• Tidak ada hasil yang ditemukan

PADA TANAMAN NENAS

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertanaman

Lokasi penanaman nenas di Subang umumnya memiliki jenis tanah Aluvial dan pH tanah berkisar 5.5-7.0. Berdasarkan tipe iklim Oldeman, daerah ini memiliki tipe iklim C dan D (DPKS 2004).

Persiapan lahan, pembuatan petak penelitian dilakukan pada bulan April 2007 di kebun petani di desa Bunihayu. Kondisi lahan penelitian berada pada ketinggian 518 m dpl dengan elevasi sekitar 06º39’09” LS dan 107º41’40” BT. Hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan di lokasi penelitian selama pengamatan antara lain: suhu berkisar 31.1-39.0 oC, kelembaban udara berkisar 42%-70% dan curah hujan berkisar 0.97-24.35 mm/hari serta jumlah hari hujan yaitu: 2-27 hari.

Bibit nenas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: varietas Smooth Cayenne.Varietas ini juga umum ditanam oleh petani setempat. Kondisi pertanaman di sekitar petak penelitian juga ditanami nenas. Umumnya tanaman nenas di sekitar lokasi merupakan nenas ratoon. Sistem budidaya nenas oleh petani umumnya secara polikultur dengan tanaman lain seperti: kencur, pisang kunyit, singkong dan cabe.

Pemeliharaan tanaman di petak percobaan dilakukan sesuai dengan perlakuan. Pengamatan dilakukan setiap bulan selama 11 bulan (Mei 2007-Maret 2008). Panen berlangsung pada 14 bulan setelah tanam (Juni 2008).

Perkembangan Populasi Kutu Putih pada Tiga Teknik Budidaya Nenas Keberadaan kutu putih terlihat sejak awal pengamatan pada ketiga perlakuan budidaya. Hasil analisis menunjukkan teknik budidaya memberikan pengaruh terhadap populasi kutu putih pada beberapa umur tanaman (Tabel 6.2). Rataan populasi kutu putih pada perlakuan 3 lebih rendah (0.04-2.20 individu/tanaman) dibandingkan perlakuan 1 (0.06-10.88 individu/ tanaman) dan perlakuan 2 (3.22-17.22 individu/tanaman). Rendahnya populasi pada perlakuan 3

karena adanya penggunaan bibit yang sehat dan aplikasi karbofuran. Bibit sehat sangat penting dalam upaya mencegah masuknya kutu putih dan menyebarnya kutu putih di saat penanaman. Hal ini seperti dikemukakan oleh Sether dan Hu (2002) penggunaan bibit yang berasal dari induk yang bebas hama dan penyakit layu sangat penting untuk mencegah penularan kutu putih dan penyakit layu nenas.

Tabel 6.2. Rataan populasi kutu putih pada tiga teknik budidaya Umur Populasi kutu putih pada tanaman (Rataan individu ±SE) (BST) Sistem budidaya 1 Sistem budidaya 2 Sistem budidaya 3

1 0.20 ± 0.15 b 11.48 ± 5.66 a 0.04 ± 0.04 b 2 0.06 ± 0.04 b 9.56 ± 5.74 a 0.10 ± 0.10 b 3 1.98 ± 1.22 b 17.20 ± 7.35 a 0.56 ± 0.43 b 4 5.92 ± 5.75 a 6.64 ± 4.59 a 0.72 ± 0.51 a 5 8.94 ± 4.05 a 10.38 ± 3.25 a 2.08 ± 0.61 a 6 8.24 ± 3.83 a 7.70 ± 1.61 a 0.42 ± 0.16 b 7 5.66 ± 2.22 a 5.58 ± 1.39 a 0.82 ± 0.32 b 8 10.88 ± 3.18 a 6.68 ± 1.88 ab 1.98 ± 0.86 b 9 6.08 ± 1.92 b 3.22 ± 1.06 a 2.20 ± 1.61 b 10 2.7 ± 1.23 a 3.26 ± 2.11 a 1.62 ± 0.94 a 11 2.9 ± 1.37 a 7.46 ± 5.57 a 2.08 ± 1.56 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Tuckey

Sejak awal pengamatan, terutama pada perlakuan teknik budidaya 2 populasinya lebih tinggi dibandingkan teknik budidaya lainnya. Kutu putih pada perlakuan terknik budidaya 2 diduga berasal dari bibit yang terinfeksi kutu putih. Populasi kutu putih dapat berkembang saat bibit ditanam di lapang. Populasi berkembang dan mencapai puncaknya pada tiga BST (Juli). Populasi kutu putih selama pengamatan 3 bulan pertama (Mei-Juli) pada perlakuan teknik budidaya 1 dan 3 terlihat relatif rendah (Gambar 6.3).

Populasi kutu putih pada perlakuan teknik budidaya 1, 2 dan 3 menunjukkan tren meningkat pada bulan Agustus dan September. Peningkatan populasi pada bulan tersebut dipengaruhi oleh kondisi iklim terutama curah hujan selama 3 bulan (Juli-September) sangat rendah (< 100 mm/bulan) (Gambar 6.4). Populasi pada ketiga perlakuan mencapai puncak pada bulan September. Peningkatan

populasi kutu putih terjadi karena adanya curah hujan saat itu tidak memberi tekanan berarti bagi perkembangan populasi kutu putih. Imago betina yang ada pada tanaman dapat berkembangbiak dan berkolonisasi secara optimal. Kondisi ini ditunjang oleh tersedianya sumber makanan sejalan dengan meningkatnya umur tanaman. Keberhasilan kolonisasi sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan yang tersedia dalam mendukung potensi reproduksi serangga di dalam ekosistem serangga tersebut (Rauf 1996). Menurut Scholwalter (1996) populasi serangga akan berubah dengan cepat selain dipengaruhi kemampuan reproduksi, juga dipengaruhi oleh jumlah mortalitas, imigrasi dan emigrasi serangga tersebut.

Gambar 6.3. Perkembangan populasi D. brevipes pada tanaman nenas pada tiga teknik budidaya (Rataan ± SE)

Gambar 6.4. Curah hujan dan jumlah hari hujan tiap bulan selama pengamatan

Populasi kutu putih cenderung menurun pada bulan Oktober sampai November. Penurunan populasi kutu putih disebabkan pada bulan Oktober merupakan awal musim hujan dan selama bulan November hampir tiap hari terjadi hujan dan total jumlah curah hujan di bulan tersebut lebih dari 600 mm. Selama musim hujan, curah hujan di lokasi penelitian berfluktuasi antara 300-<800 mm/bulan. Musim hujan berlangsung selama 6 bulan (Oktober-Maret). Hasil penelitian menunjukkan populasi kutu putih cenderung terhambat perkembangannya jika terjadi curah hujan cukup lama. Pada curah hujan tinggi populasi kutu putih cenderung menurun karena banyaknya kutu putih yang mati tergenang air di antara pangkal daun atau hanyut bersama air hujan. Hasil ini sejalan dengan Boavida dan Neuenschwander (1995) yang mengemukakan bahwa populasi kutu putih mangga (Rastrococcus invadens) menurun pada saat musim hujan.

Kumar (2006) menyatakan kutu putih suka bersembunyi di daerah yang terlindung seperti bagian pangkal daun dan akar. Selain itu kutu putih dapat hidup pada sisa-sisa tanaman atau gulma yang ada di sekitar tanaman (Sulaiman 2000). Aplikasi tanah dengan insektisida karbofuran menyebabkan kutu putih yang berkoloni pada bibit dan gulma di sekitar tanaman dapat tertekan populasinya. Oleh sebab itu pemberian insektisida tanah diperlukan untuk pengendalian kutu putih pada awal pertanaman (Petty et al. 2002).

Hasil penelitian mengungkapkan beberapa pendekatan teknik budidaya yang dapat diterapkan untuk mengendalikan kutu putih mengggunakan teknik PHT yaitu: 1) penggunaan bibit yang sehat dari kutu putih dan penyakit layu, 2) penanaman dan pengolahan tanah sesuai standar operasional, 3) penggunaan insektisida tanah sesuai dosis aturan, 4) pemberian pupuk secara optimal dan teratur dan 5) sanitasi tanaman dan lahan secara teratur. Selain itu dalam pengendalian diperlukan monitoring secara teratur untuk mengetahui populasi kutu putih dan tindakan apa yang perlu dilakukan.

Tingkat Serangan Kutu Putih pada Tiga Teknik Budidaya Nenas

Serangan kutu putih ditemukan sejak tanaman masih muda sampai akhir pengamatan (Tabel 6.3). Hasil analisis menunjukkan bahwa teknik budidaya

memberi pengaruh terhadap tingkat serangan kutu putih pada awal pengamatan dan beberapa pengamatan lain. Namun secara keseluruhan terlihat bahwa tingkat serangan kutu putih yang lebih rendah dijumpai pada perlakuan teknik budidaya 3. Usaha prefentif yang diterapkan pada awal penanaman yaitu penggunaan bibit bebas kutu putih yang diambil dari desa Cimanglid mampu menekan populasi awal dari kutu putih, dengan demikian tingkat serangan kutu putih pada perlakuan 3 juga rendah.

Serangan kutu putih pada perlakuan teknik budidaya 1 dan 2 meningkat sejak awal pengamatan sampai pengamatan pada bulan Oktober (6 BST). Tingkat serangan tertinggi pada teknik budidaya 1 dan 2 terjadi pada pengamatan bulan Oktober masing-masing 52% dan 62%. Tingkat serangan tertinggi terjadi pada tersebut karena pengaruh musim kemarau yang sangat lama sampai bulan Oktober. Pada kondisi kemarau, kutu putih mampu menyesuaikan diri, berkembangbiak dan berkoloni pada tempat-tempat yang terlindung.

Tabel 6.3. Rataan tingkat serangan kutu putih pada tanaman Umur Rataan tingkat serangan kutu putih (%±SE )

(BST) Sistem budidaya 1 Sistem budidaya 2 Sistem budidaya 3

1 6.00 ± 4.00 a 14.00 ± 6.78 a 2.00 ± 2.00 a 2 4.00 ± 2.45 a 14.00 ± 6.78 a 2.00 ± 2.00 a 3 8.00 ± 3.74 a 16.00 ± 4.00 a 4.00 ± 2.45 a 4 12.00 ± 4.90 a 34.00 ± 6.63 a 22.00 ± 10.20 a 5 28.00 ± 5.83 a 44.00 ± 8.72 a 26.00 ± 11.58 a 6 52.00 ± 10.20 ab 62.00 ± 10.20 a 16.00 ± 8.12 b 7 50.00 ± 10.95 a 44.00 ± 10.30 a 16.00 ± 4.00 a 8 34.00 ± 11.22 a 40.00 ± 6.32 a 16.00 ± 5.10 a 9 30.00 ± 8.94 a 36.00 ± 7.48 a 20.00 ± 7.07 a 10 18.00 ± 8.00 a 14.00 ± 7.35 a 12.00 ± 3.74 a 11 18.00 ± 6.63 a 14.00 ± 5.10 a 6.00 ± 2.45 a

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Tuckey

Kutu putih D. brevipes menyerang pada bagian pangkal daun. Gejala serangan kutu putih jelas terlihat yaitu: adanya kutu putih yang ditutupi oleh lapisan lilin berwarna putih berada pada daerah pangkal daun (Gambar 6.5). Selain pada bagian pangkal daun, kutu putih dapat menyerang pada bagian

akar, tangkai buah, buah dan mahkota. Imago dan nimfa D. brevipes dapat menyerang tanaman dengan cara mengisap cairan tanaman dengan cara menusukkan stiletnya ke dalam jaringan tanaman (Mau & Kessing 2007).

Gambar 6.5. Serangan kutu putih pada bagian pangkal daun Kejadian Penyakit Layu pada Tiga Teknik Budidaya Nenas

Penyakit layu PMWaV dapat ditemukan di lahan percobaan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa teknik budidaya memberikan pengaruh pada kejadian penyakit layu (Gambar 6.6). Kejadian penyakit layu lebih rendah pada perlakuan teknik budidaya 3 dibandingkan teknik budidaya 1 dan 2. Penggunaan kombinasi perlakuan bibit sehat, pemupukan optimal dan pestisida tanah pada perlakuan 3 cukup efektif menghambat serangan penyakit layu PMWaV (kejadian penyakit 2%). Kejadian penyakit pada perlakuan 1 dan 2 cenderung meningkat dan mencapai 16% pada bulan Oktober.

Tingginya serangan bulan Oktober berkaitan dengan tingginya tingkat serangan vektor (D. brevipes) dan rendahnya curah hujan selama musim kemarau (bulan Juli-September). Kejadian penyakit layu ada kaitannya dengan adanya serangan dari vektor yaitu kutu putih dan kondisi tanaman yang peka (Khan et al. 1998; Sether et al. 2004; 2005). Virus PMWaV hanya bisa ditularkan oleh vektornya dan tidak bisa ditularkan secara mekanik (Sether et al. 1998).

Gambar 6.6. Kejadian penyakit layu pada tiga perlakuan teknik budidaya Karakteristik Pertumbuhan Tanaman pada Tiga Teknik Budidaya

Rata-rata tinggi tanaman, lebar tajuk, panjang daun, lebar daun, jumlah daun, bobot buah, diameter buah, panjang buah, padatan terlarut total (PTT), berat mahkota dan tinggi mahkota untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.4. Hasil analisis ragam untuk ketiga perlakuan teknik budidaya pada tinggi tanaman, bobot buah, diameter buah, panjang buah, dan PTT, menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan perlakuan teknik budidaya 1, teknik budidaya 2 dan teknik budidaya 3 menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada lebar tajuk, panjang daun, lebar daun, berat mahkota dan tinggi mahkota. Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, pengaruh perlakuan teknik budidaya 3 terhadap lebar tajuk, panjang daun, lebar daun, berat mahkota dan tinggi mahkota cenderung lebih baik dibandingkan dengan perlakuan teknik budidaya 1 dan teknik budidaya 2. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan teknik budidaya 3 dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman lebih baik dan memberikan pengaruh terhadap komponen buah lebih baik dari teknik budidaya lainnya.

Perlakuan teknik budidaya 3 menunjukkan hasil buah lebih bagus dari pada perlakuan teknik budidaya lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bobot rata-rata sekitar 2.9 kg pada petak teknik budidaya 3 dibanding pada perlakuan teknik budidaya 1 dan teknik budidaya 2, dengan bobot buah masing-masing mencapai 2.0 kg dan 1.7 kg. Demikian juga karakter komponen buah lainnya seperti: diameter buah, panjang buah, PTT, berat mahkota dan tinggi mahkota lebih tinggi

Curah h u ja n ( mm/b u lan)

pada tanaman yang ditanam pada petak yang menggunakan teknik budidaya 3 dibandingkan pada petak yang menggunakan teknik budidaya 1 dan teknik budidaya 2.

Tabel 6.4. Rataan tinggi tanaman, lebar tajuk, panjang daun, lebar daun, jumlah daun, bobot buah, diameter buah, panjang buah, PTT, berat mahkota dan tinggi mahkota pada tiga teknik budidaya. Karakter Teknik Budidaya 1 Teknik Budidaya 2 Teknik Budidaya 3 Tinggi tanaman (cm) Lebar tajuk (cm) Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) Jumlah daun (helai) Bobot buah (g) Diameter buah (cm) Panjang buah (cm) PTT (obrix) Berat mahkota (g) Tinggi mahkota (cm) 78.72 b 113.00 a 76.80 a 4.62 a 31.60 b 1985.00 b 14.00 ab 19.99 ab 9.91 b 215.00 a 15.77 a 71.50 b 125.56 a 80.20 a 4.40 a 35.00 ab 1667.50 b 13.45 b 18.48 b 12.31 ab 267.50 a 22.44 a 98.04 a 135.24 a 87.54 a 5.35 a 43.60 a 2935.50 a 15.21 a 22.95 a 12.85 a 291.50 a 22.29 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Tuckey.

Gejala Penyakit Layu dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Tanaman Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang terserang PMWaV menunjukkan gejala layu yang khas. Gejala penyakit layu pada tanaman ditandai dengan bagian ujung daun terlihat mengering (Gambar 6.7A), warna daun berubah menjadi berwarna kekuningan sampai kemerah-merahan (Gambar 6.7B). Gejala seperti ini sama dengan yang dilaporkan Hughes & Sasmita (1998) dan Rohrbach & Schmitt (2003). Perubahan warna daun pada daun sakit kemungkinan dipengaruhi oleh perubahan kandungan klorofil dan anthosianin. Untuk pengujiannya dilakukan analisis terhadap kandungan kedua pigmen daun tersebut.

Hasil analisis kandungan klorofil dan anthosianin daun yang sakit dan daun yang sehat ditampilkan pada Tabel 6.5. Pada Tabel tersebut menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P < 0.05) antara kandungan klorofil a, klorofil b serta total klorofil pada daun sehat dan daun sakit. Rataan klorofil a, klorofil b dan total klorofil sekitar 3 kali lebih tinggi pada daun sehat dibandingkan daun sakit.

Gambar 6.7. Gejala penyakit layu. Ujung daun mengering (A) dan kemerah-merahan pada daun tanaman (B).

Tabel 6.5. Rataan kandungan klorofil dan anthosianin pada tanaman sehat dan sakit

Variabel Kandungan (mg/100 cm

2 ±SE) daun sehat daun sakit Klorofil a Klorofil b Total klorofil (K) Anthosianin (A) Rasio A/K 6.09 ± 1.14 a 2.24 ± 0.32 a 8.33 ± 1.46 a 2.09 ± 1.01 a 0.18 ± 0.08 a 2.14 ± 0.13 b 0.70 ± 0.09 b 2.84 ± 0.21 b 1.37 ± 0.20 a 0.51 ± 0.07 b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji t

Kandungan anthosianin hampir 1.5 kali lebih tinggi pada daun sehat dibandingkan daun sakit. Hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan kandungan klorofil dan anthosianin pada daun sakit. Penurunan kandungan klorofil pada daun sakit lebih cepat (± 3 kali) dibandingan penurunan anthosianin (± 1.5 kali). Rasio anthosianin terhadap klorofil (rasio A/K) pada daun sakit lebih tinggi dibandingkan rasio A/K pada daun sehat. Akibat rasio A/K lebih tinggi pada tanaman sakit inilah yang menyebabkan warna daun

yang terinfeksi virus terlihat berwarna kemerah-merahan. Penurunan kandungan klorofil daun lebih cepat penurunannya dibandingkan anthosianin, hal ini disebabkan adanya virus pada tanaman dapat merusak kloroplas sehingga jumlahnya menjadi sedikit, sehingga pembentukan klorofil juga terhambat. Menurut Agrios (1996) bahwa adanya virus pada tanaman dapat menurunkan kandungan klorofil daun sehingga proses fotosintesis pada tumbuhan yang terinfeksi akan menurun tajam.

Adanya virus PMWaV memberikan pengaruh terhadap ukuran beberapa karakter morfologi tanaman. Hal ini nampak jelas pengaruhnya pada tanaman sakit di lapang. Berdasarkan uji t karakter tinggi tanaman, lebar tajuk, panjang daun, lebar daun dan jumlah daun pada tanaman terserang menunjukkan perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan tanaman yang tidak terserang (Tabel 6.6).

Tabel 6.6. Rataan karakter vegetatif dan karakter komponen buah dan bobot buah dari tanaman sehat dan sakit

Karakter Tanaman sehat Tanaman sakit

Tinggi tanaman (cm) Lebar tajuk (cm) Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) Jumlah daun (helai) Bobot buah (g) Diameter buah (cm) Panjang buah (cm)

Padatan terlarut total (obrix) Berat mahkota (g) Tinggi mahkota (cm) 92.36 a 136.38 a 83.51 a 5.32 a 43.47 a 2752.75 a 15.16 a 22.24 a 12.92 a 328.25 a 23.79 a 70.20 b 101.40 b 74.27 b 4.91 b 32.07 b 1115.00 b 12.39 b 17.18 b 9.24 b 134.85 b 11.67 b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji t

Tanaman yang terserang virus layu memperlihatkan tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, lebar tajuk, jumlah daun, berat mahkota dan tinggi mahkota lebih rendah dibandingkan dengan tanaman sehat. Tanaman yang terserang virus ini menunjukkan penurunan biomasa, luas permukaan, panjang daun, jumlah daun, lebar dan panjang akar (CABI 2003) serta menurunkan

potensi fotosintesis tanaman (Waterhouse 1998; Culik et al. 2005). Akibat menurunnya proses fotosintesis, maka proses pembentukan makanan yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan terganggu. Tanaman yang terserang virus akan kekurangan nutrisi, sehingga mengganggu bagian tanaman yang kurang atau tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkannya. Dengan demikian tanaman yang terserang virus kelihatan kerdil dan layu dibandingkan dengan tanaman sehat (Mattew 1991).

Tanaman yang terserang virus menunjukkan perubahan berat dan tinggi mahkota. Mahkota dari tanaman terserang lebih ringan dan ukurannya 2 kali lebih pendek dibandingkan dengan mahkota dari tanaman tidak terserang. Adanya serangan virus ini juga mempengaruhi pembentukan buah. Pada kondisi serangan berat tanaman tidak menghasilkan buah.

Umumnya pada tanaman yang terserang menghasilkan buah lebih kecil dan diameter buahnya lebih sempit dibanding dengan buah sehat (Gambar 6.8A). Bobot buah tanaman sakit hampir 3 kali lebih rendah dibanding dengan bobot buah tanaman sehat. Selain itu serangan virus penyakit layu mempengaruhi penampilan daging buah. Buah yang berasal dari tanaman sakit jika dibelah terlihat berwarna putih pucat, berbeda dengan buah sehat jika dibelah dagingnya kelihatan berwarna kuning (Gambar 6.8B). Buah yang sehat memiliki aroma sangat khas dan rasa lebih enak, dibandingkan buah yang sakit. Buah sakit rasanya lebih asam, terlihat dari hasil pengukuran kadar sukrosa (9.26 obrix) lebih rendah dari buah yang sehat (12.39 obrix). Standar kadar padatan terlarut total (PTT) minimal 12 obrix (Coppens et al. 1997).

Ciri khas buah yang terserang virus PMWaV terlihat pada bentuk mata dari buah. Mata buah sakit lebih menonjol dan diameter mata buah berukuran lebih kecil sedangkan mata buah sehat mendatar dan diameter mata buah relatif lebih besar (Gambar 6.9). Menurut Sether et al. (1998) ekspresi gejala penyakit layu bervariasi tergantung kondisi lingkungan, jumlah populasi kutu dan genotipe nenas.

A1 A2 B1 B2