• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORANG-ORANG YANG HARAM DINIKAHI

C. MUHRIM SEPESUSUAN

Al-Quran:

Diharamkan atas kamu (mengawini)…ibu-ibumu yang menyusukan kamu;

saudara-saudara kamu sepesusuan….75

Pandangan Wahyu

• Syariat Islam telah mengharamkan sekelompok wanita untuk dinikahi laki-laki, termasuk di antaranya adalah ibu yang menyusuinya dan saudara perempuan sepesusuan. Pengharaman ini terdapat pada kalimat yang menjelaskan tentang muhrim nasabi seperti ibu dan saudara perempuan,

Pustaka

Syiah

yang mana menunjukkan bahwa hubungan kekeluargaan karena menyusui seperti hubungan kekeluargaan secara nasab. Karena itu, orang yang diharamkan untuk dinikahi karena hubungan nasab, juga diharamkan karena hubungan sepesusuan.

• Ayat al-Quran yang berbunyi, ...dan ibu-ibu kamu yang menyusui kamu dan, dan saudara-saudara kamu sepesusuan, menunjukkan bahwa pengharaman ini tidak terjadi kecuali setelah wanita yang menyusui telah dapat disebut sebagai “ibu” dan anak perempuannya telah dapat dikatakan sebagai saudara perempuannya. Dan hal itu tidak akan terjadi kecuali tubuh anak yang menyusui tumbuh dengan air susu dari wanita tersebut.

Sebagaimana dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tulang-tulangnya menjadi kuat, dan dagingnya tumbuh, dan semua itu terjadi setelah menyusui selama sepuluh hari atau lebih, atau setelah menyusui sehari-semalam.

• Kapan pun seorang wanita menjadi ibu susuan, maka ia juga nenek bagi anak-anak dari orang yang menyusu darinya, bibi bagi anak-anak dari saudara lelaki dan bagi anak-anak dari saudara perempuannya orang yang menyusu darinya. Demikian pula suaminya menjadi ayah susuan bagi si anak yang menyusu padanya. Dalil atas keumuman hukum ini adalah firman Allah Swt berikut, dan saudara-saudara perempuan sepesusuan.

Jadi, saudara perempuan bagi anak yang menyusu, karena ibunya menyusui anak tersebut, yang mana hal itu merupakan dalil bagi pertalian kekeluargaan dengan anak yang menyusu dapat melalui hubungan kekeluargaan dengan ibu susuannya.

Riwayat:

1. Dalam sebuah hadis dari Imam Muhammad Baqir as, dijelaskan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dengan susuan menjadi haram apa-apa yang diharamkan secara nasab.76

2. Diriwayatkan oleh Ziyad bin Sauqah, “Aku bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as, “Apakah terdapat batasan dalam masalah susuan yang kita dapat jadikan ketentuan?” Imam as berkata, ‘Menyusu kurang dari sehari-semalam atau lima belas kali terus-menerus dari puting susu seorang

Pustaka

Syiah

wanita dan dari seorang laki-laki, tanpa dipisah dengan menyusu dari wanita yang lain, tidak akan menyebabkan menjadi semuhrim.”77

3. Imam Ja’far Shadiq as setelah mendengarkan pertanyaan tentang bagaimana seseorang menjadi muhrim karena susuan, mengatakan, “Yaitu susuan yang dengannya daging tumbuh dan tulang menjadi kuat.’ Perawi mengatakan,

‘Apakah seorang anak dengan sepuluh kali menyusu dapat menjadi muhrim?’ Imam as menjawab, ‘Tidak, karena dengan sepuluh kali susuan daging belum tumbuh dan tulang pun belum kuat.’”78

Syarat-syarat Susuan

1. Dalam sebuah hadis dari Imam Ja’far Shadiq as dikatakan bahwa beliau as ditanya tentang seorang perempuan yang menyusui bayi laki-laki dan perempuan, tanpa ia melahirkan sebelumnya, “Apakah susu itu adalah susuan yang menyebabkan keduanya menjadi muhrim?” Imam as berkata,

‘Tidak.’”79

2. Dalam sebuah hadis dari Imam Ali as disebutkan bahwa beliau as berkata,

“Susu yang haram tidak membuat yang halal menjadi haram, seperti seorang perempuan yang menyusui seorang bayi dengan air susu suaminya, kemudian ia menyusui bayi lainnya dengan air susu dari perzinahan.”80

Penjelasan Hukum:

Para ulama fikih menetapkan sejumlah syarat bagi susuan yang menyebabkan kemuhriman:

Syarat pertama: Susu harus dari hasil pernikahan

Syarat ini memiliki sejumlah rincian, yang akan kami jelaskan di bawah ini:

a. Susu harus dihasilkan dari pernikahan, maka apabila seorang gadis susu pada payudaranya mencair, lalu dengan itu ia menyusui seorang bayi, susuan tersebut tidak menyebabkan kemuhrimannya. Menurut keterangan dari sejumlah hadis, susuan tersebut tidak menyebabkan pertalian apa-apa.

Tetapi hati-hatinya, hendaknya menjauhi pernikahan dengan orang yang secara istilah disebut dengan ibu susuan atau saudara perempuan susuan.

b. Apabila seorang perempuan –na’uzubillah– berzina, kemudian hamil lalu ia melahirkan, setelah itu, ia menyusui seorang bayi dengan susu tersebut,

Pustaka

Syiah

maka susuan tersebut tidak menyebabkan kemuhrimannya. Menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama fikih dan hati-hatinya adalah sebagaimana keterangan yang lalu, harus dijauhkan.

c. Apabila seorang lelaki berhubungan badan dengan seorang wanita yang disangkanya adalah istrinya –yang dalam istilah fikih disebut dengan

“hubungan syubhat”- kemudian karenanya, wanita tersebut hamil lalu setelah itu ia melahirkan seorang bayi, maka keniscayaan akan kemuhriman dengan susuan tersebut sesuai dengan ihtiyat.

d. Apabila seorang wanita ditalak selagi hamil kemudian ia melahirkan, lalu ia menyusui seorang bayi, maka hal itu akan menyebabkan kemuhriman, karena air susunya dihasilkan dari pernikahan yang sah.

e. Apabila wanita hamil ditalak, selepas itu ia melahirkan, kemudian ia menikah lagi dengan lelaki lain, dan ia menyusui seorang bayi, maka hal itu meniscayakan kemuhriman, tetapi susu tersebut berasal dari suaminya yang pertama. Karena itu, suami yang pertamalah sebagai ayah susuan bayi tersebut bukan suami yang kedua, kecuali wanita tersebut hamil lagi darinya dan susu dari suami yang pertama telah terputus, lalu susu pada payudaranya kembali muncul, dalam hal ini para ulama fikih mengatakan:

Susu tersebut berasal dari suami yang kedua dan dialah ayah susuan bayi tersebut bukan suami yang pertama.

Apabila secara ilmiah mungkin kita ketahui yang menjadi sumber susu, apakah susu ini berasal dari suami yang pertama atau yang kedua, maka kita harus bersandar pada temuan ilmiah tersebut dan pemilik susu (apakah itu suami yang pertama atau yang kedua) adalah ayah susuan bayi tersebut.

Syarat kedua: Ukuran susuan Al-Quran:

Dan ibu-ibu kamu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuan kamu sepesusuan….81

Dari ayat suci ini dapat kita simpulkan bahwa susuan yang meniscayakan kemuhriman adalah susuan yang meniscayakan wanita yang menyusui sebagai ibu susuan dan anak perempuannya sebagai saudara sepesusuan. Dan ibu adalah pokok kehidupan manusia dan susu yang tidak membuat daging tumbuh dan tidak menghasilkan darah tidak akan memenuhinya.

Pustaka

Syiah

Riwayat:

1. Diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as, bahwa beliau as berkata, “Susuan tidak akan menyebabkan kemuhriman kecuali menghasilkan darah dan menumbuhkan daging.”82

2. Dan beliau as juga berkata, “Susuan tidak akan menyebabkan kemuhriman kecuali dapat menumbuhkan daging dan menguatkan tulang-tulang.”83

3. Imam Muhammad Baqir as ketika ditanya tentang ukuran susuan, mengatakan, “Susuan yang kurang dari sehari-semalam atau lima belas kali menyusui secara terus-menerus dari seorang wanita yang berasal dari seorang lelaki, tanpa dipisahkan dengan susuan dari perempuan lain, maka tidak menyebabkan kemuhriman.”84

4. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ya’fur, bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as, ‘Bagaimana susuan yang dapat menyebabkan kemuhriman?’ Imam as berkata, ‘Apabila menyusui sampai perut bayi terasa kenyang dan darinya tumbuh dagingnya dan mencul darahnya maka demikianlah yang dapat menyebabkan kemuhriman.’”85

Penjelasan Hukum:

Tumbuhnya Daging Ukuran Kemuhriman

Susuan untuk dapat menyebabakan kemuhriman, maka harus sampai pada kadar di mana dapat menumbuhkan daging, menciptakan darah, dan menguatkan tulang-tulang. Hal tersebut dapat dipahami dari bertambahnya berat badan, perkembangan tulang yang terus-menerus, peredaran darah dalam beragam cara dan kesegaran pada raut wajah bayi dan tanda-tanda lainnya yang biasa dipahami oleh ibu-ibu yang sedang menyusui.

Namun berdasarkan pendapat yang lebih kuat, tumbuhnya daging dan munculnya darah sudah dianggap cukup, meskipun tulang –yang secara zahir–

yang berada pada tahapan berikutnya, belum menjadi kuat.

Diharuskan tumbuhnya daging dari susu yang diberikan dalam beberapa kali hanya terkait dengan perempuan itu saja. Adapun setelah itu, sang bayi menyusu lagi dengan susu wanita yang lain, maka dianggap belum memenuhi syarat.

Pustaka

Syiah

Sang Pengatur Yang Mahasuci bertujuan untuk memudahkan dan memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk terciptanya syarat ini, telah menentukan dua standar, yaitu, “Menyusu selama sehari-semalam atau menyusu sebanyak lima belas kali secara terus-menerus.

a. Menyusu sehari-semalam

Apabila bayi menyusu kepada seorang perempuan mulai dari pertengahan hari Jumat hingga waktu Zuhur keesokan harinya (hari Sabtu), maka perempuan itu telah menjadi ibu susuannya, tetapi tetap dengan catatan selama menyusu tidak ada makanan lain yang dimakan oleh bayi tersebut selain susu wanita itu. Namun bila ada, maka dianggap belum mencukupi. Tetapi tentu saja bila makanan tambahan itu hanya dalam kadar yang sedikit sekali, maka tidak akan berarti apa-apa.

Dan apabila bayi dalam masa menyusu itu menderita sakit atau susu perempuan itu berkurang hingga tidak mungkin dapat menumbuhkan daging dan menambah darah, maka jauh dari kemungkinan dapat menyebabkan kemuhriman, tetapi menjalani ihtiyat dalam kasus seperti ini adalah yang terbaik.

b. Menyusu sebanyak lima belas kali

Apabila menyusui sebanyak lima belas kali, maka susu tersebut telah dapat menumbuhkan daging dan menciptakan darah. Tetapi kendati menyusui hanya sebanyak sepuluh kali, namun dapat menumbuhkan daging, menguatkan tulang-tulang, atau menciptakan darah, maka secara zahir sudah dianggap mencukupi. Dan selain daripada itu, tidak. Untuk setiapkali menyusui terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

• Setiapkali menyusui harus dilakukan dengan sempurna secara ‘urf (tradisi), yang ditandai dengan sang bayi telah merasa kenyang, lalu ia melepaskan mulutnya dari payudara, dan lebih dari itu membuatnya tertidur. Tetapi apabila ia terlihat kesal dengan payudara atau perhatiannya sedang tertuju pada seseorang yang sedang mengajaknya bermain, sampai ia melepaskan mulutnya dari payudara dan berpaling dari menyusu, maka hal itu tidak termasuk bagian dalam menyusu, justru merupakan penyempurnaan bagi bagian sebelumnya.

Pustaka

Syiah

• Setiap sedotan dalam menyusu dilakukan dengan berkesinambungan. Jadi, apabila dua perempuan menyusui secara bergantian, maka hal itu dianggap tidak mencukupi, meskipun keduanya dari suami yang satu.

Tidak bermasalah jika sedikit susu atau air gula diberikan kepada bayi yang sedang menyusu, dengan catatan bahwa makanan asli yang menumbuhkan darah dan daging bayi itu, adalah susu wanita tersebut.

Tetapi seandainya daging dan darahnya tercipta dari makanan atau minuman atau dari keduanya ditambah dengan susunya wanita tersebut, maka tampaknya hal itu tidak menyebabkan kemuhriman.

• Menyusu harus langsung dari payudara. Maka apabila susu diambil dari payudara, kemudian diberikan kepada bayi, menurut pendapat umumnya para ahli fikih hal itu tidak menyebabkan kemuhriman. Karena hal itu tidak bisa disebut dengan menyusu lagi. Tetapi ihtiyat lebih baik, khususnya apabila dengan susu itu daging menjadi tumbuh dan darah pun tercipta.

Tetapi apabila menghisap susu dari payudara dengan menggunakan selang yang bersambung dengan payudara, maka hal itu tidak bermasalah.

Karena para ahli fikih berpendapat bahwa hal tersebut masih dapat disebut dengan menyusu. Dan konotasi itu juga terdapat dalam masalah menyusu selama sehari-semalam.

• Sebagian ahli fikih mensyaratkan bahwa menyusu harus di masa hidupnya perempuan yang menyusui, maka apabila seorang bayi bagian terakhir menyusunya dilakukan setelah perempuan yang menyusuinya telah meninggal dunia, maka hal itu tidak mencukupi. Karena tidak dapat disebut dengan menyusu. Dan dalam kasus seperti ini, tidak diperbolehkan meninggalkan kehati-hatian.

Syarat ketiga: Menyusu harus sebelum masa penyapihan

Al-Quran:

Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan susuan….86

Riwayat:

Pustaka

Syiah

1. Imam Ja’far Shadiq as berkata bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,

“Setelah masa penyapihan, maka hukum susuan tidak berlaku lagi.”87

2. Diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as, bahwa beliau as berkata,

“Menyusu sebelum dua tahun dan sebelum masa penyapihan bayi dari susuan.”88

3. Hamad bin Usman meriwayatkan bahwa Imam Ja’far Shadiq as berkata,

“Setelah bayi disapih dari susuan, maka tidak ada lagi hukum susuan. Aku bertanya, ‘Apakah yang dimaksud dengan penyapihan?’ Imam as berkata,

‘Dua tahun sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah Swt.’”89

Penjelasan Hukum:

Disyaratkan susuan harus dilakukan selama dua tahun penuh. Tetapi apabila seorang bayi menyusu setelah lewat dua tahun, maka ia tidak menjadi semuhrim dengan pengasuhnya itu, karena ia menyusu di hari-hari selepas dua tahun.

Usia anak kandungnya pengasuh harus kurang dari dua tahun bukanlah syarat, tetapi lebih baik tetap menjaga kehatian-hatian bila masalah berkaitan dengan pengasuh. Sebagaimana juga lebih baik menjalankan ihtiyat dalam kaitannya dengan bayi yang telah disapih, tapi kemudian menyusu dari seorang wanita (lain), meskipun belum mencapai dua tahun. Yang lebih kuat adalah tidak adanya keharusan mengamalkan ihtiyat tersebut pada dua contoh kasus tersebut.

Jadi, apabila susuan terakhir terjadi sebelum lewat masa dua tahun, maka ketentuan kemuhriman pun terjadi, sedangkan di luar kasus ini, tidak.

Ukuran: Adalah usia bayi yang menyusu telah mencapai dua puluh empat bulan, bukan awal atau akhir tahun Hijriah.

Syarat keempat: Air susu harus dari satu lelaki

Riwayat:

1. Ammar Sabathi mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as tentang anak lelaki yang menyusu kepada seorang perempuan, ‘Apakah orang ini dapat menikah dengan saudara perempuan sepesusuan seayah perempuan itu?’ Imam as menjawab, ‘Tidak, karena kedua saudara perempuan itu menyusu dari susu seorang wanita, yang berasal dari satu lelaki.’ Aku bertanya, ‘Apakah diperbolehklan menikah dengan saudara

Pustaka

Syiah

perempuan sepesusuan seibu perempuan tersebut?’ Imam as berkata, ‘Tidak apa-apa, karena saudara perempuan yang tidak menyusui orang itu di masa kecilnya, berasal dari seorang lelaki yang bukan lelaki yang mana asalnya saudara perempuan yang menyusui anak remaja itu, dan karena lelakinya berbeda maka tidak apa-apa.’”90

2. Muhammad bin Abi Nashr mengatakan, “Aku bertanya kepada Abil-Hasan as tentang seorang wanita yang pernah menyusui anak perempuan, dan suaminya memiliki seorang anak lelaki dari wanita yang lain, ‘Apakah anak lelaki suaminya itu dapat menikah dengan anak gadis yang pernah disusui oleh wanita itu?’ Imam as berkata, ‘Air susu berasal dari satu lelaki.’”91

Penjelasan Hukum:

Lelaki (suami) adalam ukuran dalam masalah sesusuan. Dan air susu disebut hanya sebagai miliknya. Dan hal kemuhriman, dapat berlaku umum di mana air susu berasal dari satu laki-laki, merskipun perempuannya banyak.

Sebaliknya, hal kemuhriman tidak berlaku umum apabila laki-lakinya banyak, meskipun perempuannya hanya seorang. Penjelasan mengenai syarat ini, akan dibawakan di bawah ini:

1. Zahra adalah istri Ja’far yang sedang menyusui seorang anak lelaki bernama Hadi. Dan Ruqayah istri kedua Ja’far sedang menyusui seorang anak perempuan bernama Asma. Dalam contoh kasus ini, Hadi tidak dapat menikah dengan Asma, karena keduanya menyusu dari air susu yang merupakan milik Ja’far, kendati disebutkan peran dua orang perempuan yang berbeda di dalamnya.

2. Kemudian Ja’far menceraikan istrinya yang bernama Zahra. Lalu Zahra menikah lagi dengan laki-laki lain, dan ia menyusui seorang anak perempuan bernama Hajir dengan air susunya yang dihasilkan setelah pernikahannya yang kedua dan setelah kehamilannya dari suami yang kedua. Pertanyaannya, “Apakah Hadi dapat menikah dengan Hajir?”

Ya, karena air susu milik laki-laki. Dan dalam kasus ini, meskipun wanita yang menyusui hanya seorang saja, tidak banyak, tetapi pembahasan berkaitan dengan keberadaan dua orang laki-laki. Dalam riwayat lainnya dijelaskan tentang keharaman pernikahan keduannya, tetapi para ahli fikih tidak terlalu memperdulikan hadis tersebut.

Pustaka

Syiah

3. Zahra melahirkan seorang bayi perempuan bernama Shiddiqah dari suami keduanya. Pertanyaannya, “Apakah Hadi yang merupakan anak susuannya Zahra, dapat menikah dengan Shiddiqah?”

Tidak boleh, karena anak-anaknya Zahra secara nasab haram atas orang-orang yang pernah disusuinya. Tetapi dalam kasus adanya perbedaan suami, maka anak-anak sepesusuannya Zahra yang satu tidak menjadi muhrim bagi yang lainnya.

Arti Ihtiyat dalam Masalah Susuan

Pada sebagian keterangan yang lalu, kami telah menegaskan perlunya ihtiyat. Pertanyaan, “Apakah arti dari ihtiyat di sini?”

Ihtiyat adalah tidak menikah dengan sejumlah orang yang kita ragu, apakah mereka memiliki hubungan sepesusuan dengan seseorang. Tetapi –di sisi lain– ia tidak boleh memandang kepada gadis tersebut dan gadis itu harus mengenakan hijab.

Jadi, anak gadis itu secara ihtiyat adalah muhrimnya anak lelaki itu. Dan segi hukum memandang, dia seperti yang bukan muhrimnya.

Cakupan Kemuhriman dalam Susuan

Riwayat:

1. Diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as, bahwa beliau as berkata, “Imam Ali as menyebutkan nama anak gadis Hamzah kepada Rasulullah saw.

Beliau saw berkata, ‘Apakah kamu tidak mengetahui bahwa ia adalah anak gadis saudara sepesusuanku?’ Rasulullah saw dan pamannya yakni Hamzah pernah menyusu pada seorang perempuan yang sama.’”92

2. Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Seorang wanita tidak boleh dinikahi oleh paman susuan baik dari ayah susuan atau dari ibu susuannya.”93

3. Usman bin Isa meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as, “Aku bertanya kepada beliau as, ‘Saudara lelakiku menikah dengan seorang wanita. Setelah itu, istrinya pun melahirkan seorang anak. Kemudian istri saudaraku itu menyusui juga seorang bayi perempuan milik salah satu anggota masyarakat. Apakah aku kelak boleh menikah dengannya?’ Imam as

Pustaka

Syiah

berkata, ‘Tidak. Karena semua yang diharamkan karena nasab juga diharamkan karena susuan.’”94

Penjelasan Hukum:

Susuan menciptakan pertalian antara anak susuan dengan ibu susuan atau antara dia dan suami dari ibu susuannya, seperti pertalian nasab. Dan anak susuan itu benar-benar telah menjadi anak keduanya. Jadi lewat keduanya, kemuhriman pun terjadi antara anak susuan dengan sejumlah anggota keluarga keduanya.

Maka ibu susuannya anak itu menjadi neneknya, saudara perempuannya menjadi bibinya, saudara perempuan dari ayah susuan menjadi bibinya pula. Apabila anak susuan adalah anak perempuan maka ia menjadi muhrim dengan anak-anak laki-laki ibu susuannya, dan juga dengan anak-anak lelaki-laki dan anak-anak lelaki-laki susuan dari ayah susuannya (berdasarkan penjelasan yang lalu), dan juga muhrim dengan saudara laki-laki ibu susuannya dan saudara laki-laki ayah susuannya.

Ukurannya adalah kita hanya menempatkan kata “susuan” pada tempat

“nasab.” Jadi, apabila ibu nasab adalah muhrim, maka ibu susuan pun adalah muhrim, apabila sudara perempuan, bibi dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ayah nasab adalah muhrim, maka anggota keluarga ini menjadi muhrim karena susuan.

Dan haram bagiku wanita yang dinikahi oleh ayah nasabku, begitu pula seandainya ayah susuanku menikahi seorang wanita, maka wanita itu menjadi haram bagiku. Dan sebagaimana istri dari anak laki-laki nasab adalah haram bagiku, istri dari anak susuanku pun haram bagiku.

Adapun saudara perempuannya saudara laki-laki nasabku tidak termasuk muhrim, seandainya tidak ada lagi pertalian selain itu antara aku dan perempuan itu. Demikian pula saudara perempuannya saudara laki-laki sepesusuanku. Dan ibunya saudara laki-laki sepesusuanku adalah muhrim, bukan dari sisi ibunya saudaraku, tapi dari sisi apakah ia adalah ibuku juga atau istrinya ayahku. Karena itu, ibunya saudara laki-laki sepesusuanku bukah muhrim denganku. Apabila aku dan anak-laki-laki pamanku menyusu dari satu perempuan, ‘Apakah ibunya menjadi muhrim dengan aku?’

‘Ia bukan muhrim, karena dalam syariat, orang yang muhrim dengan kita tidak ada yang disebut dengan “ibu saudara nasab,” sehingga susuannya pun menjadi muhrim.’”

Pustaka

Syiah

Hukum Saudara Perempuan Sepesusuan Anak Laki-laki

Riwayat:

Ali bin Syuaib menulis kepada Abil-Hasan as demikian, “Seorang wanita yang menyusui salah seorang dari anak-anakku, ‘Apakah aku dapat menikah dengan salah seorang dari anak-anaknya?’ Imam as menjawab demikian,

‘Perbuatan itu tidak diperbolehkan bagimu, karena anak-anaknya sama dengan anak-anakmu.’”95

Penjelasan Hukum:

1. Kebanyakan ulama fikih berpendapat: Tidak boleh seorang laki laki menikah dengan saudara-saudara perempuan sepesusuan anak laki-lakinya, karena mereka sama dengan anak-anak perempuannya.

Tetapi sebagian lain dari ulama fikih membolehkannya. Alasannya, perempuan-perempuan itu dalam pokok syariat tidak termasuk kategori yang diharamkan secara nasab, namun ihtiyat adalah apa yang dikatakan oleh masyhur ulama.

2. Tidak ada perbedaan di kalangan anak-anak pemilik susu (laki-laki) yang menjadi ayah susuan anaknya, antara anak-anak nasabnya atau anak-anak susuannya.

3. Adapun anak-anak ibu susuan, sejumlah orang dari mereka yang muhrim dengan ayah dari anak susuan adalah anak-anak nasab dari ibu susuan bukan anak-anak susuannya.

4. Tidak dosa, apabila seorang laki-laki menikah dengan saudara perempuan susuannya saudara perempuan nasab dirinya atau saudara perempuan

4. Tidak dosa, apabila seorang laki-laki menikah dengan saudara perempuan susuannya saudara perempuan nasab dirinya atau saudara perempuan