• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat belas varietas tanaman padi

yang diuji menggunakan metode micro-chamber screening ternyata semuanya

dapat diinfeksi oleh R. solani dan menyebabkan gejala penyakit hawar pelepah dengan kejadian penyakit 100% dan keparahan penyakit lebih dari 50%. Di antara varietas yang diuji, varietas Membramo merupakan varietas yang menunjukkan indeks penyakit tertinggi (7,9), dengan nilai keparahan penyakit hampir 90%. Sebaliknya varietas Cibogo merupakan varietas yang menunjukkan indeks penyakit terendah (4,9) dibandingkan dengan seluruh varietas yang diuji (Tabel 1 dan Gambar 5).

Berdasarkan pada kriteria ketahanan varietas terhadap penyakit hawar pelepah, maka dari sejumlah varietas padi yang diuji tidak ada varietas yang tergolong pada varietas tahan, sedangkan varietas agak tahan hanya ditunjukkan oleh varietas Cibogo. Sementara itu varietas Inpara 2, Situ Bagendit, dan Membramo merupakan varietas yang tergolong rentan dengan indeks penyakit berturut-turut 7,1, 7,2, dan 7,9. Varietas lainnya yaitu varietas IR 42, Ciherang, Ciliwung, Way Apo Buru, Inpari 13, Mekongga, Cisantana, Cigeulis, Cilamaya, dan IR 64 adalah tergolong agak rentan dengan indeks penyakit berkisar 5,2 – 6,9 (Tabel 1).

Seluruh varietas tanaman padi yang diuji dapat diinfeksi oleh penyebab penyakit hawar pelepah (R. solani) dan tidak satupun dari varietas tersebut yang tergolong tahan terhadap penyakit hawar pelepah. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh varietas yang digunakan dalam pengujian tidak ada yang tahan terhadap penyakit hawar pelepah. Perakitan varietas tahan penyakit biasanya masih terbatas pada penyakit tungro, hawar daun bakteri, dan blas (Suprihatno et al. 2010). Sebagai contoh, varietas Membramo dirakit untuk lebih tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri dan tungro, sedangkan varietas Inpara 6 dirakit dari IR 64 untuk lebih tahan terhadap penyakit blas (Suprihatno et al. 2010).

Tabel 1 Indeks penyakit dan kejadian penyakit hawar pelepah padi pada berbagai varietas padi serta penggolongan tingkat ketahanan varietas padi

Varietas padi Indeks penyakit Kejadian

penyakit (%) Tingkat ketahanan

Membramo 7,9 100 Rentan

Situ Bagendit 7,2 100 Rentan

Inpara 2 7,1 100 Rentan

IR 42 6,9 100 Agak rentan

Ciherang 6,5 100 Agak rentan

Ciliwung 6,3 100 Agak rentan

Way Apo Buru 6,1 100 Agak rentan

Inpari 13 5,8 100 Agah rentan

Mekongga 5,8 100 Agak rentan

Cisantana 5,4 100 Agak rentan

Cigeulis 5,4 100 Agak rentan

Cilamaya 5,4 100 Agak rentan

IR 64 5,2 100 Agak rentan

Cibogo 4,9 100 Agak tahan

R. solani dapat menginfeksi tanaman padi pada stadia pembibitan, stadia anakan maksimum, dan stadia generatif. Inokulum primer R. solani dalam bentuk sklerotia atau miselium dapat memulai terbentuknya gejala penyakit. Inokulum primer berkecambah dan masuk ke dalam jaringan tanaman dengan cara melakukan penetrasi langsung atau melalui stomata. Kemudian miselium berkembang dalam jaringan tanaman sehingga terbentuk gejala bercak. Pada kondisi yang mendukung, seperti varietas rentan dan kelembaban tinggi, miselium tumbuh dengan cepat di bagian tanaman yang bergejala. Akibatnya, gejala penyakit dapat berkembang hingga ke bagian atas tanaman dan tunas yang berdekatan dengan kerusakan yang parah (Ou 1995).

Gambar 5 Keparahan penyakit hawar pelepah padi oleh R. solani pada 14 varietas tanaman padi: Cibogo (Cbg), Cigeulis (Cgls), Ciherang (Chrg), Cilamaya muncul (Clmy), Ciliwung (Clwg), Cisantana (Cstn), Inpara 2 (Ipr2), Inpari 13 (Ipri13), IR 42 (Ir42), IR 64 (Ir64), Mekongga (Mkg), Membramo (Mbrm), Situ Bagendit (Sbgd), Way Apo Buru (Wab). Walaupun beberapa peneliti telah berupaya menemukan dan meningkatkan sifat ketahanan tanaman padi terhadap R. solani, namun secara nasional belum ada laporan pelepasan varietas tanaman padi yang benar-benar tahan terhadap penyakit hawar pelepah. Prasad dan Eizenga (2008) menemukan tujuh aksesi Oryza spp. yang agak tahan terhadap penyakit hawar pelepah, yaitu tiga aksesi

pada O. nivara (IRGC104705, IRGC100898, dan IRGC104443) dan masing-

masing satu aksesi pada O. barthii (IRGC100223), O. meridionalis

(IRGC105306), O. nivara/O. sativa (IRGC100943), dan O. officinalis

(IRGC105979). Shah et al. (2009) berupaya meningkatkan ketahanan tanaman

padi dengan cara mengintroduksikan gen endokitinase yang berasal dari Trichoderma virens ke tanaman padi sehingga dapat mengurangi indeks penyakit

hawar pelepah sekitar 62%. Li et al. (2009) meningkatkan ketahanan tanaman

padi dengan cara mengintroduksikan gen kitinase yang berasal dari tanaman melon ke tanaman padi sehingga dapat mengurangi indeks penyakit hawar pelepah 25-43%.

Alasan utama pelepasan suatu varietas baru umumnya berdasarkan pada produktivitas, mutu dan rasa nasi, adaptasi spesifik, kegenjahan, dan ketahanan

Varietas padi K epa ra ha n pe nya ki t ( % )

terhadap hama atau penyakit tertentu. Sebagai contoh, varietas inpari 13 dilepas dengan alasan utama umur sangat genjah, produktivitas tinggi, rasa nasi pulen, dan tahan wereng batang coklat.

Secara biokimia dan fisiologi dikenal adanya ketahanan tanaman sebelum terjadi infeksi (preformed resistance) dan ketahanan tanaman setelah terjadi infeksi (active/postinfectional resistance). Ketahanan tanaman sebelum terjadi infeksi terjadi pada tanaman atau varietas yang sudah ada substansi antimikrobnya seperti fenolik atau subtansi sejenis lainnya yang menghambat kerja enzim hidrolitik patogen sehingga aktivitas patogen menjadi terhambat (Nicholson dan Hammerschmidt 1992). Oleh karena itu, ketiadaan atau kurangnya substansi antimikrob ini khususnya substansi anticendawan pada varietas tanaman padi yang diuji diprediksi berkaitan dengan tidak adanya varietas yang tahan terhadap penyakit hawar pelepah padi.

Hal yang hampir sama dilaporkan oleh beberapa peneliti lainnya bahwa tanaman dapat mempertahankan diri dari infeksi patogen melalui suatu kombinasi dari sifat struktural dan reaksi kimia. Sifat struktural tanaman berperan sebagai penghalang fisik dan menghambat patogen untuk dapat masuk dan berkembang pada tanaman. Sementara itu, reaksi kimia terjadi dalam sel atau jaringan tanaman dan menghasilkan substansi toksik bagi patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen pada tanaman (Dixon et al. 1994).

Secara genetik ketahanan varietas dapat berupa ketahanan vertikal dan ketahanan horizontal. Ketahanan vertikal merupakan ketahanan varietas terhadap satu ras atau satu haplotipe suatu patogen yang tersusun atas satu (monogenic)

atau beberapa gen (oligogenic). Sedangkan ketahanan horizontal merupakan

ketahanan suatu varietas yang tersusun atas banyak gen (polygenic), ketahanan yang tidak spesifik terhadap ras tertentu. Ketahanan horizontal memiliki sifat ketahanan yang lebih stabil. Hal ini karena varietas yang memiliki ketahanan horizontal, sifat ketahanannya akan berada di luar koordinasi serangan patogen (Parlevliet 1997). Berkaitan dengan hal ini diprediksi bahwa varietas tanaman yang diuji kemungkinan tidak memiliki gen ketahanan terhadap patogen R. solani sehingga seluruh varietas tersebut dapat terserang penyakit hawar pelepah.

Eksplorasi dan Seleksi Bakteri Agens Hayati

Isolasi bakteri dari beberapa sampel tanah, air, dan tanaman padi diperoleh 144 isolat bakteri, dengan rincian 38 isolat dari tanah sawah, 11 isolat dari tanaman padi, 50 isolat dari tanah tegalan, 40 isolat dari tanah aliran sungai, dan 5 isolat dari air kolam. Hasil pengujian potensi antagonis secara in vitro pada medium PDA menunjukkan bahwa 30 isolat dari 144 isolat bakteri yang diperoleh memiliki sifat anticendawan terhadap penyebab penyakit hawar pelepah tanaman padi (R. solani) seperti disajikan pada Gambar 6 dan Tabel 2.

Isolat bakteri yang bersifat antagonis terhadap R. solani berasal dari tanaman padi (3 isolat), tanah sawah (16 isolat), dan tanah tegalan (9 isolat), air kolam (1 isolat), dan tanah aliran sungai (1 isolat). Potensi anticendawan terbaik pada medium PDA ditunjukkan oleh isolat bakteri TT47, TB60, TS127, dan BR2. Sementara itu hasil pengujian pada medium PDB khususnya pada variabel pengamatan penurunan berat kering koloni R. solani menunjukkan bahwa isolat PS7, PS8, SS11, SC39, SG40, TT47, TB60, dan TB66 memberikan penekanan terbaik terhadap pertumbuhan R. solani (Tabel 2).

Gambar 6 Zona hambatan pertumbuhan R. solani yang terbentuk setelah diberi perlakuan isolat bakteri agens hayati: isolat bakteri TT47 (A), isolat bakteri BR2 (B). Miselium R. solani Zona hambatan B A

Tabel 2 Hambatan pertumbuhan miselium R. solani yang diberi perlakuan berbagai isolat bakteri agens hayati

Isolat

bakteri Asal isolat

Hambatan pertumbuhan

Penurunan bobot miselium (g)

BB BK

PC3 Tanaman padi, Cianjur ++ 0,2 0,01

PS7 Tanaman padi, Subang ++ 1,9* 0,11*

PS8 Tanaman padi, Subang ++ 2,4* 0,12*

SS10 Tanah sawah, Subang ++ 2,1* 0,04

SS11 Tanah sawah, Subang + 2,2* 0,11*

SI12 Tanah sawah, Indramayu + 0,4 0,01

SG14 Tanah sawah, Garut + 1,4* 0,02

SS17 Tanah sawah, Subang + 1,1 0,06

SS19 Tanah sawah, Subang + 1,0 0,05

SI24 Tanah sawah, Indramayu ++ 0,4 0,00

SI25 Tanah sawah, Indramayu + 0,1 0,05

SI26 Tanah sawah, Indramayu ++ 1,3* 0,00

SK31 Tanah sawah, Karawang + 1,5* 0,04

SC34 Tanah sawah, Cianjur + 0,3 0,00

SC35 Tanah sawah, Cianjur ++ 0,8 0,02

SC37 Tanah sawah, Cianjur + 0,3 0,02

SG39 Tanah sawah, Garut + 2,4* 0,11*

SG40 Tanah sawah, Garut ++ 2,3* 0,11*

SG41 Tanah sawah, Garut ++ 1,2 0,00

SC43 Tanah sawah, Cianjur + 0,4 0,04

TT47 Tanah tegalan, Tembilahan +++ 2,3* 0,11*

AB51 Air kolam, Bogor + 2,3* 0,09

TB53 Tanah tegalan, Bogor + 0,7 0,00

TB57 Tanah tegalan, Bogor + 0,3 0,02

TB60 Tanah tegalan, Bogor +++ 2,2* 0,11*

TB66 Tanah tegalan, Bogor + 2,3* 0,11*

ASR82 Tanah aliran sungai, Rengat + 1,0 0,06

TSu126 Tanah tegalan, Sumenep + 1,2 0,00

TSu127 Tanah tegalan, Sumenep +++ 0,1 0,03

BR2 Tanah tegalan, Bogor +++ 1,3* 0,04

Rataan selajur yang diikuti oleh tanda bintang (*) adalah berbeda nyata dengan kontrol menurut uji Dunnet pada taraf 5%. + = diameter hambatan < 10 mm, ++ = diameter hambatan 10-20 mm, +++ = diameter hambatan > 20 mm. BB = bobot basah, BK = bobot kering.

Hasil pengujian secara in vivo di rumah kaca menunjukkan bahwa indeks penyakit hawar pelepah pada tanaman padi akibat perlakuan masing-masing isolat bakteri antagonis adalah beragam. Perlakuan isolat bakteri antagonis SS19, TT47, dan BR2 memberikan indeks penyakit terendah dan penekanan penyakit tertinggi dibandingkan dengan perlakuan isolat bakteri antagonis lainnya. Indeks penyakit dan penekanan penyakit tersebut berbeda nyata dengan perlakuan lainnya termasuk perlakuan fungisida. Namun demikian indeks penyakit dan penekanan penyakit oleh ketiga isolat bakteri tersebut tidak berbeda nyata satu sama lain, bahkan tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (tanpa R. solani) (Tabel 3).

Sementara itu, pada variabel pengamatan persentase kejadian penyakit hawar pelepah ternyata isolat bakteri TT47 kembali menunjukkan kemampuan terbaik dibandingkan dengan perlakuan isolat bakteri antagonis lainnya. Nilai kejadian penyakit pada perlakuan isolat bakteri TT47 adalah paling rendah (Gambar 7; Gambar 8). Nilai kejadian penyakit tersebut berbeda nyata dengan perlakuan isolat bakteri lainnya tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif (tanpa R. solani). Hasil ini juga membuktikan bahwa kemampuan suatu isolat bakteri menekan perkembangan penyakit hawar pelepah padi tidak dipengaruhi oleh asal isolat. Isolat TT47, SS19, dan BR2 berasal dari lokasi ekosistem yang berbeda (Tabel 2) namun memberikan penekan penyakit cukup baik.

Isolat bakteri yang memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan R.

solani pada medium padat (PDA) mengindikasikan bahwa isolat tersebut memiliki mekanisme penghambatan secara antibiosis. Sedangkan isolat yang

memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan R. solani pada medium padat

dan medium cair (PDB) mengindikasikan bahwa isolat tersebut selain memiliki mekanisme penghambatan secara antibiosis juga memiliki mekanisme penghambatan melalui kompetisi nutrisi atau kompetisi ruang. Isolat-isolat bakteri dengan karakter demikian seperti yang ditunjukkan oleh isolat TT47, TB60, TS127, dan BR2 dengan penghambatan yang kuat pada pengujian di medium padat dan isolat PS7, PS8, SS11, SG39, SG40, TT47, TB60, dan TB66 dengan penekanan yang kuat terhadap pertumbuhan R. solani dalam medium cair adalah berpotensi dikembangkan sebagai agens hayati.

Tabel 3 Indeks penyakit dan penekanan penyakit hawar pelepah pada tanaman padi yang diberi perlakuan berbagai isolat bakteri agens hayati

Perlakuan Asal Indeks

penyakit ± SD

Penekanan penyakit (%)

PC3 Tanaman padi, Cianjur 7,9 ± 1,38 a 5,9 de

PS7 Tanaman padi, Subang 8,4 ± 0,42 a 0,1 e

PS8 Tanaman padi, Subang 6,5 ± 1,61 ab 22,8 cde

SS10 Tanah sawah, Subang 7,7 ± 1,20 a 8,0 de

SS11 Tanah sawah, Subang 6,7 ± 2,07 ab 20,4 cde

SI12 Tanah sawah, Indramayu 7,1 ± 1,59 a 16,3 cde

SG14 Tanah sawah, Garut 7,8 ± 0,91 a 7,6 de

SS17 Tanah sawah, Subang 7,3 ± 0,85 a 12,9 cde

SS19 Tanah sawah, Subang 3,7 ± 1,27 abc 56,4 abc

SI24 Tanah sawah, Indramayu 7,0 ± 1,81 a 16,8 cde

SI25 Tanah sawah, Indramayu 6,1 ± 1,70 ab 27,1 cde

SI26 Tanah sawah, Indramayu 8,0 ± 1,05 a 4,5 de

SK31 Tanah sawah, Karawang 6,4 ± 1,72 ab 24,1 cde

SC34 Tanah sawah, Cianjur 6,7 ± 1,97 ab 20,9 cde

SC35 Tanah sawah, Cianjur 5,4 ± 3,34 ab 35,9 bcde

SC37 Tanah sawah, Cianjur 5,5 ± 2,55 ab 34,1 bcde

SG39 Tanah sawah, Garut 7,3 ± 1,47 a 14,0 cde

SG40 Tanah sawah, Garut 7,3 ± 0,53 a 13,6 cde

SG41 Tanah sawah, Garut 5,6 ± 2,78 ab 33,4 cde

SC43 Tanah sawah, Cianjur 8,1 ± 0,61 a 4,4 de

TT47 T. tegalan, Tembilahan 1,7 ± 1,52 bc 79,6 ab

AB51 Air kolam, Bogor 8,2 ± 0,32 a 2,9 e

TB53 Tanah tegalan, Bogor 6,3 ± 2,22 ab 24,9 cde

TB57 Tanah tegalan, Bogor 7,4 ± 0,82 a 12,6 cde

TB60 Tanah tegalan, Bogor 6,3 ± 2,45 ab 25,1 cde

TB66 Tanah tegalan, Bogor 6,7 ± 1,52 ab 20,1 cde

ASR82 T. aliran sungai, Rengat 6,5 ± 1,85 ab 23,2 cde

TSu126 Tanah tegalan, Sumenep 8,0 ± 0,51 a 4,7 de

TSu127 Tanah tegalan, Sumenep 5,4 ± 2,45 ab 36,4 bcde

BR2 Tanah tegalan, Bogor 4,3 ± 1,58 abc 49,4 bcd

Heksakonazol (K+) - 7,0 ± 1,28 a 17,7 cde

R. solani (K-) - 8,4 ± 0,28 a 0,0 e

Tanpa R. solani - 0,0 ± 0,00 c 100,0 a

Rataan selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang ganda Duncan pada taraf 5%.

Gambar 7 Kejadian penyakit hawar pelepah pada tanaman padi setelah diberi perlakuan isolat bakteri agens hayati.

Gambar 8 Gejala penyakit hawar pelepah pada tanaman padi setelah diberi

perlakuan: tanpa R. solani (K-), R. solani (K+), fungisida

heksakonazol (+F), isolat bakteri TT47 (47), isolat bakteri SS19 (19), dan isolat bakteri BR2 (BR2).

Pengujian di tingkat in vivo diperoleh 3 isolat bakteri antagonis yang cukup efektif dalam menekan gejala penyakit yang disebabkan oleh R. solani yaitu isolat BR2, SS19, dan TT47. Isolat tersebut, khususnya TT47 memiliki kemampuan dalam menekan keparahan penyakit dan kejadian penyakit hawar pelepah padi secara signifikan. Meskipun hasil pengujian di tingkat in vivo ini sedikit berbeda dari hasil pengujian bakteri antagonis di tingkat in vitro.

Isolat bakteri antagonis TT47 dan BR2 menunjukkan kemampuan yang konsisten baik in vitro maupun in vivo. Pada tingkat in vitro isolat tersebut

memiliki penekanan yang kuat terhadap pertumbuhan R. solani. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa kedua isolat menghasilkan senyawa anticendawan yang efektif terhadap R. solani. Begitu juga di tingkat in vivo isolat tersebut memiliki

K- K+ +F 47 19 BR2 0 25 50 75 100 PC3PS7PS68SS10SS11SI12SC14SS17SS19SI24SI25SI26SK31SC34SC35SC37SG39SG40SG41SC43TT47AB51TB53TB57TB60TB66 ASR 82 TS12 6 TS12 7 BR2 K - -RS K+ Is olat bak teri antagonis

K e ja di a n pe ny a k it ( % )

penekanan yang kuat terhadap perkembangan gejala penyakit, indeks penyakit,

dan kejadian penyakit hawar pelepah yang disebabkan R. solani. Bahkan

kemampuan kedua isolat tersebut dalam menekan perkembangan penyakit di tingkat in vivo melebihi dari kemampuan fungisida heksakonazol yang digunakan. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua isolat tetap menghasilkan senyawa

anticendawan dalam menghambat perkembangan penyebab penyakit di tingkat in

vivo. Menurut Liu et al. (2007), penghambatan yang kuat terhadap cendawan patogen oleh filtrat biakan bakteri antagonis strain LCH001 pada uji in vitro disebabkan oleh adanya senyawa anticendawan yang diproduksi biakan bakteri tersebut. Namun demikian Mew et al. (2004) mennyatakan bahwa efikasi isolat bakteri antagonis di tingkat in vitro dan in vivo sering menjadi tidak konsisten di lapangan, apabila bakteri antagonis tersebut diaplikasikan pada waktu dan tempat yang berbeda. Mew et al. (2004) menyatakan bahwa efikasi bakteri antagonis dapat ditingkatkan dengan cara mencampurkannya dengan fungisida yang biasa digunakan untuk pengendalian penyakit hawar pelepah padi.

Isolat SS19 menunjukkkan penekanan agak lemah terhadap pertumbuhan R.

solani di tingkat in vitro, tetapi memiliki penekanan cukup kuat terhadap perkembangan gejala penyakit di tingkat in vivo. Hal ini berarti bahwa isolat tersebut memiliki mekanisme antibiosis yang lemah dalam menghambat pertumbuhan R. solani secara langsung, tetapi secara tidak langsung memiliki mekanisme lain yang cukup kuat dalam menekan gejala penyakit saat diaplikasikan ke benih atau tanaman. Dengan kata lain, isolat SS19 tersebut tidak secara langsung menekan pertumbuhan atau perkembangan pathogen, tetapi lebih meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen. Mekanisme ketahanan tanaman yang dipengaruhi oleh bakteri antagonis ini dikenal dengan istilah ketahanan terinduksi secara sistemik (van Loon et al. 1998).

Tidak semua isolat yang memiliki penekanan yang kuat terhadap pertumbuhan R. solani di tingkat in vitro menunjukkan penekanan yang kuat juga terhadap perkembangan gejala penyakit di tingkat in vivo. Isolat bakteri antagonis TB60 dan TS127 yang memiliki penghambatan kuat di tingkat in vitro ternyata isolat tersebut memiliki penekanan kurang kuat terhadap gejala penyakit (indeks

penyakit) di tingkat in vivo. Hal ini mengindikasikan bahwa isolat tersebut menghasilkan senyawa anticendawan pada saat pengujian di tingkat in vitro tetapi senyawa yang sama kurang dihasilkan pada saat pengujian di tingkat in vivo. Di tingkat in vitro, faktor lingkungan seperti nutrisi, suhu, dan faktor lainnya yang mempengaruhi kelangsungan hidup bakteri antagonis relatif mendukung dibandingkan dengan kondisi di tingkat in vivo. Kemungkinan lain adalah isolat- isolat tersebut kurang adaptif ditingkat in vivo sehingga potensi antagonis yang dimilikinya kurang berperan seperti pengujian di tingkat in vitro. Kejadian ini

kemungkinan disebabkan oleh adanya pengaruh lingkungan terhadap

pertumbuhan dan perkembangan isolat yang diaplikasikan. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa respon varietas padi

terhadap patogen R. solani menggunakan metode skrining micro-chamber

ternyata empat belas varietas padi yang diuji semuanya dapat diinfeksi oleh R. solani dan menyebabkan gejala penyakit hawar pelepah. Di antara varietas yang diuji tersebut, varietas Cibogo tergolong agak tahan (indeks penyakit 4,9), tiga varietas tergolong rentan yaitu varietas Inpara 2, Situ Bagendit, dan Membramo masing-masing dengan indeks penyakit 7,1, 7,2, dan 7,9, serta varietas lainnya tergolong pada varietas agak rentan yaitu varietas IR 42, Ciherang, Ciliwung, Way Apo Buru, Inpari 13, Mekongga, Cisantana, Cigeulis, Cilamaya, dan IR 64.

Hasil isolasi bakteri dari sampel tanah, air, dan tanaman padi diperoleh 144 isolat bakteri, dengan 30 isolat diantaranya bersifat antibiosis terhadap R. solani. Hasil pengujian di tingkat in vitro dan in vivo diperoleh tiga isolat bakteri yang cukup potensial sebagai agens hayati, yaitu isolat SS19, TT47, dan BR2. Ketiga agens hayati tersebut memiliki sifat anticendawan dan penekanan terhadap penyakit hawar pelepah padi yang disebabkan oleh R. solani, berturut-turut 56,4%

(SS19), 79,7% (TT47), dan 49,4% (BR2). Isolat bakteri TT47 dan BR2

menunjukkan efikasi yang konsisten baik ditingkat in vitro maupun in vivo, sedangkan isolat SS19 hanya memiliki kemampuan penekanan gejala penyakit hawar pelepah padi yang cukup baik di tingkat in vivo.