• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUMAH PERLINDUNGAN Rencana Intervensi

4.1.5 Tingkat Keberhasilan Program Bantuan Pendidikan .1 Komunikasi

4.1.5.4 Struktur Birokrasi

Masing-masing pengelola di RPSA Gratama mempunyai tugas sesuai dengan bidangnya dan saling berkoordinasi satu dengan yang lain, yaitu sebagai berikut.

1) Koordinator Program

a. Menetapkan kebijakan, program, dan kegiatan. b. Menetapkan rencana tahunan.

c. Mengkoordinasikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan pelayanan. d. Mengembangkan dan menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga

pelayanan, organisasi, perorangan, dan kelompok profesional.

e. Membuat laporan pertanggungjawaban pelayanan kepada Bagian Sosial Kota, Departemen Sosial/Instansi Sosial.

2) Sekretariat/Administrasi

b. Melakukan pengarsipan dokumen administrasi. c. Membuat laporan.

3) Bidang Manajemen Kasus

a. Melakukan kegiatan berdasarkan intervensi mulai dari pendekatan awal, assessment, dan perencanaan intervensi.

b. Menyiapkan perangkat penanganan kasus dan mendokumentasikan seluruh kegiatan.

c. Mengorganisir kelompok profesi bantu untuk kepentingan manajemen kasus.

d. Mendukung dan memberi informasi terhadap bidang pelayanan dalam melakukan intervensi.

e. Membuat laporan kegiatan kepada pimpinan. 4) Bidang Pelayanan

a. Melaksanakan intervensi berdasarkan hasil pembahasan kasus. b. Mengatur dan menyediakan jenis-jenis pelayanan pada anak.

c. Mengorganisir kelompok profesi bantu untuk kepentingan pelayanan. d. Melakukan pemantauan proses pelayanan intervensi yang dilakukan. e. Membuat laporan kegiatan kepada pimpinan.

5) Bidang Pengasuhan

a. Membuka pendampingan dan asuhan pada anak.

b. Mengorganisir kelompok profesi bantu untuk kepentingan pengasuhan. c. Melaksanakan kegiatan sosialisasi dan rekreasi yang bersifat edukatif.

d. Memberikan penjelasan dan bimbingan kepada anak untuk penyesuaian diri dan keterlibatan dalam proses pelayanan dan penanganan masalah. e. Membuat laporan kegiatan kepada pimpinan.

6) Bidang Rujukan

a. Mengidentifikasi dan menyiapkan lembaga/keluarga asli maupun pengganti untuk reunifikasi anak setelah terminasi.

b. Mengorganisir kelompok profesi bantu untuk kepentingan rujukan. c. Mengidentifikasi dan menyiapkan panti/keluarga lain untuk reunifikasi. d. Menempatkan anak pada keluarga atau panti yang sesuai.

e. Melakukan monitoring setelah anak mendapat terminasi. f. Membuat laporan kegiatan kepada pimpinan.

7) Kelompok Profesi Bantu

Merupakan tenaga-tenaga professional yang terdiri dari dokter, psikolog, psiater, guru, ahli agama, pengacara, polisi, terapis, dan lainnya. Kelompok ini bertanggung jawab kepada pimpinan sedangkan tugasnya membantu pekerja sosial sebagai profesi utama dalam proses pelayanan.

Dari struktur organisasai, tidak semua pekerja sosial masih aktif sampai saat ini. Beberapa diantaranya sudahtidak aktif lagi. Sampai saat ini yang masih aktif adalah pimpinan, Bapak Dwi Priyanto, Agustina Merdekawati dan Septi Kurniawati. Dalam juklisnya, ketiganya mampunyai peran masing-masing sesuai dengan ketetapan. Namun dalam praktek sehari-hari pekerja sosial yang masih aktif menjalankan tugas bersama-sama mengingat sedikitnya pekerja sosial yang masih aktif.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Implementasi Program Bantuan Pendidikan

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi termasuk juga anak jalanan.

Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan tempat umum lainnya. Dalam penelitian ini anak jalanan yang menjadi responden beraktivitas di jalan dengan ngamen dan mengelap mobil di sekitar traffic light. Anak jalanan ini mencari uang dan biasanya digunakan untuk membantu orang tua mereka dan untuk keperluan lainnya.

Beberapa permasalahan/penyebab anak turun ke jalanan, yaitu kemiskinan, mentalitas, kebodohan, ikut-ikutan teman, butuh uang saku/transport sekolah, broken home, disuruh (dikaryakan) oleh orang tua, tidak mempunyai pekerjaan, tidak mempunyai tempat bermain, korban trafficking, konflik bersenjata, kerusuhan, bencana, dan orang tua dipenjara ataupun orang tua meninggal. Dari kelima responden anak jalanan yang sudah diwawancarai, kebanyakan dari

mereka turun ke jalan karena faktor ekonomi. Mayoritas berasal dari keluarga yang kurang mampu.

Pada batas-batas tertentu memang tekanan kemiskinan merupakan kondisi yang mendorong anak-anak hidup di jalanan selain faktor-faktor lainnya. Namun, bukan berarti kemiskinan merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan anak hidup di jalanan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Justika S.B. (dalam Suyanto, 2003:197) yang menyatakann bahwa sekitar 60 % (persen) penyebab anak jalanan turun ke jalan adalah karena dipaksa oleh orang tuanya.

Fungsi dari rumah singgah (RPSA) adalah untuk membantu anak jalanan, memperbaiki atau membetulkan sikap dan perilaku yang keliru, memberi proteksi, mengatasi masalah, dan menyediakan berbagai informasi yang berkaitan dengan anak jalanan. Di RPSA inilah anak jalanan dibantu dengan program-program yang dilaksanakan. Dalam penelitian ini anak-anak jalanan dibantu mengatasi masalah yang dihadapinya salah satunya dengan memberikan bantuan pendidikan agar anak jalanan bisa bersekolah.

Dari beberapa permasalahan anak jalanan tersebut metode penanganan anak jalanan yang digunakan untuk membantu anak-anak jalanan mengatasi masalahnya adalah berbeda-beda. Hal ini dikarenakan setiap anak memiliki masalah dan latar belakang yang berbeda-beda pula. Selain itu potensi antara satu anak dengan anak yang lain juga tidaklah sama. Salah satu metode penanganan yang diberikan oleh RPSA Gratama untuk mengatasi permasalahan anak jalanan adalah dengan memberikan bantuan pendidikan bagi beberapa anak jalanan.

Program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang ini memberikan bantuan pendidikan formal untuk anak jalanan. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat, dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah. Dalam penelitian ini anak-anak jalanan yang mendapatkan bantuan pendidikan disekolahkan di sekolah formal agar anak dapat tumbuh berkembang secara normal. Program ini merupakan salah satu bentuk implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang terkait masalah sosial, yaitu penanganan anak jalanan. Program ini bertujuan untuk membantu anak jalanan mendapatkan haknya yaitu hak mendapatkan pendidikan. Ini sesuai dengan pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan bahwa ”setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Pasal ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, tanpa memandang status, agama, ras, suku, maupun etnis. Baik itu dewasa maupun anak-anak tanpa terkecuali anak jalanan.

Pada awal tahapan pelaksanaan program para pekerja sosial melakukan penjangkauan langsung ke lokasi anak-anak jalanan beraktivitas di jalan ataupun rumah orang tuanya. Di sini masing-masing pekerja sosial turun ke jalan memantau ke daerah atau kantong binaan mendatangi anak-anak jalanan tersebut. Penjangkauan dengan mendatangi anak jalanan secara langsung ini bertujuan agar data yang diperoleh benar-benar valid dan selanjutnya para pekerja sosial dapat menentukan metode yang tepat untuk mengatasi masalah anak jalanan. Selain itu, penjangkauan secara langsung ini berguna untuk meyakinkan anak jalanan bahwa masih banyak orang yang peduli terhadap masa depan mereka dan secara tidak

langsung anak jalanan merasa bahwa dirinya tidak termarjinalkan dan tidak dikucilkan oleh masyarakat. Hal ini tentu merupakan awal yang baik dalam melakukan pendekatan dengan anak jalanan. Dengan begitu, akan mudah untuk menyampaikan dan mengajak mereka mengikuti program-program yang akan dilaksanakan RPSA.

Pendekatan yang dilakukan oleh RPSA Gratama dalam upaya penanganan anak jalanan bermacam-macam dan berbeda-beda antara satu anak dengan anak yang lainnya. Pendekatan yang dipakai ini tergantung dari kondisi anak jalanan itu sendiri. Ada beberapa anak diajak berdialog, mereka didampingi, dan selanjutnya para pekerja sosial mancoba memahami situasi, latar belakang, dan kondisi anak jalanan tersebut. Setelah itu, anak-anak jalanan ini diberi materi pendidikan dan keterampilan. Dalam pendekatan ini para pekerja sosial di RPSA Gratama mencoba memberikan kehangatan bagi anak-anak jalanan agar mereka merasa nyaman dan pada akhirnya tidak merasa terpaksa mengikuti program-program yang dilaksanakan oleh RPSA Gratama. Pendekatan ini menurut Tata Sudrajat (dalam suyanto, 2003:201) dapat disebut dengan pendekatan street based. Menurutnya, pendekatan ini lebih cocok untuk anak-anak jalanan yang masih ada hubungan dengan keluarga, tetapi jarang berhubungan atau tinggal dengan orang tua maupun keluarganya.

Pendekatan lain yang dipakai adalah dengan memasukkan anak-anak jalanan ke RPSA maupun ke panti-panti untuk direhabilitasi. Disini anak-anak jalanan ini diberikan perlindungan serta perlakuan yang hangat dari para pekerja sosial. Bahkan mereka juga mendapatkan makanan gratis dan tempat untuk

tinggal. Di panti ini biasanya anak-anak jalanan juga mendapatkan pelayanan pendidikan, ketrampilan, kebutuhan dasar, kesehatan, kesenian, dan pekerjaan. Anak-anak yang direhabilitasi di panti biasanya adalah anak-anak jalanan yang memiliki permasalahan yang lebih rumit. Pendekatan ini diberikan untuk anak-anak jalanan yang tersisih atau putus hubungan dengan keluarga maupun orang tuanya. Menurut Tata Sudrajat (dalam suyanto, 2003:201) pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan centre based.

Berbeda lagi untuk anak-anak jalanan yang masih berhubungan atau tinggal dengan keluarga atau orang tua. Pendekatan yang dilakukan lebih berfungsi sebagai pencegahan agar anak tidak terjerumus lebih dalam kehidupan di jalanan. Dalam pendekatan penanganan anak jalanan ini RPSA Gratama melibatkan masyarakat dan orang tua anak jalanan. Keluarga diberikan kegiatan penyuluhan tentang pengasuhan anak dan upaya meningkatkan taraf hidup mereka agar selanjutnya anak-anak tidak terbebani dengan beban hidup yang ditanggung oleh orang tuanya sehingga memaksa mereka untuk ikut membantu dengan cara turun ke jalanan menjadi anak jalanan. Orang tua anak jalanan diberikan bantuan modal yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dengan membuka usaha sendiri agar mereka sanggup melindungi, mengasuh, dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya sendiri. Sementara orang tua diberikan penyuluhan dan bantuan modal, anak-anak mereka diberi kesempatan memperoleh pendidikan formal maupun informal, pengisian waktu luang, pelatihan keterampilan, dan kegiatan lainnya yang bermanfaat. Untuk pendidikan, anak-anak jalanan ini diberikan bantuan pendidikan agar mereka bisa kembali lagi

ke bangku sekolah untuk mendapatkan kesempatan belajar (pendidikan formal). Sedangkan untuk pendidikan informal, RPSA mengadakan pengajian bersama, pelatihan keterampilan tertentu, dan sebagainya. Penyelenggaraan pelatihan keterampilan ini diprioritaskan untuk anak jalanan yang sudah tidak bersekolah dan tidak dalam usia sekolah.

RPSA Gratama menggabungkan ketiga pendekatan tersebut yaittu community based, centre based, dan street based dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang. Dari ketiga pendekatan tersebut menurut Suyanto (2003:202) bukan berarti satu pendekatan lebih baik dari pendekatan yang lain. RPSA Gratama menggunakan ketiga pendekatan tersebut karena selama ini kondisi anak-anak jalanan yang ditangani tidaklah sama antara satu anak dengan anak yang lainnya jadi tidak mungkin hanya menggunakan satu metode pendekatan saja. Apapun pendekatan yang dipilih, yang paling penting adalah modal awal yang dibutuhkan untuk menangani permasalahan anak jalanan sesungguhnya adalah sikap empati dan komitmen yang benar-benar tulus dari kita semua. Tanpa dilandasi oleh kedua hal itu, permasalahan anak jalanan tidak akan terselesaikan dengan baik.

4.2.2 Hambatan Implementasi Program Bantuan Pendidikan

Dalam mengimplementasikan program bantuan pendidikan, RPSA mengalami beberapa hambatan, yaitu sebagai berikut.

1) Pendanaan

Implementasi program bantuan pendidikan ini mengalami masalah di bidang pendanaan. Pemerintah terlihat sangat kurang mensupport program

bantuan pendidikan ini. Terbukti dari Dinas Pendidikan sendiri tidak ada dana khusus untuk pendidikan anak jalanan. Pemerintah dirasa kurang memberikan solusi terhadap permasalahan anak jalanan. Mengingat bahwa permasalahan anak jalanan sangatlah kompleks. Tata Sudrajat (dalam Suyanto, 2003:190) menyebutkan bahwa salah satu masalah yang dihadapi anak jalanan adalah masalah pendidikan yaitu sebagian anak jalanan putus sekolah karena waktu mereka habis di jalan. Selain itu, juga karena disebabkan faktor ekonomi. Sebagian anak jalanan ini berasal dari keluarga yang kurang mampu.

Selama ini Pemerintah Kota Semarang (dalam hal ini Dinsospora Kota Semarang) memang sudah melaksanakan program-program dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang, namun program-program yang dilaksanakan dirasa kurang relevan dengan permasalahan anak jalanan. Selama ini pemerintah hanya memberikan pelatihan keterampilan yang hasilnya pun kurang begitu maksimal, tanpa melihat kenyataan bahwa anak jalanan juga memerlukan pendidikan yang berguna untuk masa depannya kelak. Karena dari Pemerintah Kota Semarang tidak ada program khusus yang menangani permasalahan pendidikan untuk anak jalanan, maka RPSA Gratama pun tidak mendapatkan dana dari Pemerintah Kota Semarang khusus untuk pendidikan anak jalanan.

Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa selama ini masalah pendanaan program bantuan pendidikan di RPSA Gratama selalu menjadi hambatan tersendiri dalam mengimplementasikannya. Dari beberapa anak jalanan yang menjadi responden menyatakan bahwa mereka tidak lagi mendapatkan bantuan pendidikan setelah lulus SMP. Hal ini disebabkan dana yang dibutuhkan

untuk membantu pendidikan anak jalanan sangatlah besar. Jadi terpaksa ada beberapa anak jalanan yang bantuan pendidikannya dihentikan dan digantikan dengan anak jalanan yang lain.

Implementasi program bantuan pendidikan yang dilaksanakan oleh RPSA Gratama pun hasilnya menjadi kurang maksimal karena program ini membutuhkan dana yang cukup besar akan tetapi sumber dana yang ada sangatlah tidak mendukung. Hal ini tentu saja mempengaruhi implementasi program bantuan pendidikan yang dilaksanakan. Karena menurut George C. Edwards salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi suatu kebijakan adalah faktor sumberdaya. Dan pendanaan ini termasuk dalam sumber daya material. Menurutnya, jika implementor kekurangan sumber daya, maka implementasi tidak akan berjalan efektif dan efisien.

Konsekwensi lain yang harus dihadapi karena kurangnya dana yang ada ini adalah kontrol terhadap implementasi program bantuan pendidikan ini menjadi kurang maksimal. Kontrol implementasi program hanya dilakukan dalam enam bulan sekali dan menurut pengakuan beberapa anak jalanan kontrol atau pengawasan ke rumah orang tua anak jalanan hanya dilakukan sesekali waktu saja. Tentu saja ini dapat menjadikan implementasi program yang dijalankan kurang maksimal.

Sebaiknya RPSA Gratama maupun Yayasan Gradhika mulai merintis usaha yang profit misalnya “kucingan”, konter pulsa, dan tambal ban sehingga laba yang diperoleh dari usaha ini dapat digunakan untuk membantu pendanaan program bantuan pendidikan yang dijalankan. Dengan begitu masalah pendanaan

akan sedikit teratasi karena RPSA Gratama tidak terlalu bergantung pada bantuan dari pemerintah sehingga untuk kedepannya program bantuan pendidikan ini lebih maksimal. Selain itu anak jalanan pascabina juga dapat bekerja di sana.

2) Rendahnya Kesejahteraan dan Tingkat Pendidikan Orang Tua Anak jalanan Menurut hasil penelitian, biasanya pendidikan orang tua anak jalanan ini rendah. Akibatnya dia tidak punya pengetahuan/wawasan yang cukup luas. Dengan kata lain tidak punya pandangan bagaimana agar dia bisa keluar dari masalah yang dihadapinya. Selain itu juga karena masalah kemiskinan yang pada akhirnya memaksa anak ikut menanggung tanggungjawab orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ini juga yang menjadi penghambat pelaksanaan program-program RPSA Gratama.

Hambatan lain dari orang tua anak jalanan adalah terkadang ada orang tua yang berfikiran daripada sekolah lebih baik membantu orang tua mencari uang untuk makan. Namun ada juga pemikiran anak jalanan yang bertolak belakang dengan pemikiran orang tua yang seperti ini. Ada orang tua yang ingin anaknya itu turun ke jalan mencari uang tapi anaknya lebih memilih bersekolah.

3) Hambatan dari Anak jalanan

Terkadang ada anak jalanan yang mempunyai watak yang keras sehingga sulit untuk dibina. Selain itu cukup sulit untuk mengajak anak jalanan agar mau bersekolah lagi. Mereka lebih suka berada di jalan karena menganggap lebih menguntungkan dan dapat menghasilkan uang. Bagi kebanyakan anak-anak jalanan, keterlibatan mereka dalam perekonomian sektor informal biasanya membuahkan rasa bangga dan layak karena kemampuannya menyumbang kepada

kelangsungan hidup keluarganya. Hal ini sesuai dengan pendapat Suyanto bahwa keterlibatan anak dalam sektor informal terbukti pada akhirnya menghilangkan minat anak pada sekolah karena keinginan mendapatkan uang lebih banyak.

Hal inilah yang menjadi hambatan tersendiri dalam implementasi program bantuan pendidikan di RPSA Gratama. Sulit sekali mengajak dan membujuk anak-anak jalanan untuk kembali ke bangku sekolah walaupun sudah diinformasikan bahwa biaya ditanggung oleh RPSA Gratama.

4) Kurang Sinerginya Pihak-pihak yang Terkait dengan Implementasi Program Menurut hasil wawancara dengan pekerja sosial di RPSA Gratama Semarang, mereka berpendapat bahwa pihak-pihak yang terkait dengan implementasi program ini kurang bersinergi dengan baik. Dinas Pendidikan hanya menjangkau anak-anak yang sekolah di sekolah negri dan anak-anak yang sudah masuk di sekolah. Tidak ada dana tersendiri untuk anak jalanan. Sedangkan Dinsospora Kota Semarang yang dalam hal ini mewakili Pemerintah Kota Semarang, tidak menyediakan dana khusus untuk anak jalanan. Dari Pemerintah Kota Semarang hanya memberikan pelatihan keterampilan kepada anak-anak jalanan di Kota Semarang.

Antara pemerintah, LSM, organisasi sosial, dan pihak-pihak lain yang bertanggungjawab dalam penanganan anak jalanan di Kota Semarang terlihat kurang adanya kerjasama dan koordinasi yang baik sehingga penanganan anak jalanan yang dijalankan cenderung masih bersifat terpisah. Menurut Suyanto (2003:199) bila penanganan anak jalanan ini masih dilakukan secara temporer, segmenter, dan terpisah maka hasilnya pun menjadi kurang maksimal.

Agar penanganan, upaya perlindungan, dan pemberdayaan anak-anak jalanan dapat memberikan hasil yang lebih baik, dibutuhkan kesediaan semua pihak untuk duduk bersama, berdiskusi untuk mencari jalan keluar yang terbaik bagi anak-anak jalanan, dan kemudian merumuskan program intervensi yang tepat sasaran dan sekaligus melakukan pembagian kerja yang lebih terkoordinasi untuk mencapai hasil yang lebih baik.

5) Kesadaran Masyarakat untuk Membantu Sesama Masih Kurang

Menurut penuturan para pekerja sosial di RPSA Gratama, masyarakat kurang memiliki kesadaran dalam membantu anak-anak jalanan di Kota Semarang. Hal ini juga menjadi hambatan implementasi program bantuan karena selama ini salah satu sumber dana yang digunakan untuk mensupport implementasi program bantuan di RPSA Gratama ini adalah mengandalkan bantuan dari masyarakat yang berkenan membantu mengatasi anak jalanan di Kota Semarang.

6) Bertambah Banyaknya Anak jalanan dari Luar Kota Semarang

Hambatan lainnya menurut penuturan Pak Sulistyo Budi (51 tahun) adalah bertambah banyaknya anak jalanan dari luar kota, bukan dari Semarang. Misalkan saja dari Demak, Kendal, Rembang, dan sekitarnya. Dari 100 % jumlah anak jalanan yang ada di Semarang, sekitar 80 % nya berasal dari luar Kota Semarang. Hal ini tentu menjadi kendala tersendiri karena belum tuntas masalah anak jalanan di Kota Semarang yang dibina, sudah muncul lagi anak jalanan yang lain.

Banyak hal yang mendorong anak-anak jalanan ini untuk mengadu nasib di Kota Semarang. Salah satunya adalah karena Kota Semarang merupakan salah

satu kota besar di Indonesia, pusat segala aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Kota Semarang mengalami perkembangan pesat sama halnya dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Kantor-kantor, pusat perbelanjaan, sarana perhubungan, pabrik, sarana hiburan, dan sebagainya memadati seluruh bagian Kota Semarang. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor semakin banyaknya urban yang ingin mengadu nasib di Kota Semarang.

Bagi sebagian orang yang mempunyai bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentu akan mampu bertahan di kota ini, tetapi tidak demikian bagi sebagian orang yang kurang beruntung. Sulitnya mencari pekerjaan kadang kala memaksa mereka untuk mencari nafkah dengan jalan mengemis atau mengamen. Pada akhirnya mereka menjadi gelandangan. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, akan tetapi juga terjadi pada anak-anak. Anak-anak inilah yang disebut anak jalanan.

Dokumen terkait