• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN PENDIDIKAN DI RUMAH PERLINDUNGAN SOSIAL ANAK GRATAMA DALAM UPAYA PENANGANAN ANAK JALANAN DI KOTA SEMARANG SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN PENDIDIKAN DI RUMAH PERLINDUNGAN SOSIAL ANAK GRATAMA DALAM UPAYA PENANGANAN ANAK JALANAN DI KOTA SEMARANG SKRIPSI"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

1

IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN PENDIDIKAN

DI RUMAH PERLINDUNGAN SOSIAL ANAK

“GRATAMA”

DALAM UPAYA PENANGANAN ANAK JALANAN

DI KOTA SEMARANG

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Oleh Ani Zuliyani NIM 3401407074

Jurusan Hukum Dan Kewarganegaraan

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang

2011

(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Sosial Unnes pada

Hari : Selasa Tanggal : 26 Juli 2011

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Maman Rachman, M. Sc Drs. Tijan, M. Si

NIP.194806091976031001 NIP.1962112019870211001 Mengetahui, Ketua Jurusan HKn Drs. Slamet Sumarto, M. Pd NIP. 19610127 198601 1 001 ii

(3)

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan sidang panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang pada

Hari : Jum’at Tanggal : 5 Agustus 2011 Penguji Utama Drs. Setiajid, M. Si. NIP. 19600623 198901 1 001 Penguji I Penguji II

Prof. Dr. Maman Rachman, M. Sc Drs. Tijan, M. Si

NIP.194806091976031001 NIP.1962112019870211001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial

Drs. Subagyo, M.Pd NIP 195108081980031003

(4)

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau

seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat di dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 26 Juli 2011

Ani Zuliyani NIM. 3401407074

(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

1. Kegagalan hanya situasi tak terduga yang menuntut transformasi dalam makna positif (Eugenio Barba).

2. Tidak ada jaminan kesuksesan, namun tidak mencobanya adalah jaminan kegagalan (Bill Clinton).

3. Untuk membahagiakan seseorang isilah tangannya dengan kerja, cintanya dengan kasih sayang, pikirannya dengan tujuan, ingatannya dengan ilmu yang bermanfaat, masa depannya dengan harapan, dan perutnya dengan makanan. (Frederick E. Crane ).

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Bapak dan ibu tercinta yang tidak pernah berhenti mendukungku, mendoakanku, dan memberikan semangat di setiap saat.

2. Adikku tercinta, yang selalu memberikan dukungan dan semangat.

3. Seluruh keluarga besarku yang selalu mendoakan yang terbaik untukku.

(6)

PRAKATA

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul ”Implementasi

Program Bantuan Pendidikan di Rumah Perlindungan Sosial Anak Gratama Semarang dalam Upaya Penanganan Anak Jalanan di Kota Semarang” dapat

terselesaikan.

Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa tersusunnya skripsi ini bukan hanya atas kemampuan dan usaha penulis sendiri, namun juga berkat bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan yang sebesar-besarnya terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmojo, M.Si Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Drs. Subagyo, M.Pd Dekan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.

3. Drs. Slamet Sumarto, M.Pd Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Semarang.

4. Prof. Dr. Maman Rachman, M.Sc dosen pembimbing I yang senantiasa memberi semangat dan membantu dalam terselesainya penyusunan skripsi ini. 5. Drs. Tijan, M.Si dosen pembimbing II yang dengan sabar mengarahkan dan

meluangkan waktunya untuk membimbing kami dalam penyusunan skripsi ini.

6. Dwi Priyanto, pimpinan RPSA Gratama Semarang yang telah banyak membantu dalam memberikan data untuk penyusunan skripsi ini.

(7)

7. Bapak dan Ibu Dosen Prodi PPKn Fakultas Ilmu Sosial Unnes yang telah memberi bekal pengetahuan kepada penulis.

8. Ali Anwar dan Wahyuni, bapak dan ibu tercinta yang telah memberikan semangat dan dorongan spiritual dan material kepada penulis.

9. Teman–teman Civic Education angkatan 2007 Unnes.

10. Teman-teman Kos Emeral yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

11. Sahabat-sahabatku dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam bentuk apapun.

Semarang, 26 Juli 2011 Penyusun

(8)

SARI

Zuliyani, Ani. 2011. Implementasi Program Bantuan Pendidikan di Rumah

Perlindungan Sosial Anak “Gratama” Semarang dalam Upaya Penanganan Anak Jalanan di Kota Semarang. Skripsi. Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I Prof. Dr. Maman Rachman, M.Sc. Pembimbing II Drs. Tijan, M. Si. 101 hlm.

Kata kunci: Implementasi, Program Bantuan Pendidikan, RPSA, Anak Jalanan.

Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang bahwa salah satu hak anak adalah mendapatkan pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi dan kecerdasan anak sesuai dengan bakat dan minatnya. Secara normatif, Negara Republik Indonesia menjamin kesejahteraan anak, termasuk hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak. Namun, pada kenyataannya menunjukkan bahwa masih tingginya angka putus sekolah di Indonesia termasuk yang dialami oleh anak jalanan.

Fenomena yang terjadi di Kota Semarang adalah semakin meningkatnya jumlah anak jalanan. Ironisnya, keberadaan anak jalanan ini sering kali diabaikan dan tidak dianggap ada oleh sebagian masyarakat. Selama ini, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani masalah anak jalanan belum terlihat maksimal. RPSA Gratama adalah salah satu rumah singgah yang menaruh perhatian terhadap nasib anak-anak jalanan di Kota Semarang. Salah satu program yang dijalankan adalah program bantuan pendidikan. Akan tetapi selama ini masih banyak hambatan yang dialami RPSA Gratama dalam mengimplementasikan program ini. Untuk itu, penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimana implementasi program bantuan pendidikan di RPSA “Gratama” dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode interaksi dengan tahap-tahap mengumpulkan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Responden dalam penelitian ini adalah anak jalanan, pekerja sosial, pengelola RPSA Gratama, ketua pengelola RPSA Gratama, dan pemerintah Kota Semarang (Dinsospora Kota Semarang).

Berdasarkan hasil penelitian, program bantuan pendidikan yang dilaksanakan cukup berhasil dalam mencapai tujuannya yaitu agar anak tidak lagi beraktivitas di jalan, anak kembali ke bangku sekolah bagi yang masih usia sekolah, anak dapat memiliki penghasilan yang layak dengan keterampilan yang dimiliki, anak mampu mengendalikan diri terhadap godaan-godaan untuk kembali ke jalanan, dan program ini juga cukup membantu anak mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan.

Sebagai saran yang dapat disampaikan kepada pihak-pihak yang terkait dalam implementasi program bantuan pendidikan ini yaitu (1) kepada RPSA Gratama, seharusnya menggalakkan dana dari pihak-pihak yang berkompeten dan yang terlibat agar mereka dapat mengalokasikan dana untuk pendidikan anak

(9)

jalanan yang dibina; meningkatkan komunikasi dengan masyarakat secara umum tentang keberadaan RPSA, peranan, dan program-program yang dijalankan agar masyarakat lebih mengenal RPSA; serta tingkatkan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan program bantuan pendidikan yang dijalankan RPSA Gratama sehingga kedepannya implementasi program mencapai hasil yang lebih maksimal, (2) kepada yayasan, perlu merintis usaha sendiri misalnya usaha “kucingan”, konter pulsa, atau usaha tambal ban agar kedepannya tidak selalu menggantungkan dana dari pemerintah dan anak-anak pasca bina bisa bekerja disana, (3) kepada pemerintah, semoga kedepannya dialokasikan dana pendidikan khusus untuk anak jalanan. Karena selama ini program-program yang dijalankan hanyalah program pelatihan keterampilan dan bantuan untuk orang tua anak jalanan. Padahal, pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi anak. Ini dimaksudkan agar dapat mendukung program-program penanganan anak jalanan sehingga bisa berjalan dengan baik.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

SARI ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR……… xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Batasan Istilah... 12

BAB II LANDASAN TEORETIS A. Implementasi Kebijakan Publik ... 14

B. Teori Implementasi Kebijakan ... 15

C. Konsep Pendidikan ... 23

(11)

D. Pengertian RPSA ... 26

E. Anak Jalanan... 27

F. Kerangka Berfikir... 33

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 34

B. Lokasi Penelitian ... 35

C. Fokus Penelitian ... 35

D. Sumber Data Penelitian ... 36

E. Metode Pengumpulan Data ... 37

F. Validitas Data ... 38

G. Metode Analisis Data……… 39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 41 B. Pembahasan ... 77 BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 97 B. Saran ... 99 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xi

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Anak Jalanan di Kota Semarang………. 4

Tabel 2 Data Anak Jalanan di Kantong Binaan RPSA Gratama……….. 5

Tabel 3 Masalah yang Dihadapi Anak Jalanan………. 7

Tabel 4 Idenditas Pemerintah Kota Semarang... 47

Tabel 5 Daftar Pengelola RPSA Gratama Semarang……… 47

Tabel 6 Data Anak Jalanan Informan Penelitian……….. 48

Tabel 7 Lokasi dan Aktifitas Anak Jalanan Kota Semarang……… 48

Tabel 8 Data Orang Tua Anak Jalanan Kota Semarang………... 49

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Faktor Penentu Implementasi Kebijakan Menurut George Edwards III...16

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1 : Instrumen Penelitian 2. Lampiran 2 : Identitas Responden

3. Lampiran 3 : Foto Hasil Penelitian Implementasi Program di RPSA Gratama Semarang

4. Lampiran 4 : Kartu Bimbingan Skripsi

5. Lampiran 5 : Surat Permohonan Ijin Penelitian dari Universitas Negeri Semarang/Kesbangpol dan Linmas Kota Semarang untuk Kepala Dinsospora Kota Semarang

6. Lampiran 6 : Surat Permohonan Ijin Penelitian dari Unnes/Kesbangpol dan Linmas Kota Semarang untuk Pimpinan RPSA Gratama 7. Lampiran 7 : Daftar Anak Jalanan Binaan RPSA Gratama yang Masih

Sekolah Tahun 2011

8. Lampiran 8 : Transkip Wawancara Penelitian Implementasi Program Bantuan Pendidikan di RPSA Gratama

9. Lampiran 9 : Surat Keterangan Penelitian dari Dinsospora Kota Semarang 10. Lampiran 10 : Surat Keterangan Penelitian dari RPSA Gratama Semarang.

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak (pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002).

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Salah satu hak anak menurut pasal 9 UUPA No. 23 tahun 2002 adalah memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Namun, keterpurukan ekonomi yang dialami oleh beberapa orang tua dan keluarga di negara kita menyebabkan beberapa orang tua dan keluarga tidak mampu

(16)

memenuhi hak anak. Akibatnya, banyak anak yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah atau drop out.

Menurut Ketua Yayasan Lembaga GNOTA, Jeannette Sudjunadi (Puji, 2010), berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat tahun 2009, di Indonesia terdapat sedikitnya 13.685.324 anak sekolah usia 7 hingga 15 tahun yang putus sekolah. Sebanyak 419.940 (32 persen) diantaranya berada di Provinsi Jawa Tengah. Program-program bantuan yang dapat diakses dari jumlah angka putus sekolah ini agar anak tersebut tidak putus sekolah masih sangat minim. http://www.republika.co.id (3 februari 2011).

Data di atas menunjukkan bahwa tingginya angka putus sekolah di Indonesia, dan 32 persen angka putus sekolah berada di Provinsi Jawa Tengah yang beribu kota di Kota Semarang. Hal ini disebabkan karena masih banyak keluarga dan orang tua yang belum mampu memenuhi hak anak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Kota Semarang adalah salah satu kota besar di Indonesia, Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, pusat segala aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Seperti halnya kota-kota lain yang sedang berkembang di seluruh dunia, Kota Semarang mengalami perkembangan pesat sama halnya dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Kantor-kantor, pusat perbelanjaan, sarana perhubungan, pabrik, sarana hiburan, dan sebagainya memadati seluruh bagian Kota Semarang. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor semakin banyaknya urban yang ingin mengadu nasib di Kota Semarang. Bagi sebagian orang yang mempunyai bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang cukup tentu akan mampu bertahan di kota ini,

(17)

tetapi tidak demikian bagi sebagian orang yang kurang beruntung. Sulitnya mencari pekerjaan kadang kala memaksa mereka untuk mencari nafkah dengan jalan mengemis atau mengamen. Pada akhirnya mereka menjadi gelandangan. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, akan tetapi juga terjadi pada anak-anak. Hampir di seluruh jalanan besar Kota Semarang, sering kita jumpai anak-anak usia sekolah meminta-minta, mengamen, mengelap mobil, menyemir sepatu, berjualan koran, dan sebagainya. Anak-anak inilah yang disebut anak jalanan.

Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan tempat umum lainnya. Definisi tersebut kemudian berkembang, bahwa anak jalanan adalah anak yang menghabiskan waktunya di jalanan, baik untuk bekerja maupun tidak, yang terdiri dari anak-anak yang mempunyai hubungan dengan keluarganya, dan anak-anak yang mandiri sejak kecil karena kehilangan orang tua atau keluarga. Fenomena anak jalanan ini merupakan fenomena nyata dalam kehidupan. Sering kali keberadaan mereka diabaikan dan tidak dianggap ada oleh sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat awam.

Fenomena yang terjadi di Kota Semarang adalah semakin meningkatnya jumlah anak jalanan. Jumlah anak jalanan di Semarang sendiri, dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Rekapitulasi bagian sosial Kota Semarang tahun 2003 (Wijayanti, 2010:7) ada sekitar 357 anak jalanan, yang terdiri dari 299 anak jalanan laki-laki dan 58

(18)

anak jalanan perempuan yang tersebar dalam 16 kecamatan di Kota Semarang, sedangkan gelandangan (21 tahun keatas) berjumlah 218 orang (2003).

Tabel 1. Jumlah Anak Jalanan di Kota Semarang

No Jenis Kelamin

Jumlah Anak Jalanan Tahun 2003 Tahun 2009 Tahun 2010 1 Laki-laki 299* 529 537 2 Perempuan 58* 257 269 Jumlah 357* 786 806

Sumber: Bagian PMKS Dinsospora Kota Semarang * Sumber: Skripsi Pratiwi Wijayanti, 2010

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa jumlah anak jalanan mengalami perkembangan yang pesat. Diperkirakan jumlah anak jalanan pada tahun 2011 juga akan mengalami peningkatan. Menurut rekapitulasi bagian PMKS tahun 2010, ada sekitar 181 anak yang rentan menjadi anak jalanan, terdiri dari 88 anak jalanan perempuan dan 93 anak jalanan laki-laki.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah hingga kini masih mengabaikan penanganan anak jalanan. Anak jalanan yang berkeliaran di sepanjang ruas jalan pertokoan di Semarang semakin banyak. Berbagai upaya pemerintah dalam menangani masalah anak jalanan belum terlihat maksimal, terbukti dengan semakin banyaknya jumlah anak jalanan yang terlihat di kota ini (Kompas, 14 Mei 2009).

(19)

Tabel 2. Data Anak jalanan di Kantong Binaan RPSA Gratama No Lokasi Jumlah Anjal Awal Tahun 2008 Jumlah Anjal Awal Tahun 2009 Jumlah Anjal Awal Tahun 2010 1 ADA Srondol 11 9 7 2 Kaliwiru 8 8 4 3 Depan Metro 20 25 15 4 Kaligarang 14 16 20 5 Jl. Pahlawan, Johar 25 37 35 6 Bangkong 25 19 21 7 Jatingaleh - - 2 8 Akpol 4 2 - 9 Sompok 6 8 4 10 Citarum 13 18 22 11 Jl. Kartini 16 22 25 12 Jl. Gajah 11 15 20 Jumlah 142 179 175 Sumber:RPSA Gratama

Tabel di atas merupakan pendataan anak jalanan oleh RPSA Gratama. Pendataan ini tidak mencakup seluruh anak jalanan yang ada di Semarang namun hanya meliputi daerah kerja RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) Gratama Semarang seperti daerah Jatingaleh, Citarum, Ada Srondol, Kaligarang, Bangkong, dan lain-lain.

Anak-anak jalanan di Semarang berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Menurut Ketua PAJS (Persatuan Anak Jalanan Semarang) Winarto, anak-anak jalanan banyak berasal dari Kota Semarang, yaitu sebesar 60 persen, dari daerah lain di luar Kota Semarang diperkirakan sebesar 40 persen, antara lain berasal dari Purwodadi atau Demak. Pekerjaan yang dilakukan anak jalanan bermacam-macam. Berdasarkan data penelitian PAJS, anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen sekitar 41,1 persen, tukang semir 22,2 persen, penjual koran 15,6 persen, ciblek 7,8 persen, dan sisanya bekerja apa saja, termasuk menjadi

(20)

mayeng (pemungut barang sampah). Anak jalanan tersebut menyebar di berbagai titik Kota Semarang, di antaranya kawasan Tugu Muda, Simpang Lima, Pasar Johar, Bundaran Kalibanteng, Perempatan Metro, Pasar Karangayu, dan Swalayan ADA Banyumanik (Jawa Pos, 21 Juli 2008).

Menjadi anak jalanan tentunya bukanlah sebuah pilihan hidup, namun menjadi anak jalanan adalah suatu keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab-sebab tertentu. Bagi sebagian anak, hidup di jalanan mempunyai dampak yang positif misalnya anak menjadi tahan bekerja keras karena sudah terbiasa dengan panas dan hujan. Disamping itu, anak menjadi mandiri.

Berdasarkan pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan bahwa ”setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Pasal ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, tanpa memandang status, agama, ras, suku, maupun etnis. Baik itu dewasa maupun anak-anak tanpa terkecuali anak jalanan. Namun, dalam kenyataannya banyak sekali anak-anak usia sekolah termasuk anak jalanan yang tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan. Justru bagi anak jalanan, setiap hari mereka harus menyusuri jalan-jalan besar mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya.

(21)

Tabel 3. Masalah yang Dihadapi Anak jalanan

Aspek Permasalahan yang Dihadapi

Pendidikan Sebagian besar putus sekolah karena waktunya habis di jalan

Intimidasi Menjadi sasaran tindak kekerasan anak jalanan yang lebih dewasa, kelompok lain, petugas, dan razia

Penyalahgunaan Obat dan Zat Adiktif

Ngelem, minuman keras, pil KB, dan sejenisnya

Kesehatan Rentang penyakit kulit, PMS, gonorhoe, dan paru-paru

Tempat Tinggal Umumnya di sembarang tempat, di gubuk-gubuk, atau di pemukiman kumuh

Risiko Kerja Tertabrak, pengaruh sampah

Hubungan dengan Keluarga Umumnya renggang, dan bahkan sama sekali tidak berhubungan

Makanan Seadanya, kadang mengais dari tempat sampah, kadang beli.

Sumber: Bagong Suyanto, 2003.

Tabel di atas menunjukkan masalah-masalah yang dihadapi oleh anak jalanan pada umumnya. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa masalah pendidikan menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh anak jalanan. Hal ini dikarenakan banyak anak jalanan yang waktunya habis di jalan sehingga sebagian besar putus sekolah.

Melihat fenomena tersebut, pemerintah dan LSM mendirikan tempat-tempat penampungan bagi anak-anak jalanan dan anak-anak terlantar, misalnya Panti Asuhan dan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA).

Sebenarnya program rumah singgah atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan RPSA ini sudah dimulai sejak tahun 1998. Pemerintah bersama dengan seluruh stakeholders melaksanakan berbagai upaya implementasi dan realisasi program RPSA untuk mencapai tujuan. Salah satu yayasan yang dilibatkan adalah

(22)

Yayasan Gradhika yang difungsikan sebagai implementor program RPSA melalui RPSA Gratama.

RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) Gratama adalah salah satu rumah singgah bagi anak-anak jalanan di Kota Semarang. RPSA Gratama ini bekerja di bawah naungan Yayasan Gradhika. RPSA Gratama ini terletak di jalan Stonen Utara I No. 34 Semarang. Organisasi kemasyarakatan ini sangat peduli dan menaruh perhatian terhadap nasib anak terlantar atau anak jalanan di Kota Semarang.

Sebenarnya sampai saat ini masih ada empat RPSA yang masih aktif di Kota Semarang yaitu RPSA Gratama, YKKS, RPSA Pelangi, dan RPSA Anak Bangsa. Namun, dari keempat RPSA ini RPSA Gratama dipilih sebagai lokasi penelitian karena program-program yang dijalankan RPSA Gratama paling lengkap yaitu program bantuan pendidikan, bantuan keterampilan, dan program bantuan modal orang tua anak jalanan.

RPSA Gratama berdiri pada tahun 1998 dan mulai aktif pada tahun 1999. Sejak saat itu sampai sekarang ribuan anak jalanan dibina dan dididik di RPSA Gratama ini. Ada tiga program yang dijalankan oleh RPSA Gratama dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang. Program yang dimaksud yaitu program bantuan pendidikan, program bantuan keterampilan, dan program bantuan modal orang tua anak jalanan.

Program RPSA di Kota Semarang termasuk RPSA Gratama, bertujuan untuk memberdayakan dan membina anak jalanan sebagai kelompok sasaran agar

(23)

anak jalanan dapat mengatasi masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sehingga mereka tidak perlu turun ke jalan lagi.

Salah satu program bantuan pendidikan oleh RPSA Gratama adalah program beasiswa. Melalui program ini, anak-anak jalanan diberi beasiswa agar bisa kembali ke bangku sekolah. Bantuan yang diberikan berupa uang sekolah, peralatan sekolah, dan perlengkapan sekolah. Program inilah yang paling membantu anak jalanan agar haknya untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang bermutu terpenuhi.

Akan tetapi, pelaksanaan program ini masih belum optimal. Banyak sekali hambatan yang dialami rumah singgah dalam mengimplementasikan program. Suyanto (2010:199) menyatakan bahwa selama ini penanganan masalah anak jalanan masih dilakukan secara temporer, segmenter, dan terpisah sehingga hasilnya pun menjadi kurang maksimal. Hal ini ditunjang juga dengan watak anak jalanan yang cenderung lebih bangga dengan penghasilan yeng mereka peroleh di jalanan sehingga masih banyak anak jalanan yang lebih memilih kembali ke jalanan dari pada ke bangku sekolah.

Kenyataan di atas menarik untuk diadakan penelitian berkenaan dengan implementasi dari program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang.

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk memilih judul “Implementasi Program Bantuan Pendidikan di Rumah Perlindungan Sosial Anak Gratama Semarang dalam Upaya Penanganan Anak Jalanan di Kota Semarang”.

(24)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan utama yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang?

Sedangkan pertanyaan penelitiannya adalah:

1. bagaimanakah tahapan pelaksanaan penanganan anak jalanan?

2. apa saja macam-macam program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang?

3. berapakah besarnya bantuan pendidikan yang diberikan RPSA Gratama kepada anak jalanan?

4. bagaimanakah pemanfaatan bantuan pendidikan yang diberikan RPSA Gratama oleh anak jalanan penerima bantuan?

5. bagaimanakah kontrol atau pengawasan terhadap implementasi program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang?

6. bagaimanakah dampak dari pemberian bantuan pendidikan terhadap anak jalanan?

7. faktor apa yang menjadi hambatan dalam mengimplementasikan program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang?

8. bagaimanakah tingkat keberhasilan implementasi program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang?

(25)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang.

Sedangkan sub tujuannya adalah:

1. untuk mengetahui tahapan pelaksanaan penanganan anak jalanan;

2. untuk mengetahui macam-macam program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang;

3. untuk mengetahui besarnya bantuan pendidikan yang diberikan RPSA Gratama terhadap anak jalanan;

4. untuk mengetahui pemanfaatan bantuan pendidikan yang diberikan RPSA Gratama oleh anak jalanan penerima bantuan;

5. untuk mengetahui kontrol atau pengawasan terhadap implementasi program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang;

6. untuk mengetahui dampak dari pemberian bantuan pendidikan terhadap anak jalanan;

7. untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam mengimplementasikan program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang;

8. untuk mengetahui tingkat keberhasilan implementasi program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang.

(26)

1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1 Manfaat Teoretis

Melalui penelitian ini peneliti berharap hasilnya dapat dijadikan kontribusi positif yaitu untuk menambah wawasan keilmuan bagi mahasiswa dan pemerhati masalah anak jalanan khususnya tentang implementasi program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang.

1.3.2.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pimpinan dan pengurus RPSA Gratama sebagai bahan pertimbangan untuk penyempurnaan program pelayanan sosial anak-anak jalanan di masa yang akan datang. Selain itu dapat memberikan masukan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan keberadaan anak jalanan khususnya dalam bidang pendidikan.

1.4 Batasan Istilah

1.4.1 Program Bantuan Pendidikan

Program bantuan pendidikan adalah salah satu program yang dijalankan RPSA Gratama dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang. Program bantuan pendidikan ini berupa uang sekolah, peralatan sekolah, dan perlengkapan sekolah untuk sekolah formal. Selain itu juga ada program pelatihan keterampilan dan program bantuan orang tua anak jalanan.

1.4.2 RPSA Gratama

RPSA yang dulunya lebih dikenal dengan sebutan rumah singgah adalah suatu wahana yang disiapkan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu anak jalanan. RPSA yang dijadikan sebagai lokasi dalam penelitian ini adalah RPSA Gratama. Sebenarnya ada empat RPSA yang masih

(27)

aktif di Kota Semarang yaitu RPSA Gratama, YKKS, RPSA Pelangi, dan RPSA Anak Bangsa. Namun, dari keempat RPSA ini RPSA Gratama dipilih sebagai lokasi penelitian karena program-program yang dijalankan RPSA Gratama paling lengkap yaitu program bantuan pendidikan, bantuan keterampilan, dan program bantuan modal orang tua anak jalanan.

1.4.3 Penanganan Anak Jalanan

Penanganan merupakan serangkaian proses pekerjaan, cara, perbuatan menangani, penggarapan, penyelesaian. Penanganan yang dimaksud adalah penanganan anak jalanan yang dimulai dari pendekatan awal, pertolongan pertama, assessment, rencana intervensi, pelaksanaan intervensi, evaluasi, terminasi, dan reunifikasi.

1.4.4 Anak Jalanan

Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya di jalan untuk mencari nafkah. Anak jalanan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang pernah mendapatkan bantuan pendidikan dari RPSA Gratama, baik anak jalanan tersebut pada saat ini masih sekolah maupun sudah bekerja maksimal berusia 21 tahun.

(28)

BAB II

LANDASAN TEORETIS

2.1 Implementasi Kebijakan Publik 2.1.1 Konsep Implementasi

Kamus Webster, merumuskan secara pendek bahwa mengimplementasikan berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu sehingga menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Implementasi kebijaksanaan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden (Wahab, 2001:64).

Van Meter dan Van Horn (dalam Wahab, 2001:65) merumuskan proses Implementasi sebagai ”those actions by public or private individuals (or

groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh

individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan).

Menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (dalam Wahab, 2001:65), fokus perhatian implementasi kebijaksanaan adalah memahami apa yang terjadi setelah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan, yaitu kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan. Berdasarkan pandangan yang dikemukakan oleh kedua ahli ini, terlihat pula bahwa antara perumusan kebijaksanaan dan implementasi kebijaksanaan tidak dianggap sebagai suatu hal yang terpisah, sekalipun mungkin secara analitis, bisa saja dibedakan.

(29)

2.1.2 Teori Implementasi Kebijakan 2.1.2.1 Teori George C. Edwards III

Menurut pandangan Edwards (dalam Nawawi, 2009:136) implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yang saling berhubungan satu sama lain.

a. Komunikasi

Agar implementasi kebijakan berhasil, seorang implementor harus mengetahui apa yang harus dilakukan secara jelas. Tujuan dan sasaran harus diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group). Apabila penyampaian tujuan dan sasaran kebijakan kurang jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, dimungkinkan akan terjadi penolakan dari kelompok sasaran yang bersangkutan. Oleh karena itu diperlukan adanya tiga hal, yaitu penyaluran yang baik akan menghasilkan implementasi yang baik, adanya kejelasan yang diterima oleh pelaksana kebijakan sehingga tidak membingungkan dalam pelaksanaan kebijakan, dan adanya konsistensi yang diberikan dalam pelaksanaan kebijakan. Jika yang dikomunikasikan berubah-ubah akan membingungkan dalam pelaksanaan kebijakan yang bersangkutan.

Komunikasi ini merupakan salah satu faktor yang penting dalam mewujudkan tercapainya kebijakan secara efektif. Adanya proses komunikasi ini akan memungkinkan setiap anggota komunikasi akan saling membantu mengadakan interaksi dan saling mempengaruhi sehingga organisasi mampu mencapai tujuan.

(30)

b. Sumberdaya

Sumberdaya merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Sumberdaya yang dimaksud bisa mencakup sumberdaya manusia, material, dan metoda. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja tidak bisa diwujudkan dalam upaya pemberian pelayanan pada masyarakat dan pemecahan masalahnya. Apabila implementor kekurangan sumberdaya walaupun sasaran, tujuan, dan isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, implementasi tidak akan berjalan efektif dan efisien.

c. Disposisi

Disposisi merupakan sikap yang dimiliki oleh implementor kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, komunikatif, cerdik, dan sifat demokratis. Implementor yang baik harus memiliki disposisi yang baik sehingga kebijakan dapat dijalankan sesuai dengan yang diinginkan dan ditetapkan pembuat kebijakan.

d. Struktur Birokrasi

Organisasi menunjukkan secara umum kegiatan-kegiatan birokrasi dan jarak dari puncak menunjukkan status relatifnya. Garis-garis antara berbagai posisi dibingkai untuk menunjukkan interaksi formal yang ditetapkan. Kebanyakan struktur birokrasi ini menunjukkan hubungan antara atasan dan bawahan yang menggambarkan jenjang hierarki jabatan-jabatan manajerial yang jelas sehingga terlihat ”siapa bertanggungjawab kepada siapa?”, pelembagaan berbagai jenis kegiatan operasional sehingga terlihat ”siapa yang melakukan apa?”, berbagai saluran komunikasi yang terdapat dalam organisasi sebagai

(31)

jawaban terhadap pertanyaan ”siapa yang berhubungan dengan siapa dan untuk kepentingan apa?”, jaringan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, dan hubungan satuan kerja dengan berbagai satuan kerja yang lain. Struktur organisasi dalam implementasi kebijakan mempunyai peran yang penting. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Gambar 1. Faktor Penentu Implementasi Menurut George C. Edwards III

Sumber: Ismail Nawawi (2009) Komunikasi

Disposisi Sumberdaya

Struktur Birokrasi

(32)

2.1.2.2 Teori Brian W. Hogwood dan Lewis A.Gunn

Model implementasi kebijakan oleh kedua ahli ini sering disebut dengan ”the top down approach”. Menurut Hogwood dan Gunn (dalam Wahab, 2001:71), untuk dapat mengimplementasikan kebijaksanaan secara sempurna (perfect

implementation) maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu yaitu:

a. kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius;

b. untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai;

c. perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia;

d. kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal;

e. hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya;

f. hubungan ketergantungan harus kecil;

g. pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan; h. tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat; i. komunikasi dan koordinasi yang sempurna;

j. pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

2.1.2.3 Teori Van Meter dan Van Horn

Model yang dikembangkan oleh kedua ahli ini disebut sebagai ”A Model

(33)

kebijaksanaan. Van meter dan Van Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan (Wahab, 2001:78).

Menurut Van meter dan Van Horn (dalam Nawawi, 2009:139) ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yaitu sebagai berikut.

a. Standar dan Sasaran Kebijakan

Setiap kebijakan publik harus mempunyai standar dan sasaran kebijakan yang jelas agar dapat mencapai tujuan. Apabila standar dan sasaran kebijakan tidak jelas maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan kesalahpahaman dan konflik diantara para agen implementasi.

b. Sumberdaya

Perlu adanya dukungan sumberdaya yang baik (manusia, material, dan metode) dalam implementasi kebijakan. Diantara ketiga sumberdaya tersebut yang paling penting adalah sumberdaya manusia, karena disamping sebagai subjek implementasi juga termasuk objek kebijakan publik.

c. Komunikasi antar Organisasi dan Penguatan Aktivitas

Perlu adanya hubungan yang baik antar instansi yang terkait yaitu dukungan komunikasi dan koordinasi dalam banyak program implementasi kebijakan. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program tersebut agar dapat direalisasikan dengan tujuan serta sasarannya.

(34)

d. Karakteristik Agen Pelaksana

Agar implementasi mencapai keberhasilan maksimal harus diidentifikasikan dan diketahui karakteristik agen pelaksana yang mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi karena semua ini berpengaruh terhadap implementasi program.

e. Disposisi Implementor

Disposisi implementor ini dibedakan menjadi tiga hal, respon implementor terhadap kebijakan (terkait kemauan implementor untuk melaksanakan kebijakan publik), kondisi (pemahaman terhadap kebijakan yang telah ditetapkan), dan intensitas disposisi implementor (preferensi nilai yang dimiliki).

f. Lingkungan Kondisi Sosial Ekonomi dan Politik

Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan, dukungan kelompok-kelompok kepentingan, karakteristik para partisipan, sifat opini publik, dan dukungan elit politik.

2.1.2.4 Teori daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier disebut sebagai ”a frame work for implementation analysis” atau kerangka analisis implementasi. Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijaksanaan negara ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi (dalam Wahab, 2001:81).

Variabel-variabel yang dimaksud diklasifikasikan menjadi tiga kelompok variabel (Nawawi, 2009:146).

(35)

a. Karakteristik Masalah

1. Kesulitan permasalahan yang dihadapi. Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa masalah yang secara teknis mudah dipecahkan tetapi beberapa masalah lainnya sulit untuk diatasi, misal masalah kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Dari realitas tersebut, sifat permasalahan itu sendiri akan mempengaruhi mudah tidaknya suatu program kebijakan diimplementasikan.

2. Kemajemukan kelompok sasaran. Suatu program akan relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya adalah bersifat homogen. Sebaliknya, apabila kelompok sasaran kebijakan bervariasi maka implementasi program kebijakan akan relatif sulit karena tingkat pemahaman setiap anggota kelompok sasaran terhadap program relatif berbeda.

3. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program akan mengalami kesulitan apabila cakupannya terlalu luas dan kompleks. Sebaliknya, implementasi program akan mengalami kemudahan apabila cakupannya tidak terlalu luas dan kompleks.

4. Lingkup dan cakupan perubahan perilaku kelompok sasaran. Dalam mengimplementasikan sebuah program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif mudah dari pada program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat.

(36)

b. Karakteristik Kebijakan

1. Kejelasan isi kebijakan. Suatu kebijakan yang isinya jelas dan terperinci maka akan mudah diimplementasikan dikarenakan mudah dipahami dan diterjemahkan dalam tindakan nyata oleh implementor kebijakan.

2. Dukungan teoretis. Suatu kebijakan yang berorientasi pada teoretis memiliki sifat kemapanan lebih karena telah teruji.

3. Alokasi sumberdaya finansial. Sumberdaya ini merupakan faktor krusial dalam setiap program sosial. Setiap program memerlukan dukungan sumberdaya manusia untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat administrasi dan teknis, serta memonitor dan mengevaluasi program yang semua memerlukan pembiayaan dan metode yang memadai.

4. Keterikatan dan dukungan berbagai institusi. Program sering mengalami kegagalan disebabkan kurangnya koordinasi antar instansi yang terlibat dalam implementasi program kebijakan.

5. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana sebuah kebijakan yang telah ditetapkan.

6. Adanya komitmen aparat dimana tinggi dan rendahnya komitmen aparat menentukan tingkat tercapainya program kebijakan.

7. Akses kelompok-kelompok kepentingan suatu program kebijakan yang memberikan peluang kelompok kepentingan yang ada pada masyarakat untuk terlibat akan relatif mendapat dukungan dari program yang tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat akan merasa terasing apabila menjadi penonton terhadap program kebijakan yang ada di daerahnya.

(37)

c. Lingkungan Kebijakan

1. Sosial ekonomi dan kemajuan teknologi masyarakat. Kemajuan masyarakat membuka dan mempermudah penerimaan program-program pembaruan dibanding masyarakat yang masih terbelakang. Kemajuan teknologi juga membantu proses keberhasilan implementasi program, karena program dapat disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan media yang ditunjang dengan teknologi canggih.

2. Dukungan publik. Implementasi program kebijakan yang memberikan motivasi dan intensif biasanya mudah mendapatkan dukungan publik. 3. Sikap dari kelompok-kelompok pemilih dimana kelompok pemilih ini

dapat mempengaruhi kebijakan melalui berbagai cara.

4. Komitmen dan keterampilan aparat dan implementor. Aparat badan pelaksana harus memiliki kompetensi dalam menentukan skala prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan skala prioritas tujuan program kebijakan yang telah ditentukan tersebut.

2.2 Konsep Pendidikan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual-keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan negara.

(38)

Menurut John Dewey (dalam Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 2001:69) pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Menurut John Dewey tujuan akhir dari setiap program pendidikan adalah terjadinya pertumbuhan dan perkembangan dalam diri peserta didik atau meningkatkan kapasitas peserta didik untuk belajar dan berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.

Menurut Rousseau (dalam Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 2001:69) pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya pada masa dewasa.

Menurut pandangan Ki Hajar Dewantara dalam pengantar ilmu pendidikan, bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Sedangkan menurut Crow and Crow menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.

Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan, dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan. Pendidikan bukan semata-mata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi untuk

(39)

kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju ke tingkat kedewasaannnya.

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana dari seorang pendidik terhadap peserta didik yang bertujuan untuk memajukan kemampuan intelektual dan emosional seseorang yang berguna untuk berpartisipasi dalam aktivitas masyarakat baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

Menurut sifatnya pendidikan dibedakan menjadi tiga macam.

a. Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga, dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam pekerjaan, masyarakat, keluarga, dan organisasi.

b. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat, dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah.

c. Pendidikan nonformal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat (Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 2001:97).

Fungsi pendidikan nasional menurut Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3 adalah berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

(40)

Tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3 adalah bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan nasional menurut TAP MPR RI No. II/MPR/1998 bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

2.3 Pengertian RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak)

RPSA yang dulunya lebih dikenal dengan sebutan rumah singgah adalah suatu wahana yang disiapkan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu anak jalanan.

Ciri-ciri rumah singgah adalah sebagai berikut.

a. Lokasi rumah singgah berada dekat dengan lokasi anak-anak jalanan.

b. Rumah singgah terbuka 24 jam bagi anak jalanan, namun mungkin ada aturan yang membatasi jam buka tersebut.

c. Rumah singgah bukan tempat/menetap, namun hanya merupakan tempat persinggahan.

Rumah singgah dapat dimanfaatkan oleh anak jalanan kapan saja agar anak mendapat perlindungan. Di sini anak bebas melakukan berbagai aktivitas (membaca, menulis, bermain, bercanda, dan sebagainya). Tetapi di rumah singgah

(41)

ini mereka dilarang melakukan kegiatan yang tidak baik misalnya mencuri, berjudi, minum minuman keras, dan sebagainya.

Fungsi dari rumah singgah adalah untuk membantu anak jalanan, memperbaiki atau membetulkan sikap dan perilaku yang keliru, memberi proteksi, mengatasi masalah, dan menyediakan berbagai informasi yang berkaitan dengan anak jalanan. Tugas tersebut dilakukan oleh pengurus dan petugas sosial. Para pekerja sosial membina anak jalanan dengan bertindak sebagi teman, bertindak sejajar dengan anak jalanan, dan pembinaan ini bersifat kekeluargaan. Diharapkan dengan cara tersebut anak tidak mengalami hambatan untuk menyampaikan keluhan, masalah, dan bersedia untuk merubah sikap dan perilaku yang keliru.

2.4 Anak jalanan

Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah. Ada beberapa pengertian anak jalanan menurut beberapa ahli hukum.

a. Sandyawan memberikan pengertian bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang berusia maksimal 16 tahun, telah bekerja dan menghabiskan waktunya di jalanan.

b. Peter Davies memberikan pemahaman bahwa fenomena anak-anak jalanan sekarang ini merupakan suatu gejala global. Pertumbuhan urbanisasi dan membengkaknya daerah kumuh di kota-kota yang paling parah keadaannya adalah di negara berkembang, telah memaksa sejumlah anak yang semakin besar untuk pergi ke jalanan ikut mencari makan demi kelangsungan hidup keluarga dan bagi dirinya sendiri (dalam Rosdalina, 2007:71).

(42)

Anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam.

a. Anak jalanan on the street/road, yaitu anak-anak yang ada di jalanan, hanya sesaat saja di jalanan, dan meliputi dua kelompok yaitu kelompok dari luar kota dan kelompok dari dalam kota (Rosdalina, 2007:72). Anak-anak jalanan pada kategori ini memberikan sebagian penghasilan mereka kepada orang tuanya. Menurut Suyanto (2010:187) fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.

b. Anak jalanan of the street/road atau anak-anak yang tumbuh dari jalanan, seluruh waktunya dihabiskan di jalanan, tidak mempunyai rumah, dan jarang atau tidak pernah kontak dengan keluarganya (Rosdalina, 2007:72).

c. Anak jalanan From Families of the Street, yaitu anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi bahkan sejak masih dalam kandungan. Di Indonesia, kategori ini dengan mudah ditemui di kolong-kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api, dan sebagainya walau secara kumulatif jumlahnya belum diketahui secara pasti (Suyanto, 2010:187).

(43)

Adapun ciri-ciri anak jalanan secara umum antara lain:

a. berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, dan tempat hiburan) selama 3-24 jam sehari;

b. berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah dan sedikit sekali yang tamat SD);

c. berasal dari keluarga-keluarga yang tidak mampu (kebanyakan kaum urban dan beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya); dan

d. melakukan aktivitas ekonomi atau melakukan pekerjaan pada sektor informal (Rosdalina, 2007:72).

Rosdalina (2007:202) menarik kesimpulan dari jurnal penelitian tersebut yaitu:

adanya ciri umum tersebut di atas, tidak berarti bahwa fenomena anak jalanan merupakan fenomena yang tunggal. Penelusuran yang lebih empatik dan intensif ke dalam kehidupan mereka menunjukkan adanya keberagaman. Keberagaman tersebut antara lain: latar belakang keluarga, lamanya berada di jalanan, lingkungan tempat tinggal, pilihan pekerjaan, pergaulan, dan pola pengasuhan. Sehingga tidak mengherankan jika terdapat keberagaman pola tingkah laku, kebiasaan, dan tampilan dari anak-anak jalanan.

Ada beberapa hal yang dapat menjadi penyebab munculnya fenomena anak jalanan (Rosdalina 2007:72), yaitu:

a. sejumlah kebijakan makro dalam bidang sosial ekonomi telah menyumbang munculnya fenomena anak jalanan;

b. modernisasi, industrialisasi, migrasi, dan urbanisasi menyebabkan terjadinya perubahan jumlah anggota keluarga dan gaya hidup yang membuat dukungan sosial dan perlindungan terhadap anak menjadi berkurang;

(44)

c. kekerasan dalam keluarga menjadi latar belakang penting penyebab anak keluar dari rumah dan umumnya terjadi dalam keluarga yang mengalami tekanan ekonomi dan jumlah anggota keluarga yang besar;

d. terkait permasalahan ekonomi sehingga anak terpaksa ikut membantu orang tua dengan bekerja (di jalanan);

e. orang tua “mengkaryakan” sebagai sumber ekonomi keluarga pengganti peran yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa.

Seperti pekerja anak pada umumnya, anak jalanan tak jarang mulai hidup di jalanan pada usia yang sangat belia. Bagi anak-anak jalanan ini, keterlibatan mereka dalam perekonomian sektor informal biasanya membuahkan rasa bangga dan layak karena kemampuannya menyumbang kepada kelangsungan hidup keluarganya. Namun hal ini juga terbukti pada akhirnya menghilangkan minat anak pada sekolah karena keinginan mendapatkan uang lebih banyak (Suyanto, 2003:190).

Menurut pengamatan RPSA Gratama Semarang, ada beberapa permasalahan/penyebab anak turun ke jalanan, yaitu: kemiskinan, mentalitas, kebodohan, ikut-ikutan teman, butuh uang saku/transport sekolah, broken home, disuruh (dikaryakan) oleh orang tua, tidak mempunyai pekerjaan, tidak mempunyai tempat bermain, korban trafficking, konflik bersenjata, kerusuhan, bencana, dan orang tua dipenjara ataupun orang tua meninggal.

Pada batas-batas tertentu, memang tekanan kemiskinan merupakan kondisi yang mendorong anak-anak hidup di jalanan. Namun, bukan berarti kemiskinan merupakan satu-satunya faktor determinan yang menyebabkan anak lari dari

(45)

rumah dan terpaksa hidup di jalanan. Menurut penjelasan Justika S. Baharsjah, kebanyakan anak bekerja di jalanan bukanlah atas kemauan mereka sendiri, melainkan sekitar 60 % (persen) diantaranya karena dipaksa oleh orang tuanya (dalam Suyanto, 2003:197).

Berdasarkan studi yang dilakukan UNICEF pada anak-anak yang dikategorikan children of the street (dalam Suyanto, 2003:197), menunjukkan bahwa motivasi anak turun ke jalan bukan hanya karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga tetapi juga karena adanya kekerasan dan keretakan kehidupan rumah tangga orang tuanya. Keadaan ini menjadikan mereka menilai bahwa kehidupan di jalan memberikan alternatif dibandingkan hidup dalam keluarganya yang penuh kekerasan yang tidak dapat dihindari.

Adapun aktivitas yang biasa dilakukan anak jalanan di jalan untuk mencari uang menurut pengamatan RPSA Gratama Semarang antara lain mengamen, jual koran, semir sepatu, ngelap kaca mobil, meminta-minta, menjadi tukang parkir, pemulung/pencari barang bekas, dan jual mainan.

Menurut Tata Sudrajat (dalam Suyanto, 2003:201), selama ini ada tiga pendekatan yang biasa dilakukan oleh LSM dalam penanganan anak jalanan yaitu sebagai berikut.

a. Street based, yaitu model penanganan anak jalanan di tempat anak jalanan itu berasal/tinggal. Para street educator datang kepada mereka untuk berdialog, mendampingi mereka bekerja, memahami dan menerima situasinya, serta menempatkan diri sebagai teman. Dalam beberapa jam, anak-anak diberikan materi pendidikan dan keterampilan yang berguna bagi pencapaian tujuan

(46)

intervensi. Disini para street educator memberikan kehangatan hubungan dan perhatian yang bisa menumbuhkan kepercayaan satu sama lain.

b. Centre based, yaitu pendekatan dan penanganan anak jalanan di lembaga atau panti. Di sini anak-anak ditampung dan diberikan pelayanan, makanan, perlindungan, serta perlakuan yang hangat dan bersahabat dari pekerja sosial. Pada panti yang permanen, bahkan disediakan pelayanan pendidikan, keterampilan, kebutuhan dasar, kesehatan, kesenian, dan pekerjaan bagi anak jalanan.

c. Community based, yaitu model penanganan yang melibatkan seluruh potensi masyarakat, terutama keluarga atau orang tua anak jalanan. Pendekatan ini bersifat preventif atau pencegahan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah anak agar tidak masuk dan terjerumus dalam kehidupan di jalanan. Kegiatan penyuluhan tentang pengasuhan anak dan upaya untuk meningkatkan taraf hidup diberikan kepada keluarga, sedangkan anak-anak diberikan kesempatan memperoleh pendidikan formal maupun informal serta kegiatan lainnya yang bemanfaat. Pendekatan ini ditujukan agar orang tua mandiri dan lebih bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.

Menurut Suyanto (2003:202) dari berbagai pendekatan tersebut tidak berarti satu pendekatan lebih baik dari pendekatan lainnya. Pendekatan yang akan digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi anak jalanan. Menurut Suyanto, secara keseluruhan modal awal yang dibutuhkan untuk menangani permasalahan anak jalanan sesungguhnya adalah sikap empati dan komitmen yang benar-benar tulus dari kita semua agar masalah anak jalanan dapat

(47)

terselesaikan sampai tuntas. Namun menurut Suyanto, selama ini penanganan masalah anak jalanan masih dilakukan secara temporer, segmenter, dan terpisah sehingga hasilnya pun menjadi kurang maksimal.

2.5 Kerangka Berfikir

Berdasarkan kerangka berfikir di atas, implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur organisasi. Keempat variabel ini saling berpengaruh satu sama lain dalam menentukan tingkat keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Implementasi kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan tentang penanganan anak jalanan di Kota Semarang. Dalam hal ini dijalankan oleh RPSA Gratama dengan melaksanakan program-program dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang, salah satunya adalah program bantuan pendidikan. Sumberdaya Komunikasi Disposisi Struktur Organisasi Implementasi Kebijakan

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Prosedur penelitian yang dijalankan peneliti dalam metode kualitatif ini akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini individu atau organisasi tidak diisolasikan ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari sesuatu keutuhan.

Peneliti mengumpulkan data deskriptif dalam penelitian ini dan bukan menggunakan angka-angka sebagai alat metode utama. Data-data yang dikumpulkan berupa teks, kata-kata, simbol, gambar, walaupun dapat dimungkinkan terkumpulnya data-data yang bersifat kuantitatif.

Alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini antara lain: pertama, penelitian ini diarahkan pada pengkajian mengenai suatu pelaksanaan program bantuan dari RPSA Gratama kepada anak jalanan berupa bantuan pendidikan. Dengan demikian studi ini merupakan studi dari fenomena yang cukup kompleks. Keadaan yang ada kemudian diuraikan secara spesifik, rinci, dan jelas sehingga objektivitas penelitian akan semakin terwujud. Kedua, penelitian ini tidak ditujukan untuk menguji suatu teori atau konsep melainkan lebih bersifat memaparkan kondisi nyata yang terjadi berkaitan dengan

(49)

implementasi program bantuan pendidikan yang diberikan oleh RPSA Gratama kepada anak jalanan, sehingga pencarian data tidak bertujuan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian. Ketiga, sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka pendekatan yang tepat adalah pendekatan kualitatif, dimana peneliti sebagai instrumen dan sebagai pengumpul data harus turun secara langsung ke objek penelitian. Hal tersebut adalah ciri dari penelitian kualitatif.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini adalah RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) ”Gratama” jalan Stonen Utara 1 No. 34 Semarang. Sebenarnya di Semarang ada empat RPSA yang masih aktif yaitu RPSA Gratama, YKKS, RPSA Pelangi, dan RPSA Anak Bangsa. Namun dari keempat RPSA tersebut program penanganan anak jalanan yang paling lengkap adalah RPSA Gratama. Program yang dimaksud adalah program bantuan pendidikan, program keterampilan, dan program bantuan modal untuk orang tua anak jalanan sehingga peneliti memilih RPSA Gratama sebagai lokasi penelitian.

3.3 Fokus Penelitian

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu

(50)

dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Salah satu hak anak adalah mendapatkan pendidikan, namun masalah kemiskinan yang menimpa bangsa Indonesia masih belum bisa teratasi sehingga masih banyak anak yang terpaksa tidak bersekolah dan bahkan sebagian dari mereka harus mengais rejeki sebagai anak jalanan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus penelitian adalah implementasi program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang yaitu terkait tahapan pelaksanaan penanganan anak jalanan, macam-macam program bantuan pendidikan, besarnya bantuan pendidikan, pemanfaatan bantuan pendidikan, kontrol atau pengawasan terhadap implementasi program bantuan pendidikan, dampak dari pemberian bantuan pendidikan terhadap anak jalanan, implementasi program bantuan pendidikan, serta faktor yang menjadi hambatan dalam mengimplementasikan program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang.

3.4 Sumber Data Penelitian

3.4.1 Sumber Data Primer

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah anak jalanan, pekerja sosial, pengelola RPSA Gratama, ketua pengelola RPSA Gratama, dan pemerintah Kota Semarang (Dinsospora Kota Semarang). Diharapkan dari sumber data

(51)

primer ini dapat memberikan informasi dan keterangan-keterangan yang memadai sesuai aspek kajian yang dirumuskan.

3.4.2 Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian ini berupa arsip-arsip, dokumen-dokumen, catatan-catatan, yang terdapat di RPSA Gratama Semarang serta bahan studi lainnya yang dapat digunakan untuk studi kelayakan.

3.5 Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Wawancara (Interview)

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan. Wawancara tidak terstruktur ini digunakan untuk menemukan informasi yang tidak baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara seperti ini menekankan perkecualian, penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal.

Responden dalam wawancara ini terdiri dari mereka yang terpilih karena sifat-sifatnya yang khas yaitu mereka yang memiliki pengetahuan dan mendalami situasi, dan mereka lebih mengetahui informasi yang diperlukan.

Wawancara tidak terstruktur ini digunakan untuk memperoleh data tentang implementasi program bantuan pendidikan di RPSA Gratama Semarang dalam upaya penanganan anak jalanan di Kota Semarang.

3.5.2 Pengamatan (Observasi)

Pengamatan yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan data dalam penelitian ini adalah pengamatan nonpartisipatif yaitu dalam melaksanakan pengamatan, peneliti tidak secara terus menerus atau intens dan aktif mengikuti

(52)

kegiatan yang dilaksanakan oleh RPSA Gratama Semarang dalam penerapan program bantuan pendidikan bagi anak jalanan. Dalam penelitian ini, yang diamati adalah sikap pekerja sosial terhadap anak jalanan, kondisi tempat tinggal anak jalanan, serta sarana dan prasarana di RPSA Gratama.

3.5.3 Dokumentasi

Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen resmi yang ada di RPSA Gratama Semarang serta catatan-catatan tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan serta menjadi alat bukti yang resmi.

3.6 Validitas Data

Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu, untuk keperluan pengecekan data sebagai pembanding data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak di gunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainya (Moleong, 2007: 330).

Metode pengukuran data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik triangulasi sumber dan teknik triangulasi teknik. Di sini peneliti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu, sumber dan alat yang berbeda.

Dalam hal ini dapat dicapai dengan jalan sebagai berikut.

1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

2) Membandingkan apa yang di katakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

3) Membandingkan apa-apa yang di katakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang di katakan sepanjang waktu.

(53)

4) Membandingkan keadaan dengan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, dan orang pemerintahan.

5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (Moleong, 2007: 330).

3.7 Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan dan setelah selesai di lapangan. Analisis yang dimaksud dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun fokus penelitian ini masih bersifat sementara, akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan.

3.7.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data yaitu mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dan peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai dengan hasil wawancara, pengamatan, dan observasi di lapangan. Analisis selama pengumpulan data dilakukan menggunakan multi sumber bukti.

3.7.2 Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan dan selanjutnya mencarinya bila diperlukan. Jadi, dalam reduksi

Gambar

Gambar 1 Faktor Penentu Implementasi Kebijakan Menurut George Edwards       III..................................................................................................16
Tabel 1. Jumlah Anak Jalanan di Kota Semarang
Tabel 2. Data Anak jalanan di Kantong Binaan RPSA Gratama  No  Lokasi  Jumlah Anjal Awal Tahun  2008  Jumlah Anjal Awal Tahun 2009  Jumlah Anjal Awal Tahun 2010  1  ADA Srondol  11  9  7  2  Kaliwiru  8  8  4  3  Depan Metro  20  25  15  4  Kaligarang  14
Tabel 3. Masalah yang Dihadapi Anak jalanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Upaya Pembinaan Anak Jalanan Perempuan (Studi Kasus Tindak Kekerasan bagi Anak Jalanan Perempuan Di Wilayah Semarang Selatan). Jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Fakultas

Penanganan Anak Jalanan Berbasis Kemitraan Di Kota Surakarta (Studi Tentang Bentuk, Program, dan Faktor yang Berpengaruh dalam Kemitraan Antara Dinas Sosial, Tenaga

Tujuan dari penelitian ini: (1) Untuk mengetahui pelaksanaan penanganan anak jalanan yang dilakukan oleh Pemerintah kota Yogyakarta; (2) mengetahui kondisi anak

Dengan adanya kebijakan program pembinaan anak jalanan yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, hal ini bertujuan untuk membina anak jalanan baik

penanganan anak jalanan menjadi terhambat.Alokasi anggaran anak jalanan saat ini hanya berbentuk program pemberian ketrampilan bagi anak jalanan. Rumahh Perlindungan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan penanganan anak jalanan gelandangan dan pengemis di Kota Makassar, apa program dalam pembinaan anak jalanan gelandangan

Implementasi Pancasila dan UUD 1945 dalam Kebijakan Penanganan Anak Jalanan di Kota Malang Penerapan Kebijakan Perlindungan A- nak Jalanan di Kota Malang jalanan ini di- mulai dari

Memanfaatkan sarana parasarana dengan memaksimalkan penggunaan teknologi yang telah dilakukan dalam rangka Manajemen Strategi Penanganan Anak Jalanan di Kota Semarang diantaranya