RUMAH PERLINDUNGAN Rencana Intervensi
4.1.4 Hambatan Implementasi Program Bantuan Pendidikan
Dalam mengimplementasikan program bantuan pendidikan, RPSA mengalami beberapa hambatan, yaitu sebagai berikut.
1) Pendanaan
Menurut Pimpinan RPSA Gratama Bapak Dwi Priyanto implementasi program bantuan pendidikan ini mengalami masalah di bidang pendanaan. Menurut beliau, pemerintah kurang mensupport program ini. Misalkan saja dari Dinas Pendidikan dan Dinsospora Kota Semarang tidak ada dana khusus untuk pendidikan anak jalanan.
Hambatannya yang pertama ya masalah pendanaan ya. Kalau dari pemerintah, menurut saya itu pemerintah kurang mensupport, kurang memberikan solusi terhadap permasalahan anak jalanan. Kurang sabar dan program-programnya kurang relevan dengan permasalahan anak jalanan. Yang kedua dari masyarakat juga. Kesadaran untuk membantu sesama itu saya kira masih kurang ya. Coba kalau banyak orang-orang kaya yang mau menzakatkan hartanya 20 %. Pasti dapat membantu masyarakat lain yang kurang mampu. Termasuk anak jalanan (wawancara tanggal 21 Juni 2011)”.
2) Rendahnya Kesejahteraan dan Tingkat Pendidikan Orang Tua Anak Jalanan Menurut penuturan Bapak Dwi Priyanto, biasanya pendidikan orang tua anak jalanan ini rendah. Akibatnya dia tidak punya pengetahuan atau wawasan yang cukup luas. Dengan kata lain tidak punya pandangan bagaimana agar dia bisa keluar dari masalah yang dihadapinya. Selain itu juga karena masalah kemiskinan yang pada akhirnya memaksa anak ikut memikul tanggungjawab
orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ini juga yang menjadi penghambat pelaksanaan program-program RPSA Gratama.
Hambatan lain dari orang tua anak jalanan adalah terkadang ada orang tua yang berfikiran daripada sekolah lebih baik bantu orang tua cari uang untuk makan. Namun ada juga pemikiran anak jalanan yang bertolak belakang dengan pemikiran orang tua yang seperti ini. Ada orang tua yang ingin anaknya itu turun ke jalan mencari uang tapi anaknya lebih memilih bersekolah.
3) Hambatan dari Anak jalanan
Terkadang ada anak jalanan yang mempunyai watak yang keras sehingga sulit untuk dibina. Selain itu cukup sulit untuk mengajak anak jalanan agar mau bersekolah lagi. Mereka lebih suka berada di jalan karena menganggap lebih menguntungkan dan dapat mengahasilkan uang.
“Gak serta merta mudah ya mbak. Perlu proses itu. Ya saya gak mengatakan sulit ya, tapi butuh proses. Tergantung kondisi anaknya. Ada yang anak itu mau sekolah tapi gak punya biaya. Itu kan mudah ya. Tapi ada juga yang gak mau walau akan dibiayai. Jadi untuk anak yang gak mau sekolah itu solusinya yang pertama kebutuhan untuk makan kita penuhi dulu. Terus dimotivasi orang tuanya. Anaknya dikasih wawasan ke depan, kalau gak sekolah jadi apa. Nanti kalau sekolah untungnya apa (wawancara dengan Pak Dwi tanggal 21 Juni 2011)”.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Ibu Agustina Merdekawati.
“………..kita tanya-tanya “mau gak sekolah lagi, pokoke sekolahe gratis ditanggung. Engko ijasahe ijasah resmi?” mereka itu malah jawab ‘lha mbak aku iku wis kesuwen ning ndalan, golek sing cah cilik-cilik wae mbak’. Lain lagi yang anak kecil, mereka itu banyak yang masih takut. Alasan gak boleh orang tuanya lah, atau apalah. Karena juga kan terkait faktor ekonomi (wawancara tanggal 7 Juni 2011)”.
Begitu juga dengan yang dikemukanan Bapak Sulistyo Budi, salah satu Staff Dinsospora Kota Semarang bagian rehabilitasi sosial sebagai berikut.
“Hambatannya salah satunya ya karena kurangnya anggaran untuk penanganan anak jalanan. Seperti memberikan uang pendidikan untuk anak jalanan yang dibina oleh rumah-rumah singgah atau RPSA. Kalau masalah pelatihan kita memang memberikan. Tapi untuk dana yang dianggarkan untuk pendidikan belum ada. Dari pemerintah itu belum ada (wawancara tanggal 30 Juni 2011)”.
Menurut penuturan beliau, belum ada anggaran penanganan anak jalanan di bidang pendidikan. Selama ini Dinsospora Kota Semarang sendiri hanya memberikan pelatihan keterampilan kepada anak-anak jalanan. Hal ini dikarenakan belum ada dana yang khusus dianggarkan untuk memberikan bantuan pendidikan kepada anak jalanan.
4) Kurang Sinerginya Pihak-pihak yang Terkait dengan Implementasi Program Menurut hasil wawancara dengan pekerja sosial di RPSA Gratama Semarang, mereka berpendapat bahwa pihak-pihak yang terkait dengan implementasi program ini kurang bersinergi dengan baik. Dinas Pendidikan hanya menjangkau anak-anak yang sekolah di sekolah negri dan anak-anak yang sudah masuk di sekolah. Tidak ada dana tersendiri untuk anak jalanan. Ini tentu menjadi kendala sendiri. Hal ini dikemukakan oleh Ibu Agustina, yaitu sebagai berikut.
“Hambatan-hambatannya ya terutama dari dinasnya. Mereka kan anak-anak kita kebanyakan sekolahnya di swasta. Nah, kalau dari Dinas Pendidikan itu kalau kita mengajukan bantuan untuk anak jalanan itu biasanya ditolak. Karena mereka kan sudah memberikan bantuan pendidikan tapi ke sekolah yang negri. Jadi anak-anak kita yang sekolah di swasta kan tidak terjangkau. Jadi bantuan ini diberikan ke sekolah. Hanya anak jalanan yang sudah sekolah saja yang kemungkinan dapat terjangkau bantuan dari dinas ini. Padahal kan tidak semua anak jalanan bisa bersekolah (wawancara tanggal 7 Juni 2011)”.
5) Kesadaran Masyarakat untuk Membantu Sesama Masih Kurang
6) Hambatan lainnya menurut penuturan Pak Sulistyo Budi (51 tahun), salah satu Staff Dinsospora bagian rehabilitasi sosial adalah bertambah banyaknya anak
jalanan dari luar kota, bukan dari Semarang. Misalkan saja dari Demak, Kendal, Rembang, dan sekitarnya. Dari 100 % jumlah anak jalanan yang ada di Semarang, sekitar 80 % nya berasal dari luar Kota Semarang. Hal ini tentu menjadi kendala tersendiri karena belum tuntas masalah anak jalanan di Kota Semarang yang dibina, sudah muncul lagi anak jalanan yang lain.
4.1.5 Tingkat Keberhasilan Program Bantuan Pendidikan