• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nenas

Nenas (Ananas comosus (Linn.) Merr.) termasuk dalam famili Bromeliaceae merupakan tanaman herba, monokotil dan perenial yang berasal dari Brasil (Amerika Selatan) (Collins 1968; Rohrbach et al. 2003). Berdasarkan habitus tanaman terutama berdasarkan bentuk daun dan buah, dikenal 4 jenis golongan nenas yaitu: Smooth Cayenne (daun halus tidak berduri, kulit buah berwarna oranye dan buah berbentuk silindris, berukuran besar mencapai 2.3 kg atau lebih), Queen (daun pendek berduri tajam, kulit buah kuning, buah lonjong mirip kerucut, beratnya 0.5-1.1 kg), Spanish (daun panjang kecil, berduri halus sampai kasar, kulit buah oranye-merah, buah berbentuk bulat, beratnya 0.9-1.8 kg) dan Abacaxi (daun panjang berduri kasar, kulit buah berwarna kuning, bentuk buah silindris atau seperti piramida dan berat rata-rata 1.4 kg) (Deptan 2006b; PKBT 2007a). Nenas yang banyak ditanam di Indonesia adalah golongan Queen dan Smooth Cayenne. Golongan Spanish dikembangkan di kepulauan India Barat, Puerte Rico, Mexico dan Malaysia. Golongan Abacaxi banyak ditanam di Brazil. Dewasa ini ragam kultivar nenas Indonesia yang dikategorikan unggul adalah nenas Bogor dan Palembang yang termasuk golongan Queen dan nenas Subang yang termasuk golongan Smooth Cayenne (PKBT 2007a).

Tanaman nenas tersebar di daerah tropik dan subtropik (Collins 1968; Rohrbach et al. 2003). Pertanaman nenas di Indonesia tersebar di berbagai propinsi, antara lain: Sumatera Utara (Tapanuli Selatan, Simalungun), Riau (Kampar, Siak, Dumai), Jambi (Bungo, Batanghari), Sumatera Selatan (Ogan Ilir, Muara Enim, Prabumulih), Lampung (Lampung Tengah, Tulang Bawang), Jawa Barat (Subang), Jawa Tengah (Pemalang, Wonosobo), Jawa Timur (Blitar, Kediri), Kalimantan Timur (Kutai Kartanegara) Kalimantan Barat (Sambas, Pontianak), Kalimantan Tengah (Kapuas, Kotawaringin) dan Sulawesi Utara (Bolaang Mongondow) (Deptan 2006b).

Tanaman nenas dapat tumbuh pada keadaan iklim basah maupun kering. Tanaman ini sangat toleran terhadap musim kemarau dan musim hujan, dapat

tumbuh pada curah hujan sekitar 635-2500 mm per tahun, tetapi curah hujan optimal adalah 1000-1500 mm (Purseglove 1978). Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman nenas sekitar 7-40 oC. Suhu optimal untuk pertumbuhan daun 32 oC dan untuk akar 29 oC (Hepton 2003). Di Hawai pada ketinggian di bawah 840 m dpl, suhu yang sesuai untuk mendapatkan buah berkualitas yaitu 21-32 oC (Evans et al. 2002).

Perbanyakan tanaman nenas yaitu secara asexual dari bagian tanaman (Evans et al. 2002). Umumnya bibit untuk perbanyakan tanaman nenas yang digunakan adalah bagian vegetatif tanaman yaitu: mahkota, anakan, tunas samping, tunas buah (Collins 1968; Ploetz et al. 1994; Hepton 2003) dan plantlet yang berasal dari kultur jaringan (Hepton 2003). Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh tanaman bibit yang baik yaitu: 1) berasal dari tanaman normal dan sehat, 2) bibit berasal dari tanaman yang benar varietasnya dan sesuai deskripsinya, 3) memiliki daya adaptasi tinggi, 4) produksi tinggi, 5) bermahkota tunggal, 6) bentuk dan ukuran buah normal sesuai varietasnya dan 7) memiliki mata buah seragam (PKBT 2007b). Bibit yang diharapkan tidak terserang hama dan penyakit serta memiliki daya produksi yang tinggi.

Tanaman nenas dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Pada tanah liat berpasir dengan pH tanah sekitar 5.0–6.5 lebih disukai bagi pertumbuhan nenas (Purseglove 1978). Bahan-bahan organik dan kandungan kapur yang terkandung tanah mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung, sehingga diperlukan bahan-bahan nutrisi tambahan dalam upaya meningkatkan kondisi fisik dan kimia tanah (Hepton 2003). Standar pemberian pupuk pada tanaman nenas adalah campuran pupuk yang mengandung N, P dan K masing-masing 10%, 6% dan 10% (Collins 1968). Pemupukan pada lahan mineral dapat dilakukan dua kali yaitu pada 3 bulan setelah tanam (BST) dengan dosis: Urea 300 kg/ha, SP 36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha, selanjutnya pemberian pupuk kedua diberikan 10-14 BST dengan dosis: Urea 150 kg/ha, SP 36 50 kg/ha dan KCl 300 kg/ha (PKBT 2007b).

Di Hawai penanaman nenas biasanya menggunakan sistem dua baris (double-row). Jarak tanam yang digunakan adalah jarak tanaman di dalam baris 28 cm, jarak baris 55-60 cm dan jarak antar baris 122 cm sehingga jumlah populasi nenas 58 700 tanaman/ha (Evans et al. 2002). Pada sistem pertanaman

satu baris jarak antar tanaman tergantung varietas dan praktek budidaya yang digunakan (Hepton 2003). Praktek budidaya nenas yang penting dalam budidaya nenas antara lain: penggunaan bibit/varietas yang tahan, irigasi yang baik, dan pengendalian gulma (Bartholomew et al. 2003).

Klasifikasi dan Penyebaran Kutu Putih Dysmicoccus brevipes

Kutu putih D. brevipes (Cockerell) termasuk filum Arthropoda, klas Insecta, ordo Hemiptera, super famili Coccoidea, famili Pseudococcidae, genus Dysmicoccus dan spesies: D. brevipes Cockerell dan dikenal dengan nama umum pineapple mealybug (Williams & Watson 1988; CABI 2003). Kutu putih dilaporkan berasal dari Amerika Selatan (Waterhouse 1998; Petty et al. 2002). Keberadaan hama ini di Hawai pertama kali dilaporkan pada tahun 1910 (Waterhouse 1998). Hama ini telah tersebar di berbagai negara seperti: Fiji, Jamaica, Australia, Afrika, Mexico, Micronesia, Taiwan dan Asia Tenggara (Waterhouse 1998; Mau & Kessing 2007). Hama ini pernah menimbulkan masalah serius di beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina dan Thailand (Williams & Watson 1988). Hama ini juga terdapat di pulau Jawa (Kalshoven 1981). Kutu putih ini dilaporkan telah menyebar ke beberapa daerah di Indonesia seperti: Bogor dan Subang (Jawa Barat), Simalungun (Sumatera Utara), Blitar (Jawa Timur) (Hutahayan 2006), bahkan telah sampai ke Sulawesi Utara (hasil survey Mamahit 2007 belum dipublikasi). Penyebaran kutu putih sangat mudah tersebar melalui bibit hasil perbanyakan tanaman secara vegetatif yaitu: mahkota, tunas slip dan sucker (Khan et al. 1998).

Tanaman Inang Kutu Putih D. brevipes

Kutu putih D. brevipes merupakan hama polifag (Khan et al. 1998; Dove 2005; CABI 2003; 2008). Kutu putih ditemukan pada tanaman nenas, bromeliaceae lainnya, kopi, pisang, talas, tebu, bunga tasbih, jeruk (CABI 2003) dan tomat (Culik et al. 2005). Kutu putih memiliki sekitar 50 famili tanaman

inang termasuk berbagai rumput-rumputan (Petty et al. 2002). Pustaka mutakhir menyebutkan bahwa hama ini memiliki tanaman inang lebih dari 100 genus dari 62 famili tanaman (Dove 2005; CABI 2008) (Lampiran 1).

Selain nenas sebagai inang utama kutu putih di Indonesia, tanaman inang lainnya antara lain: tebu, padi, palem, kopi, pisang, kedele, kacang tanah, kapas dan pandan (Kalshoven 1981). Tempat hidup hama ini terutama ditemukan pada bagian akar (Khan et al. 1998), daun (Kumar 2006; Mau & Kessing 2007), tunas, mahkota dan buah (Hernandez et al. 1999; Mau & Kessing 2007).

Biologi dan Morfologi Kutu Putih D. brevipes

Kutu putih D. brevipes berbentuk bulat sampai oval, panjang tubuh dapat mencapai tiga mm dan memiliki bagian terlebar pada mesothoraks. Kutu putih berwarna merah muda sehingga disebut pink mealybug dan memiliki lapisan lilin berwarna putih (Williams & Watson 1988; Williams de Willink 1992; Petty et al. 2002; Williams 2004). Ciri-ciri kutu putih D. brevipes yaitu: memiliki delapan ruas antena, 17 pasang serari, cirkulus, ostiol berkembang baik, discoidal pore terletak dekat mata, seta sekmen VIII bagian dorsal lebih panjang dari seta dorsal lainnya dan memiliki enam seta yang panjangnya sekitar 110 mμ pada bagian lingkaran anal (Williams & Watson 1988; Mau & Kessing 2007). Tungkai berkembang baik berbentuk langsing, panjang bagian trokanter bersama femur belakang sekitar 250 mμ, panjang tibia bersama tarsus belakang sekitar 250-260 mμ dan memiliki kuku dengan panjang 36 mμ (Williams & Watson 1988).

Pada tanaman nenas di Hawai dilaporkan terdapat dua jenis kutu putih yaitu: D. brevipes dan D. neobrevipes (Waterhouse 1998; Petty et al. 2002). Beberapa parameter yang menunjukkan perbedaan biologi dan morfologi antara kedua spesies kutu putih diuraikan pada Tabel 2.1. Imago betina D. brevipes berkembangbiak secara partenogenesis di Hawai (Waterhouse 1998). Tetapi bentuk bisexual kutu putih terdapat di Brasil dan Malaysia (Waterhouse 1998; Mau & Kessing 2007). Imago jantan dapat hidup selama 1-3 hari, sedangkan imago betina dapat hidup lebih lama sekitar 17-49 hari (Waterhouse 1998). Siklus hidup imago jantan 32-32.4 hari (Cecilia et al. 2004) dan imago betina sekitar 31-80 hari (Kumar 2006).

Imago betina kutu putih melahirkan dalam bentuk pradewasa (nimfa). Nimfa kutu putih yang aktif dalam penyebaran disebut juga crawler. Crawler dapat tersebar melalui angin dan hewan lainnya (Kumar 2006). Pada suhu 23.5 oC, lama perkembangan nimfa 34.03 hari. Peluang hidup nimfa sekitar 32.3% dan 40.5% pada nenas kultivar Perola dan Smooth Cayenne (Cecilia et al. 2004).

Lama masa praoviposisi imago betina 27 hari, lama masa oviposisi 25 hari dan lama hidup setelah melahirkan 5 hari. Imago dapat hidup selama 56 hari dan total lama hidup kutu putih dapat mencapai 90 hari (Petty et al. 2002). Setiap induk betina dapat menghasilkan sekitar 19-137 nimfa (Waterhouse 1988).

Tabel 2.1. Perbedaan biologi dan morfologi D. brevipes dan D. neobrevipes

Parameter D. brevipes D. neobrevipes

Sklerotisasi pada lobus anal bagian ventral

Seta panjang pada bagian dorsal abdomen

Cara reproduksi

Warna imago betina

Bagian tanaman yang disukai

Inang rumput-rumputan

Spot hijau pada daun

kuadrate ada parthenogenesi s merah muda akar, bagian bawah tanaman ya tidak ada elongate tidak ada bisexual abu-abu buah, mahkota, bagian atas tanaman tidak ada Sumber: Petty et al. (2002)

Kerusakan yang Diakibatkan oleh Kutu Putih D. brevipes

Kerusakan akibat adanya kutu putih meliputi kerusakan langsung oleh serangan kutu putih dan kerusakan tidak langsung karena perananannya sebagai vektor pineapple mealybug wilt associated virus (PMWaV) (CABI 2003; Rohrbach & Jhonson 2003; Mau & Kessing 2007). Imago dan nimfa D. brevipes dapat menyerang tanaman nenas dengan cara mengisap cairan tanaman dengan cara menusukkan stiletnya ke dalam jaringan tanaman. Serangan kutu putih menyebabkan berkurangnya vigor tanaman, penurunan berat akar dan tunas. Selain itu embun madu yang dihasilkan kutu putih dapat menjadi media

pertumbuhan embun jelaga sehingga menghambat potensi fotosintesis tanaman dan menurunkan daya jual buah yang terserang (Geiger & Daane 2001; Culik et al. 2005).

Serangan kutu putih D. brevipes bersama virus pada tanaman nenas bervariasi, di Kuba mencapai 40% (Petty et al. 2002) dan di Brasil dilaporkan sampai 50% (Khan et al. 1998). Kehilangan hasil dapat meningkat jika terjadi peningkatan populasi kutu putih (Cicalese et al. 1998) dan tidak adanya pengendalian kutu putih (Rohrbach & Schmitt 2003). Adanya PMWaV pada tanaman dapat memperparah serangan karena adanya PMWaV bersama-sama dengan kutu putih dapat menyebabkan kematian tanaman (Waterhouse 1998; Hernandes et al. 1999; Sether & Hu 2002) sehingga pada serangan tinggi kehilangan hasil nenas dapat mencapai 100% (Sether et al. 2005).

Peranan Kutu Putih D. brevipes sebagai Vektor Penyakit Layu

Kutu putih D. brevipes merupakan hama penting pada tanaman nenas karena menjadi vektor virus penyebab penyakit layu nenas atau pineapple mealybug wilt associated virus (PMWaV) (Hu et al. 1997; Hughes & Sasmita 1998; Sether et al. 1998; 2001; 2004). Keberadaan virus PMWaV pada tanaman nenas yang bergejala layu mula-mula dilaporkan Gunasinghe dan German pada tahun 1989 yang menemukan RNA untai ganda dan partikel virus berbentuk batang, lentur dan panjang yang termasuk golongan closterovirus (Petty et al. 2002). Dilaporkan ada dua jenis PMWaV yaitu: PMWaV1 dan PMWaV2 (Sether & Hu 2002). Selanjutnya dua virus penyebab penyakit layu nenas berhasil diidentifikasi yaitu: PMWaV3 dan PMWaV4 dan diketahui pula diantara keempat jenis virus tersebut, PMWaV2 merupakan virus yang paling berperan sebagai penyebab gejala layu (Sether et al. 2004; 2005).

Kutu putih ini dapat menginfeksi tanaman dengan cara mengintroduksi virus PMWaV ini ke dalam jaringan tanaman melalui alat mulut menusuk mengisapnya (Cicalese et al. 1998). Tanaman nenas yang terinfeksi PMWaV akan menunjukkan gejala seperti: ujung daun mati (dieback), daun membengkok ke bawah, warna daun kekuningan sampai kemerahan dan tanaman layu secara keseluruhan (Sether & Hu 2002; Rohrbach & Jhonson 2003). Tanaman yang

terserang menunjukkan penurunan karakter-karakter tanaman seperti: berat tanaman, dimeter daun, panjang dan jumlah daun, juga panjang dan lebar akar (CABI 2003; Rohrbach & Schmitt 2003).

Dinamika Populasi Kutu Putih D. brevipes

Populasi didefinisikan sebagai semua individu dari suatu spesies yang menempati suatu area tertentu, yang terisolasi dari kelompok lainnya (Norris et al. 2003). Setiap anggota populasi dapat berinteraksi melalui berbagai cara, melakukan kegiatan seperti mencari makanan, kawin dan membangun sarang. Dilain pihak setiap individu dalam populasi ini dapat berkompetisi untuk mendapatkan sumberdaya seperti makanan dan ruang yang terbatas (Wilson & Bosert 1971).

Dinamika populasi serangga hama dipengaruhi berbagai interaksi multitropik meliputi: pengaruh aksi dari bawah oleh hubungan antara tanaman inang, aksi dari atas oleh: patogen, parasitoid dan predator dan aksi secara lateral dari kompetisi dari spesies tersebut (Bird & Hodkinson 2005). Faktor biotik dan abiotik tersebut mempengaruhi sifat-sifat populasi hama seperti kepadatan, laju kelahiran, laju kematian, pola sebaran, potensi biotik dan perilaku (Tarumingkeng 1994).

Faktor biotik seperti musuh alami seperti parasitoid dan predator dapat mempengaruhi populasi kutu putih D. brevipes (Hernandes et al. 1999). Selain itu keberadaan semut (Hymenoptera: Formicidae) bersama dengan kutu putih dapat meningkatkan populasi kutu putih (Hernandes et al. 1999; Inouye & Agrawal 2004). Beberapa spesies semut yang dijumpai hidup bersama dengan kutu putih di Hawaii antara lain: Pheidole megacephala, Solenopsis geminana, Linepithea humilis (Hernandes et al. 1999) dan Iridomyrmex humilis (Mau & Kessing 2007), Anoplolepis longipes dan Technomyrmex albipes (Rohrbach & Jhonson 2003). Sebaliknya keberadaan semut akan menurunkan populasi parasitoid seperti Anagyrus ananatis (Hymenoptera: Encyrtidae) (Hernandes et al. 1999). Terdapat hubungan mutualisme antara semut dan kutu putih, semut berperan dalam memproteksi kutu putih terhadap musuh alami dan kutu putih mengeluarkan

embun madu yang merupakan makanan semut (Waterhouse 1998; Helms & Vinson 2003; Johnson 2008).

Aktifitas manusia juga mempengaruhi keberadaan dan populasi hama. Banyak laporan yang mengemukakan bahwa praktek budidaya yang diaplikasikan berpengaruh terhadap dinamika populasi berbagai serangga. Misalnya penggunaan fumigasi seperti dichloropropene dan dimethyl bromide dapat mencegah infeksi nematoda dan hama pada tanaman nenas (IPM 2008). Praktek budidaya yang sehat yaitu pertanian organik dapat menekan populasi wereng (Nicholls & Altieri 2004). Sistem pertanaman campuran dapat meningkatkan populasi musuh alami (Najib & Hamijaya 2004).

Musim dan iklim setempat mempengaruhi kepadatan populasi serangga pada tanaman inangnya (Bird & Hodkinson 2005). Populasi D. brevipes pada daerah Subang, populasinya lebih tinggi dibandingkan di Bogor, hal ini dipengaruhi perbedaan iklim setempat (Asbani 2005). Beberapa penelitian melaporkan iklim juga berpengaruh pada Pseudococcidae lainnya. Menurut Chong et al. (2008) suhu yang berbeda akan mempengaruhi perkembangan dari kutu putih Maconellicoccus hirsutus. Populasi kutu putih tanaman anggur (Planococcus viccus) menunjukan perbedaan beberapa kondisi yang berbeda pada lokasi perkebunan di Afrika Selatan (Walton et al. 2004). Selain iklim, musim mempengaruhi populasi hama, seperti kutu putih yang menyerang mangga yaitu Rastrococcus invadens, populasinya akan mencapai puncaknya pada musim panas (Boavida & Neuenschwander 1995).

Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

D. brevipespada Tanaman Nenas

Pengendalian hama secara terpadu (PHT) didefinisikan sebagai sistem yang mendukung pemilihan dan penggunaan taktik pengendalian hama dalam strategi pengelolaan yang terkordinasi secara harmonis yang didasari analisa biaya dan dapat diterima oleh produsen, masyarakat dan lingkungan (Kogan 1998). PHT merupakan tindakan pengelolaan hama yang mempertimbangkan secara seksama berbagai teknik pengendalian yang tersedia sehingga tidak merugikan dan mengurangi resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Djunaidi 2003).

Program PHT telah dicanangkan sebagai program nasional sejak tahun 1986 dengan sasaran peningkatan produksi padi di Indonesia (Dilts 1991). Prinsip PHT di Indonesia dikembangkan melalui tiga prinsip yaitu: (1) pengamatan teratur (monitoring) dan analisis, (2) pemanfaatan musuh alami dan (3) budidaya tanaman sehat (Gallaher 1991). Menurut Globalgap (2007) komponen PHT terdiri dari tiga kegiatan yaitu: monitoring, tindakan prefentif dan pengendalian. Tindakan prefentif dapat dilakukan melalui penggunaan berbagai teknik budidaya yang tersedia untuk mencegah dan mengurangi serangan hama.

Pengendalian hama terpadu (PHT) sudah diterapkan untuk mengatasi kutu putih Dysmicoccus spp. pada tanaman nenas (IPM 2008) dan kutu putih Planococcus ficus pada tanaman anggur (IPW 2006). Beberapa teknik PHT kutu putih Dysmicoccus spp. yang sudah diterapkan antara lain: (1) monitoring, (2) pengendalian biologi dengan memanfaatkan parasitoid seperti A. ananatis, (3) pengendalian kultural yaitu tidak menggunakan alat dan tanaman yang terkontaminasi dan melakukan sanitasi tanaman dan lahan, serta (4) pengendalian kimia yaitu: menggunakan bahan kimia sesuai anjuran pengendalian (IPM 2008).

Pengendalian biologi kutu putih dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami (Norris et al. 2003). Beberapa parasitoid yang berperan untuk mengendalikan D. brevipes di Hawai termasuk ordo Hymenoptera, famili Encyrtidae antara lain: Aenasius cariocus Compere, A. colombiensis Compere, A. ananatis Gahan, Euryphapauus propinquus Kerrich, Hambletonia pseudo-coccina Compere dan Ptomastidae abnormis Girault (Hernandes et al. 1999). Lebih lanjut dilaporkan peneliti ini bahwa tingkat parasitisasi A. ananatis dan E. propinquus pada kutu putih sangat rendah sekitar 0.3-9.9% dan 0.05-2.2%. Di Subang sudah diketahui satu spesies parasitoid kutu putih yaitu H. pseudococcina (Asbani 2005).

Predator D. brevipes umumnya berasal dari ordo Coleoptera, famili Coccinellidae antara lain: Cryptolaemus montrouzieri Mulsant, Lobodiplosis pseudococci Felt, Nephuss bilucenarius Mulsant, Scymnus unicatus Sicart, S. pictus Gorham (Mau & Kessing 2007), C. affinis dan C. wallacii yang ditemukan di Papua Nugini (Waterhouse 1998).

Pengendalian kimia untuk menekan populasi kutu putih menggunakan: chlorpyrifos (organopospat), methomyl (carbamat) dan imidacloprid (chloronicotinil) (Geiger & Daane 2001). Selain itu pengendalian kutu putih digunakan bahan fumigasi (Petty et al. 2002). Karbofuran (karbamat) merupakan insektisida sistemik yang banyak digunakan untuk pengendalian berbagai jenis hama tanaman terutama kutu daun pada tanaman kedelai (Harrison 2006).

Daftar Pustaka

Asbani N. 2005. Kelimpahan dan parasitoid kutu putih Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) serta keanekaragaman semut pada tanaman nanas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bartholomew DP, Malezieux E. Sanewski GM, Sinclair E. 2003. Inflorescence and Fruit Development and Yield. Di dalam. Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. Pineapple Botany Production and Uses. Wallingford: CAB International Publ. hlm 167-202.

Bird JM, Hodkinson ID. 2005. What limit the altitudinal distribution of Craspedolepta species (Sternorrhyncha: Psylloidea) on fireweed. Ecol Entomol 30:510-520.

Boavida C, Neuenschwander. 1995. Population dynamics and life tables of the mango mealybug, Rastrococcus invadens Williams, and its introduced natural enemy Gyranusoidea tebygi Noyes in Benin. Biocontrol Science and Tech 5:495-508.

[CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2003. Crop Protection Compendium. Nosworthy Way, Wallingford, Oxfordshire: CAB International Publ.

[CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2008. Dysmicoccus brevipes. [Distribution map]. Nosworthy Way, Wallingford, Oxfordshire: CAB International Publ.

Cecilia LVCS, Bueno VHPB, Prado E. 2004. Desenvolvimento de Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera; Pseudococcidae) emduas cultivars de abaxi. Cienc agrotec 28(5):1015-1020.

Chong JH, Roda AL, Mannion CM. 2008. Life history of mealybug, Maconellicoccus hirsutus (Hemiptera: Pseudococcidae) at constant temperature. Environ Entomol 37(2):323-332.

Cicalese JJ, Baxendale F, Riordan T, Moss TH. 1998. Identification of mealybug (Homoptera: Pseudococcidae) resistant turf-type buffalo grass germplasm. J. Econ Entomol 91(1):340-346.

Collins JL. 1968. The Pineapple: Botani, Cultivation and Utilization. London: Leonard Hill. 294 hlm.

Culik MP, Martins DS, Gullan PJ. 2005. First record two mealybug species in Brazil and new potential pest of papaya and coffee. J Insect Sci 6:236. [DEPTANb] Departemen Pertanian. 2006. Nenas (Ananas comosus). Direktorat

Budidaya Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian. 70 hal.

Dilts R. 1991. Reassessing Extension: The Case of IPM in Indonesia. National IPM Program. WG Meeting, Thailand: 27-3 Aug 1991. FAO – Indonesia. Djunaidi D. 2003. Peranan industri pada pengelolaan hama terpadu dalam

pertanian berkelanjutan. Di dalam. Kongres PEI dan Simposium Entomologi VI. Cipayung: 5-7 Mar 2003. PEI.

Dove B. 2005. Catalogue Query Results Dysmicoccus brevipes (Cockerell). http:// www.sel.barc.usda.gov/ catalogs/ pseudoco/ Dysmicoccusbrevipes.htm. [12 Feb 2008].

Evans D, Sanford WG, Bartholomew DP. 2002. Growing Pineapple. Hawaii: College of Tropical Agriculture and Human Resourses (CTAHR) Publ.

Gallaher KD. 1991. Old and New Consept of IPM. Discussion Paper. Bogor: 19 Sept 1991. Institut Pertanian Bogor.

Geiger CH, Daane KM. 2001. Seasonal movement and distribution of grape mealybug (Homoptera: Pseudococcidae): developing sampling program for San Joaquin valley vineyards. J Econ Entomol 94(1):291-301

Globalgap 2007. Control Points and Compliance Criteria Integrated Farm Assurance Crop Base. German: Globalgap. hlm 23-28. http://www. globalgap.org. [5 Mei 2007].

Harrison K. 2006. Furadan. http://www.3dchem.com/moremolecules.asp? ID=263 &othername= Furadan. [17 Mar 2008].

Helms KR, Vinson SB. 2003. Apparent facilitation on an invasive mealybug by an invasive ant. Insect Soc 50:403-404.

Hepton A. 2003. Cultural System. Di dalam. Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. Pineapple Botany Production and Uses. Wallingford: CAB International Publ. hlm 109-142.

Hernandez HG, NJ Reimer, Jhonson MW. 1999. Survey of natural enemies of Dysmicoccus mealybugs on pineapple in Hawaii. Bio Control 44:47-58. Hu JS, Sether DM, Liu XP, Wang M. 1997. Use of a tissue blotting immunoassay

to examine the distribution of pineapple closterovirus in Hawaii. Plant Disease 81:1150-1154.

Hughes G, Sasmita S. 1998. Analysis of pattern of pineapple mealybug wilt disease in Sri Lanka. Plant Disease (82):85-890.

Hutahayan AJ. 2006. Peranan strain pineapple mealybug wilt assosiated virus (PMWaV) dan kutu putih (Dysmicoccus spp.) dalam menginduksi gejala penyakit layu pada tanaman nenas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Inouye BD, Agrawal AA. 2004. Ant mutualisms alter the composition and attact rate of the parasitoid community for the gall wasp Disholcaspis eldoradensis (Cynipidae). Ecol Entomol 29:692-696.

[IPM] Integrated Pest Management. 2008. Crop Profile for Pineapple in Hawaii. http://www.ipmcenter.org/ Crop Profile/docs/hipineapples.html. [12 Feb 2008].

[IPW] Integrated Production of Wine. 2006. Integrated production of wine in South Africa: guidelines for farms. South African wine and spirit board. Africa. ARC Infruitec-Nietvoorbij in consultation with the vine and wine industry. [terhubung berkala]. http://www.ipw.co.za/IPWGuidelines-farms. [12 Feb 2008].

Johnson MW. 2008. Sustainable pineapple mealybug management via augmen-tative biological control. [terhubung berkala]. http://www.ctahr.hawaii. edu/t-star/pineapple.htm. [12 Feb 2008].

Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah.Terjemahan dari De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Jakarta. Ichtiar Baru-van Hoeve. 701 hlm.

Khan AA, Avesi GM, Masud SZ, Rizvi SWA. 1998. Incidence of mealybug Dysmicoccus brevipes (Cockerell) on pineapple. Tr J Zool 22:159-161. Kogan M. 1998. Integrated Pest Mangement: Historical Perspectives and

Contemporary Developments. Annual Review of Entomol 43:243-270. Kumar S. 2006. Pineapple mealybug Dysmicoccus brevipes. [terhubung berkala]

http://www.spc.int:8088/pld/index.jsp. [7 Feb 2008].

Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Dysmicoccus brevipes (Cockerell) Pink Pine-apple Mealybug. http://www.extento.hawaii.edu/Kbase/crop/Type/d_brevip. htm. [15 Feb 2008].

Najib M. Hamijaya MZ. 2004. Populasi serangga musuh alami pada lingkungan iklim mikro di lahan pasang surut. Di dalam. Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor: 5 Okt 2004. Perhimpunan Entomologi Indonesia.

Nicholls CI, Altieri MA. 2004. Agroecological bases of ecological engineering for pest management. Di dalam. Gurr GM, Wratten SD, Altieri M, editor. Ecological Engineering for Pest Management. Advances in Habit Manipulation for Arthropods. Australia: CSIRO.

Norris RF, Chen EPC, Kogan M. 2003. Concept in Integrated Pest Management. New Jersey: Prentice Hall. 586 hlm.

Petty GJ. Stirling GJ, Bartholomew DP. 2002. Pest of pineapple. Di dalam. Pena JE, Sharp J, Wisoki M, editor. Tropical Fruit Pests and Pollinators. USA: CABI Publ.

[PKBT] Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2007a. Nenas. Rusnas Buah-buahan Indonesia. Bogor: Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. Institut Pertanian Bogor.

[PKBT] Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2007b. Acuan Standar Operasional Produksi Nanas. Bogor: Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. Institut Pertanian Bogor.