• Tidak ada hasil yang ditemukan

PADA TINGKAT PETANI

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Nenas

Umur seseorang pada umumnya dapat mempengaruhi aktivitas petani dalam pengelolaan usahataninya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap petani responden, diketahui umumnya (63.33%) umur petani nenas berkisar 20-50 tahun (Tabel 3.1). Hasil ini hampir sama dengan laporan Rauf (1999) yang melaporkan bahwa lebih dari 60% petani kentang berusia 20-50 tahun. Jika dilihat dari penggolongan umur maka umur petani produktif berkisar antara 15-55 tahun (Palebangan et al. 2006). Oleh sebab itu hasil survei ini menunjukkan petani nenas di Subang umumnya masih dalam kisaran umur produktif sehingga masih berpotensi untuk mengembangkan dirinya dalam meningkatkan produksi nenasnya. Menurut Soekartawi (1998) dalam kaitan dengan adopsi inovasi bahwa penerimaan inovasi paling tinggi adalah petani berusia paruh baya. Petani usia muda umumnya mempunyai semangat yang lebih besar untuk bekerja dan terlibat penuh dalam kegiatan yang berkaitan dengan usaha pertaniannnya. Jadi petani nenas di Jalancagak mempunyai peluang untuk menerima inovasi melalui penyuluhan-penyuluhan.

Sebagian besar petani memiliki jumlah anggota keluarga 3-4 orang (76.66% responden). Jumlah anggota keluarga erat kaitannya dengan jumlah tanggungan petani sebagai kepala keluarga, terutama anggota keluarga non produktif. Tanggungan keluarga akan berkurang apabila anggota keluarga sudah berusia produktif dan ikut membantu dalam usahataninya.

Tabel 3.1. Sebaran umur dan jumlah anggota keluarga tiap petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang (n=30)

Karakteristik petani Jumlah (orang) Persentase (%)

Umur Petani 20-30 4 13.33 31-40 10 33.33 41-50 5 16.67 51-60 3 10.00 61-70 8 26.67 Jumlah keluarga 0-2 2 6.67 3-4 23 76.66 > 4 5 16.67

Dari segi pendidikan, umumnya petani (66.67%) hanya tamat SD. Petani yang tidak tamat SD berjumlah 23.33%, hanya sedikit petani yang dapat mengenyam bangku SMP (3.33%) dan SMA (6.67%) (Tabel 3.2). Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki tingkat pendidikan SD. Hasil ini sama seperti pernyataan Mulyadi (2006) yang menyatakan bahwa potret petani umumnya di Indonesia berpendidikan SD. Menurut Palebangan et al. (2006) makin tinggi tingkat pendidikan formal petani diharapkan makin rasional pola pikir dan daya nalarnya. Salikin (2003) menyatakan bahwa pengembangan SDM pertanian sebagai pelaku utama pembangunan pertanian sangat diharapkan dan merupakan suatu investasi masa depan menuju pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu kegiatan pelatihan pemberdayaan petani dan penyuluhan bagi petani hendaknya ditingkatkan.

Tabel 3.2. Pendidikan, penyuluhan dan keikutsertaan responden dalam kelompok tani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang (n=30).

Karakteristik petani Jumlah (orang) Persentase (%)

Pendidikan Tidak tamat SD 7 23.33 Tamat SD 20 66.67 SMP 1 3.33 SMA keatas 2 6.67 Penyuluhan Tidak pernah 6 20.00 Pernah 24 80.00 Kelompok tani Tidak ikut 4 13.33 Ikut 26 86.67

Selain faktor pendidikan formal, pendidikan non formal merupakan pendidikan di luar sistem formal dan bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam arti luas (Tampubolon 2004). Bentuk pendidikan non formal tersebut antara lain adalah penyuluhan dan pelatihan yang diselengarakan oleh kelompok tani. Umumnya petani (80% reponden) pernah mengikuti kegiatan penyuluhan yang diselenggarakan oleh petugas penyuluh lapangan. Walaupun demikian berbagai inovasi yang disuluhkan belum tentu diterima oleh petani. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani. Oleh karena itu materi penyuluhan

di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang hendaknya disesuaikan dengan tingkat pendidikan petani di daerah ini.

Selain itu juga sebagian besar petani berpartisipasi dalam kegiatan kelompok tani. Hal ini menunjukkan petani nenas pada umumnya memiliki pandangan positif terhadap manfaat kegiatan penyuluhan maupun kelompok tani. Petani sadar bahwa dengan mengikuti kegiatan penyuluhan maupun kelompok tani, mereka mendapatkan informasi yang berkaitan dengan upaya peningkatan sistem usahataninya sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dengan karakteristik petani yang didapatkan dalam penelitian ini maka pengelolaan usahatani nenas dapat ditingkatkan dengan penyuluhan yang sesuai karakteristik tersebut.

Luas Lahan Garapan dan Kepemilikan Lahan

Dari hasil wawancara dengan petani diperoleh data luas lahan garapan dan kepemilikan lahan petani, seperti ditampilkan pada Tabel 3.3. Lahan merupakan salah satu faktor produksi utama bagi petani sebagai sumber daya untuk menghasilkan pendapatan utama (Palebangan et al. 2006). Lahan garapan yang sempit berkaitan dengan pendapatan petani yang terbatas. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar petani (hampir 50% responden) hanya memiliki lahan garapan yang relatif sempit atau kurang dari 0.25 ha. Sempitnya luas garapan nenas tersebut berkontribusi terhadap kemiskinan dan keterbatasan modal untuk mengembangkan usahataninya. Menurut Mubyarto (1994) rata-rata luas lahan garapan umumnya petani di Indonesia sangat sempit sekitar 0.10–0.49 ha. Menurut penelitian Purwoto (1993) luas lahan garapan mempengaruhi perilaku petani di Jawa Tengah dalam mengambil resiko. Petani yang memiliki luas garapan padi yang cukup luas dan lahan yang digarapnya relatif menyatu cenderung lebih berani dalam mengambil resiko usahataninya dibandingkan petani yang memiliki luas garapan yang sempit dan letaknya terpencar-pencar.

Berdasarkan kepemilikan lahan, sebagian besar petani (80% responden) menggarap tanahnya sendiri, tetapi ada juga sebagian petani hanya sebagai penyewa dan penggarap. Keterbatasan modal kerja menyebabkan petani yang tidak memiliki lahan atau petani penggarap hanya mengandalkan tenaganya dan

memanfaatkan lahan yang dimiliki perseorangan atau perusahaan perkebunan yang ada di sekitar desa tersebut.

Dari gambaran umum kondisi sosial petani menunjukkan bahwa rata-rata petani di tiga desa penghasil nenas merupakan petani yang memiliki modal yang terbatas. Hasil ini merupakan potret petani di Indonesia, seperti dikemukakan Mulyadi (2006) bahwa pertanian yang ada sekarang didominasi oleh pertanian yang bercorak skala usaha kecil, yaitu 60% usahatani hanya memiliki lahan berukuran kurang dari 0.3 ha (usahatani ”gurem”) dengan lokasi usahatani yang terpencar-pencar.

Tabel 3.3. Luas lahan garapan dan kepemilikan lahan oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang (n=30)

Lahan garapan dan

kepemilikan lahan Jumlah (orang) Persentase (%)

Luas lahan garapan

< 0.25 14 46.67 0.25-0.5 9 30.00 > 0.5 7 23.33 Pemilikan lahan Penggarap 2 6.67 Penyewa 4 13.33 Pemilik 24 80.00

Sistem Budidaya Nenas

Petani nenas di Subang umumnya (40% responden) menggunakan jarak tanam yang bervariasi. Umumnya sistem pertanaman nenas dilakukan petani dengan sistem dua baris yaitu: jarak dalam baris 25-40 cm, jarak baris 25-50 cm (Tabel 3.4) dan jarak antar baris bervariasi antara 100-150 cm. Jumlah tanaman ±30 000 tanaman/ha. Jarak tanam menurut standar operasional dalam produksi nenas (SOP) tergantung dari pada sistem tanam dan varietas yang digunakan (PKBT 2007b), juga tergantung kesuburan tanah (Ristek 2002). Menurut SOP, jarak tanam sistem dua baris adalah jarak dalam baris 30 cm, jarak baris 30 cm dan jarak antar baris 100 cm sehingga jumlah tanaman sekitar 50 000 tanaman/ha. Pada golongan Smooth Cayenne jarak tanam lebih lebar dibandingkan pada golongan Queen. Kepadatan tanaman yang ideal berkisar 44 000-77 000 bibit tanaman/ha (Ristek 2002). Jadi, keputusan penanam nenas dengan jarak tanam

yang digunakan petani di Jalancagak dan populasi tanaman per ha hanya 30 000 tanaman jelas lebih rendah dari yang dianjurkan. Keputusan petani tersebut ada kaitan dengan kebiasaan petani setempat yang menanam tanaman tumpangsari diantara baris tanaman yang dapat menghasilkan sebelum panen nenas.

Tabel 3.4. Hasil wawancara jarak tanam, varietas dan asal bibit yang ditanam oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang (n=30)

Uraian Jumlah (orang) Persentase (%)

Jarak tanam (cm)

25x25 5 16.67

25x30 7 23.33

30x40 4 13.33

40x50 14 46.67

Varietas yang ditanam

Smooth Cayenne 27 90.00

Queen 0 0.00

Queen & Smooth Cayenne 3 10.00

Pengambilan bibit dari

Petani 24 80.00

Beli 6 20.00

Asal bibit

Lahan sebelum tanpa seleksi 22 73.33

Lahan sebelum seleksi 2 6.67

Lahan lain tanpa seleksi 6 20.00

Lahan lain seleksi 0 0.00

Bibit yang digunakan petani responden umumnya varietas Smooth Cayenne (90% responden), yang berasal dari kebunnya sendiri (80% responden) dan dibeli dari petani lainnya (20% responden). Menurut petani umumnya bibit yang ditanam tidak melalui seleksi bibit (73.33% responden), karena mereka yakin bahwa bibit yang berasal dari kebun mereka sendiri memiliki kualitas baik. Menurut Rohrbach dan Schmitt (2003) bibit merupakan salah satu media pembawa kutu putih, karena dapat terbawa melalui perpindahan bibit yang digunakan seperti: anakan, tunas dan mahkota. Oleh sebab itu penggunaan bibit yang sehat merupakan upaya penting untuk mencegah penyebaran hama kutu putih pada kebun yang lain ataupun ke daerah lainnya.

Penerapan pemupukan oleh petani ditampilkan pada Tabel 3.5. Hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam upaya peningkatan produksi, petani telah

menerapkan usahatani nenas dengan penggunaan pupuk baik pupuk dasar maupun pupuk lanjutan. Beberapa petani hanya menerapkan pupuk dasar, namun umumnya petani menerapkan aplikasi pupuk lanjutan dengan dosis aplikasi satu kali dalam setahun. Menurut petani dosis pupuk yang digunakan oleh petani hanya berdasarkan pengalaman budidaya nenas (60% responden). Sebagian petani responden menerapkan dosis yang mereka terima dari tim penyuluh dalam kegiatan budidaya nenas (40% responden).

Tabel 3.5. Hasil wawancara tentang pemupukan, jumlah aplikasi dan informasi pemupukan (n=30)

Uraian Jumlah (orang) Persentase (%)

Pemupukan Ada 30 100.00 Tidak ada 0 0.00 Aplikasi pupuk Dasar (organik) 8 26.67 1 x setahun 13 43.33 2 x setahun 9 30.00 Informasi pemupukan Penyuluhan 12 40.00 Pengalaman sendiri 18 60.00

Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar petani nenas melakukan pemupukan. Pemberian pupuk kandang sekitar satu kg/tanaman setelah penanaman dilakukan oleh sebagian petani. Umumnya petani melakukan pemupukan lanjutan hanya sekali yaitu dengan pupuk urea 200 kg/ha dan SP-36 100 kg/ha. Sebagian petani juga telah menerapkan pemupukan dua kali sampai panen. Manurut SOP pemberian pupuk kandang dilakukan setelah penanaman, sekitar dua kg/tanaman dan pemberian pupuk lanjutan dua kali dalam setahun yaitu: pemupukan pertama dilakukan tiga bulan setelah tanam (BST) dengan pupuk Urea 300 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Pemberian pupuk kedua dilakukan menjelang pembungaan dengan Urea 150 kg/ha, SP-36 50 kg dan KCl 300 kg (PKBT 2007b).

Perbandingan pemupukan tanaman nenas menurut SOP (PKBT 2007b) dan petani responden di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang disajikan pada

Tabel 3.6. Dari segi pemupukan maka petani di Jalancagak masih belum mengikuti rekomendasi SOP baik dosis maupun frekuensi.

Tabel 3.6. Pemupukan tanaman nenas menurut SOP dan rata-rata implementasi oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang Pemupukan SOP Petani Dosis (kg/ha) Waktu pemberian (BST) Dosis (kg/ha) Waktu pemberian (BST) Pemupukan pertama Urea SP-36 KCl Pemupukan kedua Urea SP-36 KCl 300 100 100 150 0-50 300 3 3 3 10-14 10-14 10-14 200 100 0 100 25 100 3 3 0 12-14 12-14 12-14

Umumnya petani (73.33%) menanam nenas secara polikultur (Tabel 3.7). Penanaman nenas secara polikultur ini dipilih petani disebabkan lahan garapannya sempit dan tiadanya pendapatan sebelum panen. Untuk memenuhi kebutuhan hariannya petani terutama di Bunihayu menanam singkong, pisang, cabe atau kencur sebagai tanaman tumpangsari. Petani di Curugrendeng juga menanam tanaman lainnya seperti pisang dan singkong di pertanaman nenas. Sebelum panen, petani mengharapkan pendapatan dari tanaman tumpangsari tersebut. Beberapa petani terutama di Cimanglid menanam nenas di bawah pohon-pohon penghasil kayu seperti: jati dan sengon, buah-buahan seperti: durian, nangka, pisang dan rambutan.

Tabel 3.7. Hasil wawancara pola tanam dan jenis tanaman polikultur pada tanaman nenas (n=30)

Uraian Jumlah (orang) Persentase (%)

Pola tanam Polikultur 22 73.33 Monokultur 8 26.67 Tanaman sela Pisang 7 23.33 Kencur 9 30.00 Singkong 2 6.67 Tanaman lain 4 13.33

Proses usahatani nenas di Subang meliputi: pengolahan tanah dan penyiapan bibit. Selanjutnya bibit ditanam sesuai jarak lubang tanam yang telah disiapkan. Pemupukan tanaman nenas dilakukan sesuai dengan kebiasaan petani. Umumnya petani melakukan penanaman secara polikultur yaitu menanam nenas bersama dengan tanaman lain seperti kencur dan tanaman hortikultura lainnya atau tanaman tumpangsari lainnya. Pemeliharaan tanaman oleh sebagian petani dilakukan dengan melakukan sanitasi lingkungan pertanaman yaitu mengeluarkan gulma dari kebunnya, namun sebagian petani kebunnya kurang terpelihara. Pengendalian hama terutama kutu putih umumnya dilakukan dengan menggunakan insektisida yang tersedia. Pemeliharaan tanaman berlangsung sampai tanaman menghasilkan buah. Selanjutnya panen dilakukan dan petani mensortir buah-buah berdasarkan ukurannya kemudian dijual kepada pedagang pengumpul atau langsung dijual di kios-kios buah atau ke pasar (Gambar 3.2).

A B C D

E F G H

Gambar 3.2. Proses usahatani nenas: pengolahan tanah (A), penanaman bibit (B), penanaman tanaman tumpangsari (C), masa vegetatif (D), masa generatif (E), panen (F), pengumpulan buah (G), pemasaran buah nenas (H).

Hama dan Penyakit Tanaman Nenas

Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa pada umumnya petani telah memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang hama. Hasil wawancara terhadap petani responden menunjukkan umumnya petani (66.67% responden)

mengemukakan masalah hama nenas adalah hama kutu putih. Hama kutu putih umumnya sudah diketahui petani karena pernah mengikuti penyuluhan pertanian oleh tim penyuluh setempat. Para petani menyatakan bahwa hama kutu putih merupakan hama utama tanaman nenas dan adanya hama kutu putih dapat merugikan petani (66.67% responden). Beberapa petani menganggap hama yang merugikan adalah tikus (23.33% responden) (Tabel 3.8). Sikap petani terhadap hama umumnya ditunjukkan petani adalah sikap negatif artinya petani tidak menyukai kehadiran hama. Oleh sebab itu bagi petani semua serangga yang ditemukan di lapang dikatakan sebagai hama. Petani bersikap negatif karena menganggap semua serangga yang ditemukan dapat menyebabkan hasil panen berkurang yang nantinya berpengaruh pada menurunnya pendapatan petani. Akibatnya petani akan melakukan berbagai upaya pengendalian karena merasa terganggu dengan kehadiran serangga.

Tabel 3.8. Hasil wawancara mengenai masalah hama dan tingkat serangan hama kutu putih (n=30)

Uraian Jumlah (orang) Persentase (%)

Masalah hama

Kutu putih 20 66.67

Hama lundi 3 10.00

Tikus 7 23.33

Hama lain 0 0

Tingkat serangan kutu putih (%)

0-25 9 30.00

26-50 11 36.67

51-75 6 20.00

>76-100 4 13.33

Menurut Rohrbach & Johnson (2003) hama utama pada tanaman nenas yaitu: kutu putih D. brevipes, D. neobrevipes (Hemiptera: Pseudococcidae), kutu perisai Diaspis bromeliea (Hemiptera: Diaspididae), tungau Dolichotetranychus sp. (Acarina: Tetranichidae) dan lundi Lepidiota spp. (Coleoptera: Scarabaeidae). Selain itu hama lainnya antara lain: trips Holopothrips anenasi (Thysanoptera: Phlaeothripidae), lalat buah Antherigona sp. (Diptera: Anthomyiidae), penggerek buah Thecla basilides (Lepidoptera: Lycaenidae) dan kumbang Carphophilus

hemipterus (Coleoptera: Nitidulidae), rayap (Ordo Isoptera) dan tikus (Rattus spp.) (Deptan 2006b).

Pada saat wawancara, petani diminta untuk memperkirakan tingkat serangan hama kutu putih. Umumnya petani (56.67% responden) menyatakan bahwa tingkat serangan kutu putih di kebun mereka antara 26-75%. Sebagian responden (13.33%) menyatakan tingkat serangan kutu putih di lahannya sangat tinggi sekitar 76-100%. Umumnya petani menyatakan bahwa adanya hama kutu putih dan penyakit layu dapat menurunkan hasil nenasnya. Menurut petani responden, rata-rata kerugian akibat adanya hama kutu putih dan penyakit layu dapat merugikan hasil panennya sekitar 25%. Petani umumnya menyatakan adanya serangan hama kutu putih dan penyakit layu akan menyebabkan buah yang dihasilkan ukurannya kecil atau kadang-kadang tidak berbuah.

Menurut wawancara dengan petani, kejadian penyakit layu selalu ditemukan di lokasi kebun nenas. Penyakit sudah ditemukan oleh petani baik di desa Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Kepada petani ditanyakan penyebab penyakit layu, jawaban petani menyatakan bahwa penyebab layu antara lain oleh: semut, cacing, hama kutu putih, kekurangan air dan pupuk (Tabel 3.9).

Tabel 3.9. Hasil wawancara pemahaman petani tentang masalah penyakit layu pada tanaman nenas (n=30)

Uraian Jumlah (orang) Persentase (%)

Kejadian penyakit layu

Tidak ada 2 6.67 Jarang 12 40.00 Selalu ada 16 53.33 Tidak tahu 0 0 Penyebab layu Semut 2 6.67 Cacing 2 6.67

Hama kutu putih 18 60.00

Kurang pupuk 3 10.00

Kurang air 5 16.66

Tidak tahu 0 0

Peranan kutu putih sebagai vektor penyakit layu

Tidak tahu 12 40.00

Sebagian besar petani (60%) sudah mengetahui bahwa hama kutu putih berkaitan dengan penyakit layu. Pengetahuan ini diperoleh petani dari mengikuti penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh pertanian lapangan. Peran serta petani dalam kelompok tani, memudahkan petani menerima informasi yang baru mengenai hama dan penyakit di tanaman mereka. Petani menerima informasi yang diberikan dengan mudah apabila penyuluh memberikan pengetahuan berdasarkan adanya gambar atau contoh hama dan atau bagian tanaman yang terserang. Petani menerima pengetahuan dari penyuluh pertanian bahwa penyebab penyakit layu tanaman nenas adalah virus yang dapat ditularkan oleh kutu putih, namun karena kekurangan modal menyebabkan tindakan penanggulangannya hama ini kurang mendapat perhatian.

Hasil wawancara mendapatkan bahwa musuh alami seperti parasitoid dan predator belum dikenal oleh sebagian besar petani (90%) (Tabel 3.10). Saat ditanya tentang peran belalang sembah dan capung di pertanam nenas, banyak petani menganggap bahwa belalang sembah dan capung merupakan hama. Umumnya petani memahami bahwa semua serangga bersifat sebagai hama, sehingga semua musuh alami baik predator maupun parasitoid dianggap sebagai organisme yang menyebabkan kerugian. Sikap negatif petani terhadap musuh alami, menyebabkan ketidakperdulian terhadap musuh alami, bahkan berusaha untuk mengendalikannya.

Tabel 3.10. Hasil wawancara dengan petani tentang peranan musuh alami dan perlunya pengendalian kimia (n=30)

Uraian Jumlah (orang) Persentase (%)

Peranan musuh alami bagi pengendalian kutu putih

Tidak tahu 27 90.00

Ya 3 10.00

Perlu pengendalian kimia

Tidak 12 40.00

Perlu 18 60.00

Persepsi petani bahwa semua serangga yang ada dipertanaman perlu dikendalikan. Untuk itu upaya yang dilakukan petani pada umumnya (60% responden) adalah melakukan pengendalian dengan menggunakan bahan-bahan

kimia. Pestisida dianggap bahan yang ampuh untuk mengendalikan hama apapun. Pestisida yang sering digunakan oleh petani nenas di Subang umumnya berasal dari golongan organofosfat antara lain: Elsan 60 EC dan Dharmasan 600 EC (b.a Fentoat), Diazinon 60 EC (b.a Diazinon) dan golongan piretroid seperti Decis 2.5 EC (b.a Deltametrin 25 g/l) dan Azodrin. Untuk pengendalian penyakit petani menggunakan Dithane M45 80 WP (b.a Mankozeb). Semua jenis pestisida yang digunakan petani diperoleh dari toko-toko yang menjual alat dan bahan pertanian. Penggunaan jenis tertentu untuk pengendalian hama umumnya didasarkan atas pengalaman pribadi, pendidikan orang tua, mendengar informasi dari teman-teman petani, penjual bahan pestisida dan informasi dari penyuluh pertanian. Menurut petani, penggunaan pestisida ini disebabkan cara penggunaannya mudah, sudah umum digunakan dan cepat terlihat hasilnya. Pengetahuan petani yang masih kurang tentang pengendalian hama terpadu (PHT) menyebabkan petani masih mengandalkan insektisida. Petani mengambil tindakan penggunaan insektisida dalam pengendalian karena pengetahuannya yang terbatas yang menganggap semua serangga adalah hama, dan menganggap jika hama dibiarkan dapat beresiko terhadap kegagalan hasil usahataninya. Kalau dibandingkan dengan SOP, pengendalian kutu putih dapat digunakan insektisida sesuai dosis anjuran dan dilakukan pada saat populasi kutu putih meningkat. Insektisida yang disarankan untuk pengendalian kutu putih adalah Paration, Ferfection dan Azodrin (PKBTb 2007).

Dalam pengendalian kutu putih petani lainnya memilih tindakan untuk mencabut dan membuang tanaman sakit. Petani tersebut sudah benar dalam hal memisahkan tanaman sakit dari yang sehat, namun usaha tersebut kurang bermanfaat karena tanaman tersebut dibuang di sekeliling pertanaman. Tanaman tersebut dapat menjadi sumber penularan kutu putih dan penyakit layu pada tanaman lainnya.

Berdasarkan tindakan pengendalian yang dilakukan petani di atas yang cenderung mengandalkan pengendalian secara kimia, maka perlu tindakan dan upaya penyuluhan lebih terarah pada tindakan pengendalian secara terpadu. Tindakan pengendalian penyakit layu dapat dilakukan melalui tindakan prefentif seperti: perendaman bibit nenas dalam larutan pestisida sebelum ditanam dan

menghindari penanaman nenas di sekitar tanaman inang dari vektor (D. brevipes) seperti tebu, padi, kopi, pisang kedelai dan kacang tanah (PKBT 2007b), melakukan eradikasi pada tanaman yang sudah terserang dan membersihkan lahan secara teratur dari gulma dan tanaman yang terserang. Untuk pengendalian kutu putih D. brevipes dapat dilakukan dengan teknik pengendalian hama secara terpadu (PHT) (IPM 2008; Ohmart 2008).

Analisis Keuntungan Budidaya Nenas

Wawancara dengan petani mengungkapkan harga nenas di Subang pada tingkat petani umumnya berkisar Rp 400-1000 per buah. Harga buah nenas di tingkat petani sangat tergantung dari kualitas buah dan masa panen. Pada saat produksi nenas meningkat dan tersedia buah-buahan lain maka harga akan turun. Harga nenas di tingkat pedagang pengumpul sekitar Rp 1000-1500 per kg tergantung ukuran dan mutu buah nenas. Harga nenas di kios-kios buah yang terdapat di pinggir jalan berkisar antara Rp 2000-4000 per buah. Sedangkan untuk nenas yang berkualitas baik seperti nenas madu, harganya lebih mahal, dapat mencapai Rp 5000-6000 per buahnya.

Menurut petani usahatani nenas memberikan keuntungan bagi mereka. Untuk menunjukkan keberhasilan usahatani dilakukan analisis terhadap jumlah pendapatan (R) dan jumlah pengeluaran (C) dalam usahatani nenas. Hasil analisis menunjukkan usahatani nenas oleh petani di desa Bunihayu RC rasio 1.22, Cimanglid RC rasio 1.43 dan Curugrendeng RC rasio 1.23 (Lampiran 3). Sebanding dengan laporan dinas pertanian bahwa usahatani standar Jawa Barat RC rasio 1.28 (DPKS 2004). Hasil analisis tersebut menyatakan bahwa usahatani di tiga lokasi penelitian cukup memberi keuntungan, dengan demikian usahatani nenas bisa dikembangkan dengan menekankan pada praktek budidaya yang baik dan penerapan pengendalian yang ramah lingkungan. Untuk itu diperlukan peran aktif dari para penyuluh pertanian lapangan (PPL) untuk menginformasikan dan membantu petani menerapkan program pengendalian hama secara terpadu (PHT) pada tanaman nenas.

KESIMPULAN

Petani nenas umumnya berpendidikan relatif rendah dan tergolong dalam petani produktif (berumur 20-50 tahun) serta memiliki lahan garapannya relatif sempit (di bawah 0.25 ha).

Teknik budidaya yang diterapkan petani umumnya belum optimal seperti: belum menggunakan bibit sehat, jarak tanam yang belum seragam, pemupukan belum mengikuti standar operasional dan pola tanam nenas secara polikultur.

Masalah utama petani dalam budidaya nenas adalah kutu putih D. brevipes. Tingkat serangan kutu putih menurut petani yang terjadi di lahannya bervariasi, umumnya serangannya sekitar 26-75%.

Tindakan petani dalam pengendalian kutu putih dan penyakit layu lebih berorientasi pada penggunaan pestisida.