• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa Abu Bakar dan Umar

Dengan wafatnya Rasulullah saw, berakhir sudah masa kerasulan dan diganti dengan masa imamah. Dimulai dari keimamahan Ali bin Abi Thalib yang telah ditentukan Rasulullah saw untuk mengemban tugas-tugas revolusi Ilahiah dan kepemimpinan Rabani yang dengan segala kasih-Nya, menganugerahkan kebebasan umat Islam dari berbagai kejumudan masa-masa jahiliah, sehingga di bawah payung hidayah tersebut, mereka dapat mencapai kesempurnaan dan kemuliaan.

Hasan dan Husain menghabiskan masa kecilnya di masa kehidupan Rasulullah saw. Keduanya mengetahui betul bagaimana Rasulullah saw memperlakukan keduanya tidak seperti terhadap anak kecil (pada umumnya). Bahkan beliau bergaul dan memperlakukan keduanya sebagaimana dua sosok Islam yang sedang menanti misi-misi perintis yang besar, sebagaimana dijelaskan berbagai hadis Nabi saw.

Keduanya melewati masa muda pada masa keimamahan ayahandanya; saat kondisi pemerintahan Islam dan Ahlulbait Nabi tidak kondusif; saat Imam Ali dijauhkan dari kepemimpinan politik dan dibajak pihak-pihak yang tidak berhak serta tidak kapabel dalam kepemimpinan lantaran merasa iri sehingga memonopoli dan menyabot posisi serta kepemimpinan Ilahiah Imam Ali.

Kemudian rumah Zahra diintervensi untuk membersihkan kelompok penentang dan menuntut Ali bin Abi Thalib membaiat Abu Bakar sehingga tegaknya sebuah negara yang dibangun di atas landasan malapetaka.

Dalam setiap fase ini, Hasan dan Husain mengalami berbagai kejadian; setelah itu, keduanya dan itrah nabi suci lainnya menjadi terhinakan. Selama masa ini, Zahra dan kedua anaknya memiliki berbagai sikap tegas yang tidak keluar dari garis risalah yang telah diajarkan Rasulullah berkaitan dengan risalah sepeninggalnya. Selanjutnya, secara ringkas, akan dipaparkan berbagai sikap Imam Hasan secara khusus dan sikap keduanya; Hasan dan Husain.

41

Hasan, Husain, dan Tanah Fadak

Rasulullah saw telah tiada, yang kemudian disusul dengan berbagai kejadian; orang-orang tertentu memonopoli dan memaksakan penetapan Abu Bakar sebagai khalifah kaum Muslim serta menjauhkan Imam Ali bin Abi Thalib dari posisinya yang telah ditetapkan Allah Swt untuknya, gugatan Fatimah Zahra putri Rasulullah saw terhadap harta warisan ayahandanya yang dirampas dan terhadap apa pun yang telah menjadi milik Nabi semasa hidupnya, serta berbagai protes dan gugatan seputar permasalahan ini sehingga Abu Bakar memintanya membawa saksi beberapa orang untuk mendukung klaimnya. Lalu Fatimah mendatangkan Amirul Mukminin, Hasan, dan Husain, serta Ummu Aiman sebagai saksi; namun Abu Bakar tetap menolak gugatannya dan enggan mengembalikan hak tanah Fadak kepadanya.

Permintaan kesaksian Fatimah Zahra al-Batul—wanita suci berdasarkan dalil ayat penyucian (QS. al-Ahzab:33)—kepada Hasan dan Husain bukanlah untuk mengada-ada atau merekayasa, melainkan sesuai hukum syariat Islam yang suci. Semua itu berdasarkan kesaksian dan sepengetahuan kaum Muslim serta dipertegas keridhaan penghulu para washi, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Semuanya merupakan bukti kuat atas kelayakan keduanya (Hasan dan Husain) dalam memberikan kesaksian dalam kesempatan seperti itu. Sekali pun keduanya saat itu belum genap berusia 11 tahun.

Peranan yang diberikan pada keduanya sungguh menentukan dalam menyelesaikan permasalahan besar seperti itu; bukan reaksi spontanitas dan menyimpang dari jalur kepentingan Ahlulbait. Semua itu telah terencana dengan baik dan sesuai dengan kebijakan Rasulullah saw dalam upaya mempersiapkan serta menempatkan keduanya dalam posisi alamiah kepemimpinan umat.

Menentang Abu Bakar

Imam Hasan bin Ali memiliki sikap tertentu terhadap Abu Bakar. Suatu hari, beliau mendatangi Abu Bakar yang sedang berkhotbah di atas mimbar dan berkata, ‖Turunlah kau dari mimbar ayahku!‖ Abu Bakar menjawab, ‖Demi Allah, engkau benar. Ini benar-benar mimbar ayahmu, bukan mimbarku.‖11

11 Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ, hal.80.

48

Pertanyaan Seorang Arab Badui

Sebuah kepemimpinan haruslah dibangun di atas dua fondamen dasar.

Pertama, berdasarkan kapabilitas (kafaah) yang mencakup keilmuan, kemaksuman,

dan sebagainya. Kedua, berdasarkan nas (dalil al-Quran dan hadis). Dari sini, kita menemukan bahwa para imam secara kontinyu menyebutkan nas-nas kepemimpinan ini, mengingatkan dan menekankannya. Imam Hasan memiliki perhatian khusus dalam mengungkapkan dalil-dalil ini pada berbagai sikap dan pandangannya. Di antaranya, perkataan beliau, ‖Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang telah dinyatakan Allah ketaatannya, dan mereka adalah salah satu di antara dua pusaka berat (tsaqalain).‖18

Imam Ali menaruh perhatian besar dalam hal penetapan keimamahan Imam Hasan sejak masa kecilnya, dengan harapan, kaum Muslim mengetahui posisinya dan menjadi argumen pasti (qat`i) atas keimamahannya. Amirul Mukminin sangat memperhatikan soal penunjukkan keimamahannya pada mereka yang memonopoli dan merampas hak dari para pemilik yang sebenarnya. Sepintas, Amirul Mukminin mengajarkan strategi berkaitan dengan posisi Imam Hasan, agar orang-orang tidak lagi meremehkan dan berkelakar dengannya di majlis-majlis mereka; (yaitu kemampuan) seorang anak kecil yang umurnya belum genap sepuluh tahun dalam menjawab pertanyaan serius dan mendalam—yang jelas-jelas mengundang rasa takjub dan perhatian mereka.

Qhadi Nu`man meriwayatkan dalam buku Syarh al-Akhbâr dengan sanad dari Ubadah bin Shamit berikut ini.

Seorang Arab Badui bertanya pada Abu Bakar, ‖Aku menemukan telur burung unta lalu memanggang dan memakannya, sementara aku dalam kondisi ihram. Apa yang harus kulakukan?‖ Ia menjawab, ‖Wahai Badui, saya tidak memahami kasusmu.‖ Lalu Abu Bakar menunjukkannya pada Umar, yang menunjukkannya pada Abdurrahman bin Auf. Setelah merasa tak mampu menjawabnya, mereka menyarankan, ‖Kau harus mencukur rambut.‖ Amirul Mukminin berkata, ‖Bertanyalah pada salah seorang dari dua anak itu.‖ Hasan berkata, ‖Wahai Badui, apakah engkau punya seekor unta?‖ Ia menjawab, ‖Ya.‖

18 Al-Ghadîr, 16118.

41

‖Cepatlah kamu ganti telur yang telah kau makan karena kelaparan itu dengan hewan jantan, dan sebagian darinya hadiahkan pada Baitullah yang mulia, tempat di mana kau berhaji.‖

Orang Badui itu mendengar sebuah suara, ‖Wahai manusia, sesungguhnya yang diajarkan anak ini (Imam Hasan—penerj.) adalah pelajaran yang telah disampaikan Sulaiman bin Daud.‖11

Peristiwa dalam Dewan Syura

Umar bin Khaththab ragu (mengenai wafatnya Rasulullah saw—penerj.) dan dewan syura telah disusun sesuai format yang sudah kita kenal. Ia berkata pada para kandidat pemimpin itu, ‖Datangkanlah pemuka-pemuka Anshar, namun mereka tidak ada hubungannya dengan urusan kalian. Hadirkanlah Hasan bin Ali dan Abdullah bin Abbas, dan mereka berdua memiliki hubungan kekerabatan. Aku mengharap keberkahan dalam kehadiran keduanya; namun keduanya juga tak punya hubungan apapun dengan urusan kalian. Telah datang pula Abdullah yang lagi-lagi tak punya hubungan dengan urusan tersebut.‖ Mereka pun akhirnya hadir (dihadirkan).100

Imam Hasan selalu memenuhi undangan-undangan pertemuan dewan syura. Kehadirannya dimaksudkan untuk mengganjal provokasi Umar bin Khaththab dan menunjukkan bahwa beliau termasuk orang yang berhak berpartisipasi dalam perkumpulan politik, sekalipun dalam permasalahan paling besar dan paling berbahaya yang dihadapi umat. Juga agar orang-orang memahami masalah ini sehingga di masa depan, memungkinkan beliau menyampaikan pandangannya dalam berbagai persoalan yang ada, sekalipun tidak diterima.

Masa Usman

Imam Hasan Mengucapkan Selamat Tinggal pada Abu Dzar

11 Manâqib, Ibnu Syahr Asyub, 4610.

50

‖Wahai paman, andaikan saja tak ada larangan bagi para penziarah untuk berkomentar dan adanya perintah untuk bungkam bagi para pelayat, pastilah muncul protes dan penyesalan panjang. Orang-orang telah memperlakukanmu sebagaimana yang kau alami. Dunia meninggalkanmu karena kenihilan dan kedahsyatan beban darinya dengan mengharapkan sesuatu setelahnya. Bersabarlah sampai kau bertemu Nabimu saw, dan beliau saw ridha atasmu.‖101

Kata-kata Imam Hasan Mujtaba ini merupakan ungkapan selamat tinggal pada Abu Dzar, sahabat Nabi yang agung, yang disampaikan bersama ayahanda, saudara, paman (Aqil), dan anak pamannya (Abdullah bin Ja`far), serta Ibnu Abbas. Abu Dzar telah berjuang di jalan Allah, di jalan agama dan kebenaran. Beliau senantiasa menghadapi berbagai tekanan, ancaman, dan malapetaka sehingga terasing sendirian dalam kekejian di tempat pembuangan.

Kalimat ini terungkap dari sikap mendalam Imam Hasan di hadapan berbagai kesewenang-wenangan serta kekeliruan langkah penguasa. Imam Hasan dengan pernyataannya ini berusaha memberi kontribusi dalam bagi upaya Abu Dzar dalam merealisasikan tujuan-tujuan yang selama ini dicita-citakannya. Yaitu, keharusan mengungkapkan kebenaran secara terus terang untuk membangkitkan umat dari tidur dan kealpaannya terhadap hakikat dari apa yang sedang terjadi, dan untuk menyadarkan mereka bahwa seorang penguasa tidak berarti selamanya selamat dari kesalahan. Seorang penguasa tidak berada di atas undang-undang, melainkan sebagai penjaga dan penegak undang-undang. Maka, apabila dirinya telah cenderung melakukan penyimpangan apapun atau bekerja demi memenuhi keinginan hawa nafsu serta kemaslahatan-kemaslahatan pribadinya, maka setiap Muslim dapat, bahkan berkewajiban, menegakkan kebenaran serta berupaya membersihkan kezaliman dan penyimpangan.

Dari sisi lain, seandainya situasi dan kondisi saat itu tidak menuntut Amirul Mukminin dan kedua anaknya beserta para pengikutnya berdiam diri atas tragedi Abu Dzar, maka mereka minimal akan mendeklarasikan sikapnya—demikianlah sikap Islam. Semua itu merupakan bagian dari sikapnya yang agung dan bukti akan keluasan pengetahuan dan kedalaman pemikiran serta wawasan politiknya yang sudah mampu mengantisipasi dampak-dampak dan akibat yang muncul darinya.

51

Bila kita cermati kalimat-kalimat Imam Hasan terhadap Abu Dzar tadi, kita akan menemukan di dalamnya rasa sesal mendalam atas perlakuan orang-orang terhadap Abu Dzar. Nampak sekali keberangannya yang sangat dan keberanian beliau dalam sikapnya, yang mencerminkan bahwa Nabi saw, juga Allah Swt, telah ridha kepadanya.

Imam Hasan juga berusaha meringankan beban musibah yang menimpa Abu Dzar dengan menyampaikan pandangannya yang sahih, yang merupakan kewajibannya, seraya menjadikannya tabah dalam menghadapi pelbagai petaka lain yang sedang menantinya. Semua itu tampak tatkala beliau memintanya meninggalkan (cinta) dunia karena kenihilan dan petakanya, dengan mengharap apa yang terjadi setelahnya (akhirat).

Apakah beliau ikut serta dalam Berbagai Penaklukan?

Sekelompok sejarahwan mengemukakan bahwa pada tahun 30-an Hijriah, Sa`id bin `Ash memerangi Turbistan; padahal semasa kekhalifahan Umar, penduduknya sudah berdamai dengan Suwaid bin Maqran melalui upeti yang mereka persembahkan. Kemudian mereka melanggarnya sehinga kembali diperangi Sa`id bin `Ash yang disertai Hasan, Husain, dan Ibnu Abbas.

Ketika orang-orang Islam hendak menaklukkan Afrika, Usman mempersiapkan balatentara dari Madinah. Di antara mereka terdapat kelompok sahabat, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Amr bin Ash, Ibnu Ja`far, Hasan, Husain, dan Ibnu Zubair. Mereka berperang bersama Abdullah bin Abi Sarh pada 26 Hijriah.102

Keikutsertaan Hasan dan Husain dalam berbagai penaklukan tersebut dibantah oleh dalil-dalil sebagai berikut;

a. Penaklukan-penaklukan tersebut umumnya bukan bertujuan untuk kemaslahatan Islam yang mulia. Sebab, para penguasa memanfaatkan penaklukan-penaklukan ini untuk memenuhi ambisi-ambisi pribadinya dan mengenyangkan kecenderungan-kecenderungannya. Berbagai penaklukan berlangsung dalam permainan mereka demi harta-harta rampasan perang dan guna memperluas pengaruh. Mereka berkepentingan

52

memperkokoh kekuasaan dan memperkuat posisinya. Di mata sebagian penguasa semacam itu, agama dan Islam hanyalah slogan yang digunakan untuk memperkuat dan memfasilitasi kerajaannya.

Kita dapat menemukan banyak sekali bukti dan argumen atas ambisi dan kecenderungan-kecenderungan para penguasa tersebut yang tidak jauh dari sekedar mengumpulkan harta dan rampasan perang, baik dengan cara halal atau tidak. Cukup kami sebutkan di sini, misalnya, Ziad yang mengutus Hakam bin Umar Ghiffari ke Khurasan dan penduduk di situ menyerahkan banyak sekali harta rampasan sehingga Ziad menulis surat kepadanya,

‖Amma ba`du. Sesungguhnya Amirul Mukminin (Ziad menyalahgunakan nama Amirul Mukminin) telah menuliskan pesan agar dipilihkan untuknya emas dan perak. Emas maupun perak itu jangan dibagikan kepada kaum Muslim.‖

Namun Hakam menolaknya dan tetap bertekad membagikan rampasan tersebut di antara kaum Muslim sehingga akhirnya ia diadukan pada Muawiyah, lalu ditangkap dan dipenjarakan sampai meninggal dunia dan dikebumikan di sana. Ia berkata, ‖Aku sungguh bermusuhan (dengan Bani Umayyah—penerj.).‖103

Pemberlakuan upeti telah dimulai pada masa khalifah kedua, Umar bin Khaththab.104 Bahkan menurut kami, mereka telah mewajibkan pembayaran upeti termasuk pada sebagian Ahludzimmah (kaum non-muslim yang taat dan dilindungi pemerintah Islam—penerj.) yang sudah masuk Islam. Alasannya, upeti sama dengan kewajiban seseorang membayar pajak. Maka, keislaman seorang hamba tidaklah menggugurkan kewajiban pajaknya. Namun, Umar bin Abdul Aziz menolak kebijakan politik ini dan mencabutnya, sebagaimana disebutkan para sejarahwan.105

Umar bin Khaththab juga berusaha mengambil upeti (jizyah) dari seseorang yang telah masuk Islam dengan alasan agar orang yang sudah masuk Islam itu dapat terlindungi. Lalu orang itu berkata padanya, ‖Sesungguhnya dalam Islam terdapat tempat perlindungan.‖ Umar menjawab, ‖Anda benar, dalam Islam memang ada

103

Mustadrak al-Hâkim, 36442-443.

104 Abdurrazzaq, Al-Mushannaf, 116235.

53

tempat perlindungan.‖106 Sementara penetapan upeti bagi orang-orang Nasrani yang takluk sudah jelas dan terkenal.101

Khalid bin Walid berkata saat memotivasi para tentaranya untuk menaklukkan wilayah Sawad, ‖Tidakkah kalian lihat makanan seperti tanah yang subur? Demi Allah, andaikan jihad di jalan Allah dan doa kepada-Nya Azza Wajalla tidak diwajibkan atas kita, dan tak ada di sana kecuali sekedar upah saja, pastilah muncul pikiran untuk saling membunuh demi mendapatkan wilayah pinggiran ini sampai kita menguasainya.‖108

Dalam penaklukan wilayah Syamorta, beberapa budak Muslim diserahkan kepada penduduk Madinah; namun orang-orang Muslim itu tidak setuju sehingga permasalahan tersebut sampai ke hadapan Umar bin Kaththab. Lalu Umar menulis, ‖Sesungguhnya seorang hamba yang Muslim adalah bagian dari kaum Muslim. Keamanannya adalah keamanan mereka...‖101

Namun tidak semua yang dikatakan Khalid bin Walid itu benar. Karena bagian yang didapatkan kalangan tentara bawahan hanyalah sedikit sehingga tidak mencukupi walaupun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Bagian mereka sangat sedikit sehingga dalam waktu sebentar saja sudah habis; padahal mereka adalah garda terdepan dalam setiap pertempuran.

Dengan demikian, pengumpulan harta rampasan perang adalah tujuan utama dari banyak sekali penaklukan yang dilakukan.

b. Para penguasa memanfaatkan penaklukan-penaklukan tersebut untuk memenuhi ambisi-ambisi anak-anaknya dan menuruti kecenderungan mereka. Mereka bermaksud mempersiapkan anak-anaknya menduduki posisi-posisi tinggi dan dielu-elukan ketokohannya. Muawiyah memaksa anaknya, Yazid, memimpin balatentara untuk menyerang beberapa wilayah.110

106 Al-Mushannaf, 6614.

101 Sunan al-Baihaqî, 16216.

108

Al-„Irâq fî al-`Ashri al-Umâwî, 11 dan At-Thabarî, 461.

101 Al-Mushannaf, 56222-223.

54

c. Para penguasa memanfaatkan penaklukan demi penaklukan untuk menjauhkan orang-orang kritis dan para penentang dari percaturan politik dan berbagai lapangan aktivitas kehidupan masyarakat. Sebagai bukti atas hal ini, kami dapat sebutkan, misal, ketika fitnah terhadap dirinya mencuat, Usman segera memanggil beberapa pembantu dan penasihatnya, yaitu Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abdullah bin Amir.111

Ia bermusyawarah dengan mereka tentang kebijakan yang harus diambil sekaitan dengan tuduhan dan tuntutan orang-orang atas langkah-langkah politiknya. Tuntutan mereka kepadanya adalah memecat para gubernurnya,112 lalu menggantinya dengan orang-orang yang lebih baik. Abdullah bin Amr berkata, ‖Menurut pendapatku, wahai Amirul Mukminin, engkau harus memerintahkan mereka berjihad sehingga melupakanmu. Anda juga harus menyingkirkan mereka dengan mengikutsertakannya dalam berbagai pertempuran sehingga mereka menjadi lunak terhadapmu. Perhatian orang itu adalah dirinya dan apa-apa yang berkaitan dengan matapencahariannya.‖

Juga ditambahkan dalam beberapa riwayat lain bahwa Usman merespon gagasan-gagasan para pembantunya dan memerintahkan mereka melakukan pemberangusan atas orang-orang sebelum mereka, memerintahkan mereka menjauhkan orang-orang dengan mengikutsertakannya dalam berbagai pertempuran, dan dilarang memberikan upah-upah mereka sehinga mereka tunduk dan bergantung padanya...113

d. Sesungguhnya jihad haruslah dilandasi restu seorang imam yang adil,114 dan kenyataannya, para imam yang absah tidak memandang adanya kemaslahatan berpartisipasi dalam peperangan-peperangan ini—bahkan tidak melihat secuil pun kebaikan di dalamnya. Diriwayatkan dari mereka, ‖Sesungguhnya Imam Shadiq berkata pada budak Malik bin Amr, ‘Wahai budak Malik, aku tidak melihat engkau keluar ke tempat-tempat ini sebagaimana penduduk negaramu?‘ Ia berkata, ‘Kemana?‘ Beliau menjawab, ‘Haddah, Abadan, Mashishah, Qazwaen.‘ Ia berkata,

111 Mereka adalah para pembantunya, kecuali Amr bin Ash yang kemudian tersingkir.

112 Yang nampak aneh adalah Usman harus berkonsultasi dengan mereka yang justru dituntut orang-orang untuk dilengserkan.

113 Târîkh ath-Thabarî, 3/ 213-214.

55

‘(Aku) menunggu perintahmu dan mengikuti langkahmu.‘ Beliau berkata, ‘Demi Allah, andaikan ada kebaikan, kami pasti ikut pergi ke sana.‘‖115

Terdapat pula berbagai riwayat lain yang menunjukkan bahwa para imam tidak mendorong kaum Syi‘ah mereka, bahkan melarangnya, ikut serta dalam berbagai pertempuran tersebut. Mereka tidak setuju sekalipun ditempatkan di kota-kota dan tak mau menerima pemberian mereka sekalipun telah bernazar untuk itu.116

Kalau pun ada musuh yang mengancam wilayah Islam, mereka harus bangkit membela kehormatan Islam, bukan bangkit untuk para penguasa tersebut.111

Kami bahkan menemukan sebuah riwayat dari Imam Ali yang mengatakan, ‖Tidaklah diperkenankan seorang Muslim keluar berjihad bersama orang yang tidak mengimani hukum dan mengambil upeti bukan atas perintah Allah Azza Wajalla.‖118 Hal ini juga diperkuat data sejarah bahwa Usman pada suatu hari pernah berkonsultasi pada para pembesar sahabat, di antaranya adalah Imam Ali, di mesjid Rasulullah saw mengenai penaklukan Afrika. Mayoritas mereka berpendapat agar misi ini jangan jatuh ke tangan para penjilat, kelompok oportunis, dan pembangkang.111

Bila para imam berkeinginan—dan pasti demikian—memperluas wilayah Islam dan menyebarkan Islam sehingga meliputi seluruh dunia, cara dan metode yang digunakan dalam penaklukan tentu saja bukan yang salah dan berbahaya, karena mustahil dapat merealisasikan tujuan-tujuan yang dimaksud.120

Alhasil, apa yang telah dikemukakan tadi cukup membuat Imam Hasan dan Imam Husain ragu dan bimbang untuk ikut serta dalam penaklukan Jarjan dan Afrika. Padahal sejumlah buku sejarah telah menyebutkan banyak sekali nama-nama orang yang ikut serta dalam penaklukan tersebut, namun tidak menyebutkan nama keduanya; Hasan dan Husain. Semua itu dikarenakan keduanya merupakan orang yang merasa gelisah menyaksikan kondisi politik kekhalifahan pada masa itu.

115 At-Tahdzîb, 6, hal., 121; Al-Kâfî, 5611; Al-Wasâil, 11632.

116 Al-Wasâil, 11621-22; Qurb al-Isnâd, hal., 150; At-Tahdzîb, 66134.

111 Al-Wasâil, 11622; Al-Kâfî, 5621; At-Tahdzîb, 66125.

118

Al-Wasâil, 11634.

111 Ibnu A`tsam, Al-Futûh (terjemahan Bahasa Persia), hal., 126.

56

e. Imam Ali melarang kedua anaknya terlibat dalam perang Shiffin dan Jamal. Beliau melihat Imam Hasan tergesa-gesa untuk ikut berperang; lalu beliau berkata, ‖Kalian halangi anak ini dariku (tidak boleh ikut berperang dengan beliau). Aku sungguh menahan kedua anak ini—Hasan dan Husain—dari maut sehingga keturunan Rasulullah saw tidak sampai terputus dengan kematian keduanya.‖121 Padahal, peristiwa ini terjadi saat beliau memiliki banyak anak.

Semua pembahasan yang telah dipaparkan membuat kita semakin yakin akan ketidaksahihan riwayat yang menisbahkan keikutsertaan keduanya dalam berbagai penaklukan tersebut.

Imam Hasan dan Pengepungan Usman

Beberapa sejarahwan mengutarakan, saat massa mengepung Usman, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengutus kedua anaknya, Imam Hasan dan Imam Husain, untuk menjaganya. Bahkan para sejarahwan tersebut mengatakan bahwa Imam Hasan sampai terluka dan berlumuran darah di depan pintu Usman lantaran terkena panah orang-orang yang mengepungnya. Kemudian, orang-orang itu memasuki rumah dan membunuh Usman. Lalu, datanglah Imam Ali dengan raut sedih, menampar Hasan, memukul dada Husain, dan memarahi yang lain. Beliau menyalahkan mereka atas terbunuhnya Usman, sementara mereka berada di depan pintu.122

Namun, sejarahwan lainnya tidak berpendapat demikian. Mengingat kehidupan Usman dari segala sisinya tak bisa dikaitkan dengan Imam Ali dan kedua anaknya, sebagaimana mereka juga tidak dapat menemukan sikap yang bertentangan dengan sikap sebagian sahabat saleh lainnya, maka para sejarahwan memisahkan para sahabat itu dari mereka. Para sejarahwan menambahkan secara khusus pembelaan Imam Hasan terhadap Usman, sekalipun kesahihannya masih dapat diperdebatkan. Semua itu tidak lebih sebagai upaya membantah keterlibatan beliau dan ayahnya

121 Nahj al-Balâghah (syarah Muhammad Abduh), 26212; juga Târîkh ath-Thabarî, sekitar peristiwa-peristiwa Tahun 31, 4644.

122

Lihatlah Ash-Shawâiq al-Muhriqah, 115-6; Murûj adz-Dzahab, 26344-5; Al-Imâmah wa as-Siyâsah, 1642-44; Ansâb al-Asyrâf, 5661, 10, 14, 13, dan 15; Al-Bad‟u wa at-Târîkh, 56206; Târîkh Mukhtashar

51

dalam tragedi Usman tersebut, sehingga orang-orang yang membencinya tak dapat menuduhnya dengan apapun.123

Sayid Murtadha juga meragukan kebenaran pengutusan Hasan dan Husain oleh Amirul Mukminin untuk menjaga Usman. Beliau mengatakan, ‖Sesungguhnya beliau mengutus keduanya—kalau memang benar—hanyalah untuk melindungi dan menggagalkan upaya pembunuhan terhadapnya, serta melarang istri dan

Dokumen terkait