• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit hawar pelepah padi pertama kali dilaporkan oleh Miyake tahun

1910 di Jepang. Pada waktu itu penyebab penyakitnya dinamakan Sclerotium

irregulare. Kemudian penyakit yang sama dilaporkan di Filipina, Sri Langka, Cina dan beberapa Negara di Asia yang disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani Kühn. Selain itu penyakit ini juga dilaporkan di India dengan penyebab

penyakitnya diidentifikasi sebagai Thanatephorus cucumeris (Frank) Donk

(CABI 2003). Cendawan R. solani (T. cucumeris) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Fungi; Filum Basidiomycota; Kelas Basidiomycetes; Subkelas Agaricomycetidae; Ordo Ceratobasidiales; Famili Ceratobasidiaceae.

R. solani dapat menyebabkan beberapa macam penyakit pada beberapa jenis tanaman. Pada tanaman padi, gejala penyakit yang disebabkan R. solani berupa bercak-bercak pada pelepah daun. Awalnya bercak berbentuk elips atau oval, agak tidak beraturan, berwarna abu-abu kehijauan, dan ukuran 1-3 cm. Pada bagian tengah bercak berwarna putih keabu-abuan, dengan penggirannya berwarna kecoklatan. Pada bercak dapat terbentuk sklerotia kemudian sklerotia yang terbentuk mudah terlepas. Warna dan ukuran bercak serta pembentukan sklerotia sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Pada kondisi lembab miselium cendawan dapat tumbuh menutupi permukaan pelepah daun dan dapat menyebar hingga jarak beberapa sentimeter dalam waktu 24 jam (Ou 1985).

Di Indonesia penyakit hawar pelepah telah menyebabkan kerugian di beberapa daerah pertanaman padi meskipun belum ada laporan luas kerusakan atau jumlah kerugian secara terperinci. Hasil pengujian penulis terhadap ketahanan 14 varietas unggul baru yang sedang dikembangkan dan ditanam oleh petani saat ini ternyata semua varietas tersebut rentan terhadap penyakit hawar pelepah. Penyakit ini dapat ditemukan di beberapa daerah pertanaman padi terutama pada lokasi pertanaman dengan penggunaan pupuk dosis tinggi (khususnya pupuk N) dan penanaman varietas berdaya hasil tinggi.

R. solani memiliki miselium tidak berwarna ketika masih muda tetapi menjadi coklat kekuningan ketika makin tua, diameternya 8-12 µ m, dengan septa jarang-jarang. R. solani memiliki tiga tipe miselium: pertama hifa pendobrak lurus yang dapat tumbuh sewaktu-waktu, pendek, dan membengkak. Kedua,

miselium yang memiliki banyak cabang atau miselium lobate sebagai tempat

munculnya kapak penetrasi. Miselium lobate menginfeksi jaringan sehingga

terbentuk lesio. Pada batang yang terinfeksi, hifa pendobrak dapat menutupi sebagaian besar batang tetapi miselium lobate hanya dapat ditemukan pada bagian lesio. Ketiga, miselium yang terdiri dari sel-sel moniloid yang berperan dalam pembentukan sklerotia dan biasanya terdapat pada bagian tutup cawan petri atau pada dinding tabung reaksi saat cendawan dibiakan pada wadah tersebut.

Suhu optimum untuk pertumbuhan R. solani adalah 28-31oC, maksimum

40-42oC, dan sedikit atau tidak terjadi sama sekali pertumbuhan pada suhu 10oC. PH minimum, optimum, dan maksimum untuk pertumbuhannya berturut-turut adalah 2.5, 5.4-6.7, dan 7.8. Karbohidrat dalam bentuk monosakarida memberikan pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan karbohidrat dalam bentuk disakarida. Nitrogen organik memberikan pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan nitrogen anorganik. Inositol dan sorbitol merupakan sumber karbon paling baik bagi pertumbuhan miselium sedangkan arginin, urea, threonin, glysin dan ammonium sulfat merupakan sumber nitrogen terbaik bagi pertumbuhan

miselium. Perkecambahan sklerotia terjadi pada suhu 16-30oC, dengan suhu

optimum 28-30o

R. solani dari tanaman padi dapat menginfeksi beberapa tanaman lain, begitu juga dengan R. solani dari tanaman lain dapat menginfeksi tanaman padi. Ada sekitar 188 spesies tanaman dalam 32 famili dan 20 spesies gulma dalam 11 famili dapat diifeksi oleh R. solani yang berasal dari tanaman padi. R. solani dari tanaman padi dapat menginfeksi gulma secara alami, seperti Echinochloa spp. dan Cyperus spp. (Gangopadyay dan Chakrabarti 1982).

C serta kelembaban relatif 95-96% (Ou 1985).

R. solani merupakan cendawan penghuni tanah, dapat hidup sebagai saprofit pada jaringan tanaman yang sudah mati, dan bertahan dalam bentuk miselium atau sklerotia. Kelangsungan hidupnya dalam tanah dipengaruhi oleh faktor tanah dan

mikroorganisme antagonis, seperti bakteri, cendawan dan mikroba antagonis lainnya. Inokulum cendawan dapat menyebar bersama partikel tanah yang terbawa bersama aliran air dan alat-alat pertanian atau bagian tanaman yang terkontaminasi. Namun demikian, inokulum basidiospora kurang berperan dalam penyebaran penyakit karena basidiospora jarang sekali dihasilkan.

Perkembangan penyakit hawar pelepah pada tanaman padi dapat berawal dari kegiatan persiapan lahan. Ketika penggenangan air dilakukan, sklerotia mengapung dipermukaan air kemudian dapat menempel di permukaan tanaman. Sklerotia berkecambah, menghasilkan bantalan infeksi, dan hifa masuk ke dalam jaringan tanaman melalui stomata atau melakukan penetrasi langsung. Dalam jaringan tanaman, miselium membentuk cabang yang banyak dan dalam waktu 24-48 jam bercak dapat terbentuk. Setelah bercak primer ini terjadi, miselium tumbuh di bagian luar dan dalam tanaman dengan cepat. Penyakit kemudian berkembang ke bagian atas tanaman hingga mencapai pelepah dan helaian daun, dan ke bagian samping tanaman menginfeksi anakan atau tunas yang berdekatan. Pada kondisi lingkungan yang cocok, sklerotia dapat dihasilkan dan terlepas kembali ke lahan (CABI 2003). Selain itu, pada kondisi iklim mikro yang cocok bagi perkembangan pernyakit yakni saat kelembaban dan suhu tinggi, biasanya dapat terjadi kerusakan yang parah.

Penyakit hawar pelepah lebih banyak berkembang pada tanah atau tanaman yang dipupuk nitrogen tinggi, varietas rentan, dan lingkungan dengan kondisi panas dan lembab. Penyakit ini juga dapat berkembang pada lahan yang diberi pupuk fosfat tinggi, tetapi perkembangan penyakit dapat terhambat dengan pemberian pupuk kalium. Selain itu penyakit ini dapat berkurang dengan pemberian garam 0.01-1%, aplikasi fungsida, dan antibiotik. Namun demikian, perkembangan penyakit selanjutnya sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan dan kerentanan tanaman inang (Ou 1985).

Pengendalian Penyakit Tanaman dengan Bakteri Agens Hayati

Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 411 tahun 1995, pengertian agens hayati adalah setiap organism yang meliputi spesies, subspecies, varietas, semua jenis serangga, nematode, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organism pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya (Menteri Pertanian RI 1995). Pengertian tersebut memiliki makna lebih luas dibandingkan dengan pengertian agens hayati menurut FAO yang hanya membatasi pada mikroorganisme, yaitu mikroorganisme alami seperti bakteri, cendawan, virus dan protozoa, dan mikroorganisme hasil rekayasa genetika yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (FAO 1988).

Agens hayati yang berasal dari mikroorganisme sudah banyak dimanfaatkan untuk pengendalian hayati penyakit tanaman. Agens hayati tersebut umumnya merupakan mikroorganisme alami, baik yang hidup sebagai saprofit di dalam tanah, sekitar perakaran tanaman, air, filosfir, dan bahan organik, maupun yang hidup di dalam jaringan tanaman (endofit) yang bersifat menghambat pertumbuhan dan berkompetisi dalam ruang dan nutrisi dengan patogen sasaran, atau bersifat menginduksi ketahanan tanaman. Beberapa contoh agens hayati yang sudah dikembangkan sebagai pestisida hayati, diantaranya Bacillus, Pseudomonas kelompok fluoresen, Aktinomiset, dan Trychoderma (Supriadi 2006).

Pestisida hayati (biopesticide) dikembangkan dalam rangka mendukung

sistem pertanian ramah lingkungan yang berkelanjutan. Pestisida hayati diharapkan dapat menekan kehilangan hasil sekaligus meningkatkan kualitas hasil tanaman, serta dapat menjadi teknologi pengendalian penyakit tanaman yang ramah lingkungan. Untuk itu Kementerian Negara Riset dan Teknologi (2006) telah menjadikan pengembangan pestisida hayati menjadi salah satu riset yang mendukung kebijakan untuk menjamin ketersediaan pangan seperti yang tercantum dalam buku putih penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek bidang ketahanan pangan.

Pestisida hayati dapat diformulasi dari biakan agens hayati (sel hidup) atau produk metabolisme sekundernya (tanpa sel hidup) yang bersifat menghambat atau mematikan mikroorganisme penyebab penyakit tanaman. Formulasi agens hayati sebagai pestisida hayati pada prinsipnya adalah mencampurkan agens hayati yang diformulasikan dalam bahan pembawa yang dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan kemampuan bertahan hidup agens hayati saat penyimpanan, mengoptimalkan aplikasi pada sasaran, dan melindungi agens hayati setelah aplikasi. Formulasi agens hayati memiliki beberapa tujuan, diantaranya: (i) untuk menjaga kestabilan agens hayati di lapangan, (ii) menjaga tetap tingginya keefektifan kemampuan agens hayati, (iii) menjaga dan melindungi agens hayati dari kondisi ekstrim, (iv) memudahkan dalam distribusi dan penyimpanan, (v) memudahkan pengaplikasian di lapangan, dan (vi) agens hayati dapat bertahan hidup dan berkembang di areal yang diintroduksikan. Sementara itu faktor utama yang sangat menentukan keberhasilan pengembangan agens hayati untuk pengendalian patogen tanaman adalah ketepatan dalam pemilihan jenis dan sumber agens hayati yang akan dikembangkan.

Vidhyasekaran dan Muthamilan (1999) membuat formulasi P. fluorescens

Pf1 dalam bentuk tepung untuk diperlakukan ke benih, tanah, perakaran, dan daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri pada formulasi tepung yang diaplikasikan sebagai perlakuan benih mampu berkembang baik di rizosfer tanaman padi. Manjula et al. (2004) menemukan bahwa formulasi berbasis sel dari Bacillus subtilis AF1 lebih efektif dibandingkan dengan formulasi berbasis tanpa sel ataupun formulasi berbasis enzim kitinase dalam mengendalikan

beberapa penyakit tanaman. Sementara itu Chumthong et al. (2008) membuat

formulasi endospora B. megaterium dalam bentuk granular dengan sodium

alginat, laktosa, dan polyvinylpyrrolidone menggunakan teknik granula kering ternyata memberikan sifat fisik yang baik, seperti kelarutannya dalam air dan memiliki visikositas yang optimal ketika diaplikasikan melalui penyemprotan. Selain itu populasi bakteri dalam formulasi granular tersebut masih tetap tinggi (109 cfu/g) setelah disimpan pada suhu kamar selama 2 tahun, dengan aktivitas penghambatan tetap stabil terhadap miselium cendawan patogen.

Pengendalian Penyakit Tanaman dengan Senyawa Bioaktif Anticendawan Senyawa antimikrob merupakan suatu subtansi yang dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan suatu mikroorganisme, seperti bakteri, cendawan, atau

protozoa (http://en.wikipedia.org/wiki/Antimicrobial#Antifungals). Senyawa

antimikrob yang hanya dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan cendawan dikenal dengan istilah senyawa anticendawan. Senyawa antimikrob atau anticendawan tersebut dapat dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi, mikroorganisme, dan beberapa hewan tertentu.

Senyawa bioaktif anticendawan yang dihasilkan organisme hidup merupakan produk dari metabolisme sekunder. Metabolit sekunder tersebut dihasilkan organisme untuk merespon keterbatasan nutrisi. Metabolit sekunder yang bersifat antimikrob atau anticendawan hanya dapat dihasilkan oleh organisme tertentu sehingga organisme (mikroorganisme) yang dapat menghasilkan produk tersebut menjadi ciri khas bagi spesies tersebut. Mikroorganisme biasanya menghasilkan senyawa tersebut setelah memasuki fase pertumbuhan sel, diakhir fase log, dan dalam fase stationer pada medium biakan cair. Metabolit sekunder yang dihasilkan mikroorganisme memiliki peranan penting bagi manusia, terutama berpengaruh terhadap kesehatan, nutrisi, dan sosial ekonomi. Beberapa produk metabolit yang dihasilkan mikroorganisme diantaranya antibiotik, reseptor antagonis, efektor, feromon, pestisida, enzim inhibitor, agens anticendawan, obat-obatan, toksin, dan hormon pertumbuhan hewan dan tanaman (Okafor 2007).

Antibiotik merupakan molekul yang dapat menghambat atau mematikan mikroorganisme baik dari jenis bakteri ataupun cendawan. Antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dikenal dengan istilah bakteriostatik, seperti klorampenikol, sedangkan antibiotik yang dapat menyebabkan kematian bakteri dikenal dengan bakterisida, seperti penisilin. Selain itu beberapa antibiotik dapat menunjukkan aktivitas bakteriostatik dalam kondisi tertentu dan aktivitas bakterisida dalam kondisi lain (Walsh 2003).

Antibiotik dapat berupa produk alami atau dibuat secara sintetik untuk menghambat proses tertentu dalam sel mikroorganisme secara selektif. Produk

alami yang memiliki aktivitas antibiotik hampir semuanya berasal dari metabolit sekunder. Antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme diatur secara genetik oleh suatu sistem pengatur yang kompleks. Gen yang mengkode antibiotik diaktifkan ketika bakteri memasuki fase stationer dalam fase pertumbuhannya dan saat berkompetisi dalam mendapatkan nutrisi atau ruang. Walsh et al. (2001) membagi mekanisme kerja antibiotik dalam empat cara yaitu (i) penghambatan biosintesis dinding sel, (ii) penghambatan sintesis protein, (iii) penghambatan sintesis DNA/RNA, dan (iv) penghambatan sintesis prekusor DNA/RNA. Sasaran utama beberapa agens anticendawan pada sel cendawan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Sasaran utama beberapa agens anticendawan pada sel cendawan (Groll dan Korve 2004).

Sampai saat ini sudah banyak dikenal mikroorganisme, khususnya bakteri

penghasil antibiotik, diantaranya Streptomyces, Bacillus, Pseudomonas,

Micrococcus, dan amycolatopsis. Namun demikian, Streptomyces merupakan bakteri penghasil antibiotik yang utama karena lebih dari 55% jenis antibiotik yang dikomersialkan di dunia saat ini dihasilkan oleh kelompok bakteri yang tergolong bakteri gram positif dan berfilamen ini. Beberapa mikroorganisme yang dieksplorasi dari wilayah Indonesia telah ditemukan beberapa jenis antibiotik baru seperti 7-O-malonyl macrolactin A yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis (Tabarez et al. 2006), angucyclinone (Fotso et al 2008a), panglimycine A-F (Fotso et al.

2008b), phenazine dan pyrone (Fotso 2010) yang dihasilkan oleh Streptomyces

Sintesis asam nukleat Dinding sel Echinocandins: -Caspofungin Triazoles: -Fluconazole -Itraconazole -Voriconazole Membran sel Polyenes: -Amphotaricin B -Lipid formulations of ampotaricin B

spp. serta antibiotik limazepine A-F yang dihasilkan Micrococcus sp. (Fotso et al. 2009).

Beberapa contoh antibiotik yang telah digunakan secara luas dalam pengendalian penyakit tanaman adalah streptomisin, tetrasiklin, sikloheksamid, dan blastidin. Contoh antibiotik lain dengan beberapa spesies bakteri yang menghasilkannya adalah pyrrolnitrin, phenazine, dan pyocianin. Pyrrolnitrin

dihasilkan oleh berbagai spesies Pseudomonas yang dapat menghambat

pertumbuhan cendawan dan bakteri namun tidak mematikannya. Antibiotik tersebut disintesis dari asam amino tryptopan. Beberapa spesies yang sudah diketahui menghasilkan pyrolnitrin adalah P. pyrrocina, P. fluorescens BL915, dan P. fluorescens Pf-5 (Pierson 1998). Di Jepang, antibiotik yang banyak

dikembangkan untuk menekan perkembangan Rizoctonia adalah Validamycin dan

Polyoxin sedangkan di Cina yaitu Chingfengmeisu, Jinggangmycin, Hymexazol, dan Bleomycin (Ou 1985).

Beberapa jenis enzim dan substansi lain yang dihasilkan mikroorganisme juga berkaitan langsung dengan potensi antagonis suatu mikroorganisme, seperti enzim kitinase, glukanase, siderofor, asam salisilat, hidrogen sianida, dan sejenisnya. Enzim kitinase secara spesifik dapat menghidrolisis kitin pada ikatan β-1,4 glikosida yang terdapat pada dinding sel cendawan dan organisme lainnya (Adams 2004). Degradasi polimer kitin akan membentuk kitin oligosakarida atau monomer N-asetilglukosamin. Hasil hidrolisis polimer kitin digunakan oleh mikroorganisme kitinolitik sebagai sumber karbon, energi, dan nitrogen (Gooday 1994).

Enzim merupakan senyawa organik yang mengkatalisis semua reaksi kimia dalam sel hidup tanaman, hewan dan mikroorganisme. Enzim-enzim yang diekresikan atau diekstraksi dari organisme penghasil enzim dapat berkerja secara independen diluar pengaruh organisme yang memproduksinya. Enzim terutama mengandung protein, namun demikian beberapa jenis enzim dapat mengandung komponen non-protein (Okafor 2007).

Enzim dan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan mikroorganisme dapat difraksinasi atau diekstraksi menggunakan pelarut tertentu. Selanjutnya

senyawa hasil ekstraksi dapat diaplikasikan untuk mengendalikan mikroorganisme

patogen, seperti cendawan R. solani. Kemampuan suatu bakteri menghasilkan

produk metabolisme tersebut berkorelasi positif dengan potensi antagonistiknya terhadap cendawan patogen (Nagarajkumar et al. 2004).

Sebagian besar enzim bekerja secara khas, yang artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, pH (keasaman), kofaktor, dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan tingkat keasaman optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan fungsinya sama sekali (www.wikipedia.org/wiki/Enzim).

TERHADAP PENYEBAB PENYAKIT HAWAR PELEPAH PADI