• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kutu putih D. brevipes dapat hidup dan berkembangbiak pada beberapa bagian tanaman nenas. Hasil pengamatan penyebaran kutu putih pada bagian tanaman nenas dari akar sampai ke mahkota disajikan pada Gambar 4.3. Gambar tersebut menunjukkan kutu putih dapat ditemukan pada semua bagian tanaman nenas dengan jumlah populasi yang beragam. Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa kutu putih dapat dijumpai pada seluruh masa pertumbuhan nenas yaitu sejak fase vegetatif sampai fase generatif. Kutu putih memanfaatkan bagian-bagian tanaman nenas sebagai tempat berlindung dan mendapatkan makanan. Hasil ini sama seperti laporan Waterhouse (1998) bahwa kutu putih dapat menyerang pada bagian tanaman seperti: akar, daun, tangkai dan buah. Kutu putih dapat hidup pada bagian mahkota tanaman, dengan demikian jika bagian mahkota yang terinfeksi dijadikan bibit, dapat berperan sebagai sumber infeksi kutu putih di lapang.

Hasil analisis menunjukkan bahwa populasi kutu putih lebih tinggi pada bagian daun nenas (56.45±6.83 individu) dan berbeda nyata dengan populasi yang terdapat pada bagian akar (9.40±2.16 individu), tangkai buah (2.10±2.1 individu), buah (9.95±2.81 individu) dan mahkota (2.70±0.86 individu). Hasil ini sesuai dengan laporan bahwa D. brevipes banyak ditemukan hidup pada bagian daun (Khan et al. 1996; Sether & Hu 2002). Kutu putih lebih menyukai hidup pada daun dibandingkan bagian tanaman lainnya karena fisik daun lebih lunak, lebih mudah menusukkan stiletnya untuk mengisap cairan makanannya. Selain itu pada bagian daun cukup mengandung air dan Nitrogen yang dibutuhkan kutu putih untuk kehidupannya (Lampiran 4).

Gambar 4.3. Penyebaran vertikal kutu putih pada bagian akar, daun, tangkai buah, buah dan mahkota (n = 20, one way anova, Tukey test α 0.05).

Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah kutu putih berbeda pada posisi daun yang berbeda (F=7.14;db=14;P=0.00) (Gambar 4.4). Pada daun pertama sampai daun ke-6 populasi kutu putih lebih tinggi, namun tidak berbeda nyata dengan daun ke-7 sampai daun ke-9. Populasi kutu putih cenderung menurun pada daun yang terletak di bagian atas. Kandungan nutrisi antar bagian daun ditampilkan pada Tabel 4.1. Hasil analisis kadar air (F=1.10;db=3;P>0.05) dan kandungan glukosa (F=0.35;db=3;P>0.05) pada daun tidak menunjukkan perbedaan nyata antar bagian daun. Tabel tersebut menunjukkan bahwa kandungan air padadaun pertama cenderung lebih tinggi, walaupun tidak berbeda nyata dengan bagian daun lainnya. Kandungan glukosa cenderung lebih tinggi pada daun muda walaupun tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan daun tua. Kandungan Nitrogen total antar bagian daun menunjukkan perbedaan yang nyata (F=7.46;db=3;P>0.05). Kandungan Nitrogen pada daun pertama dan daun ke-8 lebih tinggi, berbeda nyata dengan daun ke-12. Hasil ini menunjukkan pada daun pertama sampai daun ke-8 lebih sesuai bagi kehidupan kutu putih dibandingkan daun ke-12. Kandungan Nitrogen yang cukup tersedia pada daun tua (dekat akar) lebih disukai kutu putih untuk efisiensi penggunaan makanannya. Schoonhoven et. al. (1998) menyatakan pemberian diet makanan Nitrogen tinggi pada serangga membantu serangga makan lebih efisien dibanding pada diet makanan dengan kandungan Nitrogen rendah.

0 10 20 30 40 50 60 70

Akar Daun Tang kai buah Buah Mahkota Bagian Tanaman J u m lah k u tu put ih ( indiv id u )   b b a

Kutu putih selain menyerang pada bagian daun, juga dapat menyerang bagian buah mulai dari sektor bawah, tengah dan atas. Hasil analisis menunjukkan populasi kutu putih berbeda pada sektor buah yang berbeda (F=5.50;db=2;P=0.01) (Gambar 4.5). Kutu putih lebih menyukai hidup pada bagian bawah buah karena lebih terlindung dari terpaan angin maupun air hujan serta serangan musuh alami. Kutu putih yang menyerang buah sangat merugikan karena dapat mengurangi minat konsumen. Selain itu kutu putih yang menyerang buah merupakan media penyebaran kutu putih pada saat diperdagangkan. Hal ini perlu diperhatikan oleh petugas karantina atau instansi terkait untuk mencegah penyebaran kutu putih antar daerah atau antar pulau semakin meluas.

Gambar 4.4. Rataan populasi kutu putih pada bagian daun pertama sampai daun ke-15 (n= 20, one way anova, Tukey test α0.05) Tabel 4.1. Hasil analisis kadar air, glukosa dan N total pada bagian daun

nenas

Variabel Bagian daun ke-

1 4 8 12

Kadar air 83.61 ± 0.48 a 81.93 ± 1.24 a 81.85 ± 2.48 a 79.91 ± 0.64 a

Glukosa 3.31 ± 0.98 a 3.77 ± 1.06 a 4.51 ± 1.34 a 4.46 ± 0.13 a

N Total 0.123 ± 0.01 a 0.117 ± 0.01 ab 0.130 ± 0.00 a 0.100 ± 0.00 b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Tukey. 0 2 4 6 8 10 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Daun ke-J u m lah k u tu put ih (i ndi v idu) a  abc  a a  a  a  a  ab  abc  b  b  c  c  c 

Gambar 4.5. Rataan populasi kutu putih pada tiga sektor buah (n=20, one way anova, Tuckey test α0.05)

Kelimpahan Populasi Kutu Putih di Tiga Desa Penghasil Nenas

Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kelimpahan populasi kutu putih lebih tinggi dijumpai di desa Bunihayu dibandingkan di desa Curugrendeng dan Cimanglid. Kelimpahan populasi kutu putih di pertanaman nenas di desa Bunihayu sekitar 1174 individu/tanaman. Sedangkan di Cimanglid mencapai 1-28 individu/tanaman dan Curugrendeng mencapai 5-90 individu/tanaman. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rataan populasi kutu putih berbeda pada setiap lokasi (P<0.05) (Gambar 4.6.). Rataan populasi kutu putih di Bunihayu 16.72 individu/tanaman, Cimanglid 1.76 individu/tanaman dan Curugrendeng 6.64 individu/tanaman. Perbedaan populasi kutu putih pada tanaman nenas di tiga desa ini mungkin dipengaruhi perbedaan faktor iklim (Tabel 4.2), cara budidaya nenas yang diterapkan oleh petani setempat dan kondisi agroekosistem pertanaman (Gambar 4.7). Di desa Cimanglid, nenas di tanam di daerah yang lebih tertutup yaitu di bawah pohon-pohon berkayu sehingga kondisi di lokasi tersebut agak teduh karena terlindung dengan pohon-pohon seperti: albisia, jeruk dan durian serta pohon-pohon peneduh lainnya. Kurangnya sinar matahari yang masuk ke area kebun dan kelembaban sekitar 66% kurang sesuai bagi kehidupan kutu putih ini.

  0 2 4 6 8 10 12

Atas Tengah Bawah Sektor buah J um lah k ut u put ih ( ind iv idu) b b a

Kondisi agroekosistem di desa Curugrendeng lebih cocok untuk kutu putih dapat berkembang dibandingkan di desa Cimanglid. Pertanaman nenas di daerah ini cukup terbuka dan jenis tanaman relatif sedikit yang ditemukan di sekeliling lahan tersebut. Lokasi perkebunan nenas di desa ini umumnya berada dekat dengan perkebunan teh. Di sekeliling kebun nenas yang umum dijumpai adalah tanaman pisang dan tanaman pohon lain yang berfungsi sebagai batas kebun. Sebaliknya di Bunihayu umumnya kondisi agroekosistem kebunnya lebih bervariasi. Beberapa petani menanam nenas secara polikultur dengan tanaman seperti kencur, pisang, singkong, cabe, jahe, kunyit dan pohon buah-buahan seperti durian. Populasi di Bunihayu lebih tinggi karena tingginya keragaman tanaman inang kutu putih yang ada di kebun. Tanaman seperti pisang, singkong, kunyit, jahe dan cabe (Dove 2005) serta kencur (hasil penelitian sebelumnya), yang ditanam petani umumnya merupakan tanaman inang kutu putih. Keberadaan tanaman inang lebih banyak di kebun yang berada di desa Bunihayu menyebabkan tingginya sumber infeksi kutu putih. Selain itu, kondisi iklim di Bunihayu (Tabel 4.2) mungkin lebih sesuai bagi perkembangan kutu putih. Perbedaan kondisi iklim di lokasi pertanaman nenas mempengaruhi populasi kutu putih. Hasil penelitian di Subang menunjukkan populasi kutu putih dapat mencapai 174 individu per tanaman, berbeda dengan hasil penelitian Hernandes et al. (2004) yang melaporkan populasi kutu putih di Hawai sekitar 157 individu/tanaman.

Gambar 4.6. Rataan populasi kutu putih pada tiga desa (n=27, one way anova, Tuckey test α0.05)

a 0 5 10 15 20 25

Bunihayu Cimanglid Curugrendeng

De sa R a ta a n p opu la s i k ut u pu ti h (i nd iv id u /t a na m a n) a c b

Tabel 4.2. Hasil pengukuran rataan berbagai variabel lingkungan pada tiga lokasi pengamatan

Variabel Desa

Bunihayu Cimanglid Curugrendeng

Suhu (oC) 34.59 33.73 34.41

Kelembaban (%) 51.67 65.67 52.00

Ketinggian tempat (dpl) 539.44 520.00 588.00

A B C

Gambar 4.7. Kondisi agroekosistem kebun nenas di desa Bunihayu (A),

Cimanglid (B) dan Curugrendeng (C) Tingkat Serangan Kutu Putih

Tingkat serangan kutu putih pada tanaman nenas di tiga lokasi pertanaman nenas ditampilkan pada Gambar 4.8. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan tingkat serangan kutu putih pada tanaman nenas di tiga desa yang diamati (P<0.05). Tingkat serangan kutu putih pada tanaman nenas di desa Bunihayu berbeda nyata dengan tingkat serangan kutu putih di desa Cimanglid dan Curugrendeng. Tingkat serangan kutu putih lebih tinggi di desa Bunihayu (70.56%) dibandingkan Cimanglid (27.22%) dan Curugrendeng (42.78%). Tingkat serangan kutu putih di Bunihayu hampir sama dengan laporan Asbani (2005). Tingginya tingkat serangan kutu putih di desa Bunihayu ada kaitannya dengan tingginya populasi kutu putih di lokasi tersebut, keanekaragaman tanaman inang dan kesesuaian berbagai faktor lingkungan fisik untuk perkembangan kutu putih.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Bunihayu Cimanglid Curugrendeng

T in g k at S e ra n g a n ( % ) Desa

Gambar 4.8. Rataan tingkat serangan kutu putih pada tiga desa (n=27, one way anova, Tuckey test α0.05)

Kejadian Penyakit Layu

Gejala serangan virus penyebab penyakit layu pada tanaman nenas ditemukan pada 3 lokasi yang diamati. Tingkat serangan penyakit layu berbeda pada lokasi yang berbeda (P<0.05). Serangan penyakit layu di Bunihayu mencapai 50.56%, lebih tinggi dibandingkan di Cimanglid (15.56%) dan Curugrendeng (31.67%) (Gambar 4.9). Tingginya serangan penyakit layu di Bunihayu disebabkan tingginya populasi vektor penyakit layu yaitu D. brevipes dan ketersediaan sumber inokulum penyakit layu. Petani menanam nenas secara terus-menerus dan bibit yang digunakan kurang bermutu sehingga sumber inokulum selalu tersedia di pertanaman.

Selain itu sumber penyebaran dari penyakit layu nenas diduga berasal dari bibit yang digunakan petani. Bibit tanaman yang digunakan oleh petani yaitu: anakan, tunas dan mahkota dari tanaman nenas umumnya tanpa seleksi, sehingga ada kemungkinan bibit nenas yang digunakan telah terinfeksi. Selain itu beberapa kebun yang diamati terlihat kurang terawat, banyak gulma yang tumbuh dan serangan kutu putih tinggi. Menurut Sether et al. (1998) serangan penyakit layu dipertanaman nenas disebabkan tersedianya sumber inokulum yaitu tanaman yang terinfeksi PMWaV dan adanya vektor penyakit layu. Gejala penyakit layu nenas dapat ditemukan pada semua masa pertumbuhan tanaman. Gejala layu muncul mulai dari tanaman muda yaitu bibit nenas, tanaman pada masa vegetatif sampai tanaman yang telah berbuah/generatif (Gambar 4.10).

Tingkat s erangan ku tu p u ti h (%) Desa c b a

0 10 20 30 40 50 60 70

Bunihayu Cimanglid Curugrendeng

Desa Ti ngk a t s e ra nga n pe ny a k it ( % )

Tanaman yang terserang virus penyakit layu sangat jelas gejalanya jika dibandingkan dengan tanaman sehat. Pada umumnya tanaman yang terserang virus penyakit layu akan menunjukkan gejala seperti: pertumbuhan terhambat, ujung daun mengering, daun berubah warnanya dari hijau berubah hijau kekuningan sampai kemerah-merahan, bagian pelepah daun melengkung ke bawah dan keseluruhan daun menjadi layu. Gejala penyakit layu tersebut sesuai dengan yang telah dilaporkan (Sether et al. 1998; CABI 2003).

Gambar 4.9. Rataan tingkat serangan penyakit layu pada tiga desa (n=27, one way anova, Tuckey test α0.05)

Gambar 4.10. Gejala penyakit layu pada tiga fase pertumbuhan tanaman (A= fase pertumbuhan awal, B= fase vegetatif dan C= fase generatif)

a

c

Perbandingan Kelimpahan Populasi Kutu Putih pada Musim Kemarau dan Musim Hujan

Pengamatan kelimpahan populasi kutu putih dilakukan selama dua musim. Hasil menunjukkan bahwa jumlah populasi kutu putih di pertanaman nenas di desa Bunihayu pada awal pengamatan berkisar 1-51 individu/tanaman dengan rataan sekitar 9.20±3.07 individu/tanaman. Populasi kutu putih mengalami tren kenaikan selama 7 bulan pengamatan sejak pengamatan pada bulan April sampai Oktober 2006. Kelimpahan populasi kutu putih mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2006 (Gambar 4.11). Populasi kutu putih yang ditemukan sekitar 1-115 individu/tanaman dengan rataan tertinggi yaitu: 34.60 individu/tanaman. Populasi kutu putih mengalami penurunan pada bulan November dan Desember, dan pada pengamatan tiga bulan terakhir menunjukkan pola perkembangan populasi yang hampir sama.

Kelimpahan populasi tinggi terlihat pada bulan September dan Oktober, hal terjadi ini karena musim kemarau yang cukup lama yang berlangsung dari bulan Juni sampai Oktober 2006. Pembagian musim didasarkan pada jumlah curah hujan bulanan menurut pembagian iklim oleh Oldeman tahun 1975 yaitu bahwa bulan kering apabila curah hujan kurang dari 100 mm, bulan lembab 100-200 mm dan bulan basah jika lebih dari 200 mm (Regariana 2004).

Gambar 4.11 menunjukkan selama penelitian, terjadi musim kemarau yang sangat panjang (data bulan kering memiliki curah hujan bulanan < 100 mm) sejak bulan Juni-November 2006 dan musim penghujan (curah hujan bulanan > 100 mm) terjadi pada bulan: April-Mei 2006 dan Desember-Februari 2007.

Hasil analisis menunjukkan bahwa populasi kutu putih pada tanaman nenas berbeda pada musim yang berbeda (P<0.05). Rataan populasi kutu putih pada musim kemarau (28.60±3.21 individu/tanaman) lebih tinggi 2.5 kali lipat dibandingkan populasi kutu putih pada musim hujan (12.32±1.70 individu/ tanaman) (Gambar 4.12). Tingginya populasi pada musim kemarau tersebut merupakan fenomena umum yang telah lama dikenal pada banyak serangga tropik (Rauf 1996). Hasil penelitian ini sama dengan laporan Geiger dan Daane (2001) menyatakan bahwa perkembangan populasi kutu putih Pseudococcus maritimus (Hemiptera: Pseudococcidae) dipengaruhi musim yang sedang berlangsung. Hasil

yang sama dilaporkan Boavida dan Neuenschwander (1995) bahwa populasi kutu putih Rastrococcus invadens (Hemiptera: Pseudococcidae) mencapai puncaknya pada musim panas dan mampu menyelesaikan perkembangan hidupnya selama beberapa generasi. Di lahan pengamatan, rata-rata suhu udara selama musim kemarau mencapai lebih dari 30 0C sangat cocok bagi perkembangan kutu putih. Hal ini didukung oleh penelitian Chong et al. (2008) bahwa perkembangan kutu putih pada suhu 30-30.4 0C lebih maksimal dibandingkan pada suhu 20-25 0C.

Gambar 4.11. Perkembangan populasi kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas pada pengamatan April 2006-Februari 2007

Gambar 4.12. Kelimpahan populasi kutu putih pada musim kemarau dan musim hujan di desa Bunihayu (t test α0.05) a 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb

Bulan P opu la si k ut u pu tih ( in di vi du/ ta na m an) 0 100 200 300 400 500 600 700

Populasi Curah hujan

  C u ra h hu ja n ( m m/ b u la n) 0 10 20 30 40 50 Hujan Kemarau Musim Ju m la h ku tu p u ti h (i nd iv id u/ t an am a n) a b

KESIMPULAN

Kelimpahan populasi kutu putih D. brevipes lebih tinggi di desa Bunihayu dibandingkan di desa Cimanglid dan Curugrendeng. Populasi kutu putih di Bunihayu 16.72 individu/tanaman, Cimanglid 1.76 individu/tanaman dan Curugrendeng 6.64 individu/tanaman.

Tingkat serangan kutu putih lebih tinggi di desa Bunihayu (70.56%) dibandingkan di desa Cimanglid (27.22%) dan Curugrendeng (42.78%).

Serangan penyakit layu PMWaV di desa Bunihayu mencapai 50.56%, lebih tinggi dibandingkan di desa Cimanglid (15.56%) dan desa Curugrendeng (31.67%).

Sebaran vertikal kutu putih pada tanaman nenas mulai dari akar, daun, tangkai buah dan buah serta mahkota. Bagian pangkal daun merupakan bagian tanaman nenas yang terbanyak dijumpai kutu putih.

Populasi kutu putih nenas menunjukkan perbedaan pada dua musim yang berbeda. Jumlah populasi kutu putih lebih tinggi dijumpai pada musim kemarau dari pada musim hujan.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1970. Official Methods Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Association of Official Analytical Chemist. Washington DC.

Asbani N. 2005. Kelimpahan dan parasitoid kutu putih Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) serta keanekaragaman semut pada tanaman nanas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Boavida C, Neuenschwander. 1995. Population dynamics and life tables of the mango mealybug, Rastrococcus invadens Williams, and its introduced natural enemy Gyranusoidea tebygi Noyes in Benin. Biocontrol Sci and Tech 5:495-508.

[CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2003. Crop Protection Compendium. Welling fort. Nosworthy Way. Wallingford. Oxfordshire. OX10 8DE.

Chong JH, Roda AL, Mannion CM. 2008. Life history of mealybug, Maconellicoccus hirsutus (Hemiptera: Pseudococcidae) at constant temperature. Environ Entomol 37(2):323-332.

Dent D. 1995. Principles of Integrated Pest Management. Dent D, editor. Integrated Pest Management. London: Chapman & Hall. hlm188-259. Dove B. 2005. Catalogue Query Results Dysmicoccus brevipes (Cockerell). http://

www.sel.barc.usda.gov/ catalogs/ pseudoco/ Dysmicoccusbrevipes. htm. [12 Feb 2008].

[DPKS] Dinas Pertanian Kabupaten Subang. 2004. Profil Nenas di Kabupaten Subang. www.nenas\Direktorat Tanaman Buah, Ditjen Bina Produksi Hortikultura_files\Kab_subang.htm. Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Subang.

Geiger CH, Daane KM. 2001. Seasonal movement and distribution of grape mealybug (Homoptera: Pseudococcidae): developing sampling program for San Joaquin valley vineyards. J Econ Entomol 94(1):291-301.

Gruenhagen NM, Backus EA. 1999. Diel Settling Pattern of Female and Male Potato Leafhopper (Homoptera: Cicadellidae) on Alfalfa. J Econ Entomol 92(6):1321-1328.

Hernandez HG, NJ Reimer, Jhonson MW. 1999. Survey of natural enemies of Dysmicoccus mealybugs on pineapple in Hawaii. Bio Control 44:47-58. Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der,

penerjemah.Terjemahan dari De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Jakarta. Ichtiar Baru-van Hoeve. 701 hlm.

Khan AA, Avesi GM, Masud SZ, Rizvi SWA. 1998. Incidence of mealybug Dysmicoccus brevipes (Cockerell) on pineapple. Tr J Zool 22:159-161.

Leksono AS, Nakagoshi N, Takada K, Nakamura K. 2005. Vertical and Seasonal variation in the abundance and the richness of Attelabidae and Cantharidae (Coleoptera) in suburban mixed forest. Entomol Science 8:235-243.

Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Dysmicoccus brevipes (Cockerell) Pink Pineapple Mealybug. http://www.extento.hawaii.edu/ Kbase/crop/ Type d_brevip. htm. [15 Feb 2008].

Norris RF, Chen EPC, Kogan M. 2003. Concept in Integrated Pest Management. New Jersey: Prentice Hall. 586 hlm.

Pitaksa C, Chantarasuwan A, Kongkanjana A. 2000. Ant control in pineapple field. Act Hort 529:309-316.

Raharjo S. 2004. Dinamika populasi Sanurus indecora J. pada tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) di Nusa Tenggara Barat. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor: 5 Oktober 2004. PEI.

Rangana S. 1979. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Products. Tata Mc. Grawhill ND.

Rauf A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Di dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional. Jatisari: 2-19 Jan 1996.

Regariana CM. 2004. Atmosfir (Cuaca dan Iklim). http://www.elcom.umi.ac.id. [10 November 2009].

Sartiami D. 2006. Keberadaan Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) sebagai vektor pineapple mealybug wilt assosiated virus (PMWaV) pada tanaman nanas. J Pert Indon 11(1):1-6.

Schoonhoven LM, Jermy T, Van Loon JJA. 1998. Insect Plant Biology from Physiology to Evolution. London: Chapman & Hall. 409 hlm.

Sether DM, Ulman DE, Hu JS. 1998. Transmission of pineapple mealybug wilt-associated virus by two species of mealybug (Dysmicoccus spp). Phytopathology 88:1224-1230.

Sether DM, Hu JS. 2002. Yield impact and spread of pineapple mealybug wilt associated virus-2 and mealybug wilt of pineapple in Hawaii. Plant Disease 86:867-874.

Southwood TRE. 1978. The construction, description and analysis of age specific life tables. In. Ecological methods with particular reference to study of insect population, 2nd ed. London: Chapman & Hall.

Stavinsky J, Funderburk J, Brodbeck BV, Olson SM, Andersen PC. 2002. Population dynamics of Frankniella spp. and tomatto spotted wilt incidence as influenced by cultural management tactics in tomato. Hort Entomol 95(6):1216-1221.

Subahar SST. 2000. Pengaruh perubahan fungsi lahan terhadap struktur komunitas arthropoda tanah, studi kasus di Bandung Utara. Di dalam. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. Cipayung: 16-18 Okt 2000. hlm 69-73.

Sukowati S. 2004. Dampak perubahan lingkungan terhadap penyakit tular nyamuk (vektor) di Indonesia. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor: 5 Oktober 2004. PEI. hlm 1-16.

Sulaiman SFM. 2000. Implication of the use of excess coir dust mulch in pineapple cultivation on the mealybug wilt disease of pineapple. Acta Hort 529: 321-335.

Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & Universitas Kristen Krida Wacana.

Walton VM, Daane KM, Pringle KL. 2004. Monitoring Planococcus ficus in South African vineyards with sex pheromone-baited trap. Crop Protect 23:1089-1096.

Waterhouse DF. 1998. Biological Control of Insect Pest, Southeast Asian prospects Monograph (51) Canberra: ACIAR.

BAB V

BIOLOGI KUTU PUTIH Dysmicoccus brevipes (COCKERELL)