Pustaka
Syiah
FIKIH KELUARGA
Judul Asli : Ahkam-e Khanewadeh Penulis : Muhammad Taqi Mudarrisi Penerjemah : Yusuf Anas
Proof Reader : Syafruddin Mbojo
Pengantar Penulis
Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam dan semoga shalawat serta salam selalu tercurah kepada Muhammad (Rasulullah saw) dan keluarganya yang suci.
Segala puji bagi Allah Swt atas taufik yang telah diberikan kepada saya dan anda semua, sehingga kita dapat menggali ajaran-ajaran agama yang lurus ini (Islam) dan hukum syariatnya yang jelas, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan yang paling dekat dengan kehidupan pribadi kita, yaitu pernikahan.
Seperti dimaklumi, tujuan dari pernikahan adalah membentuk rumah-tangga yang damai, tenteram, dan atas dasar ketakwaan. Rumah-tangga yang bercahaya, rumah-tangga ideal perspektif Islam, dan semua aspek kaitannya, adalah sub bagian hukum Tuhan yang menjaga kita dari perbuatan-perbuatan kotor dan tercela, mencegah kita dari godaan-godaan hawa nafsu dan syahwat, menyucikan kita, dan dengan kasih-sayang membantu kita dalam menunaikan tugas-tugas kehidupan.
Salah satu faktor kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah memahami agama secara mendalam, sebelum kita melaksanakan setiap pekerjaan, khususnya memahami dan memperhatikan hukum-hukum pernikahan dan membangun pondasi rumah-tangga Islam yang mulia. Karenanya, saya memomohon kepada Allah Swt untuk membantu keberhasilan saya dalam meneliti sub-bagian fikih Islam ini. Akhirnya Allah Swt mengabulkan permohonan saya bersama sejumlah pemikir selama hampir dua tahun, berhasil menyelesaikan berbagai masalah pernikahan yang didasari dalil-dalil yang cukup rinci. Allah Swt memberikan taufik kepada saya, dan didukung oleh sejumlah rekan saya, hingga berhasil
Pustaka
Syiah
menyusun secara ringkas hasil penelitian tersebut. Sepanjang mengerjakan pekerjaan ini, saya selalu memperhatikan poin-poin sebagai berikut:
a. Mengutip sejumlah ayat suci al-Quran, yang menambah pemahaman kita atas hikmah aturan dan tujuan hukum agama Tuhan.
b. Meneranginya dengan cahaya hadis, sehingga hukum-hukum dapat dijelaskan dengan bahasa yang tepat dan mendalam.
c. Menjelaskan hal-hal yang bersifat sunah, etika, dan hal yang diwajibkan dan diharamkan.
d. Menjelaskan secara ringkas berbagai kasus yang jarang terjadi saat ini.
Saya berharap Allah Swt menjaga usaha kami ini agar tidak dirusak oleh riya. Dan membantu saudara-saudari untuk dapat mengambil manfaat tulisan ini, dan menjadikannya sebagai petunjuk yang memadai. Wa huwa sami'u ad-du'a.
Muhammad Taqi Mudarrisi 15 Jumadi Tsani, 1415 H
Pustaka
Syiah
BAGIAN PERTAMA POIN-POIN PENDAHULUAN
PANDANGAN AL-QURAN TENTANG LEMBAGA RUMAH TANGGA Jika kita menyermati sejumlah ayat suci al-Quran, khususnya surah an- Nur, maka insya Allah kita akan memahami bahwa tujuan dari diturunkannya hukum syariat tentang hubungan lelaki dan perempuan, adalah menciptakan rumah-tangga yang lahir dari keimanan, dan keluarga yang dibangun berdasarkan hal-hal berikut:
a. Dinding rumah-tangga keluarga tersebut adalah aturan syariat. Perempuan dan lelaki pezina, (berdasarkan hukum syariat) dikenakan hukuman 100 kali cambuk. Allah Swt berfirman, Perempuan dan lelaki pezina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali cambukkan, dan janganlah belas-kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Dan hendaknya (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.1
b. Berdasarkan hukum agama, kehormatan lembaga rumah-tangga menjadi kokoh dengan benteng yang sangat kuat. Hal ini muncul dalam bentuk larangan terhadap kontak seksual antara lelaki dan perempuan, kecuali yang dihalalkan Allah Swt. Mungkin pula dipahami bahwa prinsip ini berlaku juga untuk semua hukum yang berkaitan dengan persoalan interaksi antara lelaki dan perempuan. Seperti larangan menuduh salah satu pihak melakukan perselingkuhan. Hal ini, tentu saja, mengakibatkan ikatan pernikahan yang telah dibangun, terjaga dari gangguan tuduhan para pembohong, dan kehormatan sosial sebuah keluarga menjadi semakin jelas. Allah Swt berfirman, Dan orang-orang yang menuduh wanita- wanita yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukkan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.2
c. Untuk memberikan kedudukan khusus kepada institusi rumah-tangga dan melindungi kehormatan keluarga dari tuduhan-tuduhan yang tidak
Pustaka
Syiah
senonoh. Allah Swt mengharamkan suami menuduh istri melakukan perselingkuhan, dan menetapkan hukum li’an. Demikian pula, Dia melarang masyarakat melakukan eksploitasi seksualitas dengan dalih seni untuk mencapai tujuan-tujuan politis. Allah mendidik orang-orang Islam dengan etika yang luhur. Orang yang menuduh orang lain melakukan perselingkuhan, berarti ia telah mengatakan sesuatu yang sangat keji, Allah Swt berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.3
d. Allah Swt mewajibkan kita menghormati rumah-tangga orang lain. Oleh karenanya, Dia melarang kita agar tidak memasuki rumah tanpa meminta izin pemiliknya. Hikmah dari hukum ini mencerminkan kesucian dan kebaikan bagi umat Islam. Allah Swt berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, “Kembalilah,” maka hendaknya kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.4
e. Allah Swt memerintahkan laki-laki dan perempuan yang beriman untuk menjaga pandangan mereka dari hal-hal yang haram dilihat oleh mereka, dan menegaskan bahwa sikap ini sangat baik bagi mereka. Allah Swt berfirman, Katakanlah kepada orang-orang lelaki yang beriman,
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’
Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya....’”5
Dari ayat-ayat suci di atas kita dapat memahami bahwa, maksud dari menjaga kemaluan adalah menjaga kesucian hati agar tidak dirusak oleh perbuatan zina dan fitnah yang ditimbulkannya. Ini dikarenakan memandang sesuatu yang dilarang adalah zina mata, dan merupakan salah
Pustaka
Syiah
satu anak panah Iblis. Jadi, menahan pandangan dari sesuatu yang tidak pantas dilihat adalah teknik menghindar dari malapetaka yang bakal terjadi di kemudian hari, dan tentu saja sangat berbahaya. Larangan dalam ayat tersebut bukan berarti memejamkan mata rapat-rapat, melainkan memalingkan pandangan mata.
f. Allah Swt menjaga kehidupan bermasyarakat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dorongan-dorongan seksual yang berlebihan dengan mengharamkan tabarruj (mempertontonkan perhiasan dan keindahan tubuh wanita kepada lelaki yang bukan muhrimnya); mencegah wanita yang beriman untuk tidak menampakkan perhiasan mereka, kecuali apa- apa yang biasa tampak. Misalnya, wanita haram memperlihatkan dada dan jenjang leher mereka. Allah memerintahkan wanita untuk menggunakan pakaian yang dapat menutup seluruh tubuhnya dari pandangan orang- orang kecuali: kalangan keluarga, para budak, para pelayan lelaki, dan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Larangan ini tidak berlaku pada wanita yang telah berusia lanjut; wanita yang tidak lagi memiliki “keindahan” tubuh. Oleh karenanya, mereka dibolehkan untuk melepaskan bagian dari pakaian yang biasa dipakai, karena memang jauh dari kemungkinan orang lain menikahinya.
Allah Swt berfirman, Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau anak-anak mereka, atau anak-anak suami mereka, atau saudara-saudara lelaki mereka, atau anak-anak saudara lelaki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Muslim, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah Swt, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.6
g. Allah Swt mengharamkan anggota keluarga, kecuali suami-istri atau anak- anak kecil untuk memasuki kamar tidur orangtua mereka di waktu-waktu
Pustaka
Syiah
tertentu yang biasanya kedua orangtua tidak mengenakan pakaian sewajarnya, misalnya berpakaian mini (kita memahami dari larangan ini keharusan menjaga etika berpakaian dalam Islam).
Allah Swt berfirman, Hai orang-orang beriman, hendaklah budak- budak (lelaki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: Sebelum salat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaianmu di tengah hari dan sesudah salat Isya. Itulah tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan juga atas mereka selain dari (waktu- waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu memeliki keperluan kepada sebagian (yng lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.7
Allah Swt melarang anak-anak memasuki kamar tidur kedua orangtuanya di waktu tidur atau istirahat, kecuali anak yang belum berusia balig. Jika mereka telah mencapai usia balig, mereka harus meminta izin sebelum memasuki kamar tidur. Allah Swt berfirman, Dan apabila anak- anakmu telah sampai usia balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.8
Hukum hijab tidak diwajibkan kepada perempuan berusia lanjut. Dasar hukumnya adalah, karena wanita yang berusia lanjut tidak lagi memiliki syahwat dan tidak ada lagi orang yang mau menikahinya, dengan syarat ia tidak lagi memiliki “keindahan” tubuh, maka mereka boleh melepas hijabnya. Namun dalam pandangan Allah Swt, adalah jauh lebih baik jika mereka tetap mengenakan hijab guna menjaga kehormatan dirinya (di hadapan-Nya). Allah Swt berfirman, Dan perempuan-perempuan tua yang tiada ingin kawin (lagi), tiada dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tiada (bermaksud) menampakkan perhiasan mereka, dan menjaga kehormatan diri (dengan tidak menanggalkan pakaian mereka) adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.9
h. Allah Swt melarang para istri Rasulullah saw berbicara seperti perempuan lain berbicara yang dapat memancing timbulnya fitnah dalam hati orang-
Pustaka
Syiah
orang yang memiliki penyakit hati, dan membangkitkan keinginan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan membahayakan. Allah Swt berfirman, Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita- wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.10
Pengertiannya adalah berbicara dengan diiringi gerakan mata dan alis, sehingga membangkitkan hawa nafsu orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya, atau mereka yang terbiasa melakukan perbuatan keji.
Dipastikan hukum ini berlaku atas semua wanita.
i. Allah Swt mengharamkan istri-istri Rasulullah saw menampakkan perhiasan-perhiasan dan keindahan-keindahan tubuh mereka di hadapan orang-orang yang bukan muhrim, dan memerintahkan mereka untuk selalu berada di dalam rumah. Allah Swt berfirman, Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah yang dahulu....11
j. Allah Swt mengharamkan laki-laki secara sembunyi membuat janji dan kesepakatan dengan wanita, kecuali ucapan yang baik dan dihalalkan (maksudnya, melamar untuk menikahinya dengan cara yang dibenarkan).
Allah Swt berfirman, Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita- wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan keinginan (mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Dalam pada itu, janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan perkataan yang makruf...12
k. Seiring perintah di atas Allah Swt memerintahkan laki-laki yang belum menikah untuk segera menjalin ikatan pernikahan, dan tidak boleh takut dengan kemiskinan, Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia- Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.13
l. Allah Swt melarang seseorang memaksa anak perempuannya melakukan perbuatan keji (hal itu tentu saja didahului dengan perintah menikah).
Pustaka
Syiah
Allah Swt berfirman,.... Dan janganlah kamu paksa anak-anak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa.14
Dari ayat-ayat suci tersebut kita memahami bahwa al-Quran bermaksud membangun rumah-tangga yang jauh dari perzinahan, fitnah, dan dusta, dan membentenginya dengan kesucian diri, menahan pandangan, dan tidak melakukan tabarruj (memperlihatkan perhiasan yang dikenakan oleh seorang wanita kepada lelaki yang bukan muhrimnya).
Dengan memperhatikan secara seksama sejumlah ayat yang telah disebutkan, dan merenungkan tekanan al-Quran atas masalah kesucian, maka kita segera memahami bahwa berbagai hukum mengenai wanita bertujuan menjaga masyarakat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh perzinahan. Berulangkali Allah Swt menjelaskan sejelas-jelasnya hikmah dari penetapan hukum tersebut; hukum mengenai kebutuhan seksual, keinginan menikah, dan usia balig.
Para ahli fikih kita juga memahami bahwa pengharaman memandang sembari menikmati (dengan syahwat) dan khawatir jatuh kepada perbuatan yang diharamkan (raibah), adalah bagian dari hukum syariat.
Al-Quran menjelaskan ciri khas seorang Mukmin adalah menjaga kemaluannya. Allah Swt berfirman, Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.15
Dari semua keterangan di atas menjadi jelas bagi kita bahwa hikmah dari hukum-hukum yang mengatur hubungan antara lelaki dan perempuan, adalah melahirkan masyarakat yang bertakwa, yang menjaga kesucian diri, dan menghindarkannya dari perbuatan yang melecehkan institusi rumah-tangga. Allah adalah Yang Maha Mengetahui.
HUKUM-HUKUM MEMINTA IZIN
Al-Quran mengatakan, Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak- budak (lelaki dan perempuan) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum
Pustaka
Syiah
balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu:
Sebelum salat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian di tengah hari dan sesudah salat Isya. Itulah tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat- ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.16
Allah Swt mendidik umat Islam. Apabila para hamba, budak dan anak- anak yang belum balig, ingin memasuki ruangan khusus tuan mereka (kamar tidur atau tempat istirahat), maka seyogianya meminta izin terlebih dahulu. Pada umumnya, waktu orang berada di ruangan khusus mereka (kamar tidur atau tempat istirahat) adalah menjelang Subuh, setelah Zuhur, dan ketika hendak tidur di malam hari setelah salat Isya.
Dari ayat suci di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa manusia memiliki dua macam tempat khusus, di mana orang lain tidak diperkenankan memasukinya tanpa izin. Pertama, yang bersifat umum, yaitu rumahnya, di mana anggota masyarakat lainnya tidak diperbolehkan memasukinya kecuali setelah meminta izin. Kedua, yang bersifat khusus, yaitu kamar-kamar yang diperuntukkan secara khusus bagi anggota keluarga. Pada waktu istirahat, orang lain harus meminta izin untuk memasuki kamar tersebut, dan waktu orang biasa menanggalkan pakaiannya atau sedang berhubungan intim dengan pasangannya.
Dari kalimat Allah Swt, “tiga aurat bagi kamu…” kita memahami bahwa hukum tersebut berlaku pada semua tempat khusus, meskipun pada waktu yang berlainan. Hal ini didasarkan pada kebiasaan setiap kelompok masyarakat. Jadi, apabila kebiasaan masyarakat beristirahat setelah salat Subuh, bukan sebelum salat Subuh, sebagaiman terlihat pada sebagian keluarga saat ini, namun hukum meminta izin juga berlaku pada waktu tersebut.
Adapun firman-Nya, “budak-budak yang kamu miliki…” dipahami bahwa para budak baik perempuan maupun laki-laki, di luar waktu-waktu tersebut, boleh memasuki kamar dengan tujuan memberikan pelayanan. Ini juga diperbolehkan bagi anak-anak yang belum balig.
Dari firman-Nya, Dan apabila anak-anakmu telah sampai usia balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,17 kita memahami bahwa anak yang diharuskan
Pustaka
Syiah
meminta izin adalah anak yang telah sampai usia mumayyiz (usia di mana seorang anak sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana tidak baik).
Dalam sebuah hadis riwayat Halabi dari Imam Ja’far Shadiq as dinyatakan bahwa ia bertanya kepada Imam as, “Apakah seorang lelaki sewaktu ingin memasuki kamar ayahnya harus meminta izin?” Imam as menjawab, “Ya”….
“Ketika aku meminta izin dari ayahku, ibuku tidak ada di sampingnya, justru yang ada adalah istrinya yang lain. Ibuku telah meninggal dunia ketika aku masih remaja. Mungkin saja di dalam ruangan khusus mereka ada sesuatu yang tidak aku sukai, di mana mereka dalam keadaan itu tiba-tiba aku melihatnya, mereka juga tidak menyukai perbuatanku itu. Dari situ, aku paham bahwa saat-saat seperti itu mengucapkan salam dengan suara yang agak keras adalah lebih baik.”18
A. HUKUM MEMANDANG
Hukum umum Al-Quran:
Katakanlah kepada orang-orang lelaki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya….”19
Riwayat:
Dalam sebuah hadis sahih riwayat Fudhail dikatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as tentang kedua lengan bawah wanita. Apakah itu termasuk perhiasan bagi seorang wanita, yang dimaksud dalam firman Allah Swt,
‘Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka…?’
Imam as menjawab, ‘Ya… Dan semua yang ada pada bagian paling bawah dari kerudung juga termasuk perhiasan. Dan semua yang merupakan bagian pergelangan tangan yang biasa dipakaikan gelang-gelang, juga adalah perhiasan.’”20
Pustaka
Syiah
Dalam hadis muwatstsaq yang diriwayatkan oleh Zurarah dari Abu Abdillah as terdapat penjelasan tentang firman Allah Swt, kecuali apa yang (biasa) nampak daripadanya…adalah celak dan cincin yang dikenakan.21
Imam as juga mengatakan, “Pandangan pertama adalah bagimu, pandangan kedua berbahaya bagimu, dan pandangan ketiga adalah kehancuranmu.”22
Penjelasan Hukum:
1. Tidak diperbolehkan bagi seorang lelaki memandang seorang wanita yang bukan muhrimnya kecuali dalam kondisi tepaksa. Ini pun sebatas bagian yang umum (tangan dan wajah) saja, dan tidak menikmati atau tanpa perasaan takut jatuh kepada perbuatan haram (raibah).
2. Diperbolehkan memandang muhrim nasabi (karena ada pertalian sedarah, seperti ayah, ibu, saudari, dan lain-lain), atau muhrim sesusuan, dan muhrim sababi (muhrim karena pertalian pernikahan) tapi disyaratkan pernikahannya harus sah secara syariat.
3. Diperbolehkan memandang wanita-wanita Ahlilkitab, bahkan kepada semua wanita kafir, dengan syarat tanpa menikmati atau dengan keyakinan tidak akan jatuh kepada perbuatan haram, namun ahwat-nya memandang sebatas bagian tubuh mereka yang biasa terbuka. Dapat pula dipahami bahwa tidak ada larangan memandangi, dengan cara seperti itu, wanita yang hidup di lembah-lembah atau kampung-kampung, dan wanita yang tidak memperdulikan larangan-larangan untuk tidak berbuat kemungkaran.
B. OBJEK-OBJEK YANG BOLEH DILIHAT DAN DISENTUH
Riwayat:
1. Dalam sebuah hadis dari Imam Ja’far Shadiq as dijelaskan bahwa beliau as berkata, “Mata memiliki ketentuan, bahwa ia tidak boleh memandang kepada apa yang diharamkan oleh Allah untuk dilihat, dan berpaling dari apa-apa yang dicegah Allah, hal ini merupakan tugas dari keimanannya. Allah Swt berfirman, Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaknya mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya….”
Pustaka
Syiah
Jadi, Allah Swt melarang orang-orang yang beriman saling memandangi kemaluan masing-masing atau seorang laki-laki memandang kemaluan saudaranya, dan hendaknya menjaga kemaluannya agar tidak tampak oleh pandangan saudaranya.
Menyusul ucapan-Nya itu, Dia Swt juga mengatakan, Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, hendaknya menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya…. Jadi, seorang wanita tidak diperbolehkan memandang kemaluan saudara perempuannya, dan hendaknya ia menjaga kemaluannya agat tidak terlihat oleh saudara perempuannya. Imam as menegaskan, “Bahwa maksud dari semua keterangan tentang keharusan memelihara kemaluan adalah menjaganya agar tidak terperosok pada perbuatan zina, kecuali keterangannya pada ayat ini, yang mana maksudnya adalah menjaganya dari pandangan.”23
2. Diriwayatkan dari Abu Abdillah as bahwa beliau berkata, “Tidak sepatutnya seorang wanita Mukmin memperlihatkan dirinya di hadapan wanita-wanita Yahudi atau Kristen, karena mereka akan membicarakan perihal wanita-wanita Mukmin kepada suami-suami mereka.”24
3. Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau saw bersabda,
“Seorang yang membicarakan istrinya sedemikian rupa kepada lelaki lain, yang dapat menjatuhkannya ke dalam fitnah, dan oleh karena itu, ia melakukan perbuatan keji, maka ia (suami) tidak akan meninggal dunia kecuali dalam keadaan dimurkai Allah Swt.”25
Penjelasan Hukum:
1. Laki-laki dan perempuan dibolehkan memandang sesama jenisnya bila tidak ada rasa takut akan terjatuh ke dalam perbuatan haram atau tanpa dorongan seksual, kecuali bagian kemaluan, orang lain tidak boleh melihatnya kecuali suami atau istri, dan hendaknya setiap orang menjaga kemaluannya dari pandangan orang lain.
2. Adalah makruh seorang wanita Mukmin memperlihatkan dirinya di hadapan wanita-wanita Yahudi atau Kristen, karena mereka akan membicarakannya kepada laki-laki (suami-suami) mereka. Besar
Pustaka
Syiah
kemungkinan hukum ini berlaku untuk semua wanita yang suka melakukan perbuatan tersebut.
3. Diperbolehkan memandang atau menyentuh perempuan yang bukan muhrim bila dalam kondisi darurat. Menurut syariat, kondisi ini lebih penting (harus didahulukan) ketimbang haramnya memandang atau menyentuh. Dengan demikian, memandang dan menyentuh hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat. Ini dapat dicontohkan dalam sejumlah kasus sebagai berikut:
a. Diperbolehkan memandang atau menyentuh untuk tujuan mengobati atau mendiagnosis, misalnya ketika merasakan denyut urat nadi, mengobati bagian tubuh yang patah, atau sedang membalut luka. Tetapi tentu saja hal ini dibolehkan setelah tidak dijumpai orang berjenis kelamin yang sama untuk melakukan pengobatan, dan sekalipun kondisi darurat memandang atau menyentuh tidak dibolehkan kecuali sekadar atau sebatas tuntutan kondisi darurat.
b. Ketika menyelamatkan sesorang dari tenggelam atau musibah kebakaran dan kondisi semisalnya, maka memandang dan menyentuh dibolehkan. Tentu saja bahwa dalam kondisi-kondisi tersebut memandang dan menyentuh menjadi hal yang tidak dapat dihindari.
c. Apabila memandang untuk memberikan kesaksian atau menjadi saksi dirasa darurat, maka ia dibolehkan. Menurut pendapat yang lebih kuat, tidak dibolehkan memandangi orang-orang yang suka berzina, meskipun untuk memberikan kesaksian, kecuali jika tidak melihatnya maka dapat menyebabkan berkembangnya perbuatan kerusakan dan aturan Allah Swt tidak berjalan, atau menyebabkan sesuatu yang lain yang lebih penting dari sekedar melihat.
C. HUKUM MEMANDANG WANITA LANJUT USIA
Al-Quran:
Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari masa haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah dosa atas mereka
Pustaka
Syiah
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan, dan menjaga kehormatan diri lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.26
Riwayat:
Dalam riwayat Shahih Bizanthi yang diriwayatkan dari Imam Ali Ridha as dalam kitab Qurbal Isnad, terdapat keterangan, “Aku bertanya kepada Imam as:
Apakah boleh seorang lelaki melihat rambut saudara perempuan istrinya?’ Imam menjawab, ‘Tidak boleh, kecuali wanita tersebut telah berusia lanjut.’ Aku kembali bertanya, ‘Jadi, saudara perempuan istri sendiri sama dengan wanita lain?’ Imam as menjawab, ‘Ya.’
Aku berkata, ‘Seandainya ia seorang wanita yang berusia lanjut, bagian tubuhnya yang mana saja yang boleh dilihat?” Imam as berkata, “Rambut dan kedua lengan bagian bawahnya.’”27
Penjelasan Hukum:
Pengertian al-Qawaid yang terdapat dalam ayat suci di atas adalah perempuan yang berusia lanjut, yang sudah tidak lagi membutuhkan dan tidak berkeinginan untuk menikah.
Syariat membolehkan memandang kelompok perempuan seperti ini.
Tetapi, tentu saja memandang bagian tubuhnya yang biasa tampak, tidak lebih dari rambut, lengan bagian bawah, dan bagian lain semisalnya. Adapun bagian dada, perut dan bagian tubuh lain semisalnya yang biasanya selalu tertutup, maka seyogianya jangan ditampakkan, dan laki-laki tidak patut melihatnya. Wanita yang berusia lanjut hendaknya jangan menampakkan kecantikan dan perhiasannya secara berlebihan. Meskipun demikian, masalah berhias dan perhiasan menurut waktu dan tempat memiliki penilaian yang berbeda, dan ukurannya pun ‘urf (tradisi yang disepakati) masyarakat.
D. HUKUM MEMANDANG ANAK KECIL
Al-Quran:
Pustaka
Syiah
Allah Swt menjelaskan bahwa wanita boleh tidak berkerudung di hadapan sekelompok orang sebagai berikut, Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.28
Riwayat:
1. Diriwayatkan dari Imam Ali Ridha as, bahwa beliau as berkata, “Hendaknya sejak berusia 7 tahun anak laki-laki telah belajar memahami tatacara salat sedikit demi sedikit, tetapi seorang wanita dibolehkan tidak menutup rambut di hadapannya, sehingga ia bermimpi dan balig.29
2. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Hajjaj dijelaskan,
“Aku bertanya kepada Imam Musa Kazhim as tentang anak perempuan yang belum mencapai usia balig, ‘Kapankah ia wajib menutupi rambutnya di hadapan orang-orang yang bukan muhrimnya dan kapankah ia harus mengenakan pakaian salat ketika hendak salat?’ Imam as mengatakan,
‘Tidak mesti ia menutup rambutnya, sehingga ia mengalami menstruasi (haid) dan ia haram melakukan salat.’”30
Penjelasan Hukum:
Kata “mumayyiz” mengacu kepada anak-anak yang sudah menginjak usia kemampuan membedakan antara yang benar dari yang tidak benar, meskipun belum berusia balig. Anak yang sudah “mumayyiz” dapat membedakan antara kemaluan dan anggota tubuh lainnya, dan memahami pengertian aurat, sementara anak yang belum mumayyiz sebaliknya.
1. Dibolehkan memandang dan menyentuh anak-anak yang belum mumayyiz, baik laki-laki maupun perempuan, dan tidak diwajibkan mengenakan pakaian syar’i di hadapan mereka. Bahkan, dalil-dalil syariat membolehkan memandang mereka yang belum balig. Tentu saja, memandangnya tidak sampai membangkitkan syahwat atau menimbulkan fitnah, dan menyebabkan jatuh ke dalam perbuatan haram.
2. Dibolehkan seorang laki-laki mencium anak kecil perempuan yang bukan muhrimnya, memeluknya sebelum ia berusia 6 tahun dengan catatan kedua perbuatan tersebut dilakukan tanpa syahwat.
Pustaka
Syiah
E. BATASAN PERGAULAN ANTARA LAKI-LAKI DAN WANITA YANG BUKAN MUHRIM
Al-Quran:
Maka jangalah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.31
Dan katakanlah kepada wanita-wanita Mukmin, hendaknya mereka menahan pandangan mereka.32
Riwayat:
1. Dari Rasulullah saw, diriwayatkan bahwa beliau saw bersabda, “Para wanita itu adalah lemah dan aurat, maka tutupilah mereka secara diam-diam dan sembunyikan aurat mereka di dalam rumah.”33
2. Dari Amirul Mukminin as diriwayatkan bahwa beliau as berkata, “Janganlah kamu mendahului dalam memberikan salam kepada wanita yang bukan muhrimmu, dan jangan pula mengundangnya untuk suatu hidangan.”34
3. Dari Amirul Mukminin as juga diriwayatkan bahwa beliau as berkata,
“Wahai rakyat Irak, aku mendengar para wanita kalian suka berjalan-jalan di jalanan sementara di sana banyak laki-laki, apakah kalian tidak merasa malu?”35
4. Dalam sebuah riwayat dari Imam Ja’far Shadiq as dikatakan bahwa beliau as ditanya, “Apakah para wanita dapat mengikuti salat Hari Raya Idul Qurban, Idul Fitri dan Jumat?” Imam as menjawab, ‘Tidak, kecuali para wanita yang berusia lanjut.’”36
5. Dalam riwayat Abu Bashir dari Abi Abdillah as disebutkan bahwa ia bertanya, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq, ‘Apakah seorang lelaki dibolehkan memberikan tangannya dan berjabatan tangan dengan seorang wanita yang bukan muhrimnya?’ Imam as menjawab, ‘Tidak, kecuali setelah melilitkan tangannya dengan kain.’”37
6. Disebutkan dalam hadis muwatstsaq dari Sama’ah, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah as, ‘Apakah seorang lelaki dapat berjabatan tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya?’ Imam as menjawab as, ‘Tidak, laki-laki tidak boleh berjabatan tangan dengan wanita, kecuali wanita yang diharamkan menikah dengannya, seperti saudara perempuan, anak
Pustaka
Syiah
perempuan, bibi (dari pihak ayah), bibi (dari pihak ibu), anak perempuan dari saudara perempuan, dan sebagainya. Tetapi berjabat tangan dengan wanita yang dibolehkan untuk menikahinya, maka ia tidak boleh berjabatan tangan, kecuali dengan membalutkan kain di tangannya, tetapi jangan meremas tangan wanita itu.’”38
Penjelasan Hukum:
Dalam terminologi fikih wanita Ajnabi adalah setiap wanita yang, berdasarkan hukum asalnya, dapat dinikahi oleh laki-laki, yaitu setiap wanita yang tidak termasuk muhrimnya (seperti: saudara perempuan, bibi dari ayah atau dari ibu).39
1. Seorang lelaki dibolehkan mendengarkan suara wanita Ajnabi, dengan syarat tidak untuk dinikmati dan tanpa raibah (rasa takut jatuh kepada perbuatan haram). Tetapi ihtiyat mustahab-nya dijauhi kecuali dalam kondisi yang diperlukan atau darurat secara ‘urf.
2. Diharamkan wanita secara sengaja mengeluarkan suara yang membangkitkan hasrat, agar didengar oleh laki-laki Ajnabi.
3. Tidak dibolehkan berjabatan tangan dengan wanita Ajnabi, kecuali tangan dilapisi kain, dan tidak meremas tangan wanita tersebut.
4. Seseorang dibolehkan menyentuh muhrimnya apabila tanpa syahwat atau tanpa rasa takut jatuh kepada perbuatan haram.
5. Adalah makruh seorang lelaki memberikan salam lebih dahulu kepada wanita yang bukan muhrim, dan mengundangnya untuk makan bersama.
Hukum makruh ini menjadi bertambah kuat jika wanitanya masih sangat muda.
6. Makruh seorang lelaki menempati tempat duduk yang baru ditinggalkan wanita, kecuali “hawa panas” tempat duduk tersebut telah berubah menjadi dingin.
7. Ihtiyat-nya tidak memandangi sejumlah anggota badan wanita Ajnabi yang lepas dari tubuhnya, seperti hidung, tangan, lidah, dan lain sebagainya, kecuali gigi, kuku, dan rambut, meskipun lebih kuat (aqwa) adalah boleh.
8. Dibolehkan bagi seorang wanita menyambungkan (menyanggulkan) rambut orang lain ke rambutnya, dan suaminya juga boleh memandangnya
Pustaka
Syiah
tetapi tidak bagi orang lain, karena rambut tersebut telah terhitung rambut wanita tersebut.
G. Hukum Memandang untuk Tujuan Menikah Riwayat:
a. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Muhammad bin Muslim berkata,
“Aku bertanya kepada Imam Mummmad Baqir as tentang seorang lelaki yang ingin menikah, ‘Apakah lelaki semacam itu dapat memandang kepada wanita yang ingin dinikahinya?’ Imam as menjawab, ‘Ya, karena ia akan membeli wanita itu dengan harga yang sangat mahal.’”40
b. Dalam riwayat Hasan bin Sari disebutkan, “Aku berkata kepada Abu Abdillah as, ‘Apakah seorang lelaki boleh memandangi seorang wanita yang ingin dinikahinya, melihat bagian belakang badan dan wajahnya?’ Imam as menajwab, ‘Ya, tidak masalah, bila seorang lelaki melihat wajah dan bagian badan seorang wanita yang ingin ia nikahi.’”41
c. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Yunus dari Imam Ja’far Shadiq as disebutkan, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah as, ‘Apakah seorang lelaki dapat memandang seorang wanita yang ingin dinikahinya?’ Imam as menjawab, ‘Ya. Hendaknya wanita itu memakai pakaian yang tipis, karena ia hendak membeli wanita itu dengan harga yang sangat mahal.’”42
d. Dalam sebuah hadis dari Abdullah bin Fadhl yang dinukil dari Imam Ja’far Shadiq as disebutkan, “Apakah seorang lelaki dapat memandangi rambut dan kecantikan seorang wanita yang ingin dinikahinya?” Imam as menjawab, ‘Apabila dilakukan tanpa menikmati, maka hal itu tidak masalah.’”43
Penjelasan Hukum:
Seorang lelaki dapat memandang wanita yang akan dipinangnya, karena ia akan menjadikannya sebagai pendamping hidup, dan mengikatnya dengan akad daim (permanen). Hukum ini juga berlaku untuk kaum wanita, bahkan sangat mungkin untuk mengenal pasangan lebih dekat, sehingga ia boleh memandangi lelaki yang akan meminangnya, sebab kedua pihak dibolehkan untuk melakukannya.
Kami akan menjelaskan lebih lanjut masalah ini sebagai berikut:
Pustaka
Syiah
a. Seorang lelaki boleh memandang wajah, tangan, rambut, dan keindahan- keindahan yang dimiliki wanita yang akan dinikahinya. Tentu saja disyaratkan ada kemungkinan wanita tersebut adalah wanita yang dipilihnya untuk dijadikan istri, tetapi ihtiyat-nya ia hanya boleh memandangi wanita yang diniatkannya untuk dinikahi. Adapun memandangi sejumlah wanita, dengan maksud memilih salah satunya untuk dinikahi, ihtiyat-nya tidak boleh. Memandangi wanita dibolehkan apabila laki-laki belum mengenalinya sebelumnya, dan sama sekali belum mengenal sifat-sifat wanita tersebut yang menjadikan ia benar-benar tidak perlu lagi memandanginya.
b. Sangat jauh dari kemungkinan untuk dibolehkannya memandangi bagian- bagian lain dari badan seorang wanita, selain keindahan-keindahannya, dan mengenakan pakaian yang tipis, tetapi ihtiyat-nya lebih dulu meminta izin darinya. Tanpa sepengetahuan dan seizin seseorang wanita, seorang lelaki tidak patut memandangi bagian-bagian tubuhnya yang menarik hati, apalagi khususnya perbuatan tersebut dapat membuat wanita merasa terhina. Ini dikarenakan keindahan-keindahan seorang wanita adalah bagian dari hak-haknya, dan menguasai hak orang lain, tanpa seizinnya, tidak diperbolehkan.
c. Memandangi wanita seperti ini tetap harus jauh dari niat menikmati.
d. Apabila pandangan pertama belum juga memperoleh pengetahuan yang cukup, maka boleh untuk mengulangi pandangan.
2. Nikah adalah Sunatullah
Al-Quran:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang saleh dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan dari hamba- hamba sahayamu yang perempuan. Apabila mereka tidak berkecukupan, niscaya Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya, dan sesungguhnya Allah Mahaluas (rezeki-Nya) lagi Maha Mengetahui.”44
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menumbuhkan rasa kasih dan sayang di antaramu.
Pustaka
Syiah
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”45
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu Yang telah menciptakan kamu dari satu diri dan daripadanya Allah menjadikan istrinya; dan daripada keduannya Allah memperkembangkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah Yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah akan selalu menjaga dan mengawasi kamu.”46
Riwayat
Diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau saw berkata,
a. “Menikah adalah sunahku, maka barangsiapa tidak menyukai sunah ini, maka ia bukan dari umatku.”47
b. “Tidak ada bangunan yang dibangun dalam Islam yang lebih dicintai Allah daripada menikah…”48
c. “Seorang yang telah menikah berarti ia telah menjaga setengah agamanya, maka setengahnya lagi hendaknya ia jalani dengan beribadah kepada Allah.”49
Penjelasan Hukum:
Islam mengajak orang untuk menikah, karena nikah merupakan salah satu rukun kehidupan. Oleh karena itu, hukum nikah adalah mushtahab muakkad, bahkan bisa menjadi wajib. Dalam sejumlah ayat al-Quran, Allah Swt selalu mendorong pernikahan, dan menjelaskan hikmah dan sebagian hukum nikah.
Demikian pula dalam banyak hadis, Rasulullah saw dan para imam maksum as selalu mendorong pernikahan, antara lain telah kami kemukakan sebelumnya.
Dalam setiap pasal, insya Allah, kami akan menambahkan beberapa hadis dan riwayat seperlunya.
Al-Quran telah menunjukkan bahwa pernikahan merupakan sunnatullah dalam kehidupan, dan seyogianya manusia selalu mengikutinya. Selain itu, sunah tersebut merupakan jawaban atas sejumlah tuntunan fitrah manusia yang telah menjadi karakternya. Allah Swt tentang hal berpasang-pasangan yang berlaku pada setiap makhluk, mengatakan, Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang- pasangan agar kamu berfikir (akan kebesaran Allah Swt).50
Pustaka
Syiah
Tentang berlakunya hukum ini pada manusia, karena ia juga termasuk ciptaan-Nya, Dia Swt berfirman, Dan Allah-lah Yang telah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari nutfah, lalu menjadikan kamu berpasang-pasangan.51
Manfaat Pernikahan
Pernikahan dapat mendatangkan rezeki yang berkah dan baik, sebagaimana Allah Swt telah berfirman, Jika mereka termasuk orang-orang yang tidak berkecukupan, maka Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya.
Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.52
Demikian pula dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ishak bin Ammar ra dari Imam Ja’far Shadiq as, mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam as, ‘Apakah yang dikatakan orang-orang itu benar bahwa pernah seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw, lalu mengeluhkan tentang kemiskinan dan kekurangannya, dan Rasulullah saw menyuruhnya menikah sampai tiga kali?’
Imam Ja’far Shadiq as berkata, ‘Ya….benar.’ Kemudian Imam as melanjutkan kata-katanya, ‘Rezeki itu beserta istri dan keluarga.’”53
Ya! Bukankah rezeki itu bersumber dari sisi Allah Swt?! Apakah istri dan anak tidak berhak mendapatkan rezeki, sementara mereka berada di sisi Tuhan Yang selalu memberikan rezeki kepada segala sesuatu?! Seorang lelaki dengan merasakan tanggung jawab terhadap keluarga, niscaya semangat berjuangnya semakin bertambah, lalu energi dan kekuatan bekerjanya pun berlipat seratus persen lebih. Seiring dengan itu, kesejahteraan hidupnya pun semakin bertambah baik.
Karena itulah, Islam selalu menekankan masalah pernikahan, dan menjaga manusia dari akibat buruk yang dapat timbul karena berpaling dari pernikahan karena alasan kemiskinan. Apakah Allah Swt tidak menjamin rezeki kepada orang-orang yang mau melangkahkan kakinya ke jenjang pernikahan? Atau, justru langkah inikah yang dapat mendatangkan kebaikan bagi diri mereka dan masyarakat ini?
Pernikahan Melayani Masyarakat
Di antara efek sosial pernikahan adalah bertambahnya jumlah anggota masyarakat yang bertauhid di muka bumi. Karena itu, orang yang telah
Pustaka
Syiah
berkeluarga memiliki peran dalam perkembangan masyarakat bertauhid di muka bumi.
Imam Muhammad Baqir as, dengan menukil ucapan Rasulullah saw, mengatakan, “Apakah yang mencegah seorang Mukmin untuk berkeluarga?
Mudah-mudahan Allah akan memberikannya keturunan yang kelak akan menempati dan memberatkan bumi ini dengan kalimat, la ilaha illallah.”54
Diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau berkata, “Jadilah kamu orang yang mengiginkan anak, karena aku ingin mendapatkan kalian pada hari Kiamat kelak lebih banyak daripada umat-umat yang lain.”55
Diriwayatkan dari Abu Abdillah as, bahwa beliau as berkata, “Apabila kamu mampu menciptakan generasi di masyarakat yang akan selalu bertasbih dan menyucikan Allah Swt, maka lakukanlah!”56
Pernikahan Membantu Agama
Sumber-sumber tekstual Islam menegaskan bahwa pernikahan adalah sarana untuk meningkatkan kualitas keimanan seorang Muslim.
Ada seorang anak muda yang memiliki kadar dorongan seksual yang cukup kuat yang selalu menekannya untuk segera memenuhinya. Dorongan- dorongan aktif seperti itu apabila tidak segera ditanggapi, maka dapat mendatangkan akibat buruk pada kehidupan manusia; menekan segenap energi dan kekuatan manusia yang akan berakhir pada kesengsaraan dan tekanan- tekanan seksual yang merusak. Tetapi, pernikahan dapat menghindari anak muda tersebut dari keterprosokan dalam lubang kenistaan, lalu mendorongnya untuk menyalurkan energinya itu pada hal-hal yang positif dan pantas.
Di samping itu, pernikahan juga dapat menstabilkan kebutuhan seksual seseorang, dan juga dapat memenuhi kebutuhan jiwanya, sebagaimana hal itu diisyarakatkan oleh al-Quran, Daripada tanda-tanda-Nya adalah Dia menciptakan bagi kalian istri-istri dari kalian sendiri, supaya kalian merasa tenteram dengannya, dan Dia menumbuhkan rasar cinta dan kasih-sayang di antara kalian.57
Manusia dengan pernikahan dapat memenuhi kebutuhan perasaan dan jiwanya melalui rasa cinta dan kasih-sayang kepada istrinya.
Penjelasan al-Quran ini mengandung nilai kefasihan yang sangat dalam dan indah, di mana dia mengatakan bahwa istri adalah bagian yang terpisah dari
Pustaka
Syiah
diri (sang suami), tetapi hanya dengannya diri (sang suami) akan mencapai kesepurnaan dan dengan kasih-sayang akan selalu demikian, perasan yang lahir dari kebutuhan materi, kini dengan kasih-sayang, perasaan lahir dari kebutuhan maknawi dan jiwa. Dan dengan kasih-sayanglah bangunan keluarga yang menjadi tempat yang menciptakan ketenteraman dan ikatan dapat dipersiapkan, secara khusus apabila pernikahan itu dianugerahi anak-anak yang saleh dan diberkahi yang membuat rumah dipenuhi kehangatan dan keceriaan dan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama antara suami dan istri terhadap lembaga keluarga mereka, baik dalam proses pembentukannya maupun dalam hal peningkatan kualitasnya.
Kini, marilah kita membaca beberapa hadis dan memahami sejumlah hal penting tentang hikmah pernikahan:
a. Diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai di sisi Allah Swt selain sebuah rumah yang dibangun dengan landasan pernikahan dalam Islam.”58
b. Dan diriwayatkan juga dari beliau saw yang bersabda, “Barangsiapa yang ingin bertemu Allah Swt dalam keadaan suci dan disucikan, segeralah menikah!”59
c. Dan juga dari beliau saw, “Dua rakaat salatnya orang yang telah menikah lebih baik daripada ibadah semalaman dengan ditambah puasa di siang hari yang dilakukan oleh orang yang belum menikah.”60
Celaan terhadap Kelajangan
Banyak riwayat yang mencela orang-orang yang belum menikah, karena enggan untuk itu meskipun mereka mampu, dan menganggapnya sebagai faktor yang mengurangi agama dan melemahkan keimanannya. Karena akan mendatangkan malapetakan dan akibat-akibat buruk pada semua lini kehidupan.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda,
“Kebanyakan ahli neraka adalah para lajang.”61
“Orang meninggal dunia yang paling hina dari kalian adalah para lajang.”62
Ya…kensekwensi dari tidak menikah dan mempertahankan kelajangan adalah terputusnya keturunan dan hilangnya ingatan kepadanya, dan tercabutnya perbekalannya dari tanah. Tidakkah setiap orang menginginkan anak yang saleh,
Pustaka
Syiah
yang akan mengirimkan perbekalan baginya dengan perbuatan amal saleh, dan permintaan rahmat dan ampunan bagi mereka, setelah kematiannya dan keputusasaannya dari kehidupan dunia ini?
BAGIAN KEDUA
ORANG-ORANG YANG HARAM DINIKAHI
A. HARAM DINIKAHI KARENA BERBEDA AGAMA
Al-Quran:
Janganlah menikahi wanita-wanita musyrik, kecuali mereka beriman, sesungguhnya seorang budak wanita yang Mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, meskipun kamu mengaguminya. Janganlah menikahi laki-laki musyrik, kecuali mereka beriman, sesungguhnya budak lelaki yang Mukmin lebih baik daripada lelaki musyrik, walaupuan membuat kamu terkagum-kagum. Karena mereka mengajak kepada neraka, sedangkan Allah mengajak kamu kepada surga dan ampunan dengan izin-Nya dan menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka ingat.63
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang yang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir tiada pula halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir, dan hendaklah kamu minta
Pustaka
Syiah
mahar yang telah kamu bayar, dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah Yang telah ditetapkan-Nya di antara kamu, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.64
Pada hari ini, dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka dengan maksud mengawininya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa kafir sesudah beriman maka hapuslah amalan-amalannya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.65
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa pernikahan antara perempuan Mukmin dengan lelaki musyrik adalah haram, kemudian lelaki Mukmin hendaknya jangan menikah dengan perempuan musyrik, demikian pula laki-laki musyrik tidak berhak menjalin hubungan pernikahan dengan perempuan Mukmin.
Dan apabila seorang wanita dari negeri kafir hijrah ke negeri Islam maka ikatan pernikahannya menjadi putus, tetapi seorang lelaki Mukmin diperbolehkan menikah dengan wanita Dzimmi (Ahlilkitab), dengan syarat ia seorang wanita yang menjaga kehormatan dirinya.
Dan tidak diperbolehkan mempertahankan perempuan-perempuan kafir sebagai istri, dan mungkin berdasarkan alur kalimat, maksudnya adalah perempuan-perempuan musyrik, atau ayat tersebut telah dinasakh (dihapus) dengan turunnya ayat lain dalam surah al-Maidah, karena surah ini merupakan bagian terakhir al-Quran yang diturunkan, dan berdsarkan sejumlah hadis yang sampai, dapat menghapus (keberlakukan) semua surah dalam al-Quran.
Riwayat:
1. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Salah seorang teman mengirim surat kepadaku.
Ia meminta agar aku menanyakan sejumlah persoalan kepada Imam Ja’far Shadiq as untuknya. Aku bertanya kepada Imam as, “Apakah seorang tawanan diperbolehkan menikah di Darul Harb (negerinya orang kafir yang menjadi musuh)?” Imam as berkata, “Aku tidak menyukai perbuatan
Pustaka
Syiah
tersebut. Tidak diharamkan apabila dilakukan di negeri Romawi dan sah.
Tetapi tidak halal bila dilakukan di negeri Turki, Dailam, dan Khazar.”66 2. Muawiyah bin Wahab menukil dari Imam Ja’far Shadiq as, mengatakan,
“Imam as ditanya tentang seorang lelaki Mukmin yang menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Imam as berkata, ‘Apabila ia dapat menikah dengan perempuan Mukmin, maka untuk urusan apalagi ia dengan perempuan Yahudi atau Kristen?!’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kalau ia mencintainya?’ Imam as berkata, ‘Apabila ia mengambilnya, maka ia harus mampu mencegahnya dari meminum khamar, memakan daging babi, dan tidak menyebabkan berkurangnya agama lelaki tersebut.’”67
3. Zurarah menukil dari Imam Muhammad Baqir as, mengatakan, “Aku mendengar Imam as berkata, ‘Tidak sepantasnya seorang lelaki Mukmin menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen dengan akad mut’ah, sementara ia masih memiliki istri.”68
4. Muhammad bin Muslim menukil dari Imam Muhammad Baqir as, berkata,
“Aku bertanya kepada Imam as tentang menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Imam as mengatakan, ‘Tidak apa-apa. Apakah kamu tidak tahu bahwa di zaman Rasulullah saw, istri Thalhah bin Abdullah adalah seorang wanita Yahudi.”69
5. Ibnu Hajjaj menukil dari Imam Abil-Hasan as, mengatakan bahwa sejumlah orang bertanya kepada Imam as perihal lelaki Kristen yang menikahi seorang perempuan Kristen, lalu perempuan itu memeluk Islam sebelum lelaki itu sempat tidur bersamanya. Imam as berkata, “Akad pernikahannya dengan lelaki itu telah berakhir. Dan ia tidak perlu menjaga idah dari lelaki itu dan tidak berhak atas mahar darinya.”70
6. Dalam sebuah riwayat dari Mansur bin Hazim dijelaskan bahwa ia berkata,
“Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as tentang seorang lelaki Majusi (penyembah api) yang memiliki istri yang seagama dengannya, tapi kemudian salah seorang dari mereka memeluk Islam?” Imam as berkata,
‘Lelaki itu harus menunggu berakhirnya masa idahnya perempuan itu.
Apabila lelaki atau perempuan itu beriman sebelum habisnya masa idah, maka dalam hal ini keduanya masih dalam ikatan pernikahan yang pertama.
Tapi apabila perempuan itu tidak beriman sampai habisnya masa idah, maka ia telah berpisah dari lelaki itu.’”72
Pustaka
Syiah
7. Sabathi meriwayatkan bahwa ia berkata, “Aku mendengar Imam Ja’far Shadiq as berkata, ‘Apabila seorang Muslim lahir dari kedua orangtua yang juga Muslim, murtad dari Islam dan menjadi orang yang megingkari kenabian Rasulullah saw dan mendustakan beliau saw, maka darahnya halal bagi orang yang mendengarnya, dan istrinya pun menjadi terpisah darinya sejak kemurtadannya, hartanya menjadi hak ahli warisnya, dan istrinya menjalani masa idah seperti istri yang ditinggal mati suaminya, lalu wajib atas Imam untuk menjatuhi hukuman mati atasnya dan tidak menerima permintaan ampunannya.’”73
Penjelasan Hukum:
1. Seorang lelaki Muslim tidak diperbolehkan menikah dengan perempuan musyrik, tapi diperbolehkan dengan perempuan Ahlilkitab, seperti Yahudi, Kristen, dan Majusi menurut hukum yang lebih kuat. Kendati demikian, menikah dengan perempuan Majusi, terdapat ketentuan ihtiyat yang tidak patut disepelekan, sedangkan dengan perempuan dari agama-agama lainnya hukumnya adalah makruh syadid, yang mana kemakruhan ini menjadi berkurang dalam pernikahan mut’ah dan bila perempuannya adalah dari Ahlilkitab yang lemah agamannya. Di samping itu, hendaknya mereka diajarkan tentang etika Islam, sehingga mereka menjaga kesucian diri, menjauhi minuman yang memabukkan, dan tidak memakan daging babi dan yang sepertinya.
2. Apabila seorang lelaki Ahlilkitab menjadi Muslim, ia masih dalam ikatan pernikahan dengan istrinya yang juga dari Ahlilkitab. Sedangkan apabila istrinya yang menjadi Muslim, sementara suaminya tidak, maka pernikahan keduannya menjadi batil. Tetapi apabila suaminya menjadi Muslim sebelum masa idahnya habis, maka ia lebih pantas menjadi suami perempuan tersebut, dan ikatan pernikahan keduanya tetap terjaga. Hukum ini berlaku, dengan catatan lelaki tersebut pernah berhubungan intim dengan istrinya itu, namun bila belum pernah, pernikahan keduanya batil secara langsung, dan maharnya tidak menjadi hak perempuan itu.
3. Murtad sebelum berhubungan intim meniscayakan putusnya tali pernikahan. Tetapi apabila setelahnya, sang istri atau suami murtad yang mana dahulunya ia bukan seorang Muslim maka hendaknya menunggu
Pustaka
Syiah
hingga berakhir masa idah istrinya. Apabila tidak bertaubat, pernikahan mereka batil seiring dengan kemurtadannya, namun apabila bertaubat maka keduanya masih dalam ikatan pernikahannya dahulu. Tetapi apabila idah sang istri keburu berakhir, maka pernikahan keduanya pun menjadi batil. Dan apabila setelah itu keduannya bertaubat, serta menginginkan untuk rujuk kembali, maka harus mengulangi akadnya dengan akad baru.
4. Apabila seorang Muslim fitri (yang lahir dari kedua orangtua yang Muslim) murtad, maka pernikahannya batil sejak kemurtadannya, karena tidak akan diterima taubat darinya.
5. Tidak layak menikah dengan perempuan atau lelaki nashibi, namun diperbolehkan menikah dengan perempuan yang bermazhab selain Syiah.
Demikian pula diperbolehkan bagi perempuan yang bermazhab Syiah menikah dengan lelaki yang bukan bermazhab Syiah dengan tetap menjaga kehatian-hatian yang tidak boleh disepelekan dalam situasi normal sekalipun, karena seorang istri mengambil agamanya dari suaminya.
B. MUHRIM SENASAB (NASABI)
Al-Quran:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, dan anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan….74
Penjelasan Hukum:
Muhrim-muhrim nasabi yang diharamkan menikah dengan mereka, adalah sebagai berikut:
1. Ibu dan ibunya ibu (nenek), hingga ke atas dan apakah dari pihak ayah atau dari ibu.
2. Anak perempuan dan cucu perempuan dari anak perempuan, hingga terus ke bawah.
Pustaka
Syiah
3. Apabila seorang lelaki mengetahui bahwa telah dilahirkan seorang anak perempuan darinya, maka kelak ia tidak diperbolehkan menikah dengannya, meskipun secara hukum syar’i nasabnya terputus darinya, sebagaimana seorang anak yang lahir dari perzinahan atau ibunya pernah dituduh berzina.
4. Anak perempuan dari anak lelaki, hungga terus ke bawah.
5. Saudara perempuan, apakah seayah, seibu, atau seayah-seibu.
6. Anak perempuan dari saudara perempuan dan anak perempuan dari anak- anak mereka.
7. Bibi dari ayah, apakah ia saudara perempuan sedarah atau bukan dengan ayah. Dan termasuk juga bibinya ayah dan ibu dari pihak ayah keduanya.
8. Bibi dari ibu, apakah saudara perempuan sedarah atau bukan dengan ibu.
Dan termasuk juga bibinya ayah atau ibu dari pihak ibu keduanya.
9. Anak perempuan dari saudara lelaki ( apakah saudara lelaki sedarah atau bukan). Dan termasuk juga cucu perempuan dari anak perempuannya saudara lelaki dan anak perempuan dari cucu lelaki atau dari cucu perempuannya.
10. Anak perempuan dari saudara perempuan (apakah sedarah atau bukan) dan anak perempuannya. Sebagaimana pada perempuan ketentuan ini berlaku juga pada lelaki, seperti ayah, paman dari ayah atau dari ibu hingga ke atas, anak lelaki hingga ke bawah, saudara lelaki dan anak lelakinya, dan anak lelaki dari saudara perempuan.
C. MUHRIM SEPESUSUAN
Al-Quran:
Diharamkan atas kamu (mengawini)…ibu-ibumu yang menyusukan kamu;
saudara-saudara kamu sepesusuan….75
Pandangan Wahyu
• Syariat Islam telah mengharamkan sekelompok wanita untuk dinikahi laki-laki, termasuk di antaranya adalah ibu yang menyusuinya dan saudara perempuan sepesusuan. Pengharaman ini terdapat pada kalimat yang menjelaskan tentang muhrim nasabi seperti ibu dan saudara perempuan,
Pustaka
Syiah
yang mana menunjukkan bahwa hubungan kekeluargaan karena menyusui seperti hubungan kekeluargaan secara nasab. Karena itu, orang yang diharamkan untuk dinikahi karena hubungan nasab, juga diharamkan karena hubungan sepesusuan.
• Ayat al-Quran yang berbunyi, ...dan ibu-ibu kamu yang menyusui kamu dan, dan saudara-saudara kamu sepesusuan, menunjukkan bahwa pengharaman ini tidak terjadi kecuali setelah wanita yang menyusui telah dapat disebut sebagai “ibu” dan anak perempuannya telah dapat dikatakan sebagai saudara perempuannya. Dan hal itu tidak akan terjadi kecuali tubuh anak yang menyusui tumbuh dengan air susu dari wanita tersebut.
Sebagaimana dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tulang-tulangnya menjadi kuat, dan dagingnya tumbuh, dan semua itu terjadi setelah menyusui selama sepuluh hari atau lebih, atau setelah menyusui sehari- semalam.
• Kapan pun seorang wanita menjadi ibu susuan, maka ia juga nenek bagi anak-anak dari orang yang menyusu darinya, bibi bagi anak-anak dari saudara lelaki dan bagi anak-anak dari saudara perempuannya orang yang menyusu darinya. Demikian pula suaminya menjadi ayah susuan bagi si anak yang menyusu padanya. Dalil atas keumuman hukum ini adalah firman Allah Swt berikut, dan saudara-saudara perempuan sepesusuan.
Jadi, saudara perempuan bagi anak yang menyusu, karena ibunya menyusui anak tersebut, yang mana hal itu merupakan dalil bagi pertalian kekeluargaan dengan anak yang menyusu dapat melalui hubungan kekeluargaan dengan ibu susuannya.
Riwayat:
1. Dalam sebuah hadis dari Imam Muhammad Baqir as, dijelaskan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dengan susuan menjadi haram apa-apa yang diharamkan secara nasab.76
2. Diriwayatkan oleh Ziyad bin Sauqah, “Aku bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as, “Apakah terdapat batasan dalam masalah susuan yang kita dapat jadikan ketentuan?” Imam as berkata, ‘Menyusu kurang dari sehari-semalam atau lima belas kali terus-menerus dari puting susu seorang
Pustaka
Syiah
wanita dan dari seorang laki-laki, tanpa dipisah dengan menyusu dari wanita yang lain, tidak akan menyebabkan menjadi semuhrim.”77
3. Imam Ja’far Shadiq as setelah mendengarkan pertanyaan tentang bagaimana seseorang menjadi muhrim karena susuan, mengatakan, “Yaitu susuan yang dengannya daging tumbuh dan tulang menjadi kuat.’ Perawi mengatakan,
‘Apakah seorang anak dengan sepuluh kali menyusu dapat menjadi muhrim?’ Imam as menjawab, ‘Tidak, karena dengan sepuluh kali susuan daging belum tumbuh dan tulang pun belum kuat.’”78
Syarat-syarat Susuan
1. Dalam sebuah hadis dari Imam Ja’far Shadiq as dikatakan bahwa beliau as ditanya tentang seorang perempuan yang menyusui bayi laki-laki dan perempuan, tanpa ia melahirkan sebelumnya, “Apakah susu itu adalah susuan yang menyebabkan keduanya menjadi muhrim?” Imam as berkata,
‘Tidak.’”79
2. Dalam sebuah hadis dari Imam Ali as disebutkan bahwa beliau as berkata,
“Susu yang haram tidak membuat yang halal menjadi haram, seperti seorang perempuan yang menyusui seorang bayi dengan air susu suaminya, kemudian ia menyusui bayi lainnya dengan air susu dari perzinahan.”80
Penjelasan Hukum:
Para ulama fikih menetapkan sejumlah syarat bagi susuan yang menyebabkan kemuhriman:
Syarat pertama: Susu harus dari hasil pernikahan
Syarat ini memiliki sejumlah rincian, yang akan kami jelaskan di bawah ini:
a. Susu harus dihasilkan dari pernikahan, maka apabila seorang gadis susu pada payudaranya mencair, lalu dengan itu ia menyusui seorang bayi, susuan tersebut tidak menyebabkan kemuhrimannya. Menurut keterangan dari sejumlah hadis, susuan tersebut tidak menyebabkan pertalian apa-apa.
Tetapi hati-hatinya, hendaknya menjauhi pernikahan dengan orang yang secara istilah disebut dengan ibu susuan atau saudara perempuan susuan.
b. Apabila seorang perempuan –na’uzubillah– berzina, kemudian hamil lalu ia melahirkan, setelah itu, ia menyusui seorang bayi dengan susu tersebut,
Pustaka
Syiah
maka susuan tersebut tidak menyebabkan kemuhrimannya. Menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama fikih dan hati-hatinya adalah sebagaimana keterangan yang lalu, harus dijauhkan.
c. Apabila seorang lelaki berhubungan badan dengan seorang wanita yang disangkanya adalah istrinya –yang dalam istilah fikih disebut dengan
“hubungan syubhat”- kemudian karenanya, wanita tersebut hamil lalu setelah itu ia melahirkan seorang bayi, maka keniscayaan akan kemuhriman dengan susuan tersebut sesuai dengan ihtiyat.
d. Apabila seorang wanita ditalak selagi hamil kemudian ia melahirkan, lalu ia menyusui seorang bayi, maka hal itu akan menyebabkan kemuhriman, karena air susunya dihasilkan dari pernikahan yang sah.
e. Apabila wanita hamil ditalak, selepas itu ia melahirkan, kemudian ia menikah lagi dengan lelaki lain, dan ia menyusui seorang bayi, maka hal itu meniscayakan kemuhriman, tetapi susu tersebut berasal dari suaminya yang pertama. Karena itu, suami yang pertamalah sebagai ayah susuan bayi tersebut bukan suami yang kedua, kecuali wanita tersebut hamil lagi darinya dan susu dari suami yang pertama telah terputus, lalu susu pada payudaranya kembali muncul, dalam hal ini para ulama fikih mengatakan:
Susu tersebut berasal dari suami yang kedua dan dialah ayah susuan bayi tersebut bukan suami yang pertama.
Apabila secara ilmiah mungkin kita ketahui yang menjadi sumber susu, apakah susu ini berasal dari suami yang pertama atau yang kedua, maka kita harus bersandar pada temuan ilmiah tersebut dan pemilik susu (apakah itu suami yang pertama atau yang kedua) adalah ayah susuan bayi tersebut.
Syarat kedua: Ukuran susuan Al-Quran:
Dan ibu-ibu kamu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuan kamu sepesusuan….81
Dari ayat suci ini dapat kita simpulkan bahwa susuan yang meniscayakan kemuhriman adalah susuan yang meniscayakan wanita yang menyusui sebagai ibu susuan dan anak perempuannya sebagai saudara sepesusuan. Dan ibu adalah pokok kehidupan manusia dan susu yang tidak membuat daging tumbuh dan tidak menghasilkan darah tidak akan memenuhinya.
Pustaka
Syiah
Riwayat:
1. Diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as, bahwa beliau as berkata, “Susuan tidak akan menyebabkan kemuhriman kecuali menghasilkan darah dan menumbuhkan daging.”82
2. Dan beliau as juga berkata, “Susuan tidak akan menyebabkan kemuhriman kecuali dapat menumbuhkan daging dan menguatkan tulang-tulang.”83
3. Imam Muhammad Baqir as ketika ditanya tentang ukuran susuan, mengatakan, “Susuan yang kurang dari sehari-semalam atau lima belas kali menyusui secara terus-menerus dari seorang wanita yang berasal dari seorang lelaki, tanpa dipisahkan dengan susuan dari perempuan lain, maka tidak menyebabkan kemuhriman.”84
4. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ya’fur, bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as, ‘Bagaimana susuan yang dapat menyebabkan kemuhriman?’ Imam as berkata, ‘Apabila menyusui sampai perut bayi terasa kenyang dan darinya tumbuh dagingnya dan mencul darahnya maka demikianlah yang dapat menyebabkan kemuhriman.’”85
Penjelasan Hukum:
Tumbuhnya Daging Ukuran Kemuhriman
Susuan untuk dapat menyebabakan kemuhriman, maka harus sampai pada kadar di mana dapat menumbuhkan daging, menciptakan darah, dan menguatkan tulang-tulang. Hal tersebut dapat dipahami dari bertambahnya berat badan, perkembangan tulang yang terus-menerus, peredaran darah dalam beragam cara dan kesegaran pada raut wajah bayi dan tanda-tanda lainnya yang biasa dipahami oleh ibu-ibu yang sedang menyusui.
Namun berdasarkan pendapat yang lebih kuat, tumbuhnya daging dan munculnya darah sudah dianggap cukup, meskipun tulang –yang secara zahir–
yang berada pada tahapan berikutnya, belum menjadi kuat.
Diharuskan tumbuhnya daging dari susu yang diberikan dalam beberapa kali hanya terkait dengan perempuan itu saja. Adapun setelah itu, sang bayi menyusu lagi dengan susu wanita yang lain, maka dianggap belum memenuhi syarat.