• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kilasan Umum Warisan Imam Hasan

Imam Hasan Mujtaba, sebagaimana ayahnya, Ali bin Abi Thalib, dan kakeknya, Muhammad saw, adalah pemimpin hakiki yang melaksanakan tugasnya dalam kalimat ringkas namun bermakna luas dan berdimensi mendalam, yaitu

281 Hayât al-Imâm al-Hasan, 26411, dinukil dari Kifâyat ath-Thâlib, 268.

111

memberi hidayah berdasarkan perintah Allah Swt. Ini dilandasi firman Allah Swt,

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah.281

Petunjuk berdasarkan perintah Allah Swt itu beliau ejawantahkan dalam upaya menjelaskan syariat Allah, serta memberikan rincian-rincian hukum umum atau mutlak yang ditetapkan al-Quran dan Rasulullah saw yang mulia; juga terejawantah dalam upaya beliau menakwil al-Quran serta menjelaskan maksud-maksud (hadis) Rasulullah saw yang mulia.

Petunjuk itu terwujud dalam penerapan hukum-hukum Allah atas umat Islam dan penjagaan syariat serta pelbagai ketetapan Ilahi dari berbagai perubahan dan pemutarbalikkan yang diprakarsai sejumlah orang sesat dan menyesatkan.

Revolusi yang digelar Islam adalah revolusi budaya, sebelum dilangsungkannya revolusi sosial dan ekonomi. Karenanya, wajar bila kita mendapatkan bahwa para Imam Ahlulbait mendermakan seluruh hidupnya untuk mendidik umat dan mengarahkan mereka pada ajaran-ajaran dan nilai-nilai risalah. Mereka memandang bahwa misi pertama yang harus ditempuh adalah mendidik dan menjadikan mereka berbudaya sesuai ketetapan al-Quran yang jelas seraya menjelaskan tujuan-tujuan risalah dan rasul; di mana Imam sendiri memandang dirinya sebagai pelanjutnya dan buah dari nilai keseriusan Rasulullah saw sekaitan dengan risalah, umat, dan pemerintahan. Ketika menjelaskan tujuan-tujuan risalah dan misi Rasul, Allah Swt berfirman, …yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,

menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah.210

Jelas, Imam Hasan Mujtaba mendudukkan masalah kekhalifahan di atas fondasi agama dan akidah. Dalam hal ini, beliau tidak meninggalkan medan perang dan membiarkan begitu saja berbagai warisan suci Rasulullah saw dirampas tangan-tangan jahiliah. Namun, melalui cara lain, beliau justru berjuang keras untuk memelihara agama yang dijadikan fondasi kekuasaan dan sarana untuk merealisasikan hukum-hukum syariat.

281 QS. al-Anbiya:13.

118

Imam Hasan telah mewariskan khazanah pemikiran dan ilmu yang tak terbilang jumlahnya dan tak terkira nilainya, melalui ungkapan-ungkapan yang beliau sampaikan kepada umat Islam dalam bentuk khotbah, wasiat, atau hujah, surat-surat, dan hadis-hadis yang menginformasikan kepada kita berbagai cabang dan jenis ilmu. Berbagai ungkapan beliau ini menyingkapkan tentang beragamnya perhatian Imam Hasan, sekaligus keluasan ilmu dan penguasaannya atas berbagai kondisi yang dialami umat Islam saat itu (yang dipenuhi fitnah), di mana hanya sedikit sekali orang yang menyadari karakter dan tuntutan masa itu kecuali orang yang dijamin dengan pemeliharaan Allah dan petunjuk-Nya.

Kami akan menjelaskan perhatian Imam Hasan terhadap ilmu dan menukil sebagian ajaran-ajaran dan nilai-nilai ideal yang terlontar dari lisan sucinya dengan penuturan yang sangat gamblang, atau yang terejawantah melalui pendidikannya pada murid-murid dan para sahabatnya.

Ilmu dan Akal

Untuk mendorong semangat menuntut ilmu berikut cara dan pengembangannya, Imam Hasan berkata:

1) Tuntutlah ilmu, karena kalian anak-anak kecil dalam sebuah kaum, kemudian akan menjadi orang dewasa esok hari. Barangsiapa tidak hafal (pelajaran kalian), maka tulislah.211

2) Pertanyaan yang baik adalah separuh dari ilmu.212

3) Ajarilah orang-orang, dan belajarlah ilmu yang ada pada orang lain; dengannya, engkau sungguh telah meneguhkan ilmumu dan mengetahui apa yang (sebelumnya) tidak kau ketahui.

4) Terputusnya ilmu adalah uzurnya para pelajar. 5) Keyakinan merupakan sumber keselamatan.

6) Aku mewasiatkan kalian tentang ketakwaan kepada Allah dan selalu terus-menerus berpikir. Sesungguhnya, berpikir adalah induk dari segala kebaikan.213

211 Dari Al-Fushûl al-Muhimmah, Ibnu Shabagh Maliki, 142.

111

Akal adalah fondasi ilmu. Dengan cara ini, akal didefinisikan dari sisi keniscayaan-keniscayaan dan pengaruh-pengaruh ilmiahnya serta sejauh mana nilai penting dan perannya dalam kesempurnaan manusia dengan sabda beliau as:

1. Akal adalah penjaga hati dari setiap hal yang menyelewengkannya.214 2. Tidak ada adab bagi orang yang tidak berakal, tidak ada kecintaan bagi orang yang tidak memiliki perhatian kepadanya (akal), tidak ada malu bagi orang yang tidak berhutang kepadanya. Akal akan menjadi teman terbaik manusia. Dengan akal, diketahui kebahagiaan dua dunia. Siapa yang mengabaikan akal, akan tercegah dari keduanya.

3. Akal tidak berdusta kepada orang yang meminta nasihat darinya.215

Al-Quran

Dalam menjelaskan hakikat, risalah, tujuan-tujuan suci, dan keutamaan, serta bagaimana meneguk (ilmu) dari al-Quran yang merupakan sumber mata air kehidupan yang tak pernah kering, beliau berkata:

1) Sesungguhnya dalam al-Quran ini terdapat lentera cahaya, obat bagi dada, penyelamat bagi orang yang berjalan dengan cahayanya, pengika karakter dalam hati. Berpikir adalah kehidupan hati yang sadar, sebagaimana diteranginya seorang yang berjalan di dalam kegelapan dengan bantuan cahaya.216

2) Tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali al-Quran. Maka, jadikanlah ia sebagai imam. Orang yang paling berhak terhadap al-Quran adalah orang yang beramal dengannya meskipun tidak menghafalnya, dan orang yang paling jauh dengan al-Quran adalah yang tidak beramal dengannya meskipun ia membacanya.211

3) …raihlah oleh kalian ilmu yakin; yaitu, kalian tidak akan mengetahui ketakwaan hingga kalian mengetahui sifat petunjuk; kalian tidak akan 213 Al-A‟immah al-Itsnâ „Asar, 31.

214 Hayât al-Imâm al-Hasan, 16343 & 346.

215

Ibid., 16351.

216 Ibid., komentar dan analisis, 16346-1, dari Kasyf al-Ghummah dan Irsyâd al-Qulûb.

180

berpegang dengan ajaran al-Quran hingga kalian mengetahui siapa yang menurunkannya; dan kalian tidak akan membaca al-Quran dengan sebenar-benarnya bacaan hingga kalian mengetahui siapa yang menggubahnya. Bila mengetahui semua itu, engkau akan mengetahui bid‘ah dan kebohongan. Kalian juga akan melihat kedustaan atas nama Allah dan mendapatkan bagaimana orang yang memperturutkan hawa nafsunya. Orang dungu tak akan mampu membodohi kalian. Mintalah pertolongan kepada ahlinya karena mereka adalah cahaya khusus yang dengannya akan didapatkan cahaya; merekalah para imam yang menjadi tempat meminta berbagai kebutuhan. Mereka adalah kehidupan ilmu dan kematian kejahilan.218

4) Dalam Kitab Allah terdapat perincian segala sesuatu. Tak ada kebatilan di dalamnya, baik dari arah depan maupun belakangnya. Di dalamnya terkandung takwil segala sesuatu; takwilnya tidak menyesatkan kami, melainkan malah membuat kami yakin atas hakikat-hakikatnya. Taatilah kami karena ketaatan pada kami diwajibkan. Karena ketaatan kepada Allah dan Rasul sepadan dengan ketaatan pada ulil amri.

Para sejarahwan mengungkapkan model-model penafsiran al-Quran Imam Hasan. Kami akan menyebutkan sebagian darinya untuk Anda.

Seseorang memasuki mesjid Rasulullah saw untuk menanyakan tafsir firman Allah Swt, wa syâhidin wa masyhûd. Saat itu, ia melihat tiga sosok sedang dikelilingi sejumlah orang. Mereka berbicara mengenai apa yang didengarnya dari Rasulullah saw. Karenanya, ia pun bertanya kepada salah seorang dari mereka mengenai maksud, wa syâhidin wa masyhûd. Orang yang ditanya itu menjawab, ―Asy-syâhid adalah hari Jum‘at dan al-masyhûd adalah hari Arafah.‖ Kemudian, ia bertanya kepada sosok kedua, yang menjawab, ―Asy-syâhid adalah hari Jum‘at dan al-masyhûd adalah hari kiamat.‖ Lagi-lagi ia menanyakan hal yang sama kepada sosok ketiga, yang menjawabnya, ―Asy-syâhid adalah Rasulullah saw dan al-masyhûd adalah hari kiamat. Ini sebagaimana firman Allah Swt, ya ayyuhan Nabî, innâ arsalnaka syâhidan

218 Ibid., 16360, dari Tuhaf al-„Uqûl

181

wa mubasysyiran wa nadzîran, dan firman Allah Swt mengenai hari kiamat, dzalika yawma masyhûd.‖

Kemudian, orang itu menanyakan tentang siapakah orang pertama yang ditanyanya itu. Di katakan kepadanya bahwa ia adalah Abdullah bin Abbas. Sementara orang kedua adalah Abdullah bin Umar. Adapun orang ketiga adalah Hasan bin Ali bin Abi Thalib.211

Dari hasil penelitian seputar khotbah-khotbah dan nasihat-nasihat Imam Hasan, ditemukan berbagai penyertaan dalil dan kesaksian dari ayat-ayat al-Quran yang mulia, yang akan memberikan kita (informasi) mengenai sejauh mana penguasaan beliau atas maksud-maksud, rahasia-rahasia, dan kandungan-kandungan batin al-Quran. Kami akan menyebutkan sebagian darinya dalam pembicaraan mendatang.

Hadis Nabawi dan Sejarahnya yang Agung

Imam Hasan sangat memperhatikan masalah penyebaran hadis Nabi saw berikut sejarah dan keutamaan akhlaknya. Kami memiliki beberapa hadis yang beliau riwayatkan dari kakeknya, Rasulullah saw sebagai berikut:

1) Termasuk hal-hal yang pasti akan mendatangkan pengampunan adalah membahagiakan sesama saudara Muslim.

2) Wahai Muslim! Simpan bagiku tiga hal, niscaya aku akan menjaminmu surga; jika kalian mengamalkan apa yang diwajibkan al-Quran bagimu, engkau akan menjadi sebaik-baik hamba yang beribadah; jika merasa cukup (qanaah) dengan apa yang telah menjadi rezekimu, kalian akan menjadi manusia terkaya; jika menjauhi apa yang diharamkan Allah, niscaya kalian akan menjadi manusia yang paling warak.

3) Barangsiapa melakukan shalat fajar (subuh), dan tetap duduk di tempat shalatnya hingga matahari terbit, maka Allah akan melindunginya dari api neraka.

182

4) Di manapun kalian berada, bershalawatlah kepadaku, karena shalawat kalian akan sampai kepadaku.

5) Seorang wanita dengan ditemani kedua anaknya menemui Nabi saw. Ia meminta-minta kepada Nabi, dan beliau memberinya tiga buah kurma. Wanita itu memberikan kedua anaknya masing-masing satu kurma, yang kemudian menyantapnya. Lalu, kedua anak tersebut melihat ke arah ibunya (karena masih lapar—penerj.). Maka, sang ibu memecahkan kurma (bagiannya) menjadi dua bagian dan diberikan kepada kedua anaknya, masing-masing satu bagian. Rasulullah saw bersabda, ‗Semoga Allah menyayangi ibu ini karena kasih sayangnya pada kedua anaknya.‘

6) Rasulullah saw berdoa dengan ungkapan berikut, ‗Ya Allah, sedikitkanlah kekeliruanku, lindungilah keselamatanku, jauhkanlah aku dari orang yang membenciku, tolonglah aku dari orang yang menzalimiku.‘

Adapun berkaitan dengan riwayat hidup dan keutamaan akhlak beliau saw, cucunda Rasulullah saw, Hasan Mujtaba, ini mencurahkan perhatian untuk menyebarluaskannya. Semua itu beliau peroleh salah satunya dari bibinya, Hanad bin Abi Halah Tamimi, anak angkat Rasulullah saw sekaligus saudari ibunya, Sayidah Fatimah Zahra. Karena, ia cukup bagus dalam mendeskripsikan semangat dan kemuliaan akhlak Nabi saw. Di antara gambaran mengenai pribadi agung Rasulullah saw adalah berikut ini, ―Rasulullah saw adalah sosok yang selalu berduka, merenung, tak pernah beristirahat, tak pernah berbicara bila tidak perlu, selalu berdiam diri, membuka pembicaraan dan menutupnya dengan sangat fasih, berbicara dengan semua ucapan, terperinci tapi tak berkepanjangan atau kependekan, datar tidak kasar dan tidak merendahkan, membesarkan karunia meskipun kecil serta tak pernah mencelanya, tidak pernah mencemooh atau memuji makanan dan minuman, tidak pernah memurkai dunia dan seisinya, ketika beliau memenuhi hak, tidak seorang pun mengetahuinya; sesuatu tak akan berdiri tegak dikarenakan amarahnya hingga beliau sendiri membantunya. Beliau selalu menunjuk dengan seluruh jarinya; ketika merasa terkejut, beliau biasa menggoyang-goyangkannya. Ketika berbicara atau

183

berkomunikasi melalui jari-jari tangannya, beliau memukulkan telapak tangan kanannya ke telapak tangan kirinya. Ketika marah, beliau memalingkan muka; ketika bergembira, beliau menundukkan wajah, tertawa hanya dengan tersenyum simpul, hingga sedikit terlihat giginya…‖

Ya, Imam Hasan mencurahkan segenap perhatian terhadap sejarah hidup insan penuh berkah ini. Beliau bertanya kepada ayahnya, Imam Ali bin Abi Thalib, yang merupakan anak angkat Rasulullah saw, sekaligus sepupu, saudara, dan mitranya dalam memikul tanggung jawab risalah. Beliaulah yang selalu menyertainya sejak sebelum beliau saw diangkat menjadi nabi (bi‟tsah) hingga wafatnya. Imam Hasan pernah meminta ayahnya menggambarkan kepribadian agung Rasulullah saw. Amirul Mukminin memberi jawaban yang mengandung bobot ajaran sempurna bagi setiap Muslim yang ingin mereguk petunjuk dari kepribadian Nabi saw ini,

―Ketika pulang ke rumahnya, Nabi saw akan membagi (waktu) masuknya menjadi tiga bagian; satu bagian untuk Allah Swt, satu bagian untuk keluarganya, dan satu bagian lagi untuk dirinya sendiri. Kemudian, beliau saw membagi waktu untuk dirinya itu bagi dirinya dan bagi orang. Waktunya itu dikembalikan pada orang-orang, di mana tak ada yang tersembunyi dari mereka. Salah satu keutamaan beliau dalam hubungannya dengan umat adalah memprioritaskan orang-orang yang memiliki keutamaan dengan izin-Nya, dan membagi mereka sesuai tingkat keutamaan masing-masing dalam agama. Sebagian di antara mereka ada yang memiliki satu kebutuhan, ada yang dua kebutuhan, dan ada yang memiliki banyak kebutuhan. Beliau menyibukkan diri dengan mereka (untuk memenuhi kebutuhan mereka) dan mengatur mereka dalam hal yang dapat memberi kemaslahatan kepada mereka dan umat berkenaan dengan berbagai masalah mereka serta menginformasikan apa yang seharusnya bagi mereka. Beliau bersabda, ‗Hendaknya orang yang hadir memberitahukan orang yang tidak hadir. Sampaikan kepadaku kebutuhan orang yang tidak sanggup menyampaikan kebutuhannya. Karena, barangsiapa menyampaikan kebutuhan orang yang tidak mampu menyampaikan kebutuhannya di hadapan penguasa, maka Allah akan meneguhkan kakinya di hari kiamat, tak akan disebut di sisinya kecuali hal itu, dan tidak akan diterima dari seorang pun kecuali darinya.‘‖

Imam Hasan berkata, ―Aku bertanya kepadanya (Amirul Mukminin) tentang bagaimana perilaku beliau. Amirul Mukminin menjawab, ‗Beliau adalah orang yang menjaga lidahnya kecuali kepada mereka yang membutuhkannya. Beliau

184

mempersatukan bukan memecah belah mereka.‘ Lalu, beliau melanjutkan, ‗Menjadikan mereka menyendiri. Rasulullah saw menghormati bangsawan dari setiap kaum, dan mengangkatnya sebagai penguasa dan mengingatkan orang-orang (atas kedudukan mereka—penerj.). Beliau berhati-hati dari mereka, tanpa harus bersembunyi dari salah seorang manusia dan makhluk-Nya. Beliau mengunjungi para sahabatnya, dan menanyakan berbagai hal kepada orang-orang (tentangnya). Beliau menganggap baik yang baik dan mendukungnya, serta menganggap buruk yang buruk dan melemahkannya. Beliau selalu bersikap toleran, tetapi tidak melanggar (kebenaran). Tidak lalai karena khawatir mereka lalai atau cenderung pada berbagai keadaan yang mengandung dosa. Beliau tidak mengurangi dan melebihkan hak. Yang beliau pilih adalah yang terbaik dari mereka. Yang termulai di sisi beliau adalah nasihat yang paling umum bagi mereka. Yang paling agung kedudukannya di sisi beliau adalah mereka yang paling baik bertoleransi dan bersilaturahmi.‘‖

Imam Hasan berkata, ―Aku bertanya pada beliau (Amirul Mukminin) mengenai majelisnya. Beliau menjawab, ‗Rasulullah saw tidak berdiri kecuali sambil berzikir kepada Allah dan tidak diam di berbagai tempat, dan melarang untuk mendiami tempat-tempat tersebut. Ketika sampai di tengah suatu kaum, beliau akan duduk hingga majelis tersebut selesai. Beliau memerintahkan hal tersebut. Beliau memberikan setiap majelisnya, bagian masing-masing. Beliau tidak pernah memosisikan satu pun orang yang hadir lebih rendah dari dirinya. Bila ada sahabatnya atau hadirin di majelisnya yang memiliki kebutuhan, beliau bersabar atasnya sampai berhasil menyelesaikan masalahnya. Tak seorang pun yang meminta sesuatu kecuali beliau penuhi atau diberi ucapan yang menghibur. Orang-orang merasa senang dengan kelapangdadaan dan akhlak beliau saw, hingga mereka menganggap beliau saw sebagai ayahnya. Mereka memiliki hak yang sama di sisi beliau saw. Majelisnya adalah majelis kesabaran, rasa malu dan amanah. Tidak ada suara yang ditinggikan di sisi beliau saw. Di dalamnya yang haram tidak dipuji-puji, kekeliruan tidak terulang, para hadirinnya adalah orang-orang yang netral, di dalamnya mereka berlomba dalam ketakwaan, bertawadhu dan tidak takabur, menyayangi orang-orang kecil dan membantu orang-orang yang berada dalam kebutuhan, serta menjaga orang-orang asing…‘‖

Imam Hasan berkata, ―Aku bertanya kepada beliau, ‗Bagaimana perangainya dalam majelis?‘ Beliau menjawab, ‗Rasulullah saw selalu bergembira, luwes, bersikap

185

halus, tidak berlaku kasar dan keras, tidak berkata-kata dengan suara keras dan kasar, tidak menjelek-jelekkan dan memuji-muji, mengabaikan yang tidak disukai, dan tidak menghiraukannya, serta tidak menjawabnya. Beliau meninggalkan dirinya dari tiga hal; kemunafikan, berlebih-lebihan, dan sesuatu yang tidak pantas. Beliau meninggalkan dari orang-orang tiga hal; tidak pernah mencela seseorang, atau mengejeknya serta tidak mengharapkan kejatuhannya. Beliau tidak pernah berbicara kecuali mengenai hal-hal yang diganjar pahala. Ketika beliau berbicara, para hadirin akan terdiam, seolah-olah seekor burung bertengger di kepala mereka. Ketika beliau diam, mereka berbicara. Mereka tidak bertengkar di hadapan beliau saw. Bila ada yang berbicara, mereka memperhatikannya hingga ia selesai bicara. Pembicaraan mereka adalah pembicaraan paling penting bagi mereka. Beliau akan tertawa untuk sesuatu yang pantas ditertawakan. Dan akan terkagum terhadap sesuatu yang layak dikagumi. Bila ada orang asing, beliau akan bersabar terhadap ketidaksopanannya dalam berbicara dan mendengarkan masalahnya, hingga sahabat-sahabatnya akan tertarik dan beliau bersabda, ‗Ketika kalian bertemu orang yang meminta pertolongan, penuhilah. Jangan menerima pujian kecuali yang selayaknya, jangan memotong pembicaraan seseorang hingga ia membolehkannya. Dan ia mengakhirinya dengan cara duduk atau berdiri.‘‖

Imam Hasan berkata, ―Bagaimana dengan diamnya? Beliau menjawab, ‗Diamnya Rasulullah saw atas empat hal; hukum, kehati-hatian, pandangan, dan perenungan.

Pendapatnya adalah yang menertibkan pandangan di antara manusia dan beliau berupaya mendengarkan mereka.

Perenungannya berkaitan dengan hal-hal yang fana dan abadi.

Toleransinya tergabung dalam kesabaran; tak ada sesuatu yang melawannya. Kehati-hatiannya terkumpul dalam empat hal; mengambil yang baik untuk mendapatkan petunjuk, meninggalkan yang jelek agar terhindar darinya, keseriusannya dalam ide memperbaiki umatnya, serta usahanya bagi kebaikan dunia dan akhirat mereka…‘‖300

300 Al-Mawfiqîyât, 354-1; Ansâb al-Asyrâf, 16310; al-Muhtashar fî asy-Syamâil al-Muhammaddiyah, Turmudzi, 31.

186

Akidah

1. Tauhid.

Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan putranya untuk berkhotbah di hadapan hadirin di mesjid Kufah. Maka, beliau segera menaiki mimbar dan berkata, ―Alhamdulillah, Yang Esa tanpa kembaran, Yang Abadi tanpa penciptaan, Yang Tegak tanpa kesulitan, Pencipta tanpa pangkat, Yang Disifati tanpa batasan, Yang dikenal tanpa terbatas, Yang Agung, Selalu Azali dalam Keazalian, kalbu-kalbu merunduk karena keagungan-Nya, akal takluk karena Kebesaran-Nya, para pengamat tertunduk karena

qudrah-Nya, tidak terlintas dalam hati manusia keluasan

keagungan-Nya, manusia tidak sampai pada hakikat Kebesaran-Nya, para pemberi sifat tidak mampu berbicara mengenai hakikat Keagungan-Nya, ulama dengan kecerdasannya tidak mampu menggapai-Nya, begitu pula para cerdik cendekia yang tidak mampu menjelajahi kekuasaan-Nya, manusia yang paling mengetahui-Nya dengan ilmu yang terbatas tidak mampu menggambarkan-Nya, Dia mengetahui berbagai pandangan, Dia-lah Yang Mahatahu...‖301

Lalu, seorang pria mendatanginya dan berkata, ―Wahai putra Rasulullah! Gambarkan padaku Tuhanmu, seolah-olah aku melihatnya!‖

Imam Hasan terdiam sejenak, kemudian mengangkat kepalanya untuk menjawab, ―Segala puji bagi Allah yang tidak memiliki waktu awal yang diketahui dan tiada akhir yang membatasi, tiada pengetahuan yang mendahului, tiada pembatasan, dan tiada batas waktu sama sekali. Bukan sosok yang bisa terbagi, tiada perbedaan dalam sifat hingga saling bertentangan. Akal dan imajinasi tidak mampu mencerapnya, demikian juga pemikiran dan khayalan, otak dan ide-ide. Sifat-Nya adalah, tiada kapan, tiada asal-usul dari mana, tiada lahir pada apa, tiada batin dalam apa...

181

menciptakan makhluk, maka Dia adalah Pemula dan Pencipta hal baru, mencipta hal baru apa yang telah dicipta, melakukan apa yang Dia inginkan, dan menginginkan apa yang lebih. Itulah Allah, Tuhan semesta alam.‖302

2. Mematahkan konsep determinisme (jabr).

Penduduk Bashrah mengirimkan surat kepada beliau demi meminta pendapatnya soal determinisme. Beliau memberikan jawaban kepada mereka, ―Siapa yang tidak beriman kepada Allah, qadha dan qadar-Nya, maka telah kafir. Barangsiapa menisbatkan dosanya kepada Tuhannya, adalah seorang fajir. Sesungguhnya Allah tidak ditaati dengan terpaksa dan tidak dimaksiati karena ketertaklukkan. Sesungguhnya Dia adalah Pemilik segala yang mereka miliki, Penguasa atas yang mereka mampu lakukan. Jika mereka melakukan ketaatan, maka tak ada penghalang antara mereka dengan apa yang mereka lakukan, Dia bukanlah yang memaksa mereka melakukan hal itu. Jika Allah memaksa makhluk untuk melakukan ketaatan, maka tentunya akan gugur pahala, dan jika Dia memaksa makhluk untuk bermaksiat maka tentunya akan gugur siksa. Jika Ia membiarkan mereka maka Dia lemah dalam

qudrah-Nya; tetapi dalam diri mereka terdapat keinginan (Allah)

yang digaibkan dari mereka. Jika mereka taat, maka bagi mereka terdapat pahala. Jika mereka bermaksiat, maka ada hujah atas diri

Dokumen terkait