LANDASAN TEORETIS
2.4 Anak jalanan
Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah. Ada beberapa pengertian anak jalanan menurut beberapa ahli hukum.
a. Sandyawan memberikan pengertian bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang berusia maksimal 16 tahun, telah bekerja dan menghabiskan waktunya di jalanan.
b. Peter Davies memberikan pemahaman bahwa fenomena anak-anak jalanan sekarang ini merupakan suatu gejala global. Pertumbuhan urbanisasi dan membengkaknya daerah kumuh di kota-kota yang paling parah keadaannya adalah di negara berkembang, telah memaksa sejumlah anak yang semakin besar untuk pergi ke jalanan ikut mencari makan demi kelangsungan hidup keluarga dan bagi dirinya sendiri (dalam Rosdalina, 2007:71).
Anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam.
a. Anak jalanan on the street/road, yaitu anak-anak yang ada di jalanan, hanya sesaat saja di jalanan, dan meliputi dua kelompok yaitu kelompok dari luar kota dan kelompok dari dalam kota (Rosdalina, 2007:72). Anak-anak jalanan pada kategori ini memberikan sebagian penghasilan mereka kepada orang tuanya. Menurut Suyanto (2010:187) fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.
b. Anak jalanan of the street/road atau anak-anak yang tumbuh dari jalanan, seluruh waktunya dihabiskan di jalanan, tidak mempunyai rumah, dan jarang atau tidak pernah kontak dengan keluarganya (Rosdalina, 2007:72).
c. Anak jalanan From Families of the Street, yaitu anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi bahkan sejak masih dalam kandungan. Di Indonesia, kategori ini dengan mudah ditemui di kolong-kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api, dan sebagainya walau secara kumulatif jumlahnya belum diketahui secara pasti (Suyanto, 2010:187).
Adapun ciri-ciri anak jalanan secara umum antara lain:
a. berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, dan tempat hiburan) selama 3-24 jam sehari;
b. berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah dan sedikit sekali yang tamat SD);
c. berasal dari keluarga-keluarga yang tidak mampu (kebanyakan kaum urban dan beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya); dan
d. melakukan aktivitas ekonomi atau melakukan pekerjaan pada sektor informal (Rosdalina, 2007:72).
Rosdalina (2007:202) menarik kesimpulan dari jurnal penelitian tersebut yaitu:
adanya ciri umum tersebut di atas, tidak berarti bahwa fenomena anak jalanan merupakan fenomena yang tunggal. Penelusuran yang lebih empatik dan intensif ke dalam kehidupan mereka menunjukkan adanya keberagaman. Keberagaman tersebut antara lain: latar belakang keluarga, lamanya berada di jalanan, lingkungan tempat tinggal, pilihan pekerjaan, pergaulan, dan pola pengasuhan. Sehingga tidak mengherankan jika terdapat keberagaman pola tingkah laku, kebiasaan, dan tampilan dari anak-anak jalanan.
Ada beberapa hal yang dapat menjadi penyebab munculnya fenomena anak jalanan (Rosdalina 2007:72), yaitu:
a. sejumlah kebijakan makro dalam bidang sosial ekonomi telah menyumbang munculnya fenomena anak jalanan;
b. modernisasi, industrialisasi, migrasi, dan urbanisasi menyebabkan terjadinya perubahan jumlah anggota keluarga dan gaya hidup yang membuat dukungan sosial dan perlindungan terhadap anak menjadi berkurang;
c. kekerasan dalam keluarga menjadi latar belakang penting penyebab anak keluar dari rumah dan umumnya terjadi dalam keluarga yang mengalami tekanan ekonomi dan jumlah anggota keluarga yang besar;
d. terkait permasalahan ekonomi sehingga anak terpaksa ikut membantu orang tua dengan bekerja (di jalanan);
e. orang tua “mengkaryakan” sebagai sumber ekonomi keluarga pengganti peran yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa.
Seperti pekerja anak pada umumnya, anak jalanan tak jarang mulai hidup di jalanan pada usia yang sangat belia. Bagi anak-anak jalanan ini, keterlibatan mereka dalam perekonomian sektor informal biasanya membuahkan rasa bangga dan layak karena kemampuannya menyumbang kepada kelangsungan hidup keluarganya. Namun hal ini juga terbukti pada akhirnya menghilangkan minat anak pada sekolah karena keinginan mendapatkan uang lebih banyak (Suyanto, 2003:190).
Menurut pengamatan RPSA Gratama Semarang, ada beberapa permasalahan/penyebab anak turun ke jalanan, yaitu: kemiskinan, mentalitas, kebodohan, ikut-ikutan teman, butuh uang saku/transport sekolah, broken home, disuruh (dikaryakan) oleh orang tua, tidak mempunyai pekerjaan, tidak mempunyai tempat bermain, korban trafficking, konflik bersenjata, kerusuhan, bencana, dan orang tua dipenjara ataupun orang tua meninggal.
Pada batas-batas tertentu, memang tekanan kemiskinan merupakan kondisi yang mendorong anak-anak hidup di jalanan. Namun, bukan berarti kemiskinan merupakan satu-satunya faktor determinan yang menyebabkan anak lari dari
rumah dan terpaksa hidup di jalanan. Menurut penjelasan Justika S. Baharsjah, kebanyakan anak bekerja di jalanan bukanlah atas kemauan mereka sendiri, melainkan sekitar 60 % (persen) diantaranya karena dipaksa oleh orang tuanya (dalam Suyanto, 2003:197).
Berdasarkan studi yang dilakukan UNICEF pada anak-anak yang dikategorikan children of the street (dalam Suyanto, 2003:197), menunjukkan bahwa motivasi anak turun ke jalan bukan hanya karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga tetapi juga karena adanya kekerasan dan keretakan kehidupan rumah tangga orang tuanya. Keadaan ini menjadikan mereka menilai bahwa kehidupan di jalan memberikan alternatif dibandingkan hidup dalam keluarganya yang penuh kekerasan yang tidak dapat dihindari.
Adapun aktivitas yang biasa dilakukan anak jalanan di jalan untuk mencari uang menurut pengamatan RPSA Gratama Semarang antara lain mengamen, jual koran, semir sepatu, ngelap kaca mobil, meminta-minta, menjadi tukang parkir, pemulung/pencari barang bekas, dan jual mainan.
Menurut Tata Sudrajat (dalam Suyanto, 2003:201), selama ini ada tiga pendekatan yang biasa dilakukan oleh LSM dalam penanganan anak jalanan yaitu sebagai berikut.
a. Street based, yaitu model penanganan anak jalanan di tempat anak jalanan itu berasal/tinggal. Para street educator datang kepada mereka untuk berdialog, mendampingi mereka bekerja, memahami dan menerima situasinya, serta menempatkan diri sebagai teman. Dalam beberapa jam, anak-anak diberikan materi pendidikan dan keterampilan yang berguna bagi pencapaian tujuan
intervensi. Disini para street educator memberikan kehangatan hubungan dan perhatian yang bisa menumbuhkan kepercayaan satu sama lain.
b. Centre based, yaitu pendekatan dan penanganan anak jalanan di lembaga atau panti. Di sini anak-anak ditampung dan diberikan pelayanan, makanan, perlindungan, serta perlakuan yang hangat dan bersahabat dari pekerja sosial. Pada panti yang permanen, bahkan disediakan pelayanan pendidikan, keterampilan, kebutuhan dasar, kesehatan, kesenian, dan pekerjaan bagi anak jalanan.
c. Community based, yaitu model penanganan yang melibatkan seluruh potensi masyarakat, terutama keluarga atau orang tua anak jalanan. Pendekatan ini bersifat preventif atau pencegahan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah anak agar tidak masuk dan terjerumus dalam kehidupan di jalanan. Kegiatan penyuluhan tentang pengasuhan anak dan upaya untuk meningkatkan taraf hidup diberikan kepada keluarga, sedangkan anak-anak diberikan kesempatan memperoleh pendidikan formal maupun informal serta kegiatan lainnya yang bemanfaat. Pendekatan ini ditujukan agar orang tua mandiri dan lebih bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.
Menurut Suyanto (2003:202) dari berbagai pendekatan tersebut tidak berarti satu pendekatan lebih baik dari pendekatan lainnya. Pendekatan yang akan digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi anak jalanan. Menurut Suyanto, secara keseluruhan modal awal yang dibutuhkan untuk menangani permasalahan anak jalanan sesungguhnya adalah sikap empati dan komitmen yang benar-benar tulus dari kita semua agar masalah anak jalanan dapat
terselesaikan sampai tuntas. Namun menurut Suyanto, selama ini penanganan masalah anak jalanan masih dilakukan secara temporer, segmenter, dan terpisah sehingga hasilnya pun menjadi kurang maksimal.