• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persiapan Pemakaman

Imam Hasan mulai bersiap mengurusi jenazah ayahnya, memandikan jasadnya yang suci, memberinya wewangian, dan mengafaninya dengan rapi. Setelah malam berakhir dan fajar mulai menjelang, Imam Hasan disertai dengan keluarga dan para sahabatnya, mengusung jasad suci itu ke tempat pembaringan terakhirnya. Beliau dikuburkan di Najaf yang kini dijadikan objek ziarah para pengunjung, markas utama kaum Mukmin dan bertakwa, serta madrasah para pencari ilmu. Imam Hasan pulang ke rumahnya seusai memakamkan ayahnya. Beliau benar-benar dirundung rasa kehilangan, duka, dan kesedihan yang sangat mendalam.183

******************************************* Bab III

1

ERA IMAM HASAN MUJTABA

Sesungguhnya ketika keluar dan membelot dari barisan Imam Ali bin Abi Thalib, gerakan kaum Khawarij tidak bertujuan untuk memberikan dukungan pada kaum pembelot lainnya, seperti Thalhah, Zubair, Muawiyah dan lain-lain. Mereka tidak memiliki tujuan khusus sebagaimana Muawiyah, Thalhah, dan Zubair. Apa yang dinisbatkan pada mereka oleh para sejarahwan adalah bahwa mereka menentang proses arbitrasi (tahkîm), meskipun awalnya merupakan pendukung Imam Ali—

100

meskipun benar, hasil-hasil perjanjian tidak diakui Imam Ali sendiri (karena hasil

tahkim yang penuh rekayasa itu—penerj.); ini menunjukkan bahwa mereka

benar-benar polos dan spontan. Mereka sebenar-benarnya adalah korban dari orang-orang yang bersekongkol [untuk menjatuhkan] Imam Ali dengan target menyebarkan fitnah di kalangan balatentara beliau dan menggelar permainan Muawiyah seraya mendorong mereka mundur dari medan perang. Memerangi mereka akan berpengaruh negatif pada sebagian besar sahabat beliau. Sebabnya, sebagian besar yang terbunuh (dari kaum Khawarij itu—penerj.) berasal dari warga Bashrah dan Kufah. Tidak aneh bila sebagian mereka yang terbunuh itu meninggalkan sesuatu yang, bagi orang dekat mereka, dirasakan sebagai kehilangan kerabat dekat sendiri.

Ketika Amirul Mukminin menyelesaikan masalah mereka, berangsur-angsur timbul kelemahan dan pertikaian di kalangan sahabat-sahabat beliau. Kelemahan ini mendorong mereka keluar dari barisan beliau yang sedang menghadapi peperangan melawan Muawiyah. Beliau menyadarkan mereka tentang kekuatan yang lain dan beliau tidak mendapatkan dalam diri mereka kecuali kelemahan dan pertikaian. Mereka berkata, ―Sungguh telah habis panah-panah kita, telah lelah tangan-tangan kita, telah lepas mata panah kita, dan telah patah pedang-pedang kita. Ia memburu kita untuk mempersiapkan diri, sementara musuh kami jauh lebih kuat dari kami.‖ Hal ini berlangsung terus selama beberapa waktu, yang menjerumuskan mereka ke jurang kebinasaan dan yang lain mendorong mereka keluar dari markasnya di Nukhailah; tetapi, yang keluar hanya segelintir saja sehingga tidak menimbulkan akibat yang berarti.184

Demikianlah, sementara Asy‘ats bin Qays, Syabats bin Rubai‘, dan orang-orang seperti mereka tidak punya halangan untuk melakukan sabotase dan menyebarkan kelemahan dalam jiwa. Mereka mulai meniupkan ke dalam pikiran pasukan Imam Ali bahwasanya Imam Ali telah melakukan apa yang pernah dilakukan Usman pada penduduk Nahrawan serta mengabaikan mereka padahal jumlah mereka sedikit sehingga tidak akan membahayakan beliau. Asy‘asts mengatakan itu untuk menyulut perpecahan di kalangan tentara pendukung Imam Ali dan memenuhi jiwa-jiwa para kerabat dan orang dekat korban tersebut dengan kebencian dan api permusuhan terhadap Imam Ali.

101

Tudingan Asy‘ats itu menyebar ke tengah orang-orang sehingga menambah kelemahan dan kerapuhan mereka.185 Semua itu memungkinkan Muawiyah untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan para pemuka dan pemimpin mereka ketimbang sebelumnya, dengan mengobral janji dan perlindungan bagi mereka, serta memberi berbagai hadiah dan apapun yang mereka sukai. Dengan cara itu, Muawiyah dapat ‗membeli‘ hati mereka dan memutuskan hubungan dengan imam mereka; menjadikan mereka menaatinya dengan sepenuh hati dan mencondongkan hati pada kemaksiatan dan permusuhan.

Sebagian penduduk Irak yang melakukan persekongkolan itu dengan penuh hasrat memuaskan ketamakan Muawiyah dan melumpuhkan gerakan Imam Ali, serta menciptakan berbagai kesulitan dan masalah yang menyebabkan beliau tak dapat bertatap muka dengan para penduduk Syam untuk kedua kalinya. Sebelum peperangan di Nahrawan usai, keberadaan mereka dalam kelompok-kelompok kecil terlihat di sebagian besar wilayah Irak. Perang Nahrawan telah meninggalkan luka di hati keluarga dan kabilah mereka yang tidak dapat begitu saja dilupakan. Terlebih, orang-orang yang bersekongkol dan menjalin hubungan dengan Muawiyah yang telah memberi mereka harta benda dan berbagai barang material (masng-masing dari mereka bahkan keluar dari rumah Muawiyah dengan membawa seratus atau dua ratus dirham). Amirul Mukminin terpaksa mengutus seorang pria dari kalangan sahabatnya untuk memimpin ekspedisi militer guna menghancurkan para pemberontak itu. Tatkala selesai memerangi dan menceraiberaikan mereka, ia kembali ke Kufah; namun, sebelum sampai di sana, terdapat kelompok lain yang ikut membelot dan bergabung dengan kaum pemberontak itu.

Demikianlah keadaan sebelum perang Nahrawan sampai detik-detik Huraits bin Rasyad membelot. Sebelum membelot, ia menemui Imam Ali dan berkata, ―Demi Allah, aku tidak menaatimu dan tak akan shalat di belakangmu, karena engkau mengangkat seorang pria menjadi hakim dan melemahkan kebenaran.‖ Beliau berkata, ―Kalau begitu, engkau telah bermaksiat kepada Tuhanmu dan melanggar janjimu. Sesungguhnya engkau hanya akan membahayakan dirimu sendiri.‖ Beliau mengajaknya berdebat. Ia berkata, ―Aku akan kembali menemui Anda, besok.‖ Beliau menerimanya dan berwasiat kepadanya agar tidak menyakiti, mengucurkan darah,

185 Ibid.

102

merampas harta, dan kehormatan siapa pun. Kemudian, ia keluar dan tak pernah kembali lagi.

Khirrit adalah figur yang ditaati kaumnya, Bani Najiah. Ia keluar bersama sekelompok orang di malam hari. Di tengah jalan, ia bertemu dengan dua orang pria, yang satu Yahudi, satunya lagi Muslim. Mereka membunuh yang Muslim. Sementara si Yahudi menemui pembantu Imam Ali dalam keadaan sedih seraya memberitahukan peristiwa yang menimpa dirinya dan temannya.

Pembantu Imam Ali itu menulis surat pada Amirul Mukminin. Maka, beliau mengirimkan sejumlah sahabatnya seraya memerintahkan untuk meminta mereka (para pemberontak) untuk kembali bersikap taat, namun jika menolak, mereka harus segera ditumpas. Akhirnya, terjadi debat antara utusan Imam Ali dengan Khirrit dan kelompoknya yang tidak membuahkan hasil. Utusan Imam Ali meminta mereka menyerahkan mayat Muslim yang mereka bunuh; tapi mereka menolak dan mengajak berperang. Maka, terjadilah peperangan berdarah di antara kedua belah pihak itu. Kemudian, Amirul Mukminin mengirimkan pasukan tambahan, dan menulis surat pada Abdullah bin Abbas—yang saat itu menjadi gubernur Bashrah—agar membantu mereka. Khirrit sekali lagi menuntut darah Usman dan mengingkari tahkim yang dilakukan Imam Ali.

Akhirnya, Khirrit bersama sekelompok pendukungnya terbunuh dan sebanyak 500 orang yang tertawan dibawa ke Kufah. Para pengawal tawanan ini bertemu dengan Mashqalah bin Hubairah Syaibani, seorang pegawai Imam Ali yang tetap setia selama beberapa waktu. Lalu, para tawanan itu meminta bantuannya dengan cara memelas, sehingga menyebabkan Mashqalah bersimpati terhadap keadaan mereka— sebagaimana dikemukakan sebagian riwayat. Ia lantas menyerahkan uang tebusan cukup besar kepada pimpinan pasukan yang kemudian membebaskan mereka. Namun, ia menunda-nunda pembayarannya. Ketika Abdullah bin Abbas memintanya menyerahkan sejumlah uang untuk melunasi pembayaran itu, ia malah menjawab, ―Kalau engkau meminta sejumlah uang itu dan lebih besar daripada Usman, maka aku akan melunasinya.‖ Kemudian, ia mendatangi Muawiyah yang menyambutnya dengan hangat serta memberikan apa yang diinginkannya.

Mashqalah berkeinginan merayu saudaranya, An‘im bin Hubairah, untuk memihak kepada Muawiyah. Maka, ia mengirim surat kepadanya melalui seorang

103

kurir beragama Nasrani yang menjadi mata-mata untuk kepentingan Muawiyah. Belum sempat sampai ke Kufah, ia keburu ketahuan, sehingga sahabat Amirul Mukminin segera menangkapnya dan memotong tangannya.

Sedemikian banyak kejadian yang disulut kaum pemberontak serta orang-orang yang bersekongkol dengan mereka; ditambah, maraknya suasana carut marut di seluruh penjuru negeri yang dimaksudkan untuk melemahkan kekuatan Imam Ali dari dalam dan agar Imam Ali tidak memiliki kesempatan untuk mengawasi Muawiyah dengan segala tindak-tanduknya.

Tidak aneh jika Mashqalah Syaibani memiliki hubungan dengan kaum pemberontak. Niatnya untuk menebus para tawanan itu dengan sejumlah uang yang tak kunjung dibayarnya bukan didasari oleh alasan kemanusiaan—sebagaimana sudah jelas sejak awal. Melainkan didorong oleh rasa tanggung jawab atas sekelompok orang yang bekerja sama dengannya, yang memiliki tujuan dan target yang sama, sehingga dirinya merasa perlu membantu mereka saat dibutuhkan. Oleh Muawiyah, ia disambut dengan baik tatkala menyatakan dirinya bergabung dalam kerusakan dan kekacauan serta membantu para pemberontak yang menyebabkan Imam Ali dalam kerumitan dan kesulitan; sebaliknya, untuk putra Hindun itu, ia menciptakan kesenangan dan kebahagiaan.

Tatkala mendengar kabar tentang membelotnya Mashqalah, Amirul Mukminin hanya berujar, ―Apakah Allah tidak memeranginya? Dia melakukan perbuatan orang-orang merdeka, tetapi lari seperti budak, dan memakmurkan rumahnya yang kemudian akan hancur.‖186

Kondisi yang melingkupi keadaan Irak saat itu telah memberi kesempatan pada Muawiyah untuk bergerak di berbagai desa dan kota yang berdekatan dengan perbatasan Syam. Di sana, ia melakukan pembunuhan, perampasan, dan menyulut berbagai teror bersama pasukannya yang ada di perbatasan tanpa dihalang-halangi siapapun dan tanpa rasa takut terhadap agama. Sementara Amirul Mukminin menyeru para penduduk Irak untuk memberikan bantuan militer pada saudara mereka dan melakukan perlawanan terhadap kaum pemberontak; akan tetapi, tak ada jawaban yang membuatnya senang.

186 Ibid., 16525-6.

104

Pasukan Muawiyah menyerang Hijaz dan Yaman di bawah pimpinan Basar bin Arthah. Muawiyah berpesan agar menggunakan segala cara yang diinginkannya, seperti menciptakan kekacauan dan menyebarluaskan ketakutan serta kecemasan ke tengah masyarakat negeri itu. Lalu, Ibnu Arthah bertolak untuk melaksanakan perintah Muawiyah. Sepanjang perjalanan menuju Madinah, ia bertindak ekstrim serta meremehkan darah dan kehormatan, harga diri dan harta benda para penduduk. Ketika sampai di Madinah, ia menyebarkan segala jenis kejahatan dan kebengisan ke tengah para penduduk, membunuh sejumlah besar penduduk, serta memaksa mereka membaiat Muawiyah. Berita tentangnya sampai ke Yaman; sehingga tersebarlah rasa takut dan cemas. Gubernur yang diangkat Imam Ali, Ubaidillah bin Abbas, lalu melarikan diri. Ketika pasukan Muawiyah sampai di Yaman, mereka melakukan pembunuhan, perampokan, dan pengrusakan yang tiada terkira. Ibnu Arthah menangkap dua orang anak Ubaidillah bin Abbas yang masih kecil. Lalu, ia segera menyembelih keduanya di pangkuan ibunya, sehingga menyebabkannya kurang waras, terus menerus meratap dan menangis, lalu meninggal dunia dalam keadaan penuh duka.181

Pasukan lain disiapkan untuk menyerang Mesir dalam rangka mewujudkan ambisi Ibnu Ash; lalu, ia diangkat sebagai panglima pasukan tersebut. Ketika mendengar berita itu, Amirul Mukminin memanggil penduduk Kufah untuk memberikan bantuan militer pada saudara mereka di Mesir. Namun, mereka tidak menanggapi permintaan itu. Baru setelah beliau memaksa, segelintir orang mulai menyambut permintaan beliau. Tak lama kemudian, beliau mendengar kabar Ibnu Ash telah menaklukkan Mesir dan membunuh gubernurnya, Muhammad bin Abi Bakar, mencincangnya, kemudian membakarnya.

Imam Ali mengutus Malik bin Hirrits Asytar dan mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, serta memintanya segera membebaskan Mesir dari para agresor. Kalangan sejarahwan menggambarkan bahwa ia adalah orang yang setia, kuat, dan ikhlas kepada Amirul Mukminin; sebagaimana sikap Amirul Mukminin kepada Rasulullah saw.

Tatkala mendengar kabar pengangkatannya sebagai hakim, Muawiyah sangat cemas memikirkan nasib para pendukung dan pasukannya di sana. Setelah berpikir

105

panjang, akhirnya ia menemukan jalan keluar dari kemelut yang dialaminya; yakni dengan merayu salah seorang anak buahnya yang tinggal di jalan yang pasti akan dilewati Asytar. Apabila berhasil membunuh Asytar, ia akan diberikan harta yang banyak. Ketika Asytar sampai ke tempat itu, dan berhenti di sana, ia (salah seorang anak buahnya) mendatanginya dengan membawa madu beracun yang dipersiapkan untuknya, sesuai rencana Muawiyah. Kontan, Asytar pun meninggal dunia karenanya,188 sehingga Muawiyah lolos dari ancamannya dengan cara ini. Cara ini (memberikan madu beracun) telah membunuh Ibnu Khalah Muhammad bin Abi Hudzaifah, Abdurrahman bin Khalid bin Walid, Sa‘ad bin Abi Waqash, dan Abu Muhammad Hasan. Terkadang ia (Muawiyah) membanggakan diri dengannya dan berkata, ―Allah memiliki tentara dari madu yang membalaskan dendam para wali-wali-Nya.‖

Berbagai peristiwa terus terjadi di Irak dan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Amirul Mukminin. Pemberontakan tak pernah berhenti; satu usai, pemberontakan lain muncul. Ini menyebabkan Muawiyah sampai pada batas meremehkan (kekuatan Imam Ali—penerj.).181 Demikianlah. Meskipun di sekeliling mereka, di perbatasan, dan di luar perbatasan wilayah mereka terjadi penguasaan sebagian daerah, pembunuhan, perampokan yang melampaui batas, perpecahbelahan, namun para sahabat beliau tak begitu peduli karena lebih mementingkan keselamatan diri sendiri. Ketika mereka diajak memerangi musuh, tak satu pun yang beranjak; ketika diseru, mereka tidak menjawab. Mereka mengemukakan banyak alasan yang lemah, seperti sengatan hawa musim panas dan musim dingin. Sama sekali mereka tidak marah menyaksikan (pelecehan) terhadap kebenaran dan agama, atau (merasa kasihan) terhadap (penderitaan) orang-orang tunawisma dan kaum tertindas sehingga beliau menginginkan berpisah dengan mereka melalui kematian atau terbunuh.

Terkadang beliau menangisi para pendukungnya yang sudah mendahului beliau seraya bersabda, ―Kapankah dibangkitkan yang lebih buruk dan mewarnai ini dengan yang ini.‖ sembari menunjuk kepalanya yang mulia dan janggutnya yang agung. Seandainya Muawiyah menukar mereka dengan dinar dan dirham, niscaya ia akan mengambil sepuluh dan memberikan satu orang penduduk Syam. Hingga akhirnya memaksa beliau keluar memerangi Muawiyah hanya bersama keluarga dan

188 Ibid., 26113-4.

106

kerabat serta pendukung setianya; maka beliau akan berperang hingga menemui Allah di jalan kebenaran dan keadilan. Beliau berbicara kepada mereka dengan kata-kata yang sangat jelas, serta mewajibkan kepada mereka ketaatan yang sesuai dengan ketaatan mereka.110

Dan—seperti tampak jelas—sikap tegas ini menimbulkan pengaruh dalam jiwa kaum tersebut setelah mereka meyakini bahwa beliau akan keluar sendiri bersama keluarga dan para sahabatnya untuk memerangi Muawiyah; maka, tokoh-tokoh mereka menanggapinya dengan jawaban positif, dan setiap pemimpin mereka mengumpulkan kaumnya seraya menyeru berjihad dari berbagai aspek. Mereka lalu berjanji sehidup semati bersama beliau, hingga perang tersebut menjadi perang bersama. Beliau mengirimkan surat pada para gubernurnya di berbagai daerah yang meminta mereka bergabung bersama dengan pasukan mereka.

Orang-orang bergegas menuju baraknya di Nukhailah, menunggu berakhirnya bulan Ramadhan, tahun 40 Hijriah. Amirul Mukminin mengutus Ziyad bin Hafshah untuk bertempur di garis depan. Sementara beliau tinggal bersama pasukan yang sedang menanti pergantian bulan yang penuh berkah itu. Bila Muawiyah menyerangnya dan juga penduduk Irak, ia boleh jadi akan menjadi orang pertama sekaligus terakhir pada malam kesembilan belas bulan tersebut. Saat sedang berada di rumah Allah, beliau dipenggal kepalanya dalam keadaan shalat. Beliau terbebas di mihrabnya dan berkata, ―Aku telah berhasil, demi Tuhannya Ka‘bah.‖111

2

Dokumen terkait