• Tidak ada hasil yang ditemukan

Haram Menikah dengan Wanita dalam Masa Idah

ORANG-ORANG YANG HARAM DINIKAHI

D. MUHRIM-MUHRIM LAINNYA

4. Haram Menikah dengan Wanita dalam Masa Idah

Al-Quran:

Dan janganlah kamu bertekad untuk berakad nikah, sebelum habis masa idahnya.121

Pustaka

Syiah

Dan jika dia menalaknya, maka tidak halal dia baginya untuk seterusnya, kecuali ia menikah dengan suami selainnya kemudian menalaknya, maka tidak dosa atas keduanya untuk kembali rujuk.122

Riwayat:

1. Halabi meriwayatkan bahwa Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Jika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita dalam masa idahnya, lalu menggaulinya, maka wanita itu tidak halal baginya untuk selamanya, baik laki-lakinya tahu atau tidak. Namun bila belum menggaulinya, maka tetap halal bagi yang tidak tahu (yakni dapat menikah dengannya setelah habis idahnya), namun tidak halal bagi yang tahu.”123

2. Muhammad bin Muslim berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as tentang seorang laki-laki yang menikah dengan wanita yang masih beridah. Imam as berkata, “Keduanya harus berpisah, dan wanita tersebut sama sekali tidak halal baginya.”124

3. Ishak bi Ammar berkata, “Aku berkata kepada Abu Ibrahim as bahwa kami mendapat kabar bahwa ayah Anda mengatakan, ‘Apabila seorang laki-laki menikah dengan wanita dalam masa idahnya, maka apakah wanita itu sama sekali tidak halal baginya?’ Imam as berkata, ‘Ini apabila laki-laki itu tahu, tetapi jika tidak tahu, dia harus berpisah dari wanita itu, dan wanita itu harus menghabiskan idahnya, kemudian dia dapat menikah dengan wanita itu dari awal lagi.’”125

4. Zurarah meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as, bahwa beliau as berkata,

“Idah dan haid adalah milik wanita. Maka jika seorang wanita mengaku tentangnya maka dibenarkan.”126

Penjelasan Hukum:

1. Tidak dibolehkan seorang laki-laki menikah dengan wanita yang masih dalam idah suami pertamanya, baik dengan akad permanen (daim) atau mut’ah (temporer), apakah talak ba’in atau raj’i, apakah idah wafat atau idah watha’ syubhat.

2. Apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita dalam keadaan ini (idah), jika keduanya tahu akan hukum dan subjeknya (perbutannya),

Pustaka

Syiah

atau salah satunya saja yang tahu, dan apakah telah menggauli wanita itu atau belum, wanita itu haram bagi laki-laki tersebut untuk selamanya.

3. Dan juga haram menikah untuk selamanya, jika keduanya tahu, tapi dengan syarat mereka telah bersetubuh.

4. Tidak ada perbedaan antara nikah permanen atau mut’ah, dan hubungan badannya secara alami atau tidak alami.

5. Titik tolak hukum dalam masalah ini adalah pengetahuan laki-laki. Maka jika laki-laki tidak tahu tentang tidak diperbolehkannya menikah dengan wanita yang masih dalam idah, atau tidak tahu kalau wanita yang ingin dinikahinya masih dalam idah, maka wanita tersebut tidak haram atasnya, sekalipun jika orang yang secara langsung melangsungkan pernikahan itu, tahu, seperti: Wakilnya yang tahu masalah ini, tapi tetap melangsungkan akad, atau walinya tahu, tapi tetap menikahkan keduannya, dalam hal ini wanita tidak menjadi haram atas laki-laki tersebut.

6. Apabila seorang laki-laki ragu tentang wanita yang ingin dinikahinya, apakah masih dalam idah atau tidak, dan tidak tahu kalau dia sebelumnya pernah idah, maka dia dapat menikah dengan wanita itu. Dan juga, jika sebelumnya tahu bahwa wanita itu pernah idah, tapi ragu akan kesuciannya, dan wanita itu pun mengatakan bahwa idahnya telah habis.

7. Jika secara global tahu bahwa salah satu dari dua wanita yang ingin dinikahinya masih dalam idah, tapi tidak tahu secara jelas, maka dia harus menarik diri untuk tidak menikah dengan siapa pun dari dua wanita itu.

Dan apabila tetap menikah dengan salah satu dari dua wanita itu maka akadnya batil. Tetapi pernikahan itu tidak menyebabkan keharaman abadi, karena tidak adanya kepastian kalau pernikahan itu terjadi dalam masa idah. Kecuali kedua wanita itu dinikahi, maka dalam kondisi ini salah satunya –secara global– haram atas laki-laki itu, dan dia harus menalak kedua-duanya.

8. Jika seorang laki-laki menalak istrinya dengan talak ba’in, maka wanita itu harus menjalani idah. Dan dibolehkan rujuk kalau laki-laki itu ingin rujuk kepadanya dalam masa idah ini. Karena idah itu darinya bukan dari laki-laki lain.

Penisbatan Anak dalam Nikah dengan Wanita Beridah

Pustaka

Syiah

Riwayat:

1. Dalam hadis mursal Jamil bin Saleh yang dinukil dari sebagian sahabatnya yang dinukil dari Imam as, terdapat keterangan tentang wanita yang menikah sedangkan dia masih dalam idah, “Keduanya harus berpisah, dan untuk kedua suaminya itu dia harus menjalani idah. Dan jika setelah lewat enam bulan atau lebih, melahirkan seorang anak, maka anak itu milik suami kedua. Dan jika sebelum enam bulan dia melahirkan seorang anak, maka milik suami yang pertama.”127

2. Dari Zurarah, dijelaskan bahwa dia berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as tentang laki-laki yang menalak istrinya. Dan wanita itu setelah habis idahnya menikah lagi. Lalu selang lima bulan dia melahirkan seorang bayi, bayi itu milik suami pertamanya. Dan apabila melahirkan bayi kurang dari enam bulan, maka milik ibu dan ayah pertamanya. Dan apabila lahir setelah lewat enam bulan, maka bayi itu milik suami keduanya.”128

Penjelasan Hukum:

1. Apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita dalam masa idahnya, tanpa mengetahui hal itu, dan dia menggauli wanita itu, dan wanita itu karena suami pertamanya telah menggaulinya, maka dia hamil lalu melahirkan seorang bayi, maka dalam masalah, apakah bayi itu milik suami pertama atau kedua terdapat sejumlah hukum yang berdasarkan pada jangka waktu dari percampuranya dengan laki-laki ini atau itu:

a. Jika berlalu kurang dari enam bulan, sejak percampuran laki-laki kedua dengan wanita itu, sedangkan dari percampuran suami pertama belum melewati masa paling lama yang mesti untuk kehamilan, maka bayi tersebut diikutkan kepada suami pertama.

b. Apabila dari percampuran suami pertama telah berlalu masa kehamilan yang paling lama, sementara dari percampuran suami kedua telah berlalu enam bulan atau lebih hingga masa yang kurang dari masa kehamilan yang paling lama, maka bayi diikutkan kepada suami kedua.

c. Apabila dari percampuran suami pertama berlalu masa kehamilan yang paling lama, dan dari percampuran suami kedua berlalu masa

Pustaka

Syiah

kurang dari enam bulan, maka bayi tidak dapat dinisbatkan kepada keduanya.

d. Apabila dari percampuran suami pertama berlalu masa enam bulan atau lebih, dan dari percampuran suami kedua pun demikian, maka dalam hal ini pendapat yang paling kuat adalah bahwa jika bayi tidak memiliki tanda-tanda yang lain –seperti observasi ilmiah yang dapat dipercaya, yang membuktikan bahwa bayi adalah milik suami pertama– maka bayi adalah milik suami kedua.

e. Hukum ini juga berlaku pada kasus di mana pernikahan dengan suami kedua berlangsung setelah habis masa idah dari suami pertama, tapi ragu bayi tersebut dinisbatkan kepada siapa.

Dua Idah Bersamaan

Apabila seorang wanita mengalami dua idah, seperti: Idah dari watha’

syubhat dan idah dari talak atau idah dari kematian, dan selainnya, apakah dua idah dapat dikumpulkan atau harus ada pemisahan, yakni idah-idah itu harus dipisah? Dalam masalah ini, ahwat-nya adalah memberlakukan hukum pemisahan.