karya sastra yang dapat dinikmati siapa saja tanpa membedakan usia. Anak-anak dengan dapat mudah mendapatkan bacaan tanpa melalui kontrol dari orangtua. Karya sastra yang semula dapat mendidik manusia ke arah peraddaban yang humanistis menjadikan manusia yang santun dan bermoral tidak bisa terwujud karena karya sastra yang tidak bernilai.

Karya sastra menurut ragamnya terbagi atas tiga,yaitu, prosa, puisi dan drama. Dalam karya sastra prosa terdapat bentuk yang disebut cerita rekaan. Cerita rekaan hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran dan penilainnya mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi serta pengolahan tentang peristiwa yang berlaku hanya berdalam khayalan saja.

Rachmat Djoko Pradopo, (1994: 26), memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utamayang dikenakan pada karya sastra adalah ‘kebenaran’ penggambaran atau apa yang ingin digambarkan pengarang ke dalam karyanya melalui penggambaran tersebut pembaca dapat menangkap penggambaran seorang pengarang mengenai dunia sekitarnya

Sastra pada hakikatnya sengaja menampilkan gambaran kehidupan. Kehidupan itu digambarkan karya sastra salah satunya adalah novel. Unsur karya sastra berupa intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi, alur cerita, penokohan, setting, amanat, dan tema. Sedangkan unsur ekstrinsik terkait dengan lingkungan budaya, sosial, dan hal-hal yang lain yang mendukung terciptanya karya sastra.

Karya sastra dapat diberikan bimbingan kepada manusia untuk mencari nilai-nilai kehidupan agar menemukan hakikat manusia untuk berpribadi yang baik. Dalam berkarya pengarang tidak hanya mengunggapkan segi kehidupan, tetapi menekan pada penggunaan cipta sastra memang bersifat dulce et utile, menyenangkan dan bermanfaat.

Karya sastra yang dipilih sebagai objek kajian dalam pendekatan sosiologi sastra ialah novel, karena novel itu sendiri digambarkan sebagai genre yang paling memadai untuk menerjemahkan kompleksitas struktur sosial (Nyoman Kutha Ratna, 2003:104). Memberikan medium yang paling luas dan lengkap untuk

(18)

mengungkapkan masalah-masalah sosial, khususnya melalui kapasitas bahasa dan peralatan formal lainnya.

Salah satu novel yang dianggap mempunyai syarat yang dipaparkan di atas adalah novel yang berjudul Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Novel tersebut menceritakan kehidupan individual, sosial, budaya, ekonomi. Penulis mangkaji melalui sosiologi sastra, untuk dapat menanggapi novel Nayla secara ilmiah. Pengkajian sosiologi sastra dilakukan karena novel ini diperkirakan mempuyai latar belakang sosiolisme Indonesia, moral dan suasana.

Penampakan gejala jiwa dapat ditemui di dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Tokoh utama Nayla adalah seorang perempuan muda yang harus meninggalkan ibunya sejak berumur 13 tahun untuk belajar hidup mandiri. Nayla dalam tokoh utama cerita, mengalami rasa kecewa ketika ia teringat dengan sosok ibunya yang menjebloskan dirinya ke tempat perawatan anak nakal dan narkotika, sejak itu ia menjadi frustasi. Nayla meninggalkan ibunya dan belajar hidup mandiri dalam menjalani kehidupan. Nayla mulai berhadapan dengan berbagai konflik pertentangan batin, baik pertentangan terhadapan dirinya sendiri maupun reaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Di dalam diri tokoh kadang-kadang timbul persepsi negatif tentang makna kehidupan. Dariberbagai fenomena yang dialami oleh tokoh cerita, muncul kekuatan mental dan pemahaman baru tentang cara memaknai kehidupan. Karena terus dirundung berbagai konflik, akhirnya terjadi perubahan sikap pada sang tokoh cerita. Ia akhirnya larut pada kehidupan malam, bekerja sebagai penata lampu di sebuah club. Apa yang dilakukan oleh Nayla sang tokoh cerita adalah sebagai bentuk pelarian dari lingkungan keluarga sehingga lama kelamaan hanyut dalam lingkungan yang baru yang serba gemerlapan yang kini selalu menghantui hidupnya.

(19)

anaknya. Hanya saja pada akhir cerita pengarang tidak memberikan penilaian bahwa apa yang diperbuat oleh sang tokoh cerita merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap susila agama sehingga apa yang diperbuat oleh sang tokoh semata-mata akibat dari rasa frustasi dan kecewa yang berat dengan kedua orang tuanya.

Dari hasil kajian di atas, penulis mengkaji Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Pengarang Djenar Maesa Ayu adalah salah satu pengarang yang sangat produktif dalam karya sastranya. Ia dilahirkan di Jakarta, 14 Januari 1973. Hasil karyanya kebanyakan berupa cerpen yang tersebar di berbagai media massa dalm negeri. Karya pertama Djenar berjudul Mereka Bilang Saya Monyet

telah dicetak ulang delapan kali dan masudalam nominasi k 10 besar terbaik Khatulistiwa Literary award 2003, selain itu juga diterbitkan dalam bahasa Inggris. Masih banyak lagi karya Djenar yang masuk ke dalam kaegori cerpen terbaik 2003 yang semua itu dapat disejajarkan dengan pengarang sastra lainnya.

Nayla adalah novel pertama Djenar yang sekarang ini sedang diangkat dalam film layar lebar.

B. Rumusan Masalah

Berdasar uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah berikut ini:

1. Bagaimana unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu?

2. Bagaimana nilai sosial yang terkandung dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu?

3. Bagaimana tanggapan komunitas pembaca tentang novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini, memiliki tujuan sebagai berikut:

(20)

1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam novel Nayla

karya Djenar Maesa Ayu.

2. Mendeskripsikan nilai sosial yang terkandung dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.

3. Mendeskripsikan tanggapan komunitas pembaca tentang novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian maupun praktis. Adapun manfaat itu sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang studi analisis novel Indonesia sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan karya sastra Indonesia. b. Penelitian ini dapat menjadi titik tolak untuk memahami dalam mendalami

karya sastra pada umumnya dan karya sastra Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu pada khususnya.

2. Manfaat praktis

a. Bagi guru Bahasa dan Sastra Indonesia

1) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran apresiasi dalam sekolah tingkat SMA mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Penelitian ini mendeskripsikan unsur intrinsik Novel

Nayla sehingga dapat digunakan untuk memperdalam pemahaman siswa mengenai unsur intrinsik prosa.

2) Meningkatkan dan mendorong guru untuk melaksanakan pembelajaran yang inovatif kreatif.

b. Bagi Siswa dan Mahasiswa

(21)

2) Bagi Mahasiswa

Mahasiswa dapat memahami dan menganalisis novel dalam usaha peningkatan daya apresiasi mahasiswa dalam sebuah novel, terutama apresiasi mengenai novel dengan pendekatan sosiologi sastra.

c. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi peneliti lain yang akan melakukan dan mengembangkan penelitian sastra dengan permasalahan sejenis.

d. Bagi Peneliti

1) Mengembangkan wawasan dan pengalaman peneliti. 2) Mengaplikasikan teori yang telah diperoleh.

(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hakikat Novel

Berdasarkan asalnya kata novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan pula dari novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis satra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka novel muncul setelahnya. Menurut (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 164) novel Inggris yang pertama kali lahir adalah Famela pada tahun 1740.

Novel dalam The American College Dictionary dimasukkan ke jenis fiksi. Berikut ini keterangan dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh Henry Guntur Tarigan (1993: 120): “Fiksi adalah (1) cabang dari sastra yang menyusun karya narasi imajinatif, terutama dalam bentuk prosa; (2) karya-karya dari jenis ini, seperti novel atau dongeng-dongeng; (3) sesuatu yang diadakan, dibuat-buat atau diimajinasikan, suatu cerita yang disusun.

Kata fiksi dikenal masyarakat sebagai karya hasil imajinasi. Jackob Sumardjo dan Saini (1991:29) menggolongkan novel (prosa) ke dalam sastra imajinatif. Sementara itu, Clenth Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan,1989:120) menyatakan bahwa fiksi adalah penyjian cara seseorang memandang hidup ini. Jadi karya sebagai fiksi memang bukan suatu yang nyata, tetapi karya sastra juga bukan kebohongan karena fiksi salah satu jenis karya sastra yang menekakan kekuatan kesastraannya pada daya papar penceritaan.

(23)

tercantum dalam Ensiklopedi Indonesia,yang berarti “dulu sekali”, berasal darigenre romance dari abab pertengahan, merupakan cerita panjang tentang kepahlawan dan percintaan.

Dilihat dari segi jumlah katanya, novel mengandung kata-kata yang berkisar antara 35.000 kata hingga tidak terbatas jumlahnya. Jika dihitung pula kecepatan rata-rata orang membaca ialah 300 kata per menit, maka waktu yang dipergunakan untuk membaca novel yang paling pendek adalah kurang lebih dua jam (Henry Guntur Tarigan,1989:165).

Arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran luas di sini dapat berarti cerita dengan plot/alur yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang komplels, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula (Jackob Sumardjo dan Saini, 1991:29). Unsur-unsur tersebut kemudian secara intern menjadi unsur intrinsik pembangun novel.

Goldman (dalam Faruk, 1994:29) mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh beliau mengungkapkan bahwa novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia.

Sebagai karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang menjadi ciri novel tersebut. Herman J. Waluyo (2002:37) mengungkapkan bahwa di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya, dan biasanya tokoh utama tidak sampai mati.

Henry Guntur Tarigan (1989:165) memberikan kesimpulan dari uraian yang disampaikan Brooks berkenaan dengan identifikasi novel. Identifikasi novel tersebut yaitu: a) novel bergantung pada tokoh; b) novel menyajikan lebih dari satu impresi; c) novel menyajikan lebih dari satu efek; dan d) novel menyajikan lebih dari satu emosi.

(24)

Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman J. Waluyo (2002:38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan(rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya.

Senada dengan pendapat tersebut Burhan Nurgiyantoro (1995:16-22) pun mengklasifikasikan jenis novel menjadi novel populer dan novel serius. Menurutnya, novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya para remaja. Novel serius adalah novel yang memerlukan daya konsentrasi tinggi dan disertai dengan kemmauan dalam memahaminya (membacanya). Lebih dijelaskannya memang tujuan novel populer semata-mata menyampaikan cerita agar memuaskan pembaca, sedangkan tujuan novel serius disamping memberikan hiburan, juga secara implisit memberikan pengalaman yang berharga pada pembaca.

Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 1994:31) membagi novel dalam tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimisme dalam peluangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis yang kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.

(25)

Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:126), yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekontruksi mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekontruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal termasuk peristiwa-peristiwa histori(Nyoman Kutha Ratna, 2003:127).

2. Hakikat Struktur Novel

Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk memahaminya, khususnya novel A. Teeuw (dalam Heman J. Waluyo, 2002:59-60) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama

eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat bahasa yang dipakainya; kedua intern strukturrelation, yaitu struktur dalam yang bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia fantasi atau dunia inajinasi.

Berdasarkan uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002:60) memberikan pandangan pada karya sastra terdapat adanya faktor ekstrinsik, faktor intrinsik, dan dunia pengarang. Dunia pengarang dapat dimasukkan juga ke dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu sendiri.

Pengertian unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik juga diberikan Burhan Nurgiyantoro (1995:23). Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur ekstriksik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi tidak secara langsung mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus unsur ekstrinsik dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang

(26)

mempengaruhi bangun sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.

Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (1995;23) menyebutkan beberapa, yaitu peristiwa,cerita, plot, penokohan,tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa.

Meskipun tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, sebenarnya banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Rene Wellek dan AustinWarren (1989:75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra yaitu, biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat, dan filosofis.

Berikut ini akan dijabarkan beberapa unsur intrinsik dan ekstrinsik novel yang berkaitan erat dengan pengakajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik.

a. Unsur intrinsik

Unsur intrinsik novel adalah unsur-unsur di dalam novel yang secara langsung membangun cerita novel itu sendiri, mencakup:

1) Tema

Secara umum tema diartikan sebagai inti cerita novel. Cerita yang dirangkai melalui peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel semuanya berpusat pada tema. Definisi yang disampaikan Stanson dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 67) memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita.

(27)

Menurut Hartoko dan Rahmanto, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan dan pebedaan-perbedaan (dalam Burhan Nurgiyantoro 1995:68).

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema merupakan magma keseluruhan yang didukung cerita dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.

Berhubung tema tersembunyi di balik cerita, pencarian terhadapnya haruslah berdasarkan fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Hal itu dapat diawali dengan memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya “dibebani’ tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan itu (Burhan Nurgiyantoro,1995:85).

Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro 1995:87-88) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti dalam usaha menemukan tema sebuah novel. Pertama, yaitu mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kedua, yaitu mendasarkan diri pada bbukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan cerita.

Berkenaan dengan tema, Burhan Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional yang menunjuk pada tema yang “itu-itu” saja dan tema nontradisional yang bersifat tidak lazim. Ia juga mengungkakan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umu karya, dan tema tambahan atau tema minor.

Burhan Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional juga mengutip tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu manusia sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema tingkat organik, yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat

(28)

sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik, manusia sebagai individu.

2) Alur cerita

Alur cerita disebut juga plot. Plot merupakan jalan cerita yang dirangkaikan pada peristiwa-peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat. Sebagaimana dikemukakan oleh Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113) bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun urutan kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Pendapat senada disampaikan Kenney (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113) bahwa plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat.

Berdasarkan uraian banyak tokoh Herman J. Waluyo (2002:140) mengemukakan pengertian tentang plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator sebagai berikut:

a) Plot adalah kerangka atau struktur cerita yang merupakan jalin-menjalinnya cerita dari awal hingga akhir;

b) Dalam plot terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari peristiwa-peristiwa, baik dari tokoh, ruang, maupun waktu;

c) Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan tempat dan waktu kejadian cerita;

d) Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita;

e) Plot berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis.

Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungi plot memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki fungsi untuk membaca ke arah pemahaman cerita berikutnya.

(29)

Sebagaimana unsur intrinsik lainnya, plot terkandung di dalam cerita novel. Peristiwa-peristiwa cerita dapat diketahui dengan mengamati penokohan peran yang ada. Hal ini seperti dikemukakan Burhan Nargiyantoro (1995: 114) bahwa peritiwa-peristiwa cerita (dan atau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh utama cerita. Bahkan pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin. Plot merupakan cerminan, atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap menhadapi berbagai masalah kehidupan. Tidak dengan sendirinya semua tingkah laku kehidupan manusia boleh manusia bersifat plot. Apabila melihat kenyataan kehidupan yang begitu kompleks dan sering tidak berkaitan. Kejadian, perbuatan, atau tingkah laku kehidupan mannusia bersifat plot.

Secara teoritis plot biasanya dikembangkan dalam urutan-urutan tertentu. Herman J. Waluyo (2002: 147-48) membedakan plot menjadi tujuh tahapan: (1) eksposisi, yaitu paparan awal cerita; (2) inciting moment,yaitu peristiwa mulai adanya problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau ditingkatkan; (3) rising action, yaitu penanjakan konflik; (4) complication, yaitu konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya; (7) denovement, yaitu penyelesaian.

Plot ada dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut tinjauan kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (1995:153-163), mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, dan isi.

(30)

kronologis disebut sebagai plot sorot balik; mundur; flashback; regresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat ideologis, peristiwa pertama diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang kemudian. Jika cerita tidak dimulai dari tahap awal cerita dikisahkan, dikatakan berplot sorot balik atau flashback.

Istilah plot tunggal dan subplot digunakan menilik pada plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dn konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu menandakan adanya sub-subplot.

Plot berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot padat atau rapat dan plot longgar atau renggang. Novel yang berplot padat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunhya. Dalam novel yang berplot longgar antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain disertai dengan berbagai peristiwa tambahan atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyesuaian latar dan suasana.

Perbedaan plot berdasarkan kriteria isi dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu, plot peruntungan (plot of fortune), plot tokohan (plot of character) dan plot pemikiran (plot of thought). Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh cerita yang bersangkutan. Plot tokohan mengarah adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjai fokus perhatian. Sedangkan plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, dan kehidupan manusia.

3) Tokoh dan Penokohan

(31)

atau pelaku cerita. Istilah “penokohan” untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Herma J. Waluyo (2002:150) mengungkapkan bahwa novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan berasal, berpijak, dan berujung pada sang tokoh.

Herman J. Waluyo (2002:165) menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak ttokoh-tokoh itu. Dengan penggambaran watak-watak pada pelaku maka cerita tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidup. Dari interaksi antar tokoh dengan penokohannya memunculkan konflik yang kemudian berkembang menjadi peristiwa.

Klasifikasi tokoh terdapat beberapa jenis penamaan berdasrkan dari sudut pandang tertentu. Berikut ini beberapa jennis penamaan dalam cerita novel beserta penjelasannya:

a) Tokoh utama dan tokoh tambahan

Tokoh utama (central character) adalah tokoh yang mendominasi jalannya cerita. Tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam porsi cerita yang relatif pendek karena fungsinya hanya sebagai pelengkap.

b) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai konflik dengan tokoh protagonis.

c) Tokoh Datar atau Tokoh Bulat

Tokoh datar atau tokoh sederhana adalah tokoh yang mudah dikenali dan mudah diingat sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang wataknya tidak segera dapat dimaklumi pembaca.

d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

(32)

peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan (dan perubahan)peristiwa dan plot yang dikisahkan. e) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitanya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau edangkan tokoh netral adalah tokoh yang hidu demi cerita itu sendiri.

Seorang peneliti harus mengetahui cara pengarang menampilkan tokoh jika ingin menganalisis penokahan dalam sebuahh cerita novel. Berdasarkan penyebutan Hudson dan Kenney, Herman J. Waluyo (2002:165-166) menyatakan bahwa pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita yang diciptakannya. Ketiga cara tersebut adalah: (1) metode

analisi/deskripsif/langsung, yaitu pengarang scara langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu secara rinci; (2) metode ltidak langsung/dramatik, yaitu pengarang tidak membeberkan tersendiri tokoh yang diciptakan, tetapi memberikan fakta tentang kehidupan tokohnya dalam suatu alur cerita; dan (3) metode konteksual, yaitu metode yang menggambarkan watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut.

Berkenaan dengan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokohnya, Robert Humpre menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior tak langsung; (2) teknik monolog interior langsung; (3) teknik pengarang serba tahu; dan (4) teknik solilokui.

(33)

4) Latar

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:216) mengatakan selain tema, alur, dan penokohan, latar juga memiliki pengaruh dalam karya novel. Latar berperan dalam menghidupkan gambaran yang diceritakan oleh pengarang. Latar itu sendiri didefinisikan sebagai landas tumpu yang mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Latar yang disebut juga setting, memiliki fungsi yang penting karena kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita novel. Berkaitan dengan ini, Kenney (dalam Herman J. Waluyo,2002:198) menyebutkan tiga fungsi, yaitu:

a) Sebagai metafora (seting spiritual) yang dapat dihayati pembaca setelah membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu, tempat, watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi.

b) Sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan, tidak hanya sekedar memberi tekanan kepada sesuatu. Penggambaran terhadap sesuatu dapat ditambahkan dengan ilustrasi tertentu.

c) Sebagai unsur yang dominan yang mendukungplot dan perwatakan, dapat dalam hal waktu dan tempat.

Pada hakikatnya unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Latar, tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwayang diceritakan dalam novel. Sedangkan latar sosial masyrakat di suatu tempat yang diceritakan dalam novel, mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro, 1995:227-235 )

(34)

5) Sudut Pandang

Sudut pandang, atau disebut dengan point of view, merupakan salah satu unsur novel yang digolongkan sebagai sarana cerita. Sudut pandang dalam novel mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Pada cerita novel, posisi novel diwakili oleh pengarang sebagai orang yang berkuasa.

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:248) mendefisikan sudut pandang itu sendiri sebagai cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentukcerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu, Booth (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.

Genette (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:250) berpendapat bahwa sudut pandang menyangktu teknis bercerita, karena pada dasarnya penggunaan sudut pandang merupakan masalah pilihan. Artinya, dengan proses itu akan mengarah soal bagaimana pandangan pribadi pengarang akan bisa diungkapkan sebaik-baiknya. Pengarang harus mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya atau oleh seorang narator yang di luar cerita itu sendiri.

Percy Lubbock (dalm Nyoman Kutha Ratna, 2003:113) mengatakan bahwa dalam pengertian ilmu sastra modern, sudut pandang dianggap sebagai cara yang paling halus untuk memahami hubungan antara penulis dengan struktur narativitas, yaitu dengan memanfaatkan mediasi-mediasi variasi narator. Sudut pandang menyangkut tempat berdirinya pengarang dalam sebuah cerita, sekaligus menentukan struktur gramatikal naratif.

(35)

pertama, orang ketiga, atau bahkan campuran. Sebagaimana penggolongan yang dikemukakan Herman J. Waluyo (2002:184-185), yaitu (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku”, dan disebut teknik acuan, (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”, dan disebut sebagai teknik dia: (3) teknik yang disebut omniscient narratif atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas, pengrang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan.

b.Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik novel adalah unsur-unsur di luar novel yang mempengaruhi bangun cerita novel, mencakup:

1) Biografi

Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri, yaitu pengarang. Novel merupakan bentuk ungkapan seorang pengarang. Oleh karena itu keadaan subjekvitas individu pengarang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Artinya unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 24)

(36)

Herman J. Waluyo (2003: 68) menyatakan bahwa proses penciptaan cerita fiksi bersifat individual, artinya cara yang digunakan oleh pengarang yang satu dengan yang lainnya. Dalam penjelasannya, yang bersifat individual bukan hanya metodenya, tetapi juga munculnya proses kreatif dan cara mengekspresikan apayang ada dalam diri pengarang itu.

Sebagaimana pernyataan yang diungkapkan oleh Rene Wellek dan Austin Warren (1989: 82) bahwa biografi dapat jg dianggap sabagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Goldman (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 198) pada dasarnya memandang struktur psikologis yang berkaitan dengan kehidupan penulis sehari-hari sebagai memiliki relevansi terhadap pemahaman karya. Hal ini sekaligus menjawab pertayaan tentang sejauh mana boigrafi itu relevan dan penting untuk memahami karya sastra.

Menurut Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:89) karya sastra yang valid adalah karya sastra yang didasarkan atas keseluruhan kehidupan manusia, yaitu pengalaman subjek kreator sebagai warisan tradisi dan konvensi. Konvensi yang dipakai jelas berdasarkan pengalaman dan hidupnya sendiri. Dalam hubungan ini intensi-intensi penulis, didasari atau tidak, dipahami melalui referensi eksistensi penulis secara aktual yang pada umunya dikaitkan dengan unsur-unsur biografinya (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 202).

(37)

Di samping itu, biografi sebagai pernyataan-penyataan data mentah sebagai manifestasi fisikal struktur dan personalitas merupakan aspek inheren, artinya selalu menampakkan diri dalam proses pemahaman sastra (Nyoman Kutha Ratna 2003:202). Manfaat lain dari pendekatan biografi dalam konteks konvensi yang dipakai berguna untuk menjelaskan makna alusi dan kata-kata yang dipakai dalam novel. Kerangka biografi pun dapat membantu dalam mempelajari masalah pertumbuhan kedewasaan dan merasa kreativitas pengarang (Rene Wellek dan Austin Warren, 1990:288).

2) Sosial Budaya Masyarakat

Pandangan mengenai sastra adalah ungkapan masyarakat (literature is an expression of society) memberikan asumsi bahwa sastra sebagai cermin masyarakat. George Lukacs (dalam Sangidu, 2004:440 mengengkapkan teorinya sebagai pencerminan masyarakat. Ia mengatakan bahwa seni, (sastra) yang sejati tidak hanya merekam kenyataan bagaikan sebuah tustel foto tetapi melukiskan dalam keseluruhannhya. Maksud mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan realits, tetapi lebih dari itu, lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum. Kemudian Goldmann (dalam Faruk, 2003:43) mengukuhkan adanya hubungan antara sastra dan masyarakat melalui pandangan dunia, ideologi yang diekspresikannya. Ia meyakini bahwa karya sastra memiliki titik tolak yang kuat dalam menjelaskan aspirasi-aspirasi masyarakat tertentu (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 60).

(38)

Sementara itu, Grebstein (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 92) memberikan asumsi dasar kajian konteks sosiobudaya. Asumsi dasar tersebut diantaranya :

a) Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau perubahan atau yang telah mengahsilkannya. Ia harus dipealajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh timbal balik yang rumit antar faktor-faktor sosial kultural, dan karya itu sendiri merupakan obyek nkultural yang rumit. Bagaimanapun karya sastra bukanlah gejala yang tersendiri.

b) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan tekhnik penulisanny; bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan tekhnik ditentukan oleh gagasan tersebut. Tidak ada karya besar yang diciptakan berdasrakan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sungguh.

c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-seorang. Karya sastra bukan moral dalam arti sempit, yakni yang sesuai dengan suatu kode atau sistem tindak tanduk tertentu, melainkan bahwa ia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif. Dengan demikian sastra adalah eksperimen moral.

(39)

Jika mengacu pada teori Taine (dalam Umar Yunus, 1985:19) karya sastra memang dapat dipengaruhi oleh kondisi sosiobudaya masyarakat, yaitu ras, waktu, dan lingkungan. Dalam hal ini, sastra akan dipengaruhi oleh kondisi sejarah dan kelas masyaratkat yang akan tampak dalam gaya maupun bentuk sasta. Bahkan lebih jauh lagi, superstruktur masyarakat kadang-kadang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan sastra.

Karya sastra khususnya novel, menamplikan latar belakang sosial budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan melliputi : tata cara kehidupan, adat istadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan masyarakat, dalam cara berfikir, cara memandang sesuatu dan sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.

Uraian dalam karya sastra tentang latar belakang sosial budaya dan kenyataan berhubungan erat denagan warna lokal. Cerita rekaan akan senantiasa menampilkan warna lokal agar ceritanya kuat dan meyakinkan. Warna lokal dapat berupa keadaan alam, jalan, perumahan, paparan tentang kesenian, upacara adat, dan dialog (cakapan) yang diwarnai dengan dialek (Herman J. Waluyo, 2002: 54).

Faktor sosiologis sering pula dikaitkan dengan faktor historis karena setiap perkembangan sejarah menunjukkan perbedaan situasi masyarakat. Oleh karena itu, cerita yang ditampilkan oleh pengarang mengandung permasalahan masyarakat yang sesuai dengan permasalahan masyarakat pada zaman tertentu. Hal ini disebabkan oleh adanya tuntutan untuk menjawab masalah mendasar masyarakat. Karya sastra angkatan 20-an misalnya merupakan cermin keadaan masyarakat 1920-an, demikian pula kara sastra 1930-an, 1945-an, dan seterusnya.

(40)

Endraswara, 2003:89). Dalam kaitan ini sebenarnya karya sastra, melalui kreatif pengarang, ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman sekaligus sebagai alat komunikasi dengan pembacanya (masyarakat itu sendiri). Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu pada umumnya berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu.

Hal tersebut juga mengacu pada fungsi yang berbeda-beda dari zaman di berbagai masyarakat. Di suatu zaman dan masyarakat tertentu sastra dapat berfungsi sebagai alat penyebarluas ideologi; atau di zaman dan masyarakat lain sastra mungkin dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tidak tertahankan. Bahkan sastra dapat digunakan menggambarkan peristiwa kemanusiaan (Suwardi Endraswara: 2003,91).

Sastra adalah bagian dari masyarakat yang dihasilkan oleh pengarang yng notabene merupakan anggota kelompok masyarakatnya. Karya sastra dengan hakikat rekaannya memampukan manusia, baik manifestasi individualitas maupun kolektivitas untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah sosial yang berbeda dengan cara yang sama (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 99). Dengan demikian, karya sastra bersumber dalam kehidupan masyarakat dalam konfigurasi status dan peranan yang berbentuk dalam struktur sosial dan dengan sendirinya menerima pengaruh sosial (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 33). Dalam istilah Sangidu (2004: 41) sastra dipandang sebagai gejala sosial.

3. Hakikat Sosiologi Sastra

a. Pengertian Sastra

Rene Wellek dan Austin Warren memberikan pengertian sastra sebagai berikut:

(41)

kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif kehidupan manusia.” (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993: 109)

Jackob Sumardjo (1982: 12) berpendapat bahwa sastra merupakan produk masyarakat yang berada di tengah-tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masayarakat berdasarkan desakan-desakan emosional dan rasional masyarakat.

Bertalian dengan istilah sastra, M. Atar Semi (1993 8) menjelaskan sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Jackob Sumardjo dan Saini K. M. (1994: 3) menjelaskan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Sastra yang baik, kata Kayam bukanlah tiruan langsung kehidupan. Novel seperti sering diucapkan para ahli sastra, tidaklah memberikan rumus-rumus berharga bagi intelek, tetapi lebih menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial dan psikoogis mendorong kemampuan pikiran untuk merenung, bermimpi, membawa pikiran ke semua macam situasi dan dibentuk oleh pengalaman-pengalaman imajinatif. Novel membantu kita membentuk sikap yang umum terhadap kehidupan.

Melalui karya sastra yang menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial dan psikologis itu orang dapat lebih cepat mencapai kemantapan bersikap, yang terjelma dalam perilaku dan pertimbangan pikiran yang dewasa. Dengan memasuki “segala macam situasi” dalam karya sastra, orang pun akan dapat menempatkan diri pada kehidupan yang lebih luas daripada situasi dirinya yang nyata. (http://www.geocities.com/paris/perc/2713/esai 4.html)

(42)

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia atau kemanusiaan.

b. Pengertian Sosiologi

Soerjono Soekanto (1990: 4) merumuskan “secara etimologis sosiologi berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan dan logos dari kata Yunani yang berarti ilmu”. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan:

Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, sosiologi terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan kebudayaan serta perwujudannya. Selain itu sosiologi sastra juga mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial. (Soerjono Soekanto, 1983: 395)

Dalam sosiologi novel, ilmu sosiologi berhubungan dengan suatu seni. Adalah benar, fiksi naratif termasuk dalam bahasa dan membentuk karakternya sendiri paling banyak dari bahasa itu; bentuk dan isi novel mengambil lebih dekat fenomena sosial dibanding bentuk kesenian lain kecuali, film mungkin; novel seringkali terlihat punya hubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah manusia (Sapardi Djoko Damono 1979: 71).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat serta gejala-gejala sosial yang terdapat di dalam masyarakat.

(43)

Selanjutnya Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyatakan sebagai berikut.

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial.

Jadi, sosiologi dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tadi. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dan masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Sastra diciptakan oleh anggota masyarakat (pengarang) untuk dinikmati dan dimanfaatkan juga oleh masyarakat. Dalam hal ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama.

Perbedaan antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Akibatnya hasil penelitian bidang sosiologi cenderung sama, sedangkan penelitian terhadap sastra cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan orang-seorang (Sapardi Djoko Damono, 1979: 7). Rachmat Djoko Pradopo (1989: 47) mengatakan bahwa, “Pendekatan sosiologi sastra selalu mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dalam memahami permasalahan di dalam karya sastra

(44)

secara sosiologi sastra mau tidak mau akan berhubungan dengan permasalahan yang nyata di dalam struktur masyarakat”.

Swingewood mendeskripsikan berbeda, mengenai masalah sosiologi sastra tersebut. Ia mengklasifikasikannya sebagai berikut.

1. Sosiologi dan sastra yang membicarakan tentang tiga pendekatan. Pertama, melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencerminkan waktu zaman. Kedua, melihat segi penghasil karya sastra terutama kedudukan sosial pengarang. Ketiga, melihat tanggapan atau penerimaan masyarakat terhadap karya sastra.

2. Teori-teori sosial tentang sastra. Hal ini berhubungan dengan latar belakang sosial yang menimbulkan atau melahirkan suatu karya sastra. 3. Sastra dan strukturalisme. Hal ini berhubungan dengan teori

strukturalisme.

4. Persoalan metode yang membicarakan metode positif dan metode dialektik. Metode positif tidak mengadakan penelitian terhadap karya sastra yang digunakan sebagai data. Dalam hal ini karya sastra yang dianggap sebagai dokumen yang mencatat unsur sosio budaya, sedangkan metode dialektik hanya menggunakan karya yang bernilai sastra. Yang berhubungan dengan sosio budaya bukan setiap unsurnya, tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan (dalam Umar Yunus). Dari sekian banyak telaah sosiologi terhadap sastra, dapat disimpulkan oleh Sapardi Djoko Damono menjadi dua kecenderungan utama, yakni:

Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra itu sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan

epiphenomenon (gejala kedua).

(45)

teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.

Lebih jauh lagi, Sapardi Djoko Damono (1979: 19) menyatakan bahwa pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda dengan pengertian sosiosastra, pendekatan sosiologi, atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra. Pendekatan sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoretis tertentu, tetapi semua pendekatan itu menunjukkan suatu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial, yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Gambaran yang jelas tentang hubungan timbal balik antara ketiga anasir itu sangat penting artinya bagi peningkatan pemahaman dan penghargaan manusia terhadap sastra itu sendiri.

Sapardi Djoko Damono (1979: 97) membedakan sejumlah pendekatan sosiologi sastra ke dalam beberapa macam, yaitu:

1. Sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra sebagai dokumen sosial budaya.

2. Sosiologi sastra yang mengkaji penghasilan dan pemasaran karya sastra.

3. Sosiologi sastra yang mengkaji penerimaan masyarakat terhadap karya sastra seorang penulis dan apa sebabnya.

4. Sosiologi sastra yang mengkaji pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra.

5. Sosiologi sastra yang mengkaji mekanisme universal seni, termasuk karya sastra.

(46)

6. Strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann dari Perancis. Berdasarkan pendapat diatas, pendekatan sosiologi sastra adalah suatu pendekatan sastra yanng menelaaah karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Pendekatan sosiologi sastra mempunyai hubungan yang erat dengan sastrawan dan karya sastra.

Wollf (dalam Suwardi Endraswara, 2003:77) menyatakan sosiologi sastra merupakan disiplin ilmu yang tanpa bentuk, tidak terdefisikan dengan baik terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang lebih umum, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal yang berhubunngan antara sastra dengan masyarakat. Faruk (1994:1) berpendapat bahwa sosiologi merupakan gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosiologi, proses belajar secara kultural, yang dengan individu-individu dialokasikan pada peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial itu.

Adapun secara singkat Garbstein (dalam Faruk, 1994: 32) mengungkapkan konsep tentang sosiologi sastra, yaitu:

a. Karya sastra tidak dapat dipahami selengkapnya tanpa dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menhasilkannya.

b. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk penulisasnnya.

c. Karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu prestasi. d. Masyarakat dapat mendekati sastra dari dua arah.

1) Sebagai faktor material istimewa 2) Sebagai tradisi

e. Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih.

f. Ktitikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan.

(47)

g. Uraian berikut dipusatkan pada sosiologi sastra Marxis yang memang sangat menonjol atau dominan. Garis besarnya adalah sebagai berikut:

1) Manusia harus hidup dulu sebelum dapat berpikir

2) Struktur sosial masyarakat ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan khususnya sistem produksi ekonomi. Dibedakan antara infrastruktur dan suprastruktur.

h. Walaupun Marxis sadar bahwa hubungan sastra dan masyarakat itu rumit, para pengikut Marxis tetap menganggap bahwa sastra merupakan gejala kedua yang ditentukan oleh yaitu infrastruktur. Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang dibuat oleh Ian Watt dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat.

Suwardi Endraswara (2003:77) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak dinikmati oleh peneliti yang ingin menelliti sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat karena sifatnya yang reflektif itu. Asumsi dasar penelitiaan sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses adalah karya sastra uang mampu merefleksikan zamannya. Itulah sebabnya, sangatlah beraalaskan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya.

Gambar

Gambar 2: Flow Model of Analysis ................................................................
Gambar  1. Kerangka Berpikir
Gambar 2. Flow Model of Analysis (Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman,

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penimbunan secara bertahap dan perencanaan PVD yang akan digunakan dari perhitungan sebelumnya, selanjutnya akan

Gambar diatas merupakan grafik kecepatan angular roda dan kendaraan pada lock braking hasil dari simulasi MATLAB, grafik diatas menunjukkan kecepatan angular roda

Sumpah Pocong merupakan institusi resolusi konflik yang telah mendapatkan public trust dari masyarakat Pendhalungan kerana menggunakan nilai-nilai agama yang menjadi dasar

Nilai gizi makanan juga didapatkan dengan adanya variasi tanaman atau ternak yang dipelihara oleh keluarga sehingga meningkatkan daya beli keluarga terhadap makanan

Natural bentonite as a filler in polyurethane foam matrices will cause a different effect in electromagnetic properties and microwave absorption due to material

11 Setelah proses di atas selesai, kita tinggal membuat garis di belakang KATA PENGANTAR kemudian spasi, terus tekan Tab pada keyboard sehingga hasil seperti gambar di bawah :.

Salah satu implikasi dari perubahan undang-undang tersebut adalah pada status Bank Indonesia dalam bidang perpajakan yaitu kedudukan Bank Indonesia sebagai Wajib Pajak Badan,

(4) Standar Pendidikan Tinggi yang Ditetapkan oleh Perguruan Tinggi disusun dan dikembangkan oleh perguruan tinggi dan ditetapkan dalam peraturan pemimpin perguruan