ORANG-ORANG YANG HARAM DINIKAHI
A. HARAM DINIKAHI KARENA BERBEDA AGAMA
Al-Quran:
Janganlah menikahi wanita-wanita musyrik, kecuali mereka beriman, sesungguhnya seorang budak wanita yang Mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, meskipun kamu mengaguminya. Janganlah menikahi laki-laki musyrik, kecuali mereka beriman, sesungguhnya budak lelaki yang Mukmin lebih baik daripada lelaki musyrik, walaupuan membuat kamu terkagum-kagum. Karena mereka mengajak kepada neraka, sedangkan Allah mengajak kamu kepada surga dan ampunan dengan izin-Nya dan menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka ingat.63
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang yang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir tiada pula halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir, dan hendaklah kamu minta
Pustaka
Syiah
mahar yang telah kamu bayar, dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah Yang telah ditetapkan-Nya di antara kamu, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.64
Pada hari ini, dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka dengan maksud mengawininya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa kafir sesudah beriman maka hapuslah amalan-amalannya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.65
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa pernikahan antara perempuan Mukmin dengan lelaki musyrik adalah haram, kemudian lelaki Mukmin hendaknya jangan menikah dengan perempuan musyrik, demikian pula laki-laki musyrik tidak berhak menjalin hubungan pernikahan dengan perempuan Mukmin.
Dan apabila seorang wanita dari negeri kafir hijrah ke negeri Islam maka ikatan pernikahannya menjadi putus, tetapi seorang lelaki Mukmin diperbolehkan menikah dengan wanita Dzimmi (Ahlilkitab), dengan syarat ia seorang wanita yang menjaga kehormatan dirinya.
Dan tidak diperbolehkan mempertahankan perempuan-perempuan kafir sebagai istri, dan mungkin berdasarkan alur kalimat, maksudnya adalah perempuan-perempuan musyrik, atau ayat tersebut telah dinasakh (dihapus) dengan turunnya ayat lain dalam surah al-Maidah, karena surah ini merupakan bagian terakhir al-Quran yang diturunkan, dan berdsarkan sejumlah hadis yang sampai, dapat menghapus (keberlakukan) semua surah dalam al-Quran.
Riwayat:
1. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Salah seorang teman mengirim surat kepadaku.
Ia meminta agar aku menanyakan sejumlah persoalan kepada Imam Ja’far Shadiq as untuknya. Aku bertanya kepada Imam as, “Apakah seorang tawanan diperbolehkan menikah di Darul Harb (negerinya orang kafir yang menjadi musuh)?” Imam as berkata, “Aku tidak menyukai perbuatan
Pustaka
Syiah
tersebut. Tidak diharamkan apabila dilakukan di negeri Romawi dan sah.
Tetapi tidak halal bila dilakukan di negeri Turki, Dailam, dan Khazar.”66 2. Muawiyah bin Wahab menukil dari Imam Ja’far Shadiq as, mengatakan,
“Imam as ditanya tentang seorang lelaki Mukmin yang menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Imam as berkata, ‘Apabila ia dapat menikah dengan perempuan Mukmin, maka untuk urusan apalagi ia dengan perempuan Yahudi atau Kristen?!’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kalau ia mencintainya?’ Imam as berkata, ‘Apabila ia mengambilnya, maka ia harus mampu mencegahnya dari meminum khamar, memakan daging babi, dan tidak menyebabkan berkurangnya agama lelaki tersebut.’”67
3. Zurarah menukil dari Imam Muhammad Baqir as, mengatakan, “Aku mendengar Imam as berkata, ‘Tidak sepantasnya seorang lelaki Mukmin menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen dengan akad mut’ah, sementara ia masih memiliki istri.”68
4. Muhammad bin Muslim menukil dari Imam Muhammad Baqir as, berkata,
“Aku bertanya kepada Imam as tentang menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Imam as mengatakan, ‘Tidak apa-apa. Apakah kamu tidak tahu bahwa di zaman Rasulullah saw, istri Thalhah bin Abdullah adalah seorang wanita Yahudi.”69
5. Ibnu Hajjaj menukil dari Imam Abil-Hasan as, mengatakan bahwa sejumlah orang bertanya kepada Imam as perihal lelaki Kristen yang menikahi seorang perempuan Kristen, lalu perempuan itu memeluk Islam sebelum lelaki itu sempat tidur bersamanya. Imam as berkata, “Akad pernikahannya dengan lelaki itu telah berakhir. Dan ia tidak perlu menjaga idah dari lelaki itu dan tidak berhak atas mahar darinya.”70
6. Dalam sebuah riwayat dari Mansur bin Hazim dijelaskan bahwa ia berkata,
“Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as tentang seorang lelaki Majusi (penyembah api) yang memiliki istri yang seagama dengannya, tapi kemudian salah seorang dari mereka memeluk Islam?” Imam as berkata,
‘Lelaki itu harus menunggu berakhirnya masa idahnya perempuan itu.
Apabila lelaki atau perempuan itu beriman sebelum habisnya masa idah, maka dalam hal ini keduanya masih dalam ikatan pernikahan yang pertama.
Tapi apabila perempuan itu tidak beriman sampai habisnya masa idah, maka ia telah berpisah dari lelaki itu.’”72
Pustaka
Syiah
7. Sabathi meriwayatkan bahwa ia berkata, “Aku mendengar Imam Ja’far Shadiq as berkata, ‘Apabila seorang Muslim lahir dari kedua orangtua yang juga Muslim, murtad dari Islam dan menjadi orang yang megingkari kenabian Rasulullah saw dan mendustakan beliau saw, maka darahnya halal bagi orang yang mendengarnya, dan istrinya pun menjadi terpisah darinya sejak kemurtadannya, hartanya menjadi hak ahli warisnya, dan istrinya menjalani masa idah seperti istri yang ditinggal mati suaminya, lalu wajib atas Imam untuk menjatuhi hukuman mati atasnya dan tidak menerima permintaan ampunannya.’”73
Penjelasan Hukum:
1. Seorang lelaki Muslim tidak diperbolehkan menikah dengan perempuan musyrik, tapi diperbolehkan dengan perempuan Ahlilkitab, seperti Yahudi, Kristen, dan Majusi menurut hukum yang lebih kuat. Kendati demikian, menikah dengan perempuan Majusi, terdapat ketentuan ihtiyat yang tidak patut disepelekan, sedangkan dengan perempuan dari agama-agama lainnya hukumnya adalah makruh syadid, yang mana kemakruhan ini menjadi berkurang dalam pernikahan mut’ah dan bila perempuannya adalah dari Ahlilkitab yang lemah agamannya. Di samping itu, hendaknya mereka diajarkan tentang etika Islam, sehingga mereka menjaga kesucian diri, menjauhi minuman yang memabukkan, dan tidak memakan daging babi dan yang sepertinya.
2. Apabila seorang lelaki Ahlilkitab menjadi Muslim, ia masih dalam ikatan pernikahan dengan istrinya yang juga dari Ahlilkitab. Sedangkan apabila istrinya yang menjadi Muslim, sementara suaminya tidak, maka pernikahan keduannya menjadi batil. Tetapi apabila suaminya menjadi Muslim sebelum masa idahnya habis, maka ia lebih pantas menjadi suami perempuan tersebut, dan ikatan pernikahan keduanya tetap terjaga. Hukum ini berlaku, dengan catatan lelaki tersebut pernah berhubungan intim dengan istrinya itu, namun bila belum pernah, pernikahan keduanya batil secara langsung, dan maharnya tidak menjadi hak perempuan itu.
3. Murtad sebelum berhubungan intim meniscayakan putusnya tali pernikahan. Tetapi apabila setelahnya, sang istri atau suami murtad yang mana dahulunya ia bukan seorang Muslim maka hendaknya menunggu
Pustaka
Syiah
hingga berakhir masa idah istrinya. Apabila tidak bertaubat, pernikahan mereka batil seiring dengan kemurtadannya, namun apabila bertaubat maka keduanya masih dalam ikatan pernikahannya dahulu. Tetapi apabila idah sang istri keburu berakhir, maka pernikahan keduanya pun menjadi batil. Dan apabila setelah itu keduannya bertaubat, serta menginginkan untuk rujuk kembali, maka harus mengulangi akadnya dengan akad baru.
4. Apabila seorang Muslim fitri (yang lahir dari kedua orangtua yang Muslim) murtad, maka pernikahannya batil sejak kemurtadannya, karena tidak akan diterima taubat darinya.
5. Tidak layak menikah dengan perempuan atau lelaki nashibi, namun diperbolehkan menikah dengan perempuan yang bermazhab selain Syiah.
Demikian pula diperbolehkan bagi perempuan yang bermazhab Syiah menikah dengan lelaki yang bukan bermazhab Syiah dengan tetap menjaga kehatian-hatian yang tidak boleh disepelekan dalam situasi normal sekalipun, karena seorang istri mengambil agamanya dari suaminya.