• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum-hukum Berhubungan Badan

BAGIAN KEEMPAT Perilaku yang Terpuji

1. Hukum-hukum Berhubungan Badan

Hukum-hukum ‘Azl282

Riwayat:

1. Yakub bin Ja’fi berkata, “Aku mendengar Abul-Hasan as berkata, “‘Azl diperbolehkan dalam enam keadaan: perempuan yang yakin akan kemandulannya, perempuan yang berusia lanjut, perempuan yang suka berbicara keji, perempuan yang suka berbicara tidak senonoh, perempuan yang tidak mau menyusui bayinya, dan budak perempuan.”283

2. Abdurrahman Haza menukil dari Abu Abdillah as, bahwa beliau as, “Ali bin Husain as tidak melihat ‘azl sebagai perbuatan yang dilarang.”284

3. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw melarang ‘azl dari perempuan yang merdeka, kecuali atas izinnya.”285

Penjelasan Hukum:

a. ‘Azl laki-laki

1. Diperbolehkan ‘azl-nya laki-laki dari budak perempuan, sekalipun budak perempuan itu adalah miliknya.

2. Seorang laki-laki dapat melakukan ‘azl dari istrinya yang merdeka, baik dari pernikahan mut’ah maupun permanen, dengan catatan, hal itu telah disetujui bersama saat pengucapan akad nikah.

3. Dan juga diperbolehkan melakukan ‘azl dari perempuan yang berusia lanjut, mandul, yang berprilaku kasar, suka berbicara keji, dan yang tidak suka menyusui bayinya, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis sebelumnya.

4. Dalam kondisi biasa, ‘azl diperbolehkan tetapi hukumnya makruh, secara khusus apabila pasangan wanita tidak setuju, kecuali terdapat tuntutan kemaslahatan yang lebih penting baik menurut agama maupun bersifat duniawi, seperti fisik pasangan wanita lemah,

Pustaka

Syiah

ditakutkan pasangan laki-laki tidak menunaikan kewajibanya, apakah itu hak pasangan wanita atau hak anak baik bersifat duniawi maupun maknawi. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, ‘azl menjadi tidak makruh.

5. Apabila ‘azl dapat mengakibatkan bahaya bagi pasangan wanita atau menunjukkan sikap yang tidak baik, maka menjadi haram dilakukan, kecuali apabila pasangan wanita setuju.

b. ‘Azl perempuan

Secara zahir, ‘azl perempuan –yakni ia tidak meinginginkan pasangan laki-lakinya mengeluarkan air maninya (penetrasi) di dalam rahimnya–

tanpa keridaan pasangan laki-lakinya, dan di mana hal tersebut bertentangan dengan penunaian wanita kepada hak pasangan laki-lakinya atau tanggung jawab laki-laki kepada pasangan perempuannya, hukumnya adalah haram. Tetapi apabila semua hal itu tidak ada, maka keharaman tidak lagi memiliki dalil.

Secara umum, hak-hak perempuan dan laki-laki bersifat timbal-balik.

Karena Allah Swt telah berfirman, …dan bagi mereka (para wanita) seperti apa-apa yang wajib atas mereka, secara benar….286

b. Hukum-hukum Menjauhi Hubungan Badan

Riwayat:

1. Shafwan bin Yahya menukil dari Abil-Hasan (Imam Ridha) as, mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam as tentang seorang laki-laki yang memiliki seorang istri yang muda, tetapi laki-laki itu sudah satu bulan atau bahkan satu tahun tidak melakukan hubungan badan dengannya, tentu saja hal itu dilakukannya bukan supaya ia tertimpa musibah, bahkan sebelumnya ia adalah orang yang tertimpa musibah,

‘Apakah perbuatan tersebut termasuk maksiat?’ Imam as berkata, ‘Apabila lebih dari empat bulan tidak berhubungan badan dengannya, maka termasuk maksiat.’”287

Penjelasan Hukum:

Pustaka

Syiah

Syariat Islam mengharamkan laki-laki tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya lebih dari empat bulan. Dan masalah ini memiliki hukum-hukum sebagai berikut:

1. Tidak diperbolehkan meninggalkan hubungan seksual dengan istri lebih dari empat bulan. Dalam masalah ini tidak dibedakan dalam hal akad, yakni apakah dengan istri permanen atau mut’ah.

2. Menurut pendapat yang lebih kuat tidak diperbolehkan meninggalkan hubungan badan dengan istri permanen, baik yang masih muda maupun yang sudah tua, apabila hal itu dapat berakibat buruk bagi istri atau dapat merusak sikap terpuji suami terhadap istrinya.

3. Diperbolehkan meninggalkan hubungan badan dengan istri, dalam beberapa keadaan di bawah ini:

a. Dengan seizin istri.

b. Telah disebutkan sebagai syarat, ketika akad nikah.

c. Tidak mungkin dilakukan karena berbagai alasan.

d. Ditakutkan hubungan badan dapat membahayakan suami atau istri.

e. Kepergian istri atas ikhtiarnya sendiri.

f. Istri durhaka kepada suami (yakni meninggalkan kewajibannya sebagai istri).

4. Dalam berhubungan badan yang wajib tidak harus selalu langsung.

Dan tidak apa-apa tidak melakukan berbagai variasi pendahuluan, dengan syarat tidak bertentangan dengan sikap yang terpuji.

5. Apabila setelah lewat masa empat bulan, suami tidak juga berhubungan badan dengan istri karena sesuatu yang menghalangi seperti haid atau karena maksiat dan lain-lain sepertinya, maka ia harus segera melakukannya setelah sebab-sebab itu tidak ada lagi.

Penjelasan Hukum:

1. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat –yang mana adalah pendapat yang masyhur– diperbolehkan berhubungan badan dengan istri atau budak perempuan lewat belakang (anus). Tetapi makruh syadid (sangat dimakruhkan), dan ahwat-nya adalah tidak melakukannya, secara khusus apabila tanpa keridaan istri atau dapat

Pustaka

Syiah

membahayakannya, sebagaimana telah dijelaskan oleh riwayat dari Ibnu Abi Ya’fur yang telah disebutkan sebelum ini.

2. Berdasarkan diperbolehkannya cara ini, apakah dapat dilakukan ketika istri dalam keadaan haid? Berdasarkan pendapat yang lebih kuat adalah dibolehkan.

3. Hubungan badan lewat belakang (anus) memiliki konsekuensi yang sama dengan hubungan badan, seperti wajib mandi setelahnya, adanya idah, istri berhak memiliki mahar, batalnya puasa, ditetapkannya hukum had, apabila wanitanya bukan istri yang sah. Sementara untuk ukuran telah terjadinya hubungan badan adalah dengan masuknya alat vital laki-laki atau sebagian darinya dan hal itu berakibat pada kemuhriman anak perempuan dan ibu dari wanita itu, dan hukum-hukum kekerabatan dengan pernikahan lainnya.

4. Cara hubungan badan semacam ini tidak cukup untuk kehalalan wanita yang dicerai dengan ditalak tiga, karena dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa “suami-istri harus merasakan satu sama lain”

(pribahasa untuk masuknya air mani ke rahim wanita), jadi dalam hal ini hubungan seksual harus dengan cara yang alami.

5. Sangat jauh dikatakan cukup, bahwa hubungan badan yang wajib adalah sekali dalam empat bulan dilakukan sekali dengan cara semacam ini.

c. Hukum-hukum Istri yang Belum Balig

Riwayat:

1. Abu Abdillah as berkata, “Apabila seorang laki-laki menikah dengan gadis yang belum berusia balig, maka ia tidak boleh berhubungan badan dengannya, hingga ia mencapai usia sembilan tahun.”288

2. Imam Ali as berkata, “Jangan menggauli istri yang masih berusia di bawah sepuluh tahun. Apabila seorang laki-laki menggaulinya hingga ia menjadi memiliki aib, maka laki-laki tersebut bertanggung jawab atas hal itu.”289

Penjelasan Hukum:

Pustaka

Syiah

1. Tidak diperbolehkan berhubungan seksual dengan istri yang usianya belum mencapai sembilan tahun, baik seorang yang merdeka atau seorang budak, dari pernikahan permanen atau mut’ah. Tetapi diperbolehkan melakukan variasi-variasi lainnya selain bersenggama, mencakup memandang, meraba-raba dengan syahwat, permainan pendahuluan dan lain-lain sepertinya.

2. Apabila seorang laki-laki menikah dengan gadis yang masih di bawah umur (apakah dengan akad permanen atau mut’ah), lalu bersenggama dengannya sebelum ia mencapai usia sembilan tahun, dan membuat dinding pemisah antara tempat keluarnya air seni dan jalur darah haidnya robek (ifdha), maka laki-laki tersebut dikenakan diyatnya – yang ukurannya adalah setengah dari diyat lelaki– atau ia menanggung biaya hidupnya sepanjang hidupnya. Kecuali tetap menjaga tali pernikahan dengannya dan tidak menalaknya. Dan dikatakan bahwa secara mutlak laki-laki tersebut harus tetap menanggung biaya hidupnya hingga akhir hayatnya. Dan perkataan ini sesuai dengan prinsip kehati-hatian (ihtiyat).

3. Ihtiyat adalah hendaknya tidak berhubungan badan dengan gadis, sebelum fisiknya sempurna dan sebelum dapat dikatakan wanita sempurna. Dengan adanya kemungkinan bahaya, seperti ifdha, dan yang lain sepertinya, maka hukumnya adalah haram.

Cabang-cabang Penjelasan:

1. Hukum ifdha terhadap budak yang dimiliki, wanita yang dihalalkan, wanita yang digauli secara syubhat, wanita yang digauli dengan berzina, atau wanita dewasa, berbeda dengan hukum ifdha terhadap istri yang masih kecil.

2. Dalam masalah ini, diyat berlaku pada semua tipe wanita di atas, selain wanita dewasa.

3. Dalam gambaran sebelumnya, sekalipun dalam kasus perzinahan, disyaratkan ifdha terjadi dengan bersenggama. Adapun tentang berlakunya diyat pada wanita dewasa (yang dengan keridaannya mau diperlakukan seperti ini) masih dianggap bermasalah, karena dirinya sendirilah yang mengakibatkan dirinya tertimpa bahaya.

Pustaka

Syiah

4. Melakukan ifdha dengan jari atau yang lainnya tidak disamakan dengan cara senggama, walaupun juga dapat menetapkan diyat.

5. Apabila seorang laki-laki bersenggama dengan istrinya yang baru sembilan tahun berakibat pada ifdha, istrinya itu tidak menjadi haram bagi laki-laki itu, dan diyat pun –sebagaimana telah dikatakan sebelumnya- tidak dikenakan atasnya. Tetapi pada sebagian kasus lainnya, harus tetap menjaga kehati-hatian (ihtiyat). Dan ihtiyat wajib adalah tetap memberi nafkah kepadanya sepanjang hidupnya.

6. Apabila akibat bersenggama sebelum sembilan tahun, istri menjadi tertimpa aib yang lain selain ifdha, maka suami harus membayar penggantinya. Dan demikian pula setiapkali karena ifdha muncul aib yang lain yang mengharuskan membayar pengganti atau diyat, maka laki-laki tersebut di samping diyat juga harus membayar pengganti tersebut.

7. Apabila seorang laki-laki ragu apakah istrinya telah berusia sembilan tahun atau belum, maka ia tidak boleh bersenggama dengan istrinya itu, karena gadis itu dihukumi belum balig.

8. Setelah ifdha –bila istrinya masih dalam setatus istrinya- berlaku semua hukum yang terkait dengan masalah pernikahan, termasuk juga keharaman saudara perempuan bagi laki-laki tersebut.

9. Kewajiban menafkahi wanita tersebut berlaku sepanjang hidupnya, meskipun ia bermaksiat kepada suaminya tidak menggugurkan kewajiban tersebut, karena dimungkinkan nafkah tersebut bukan berkategori nafkah untuk istri, tetapi sebagai pengganti aib (ifdha). Karena itulah, tetap berlaku meskipun telah ditalak atau bahkan telah bersuami lagi.

10. Secara zahir, pendapat masyhur ulama fikih adalah bahwa kewajiban nafkah sebagaimana gugur dengan meninggalnya istri juga gugur dengan meninggalnya suami.

11. Secara zahir, nafkah tidak akan gugur meskipun suami tidak mampu dan sebagai hutang yang ia bertanggung jawab atasnya. Demikian pula tetap menjadi hutang yang menjadi tanggung jawabnya, apabila ia mampu tetapi tidak mau menunaikan kepada istrinya.

12. Hukum-hukum di atas adalah khusus berlaku setelah talak terjadi. Adapun sebelum jatuh talak yang berlaku adalah hukum-hukum suami-istri.

Pustaka

Syiah