• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Dan Pembahasan Sintesis Zeolit A dari Abu Dasar

Nurul Faradilah Said*, Nurul Widiastuti 1 , Hamzah Fansuri 1

3. Hasil Dan Pembahasan Sintesis Zeolit A dari Abu Dasar

Tahap Peleburan

Prinsip metode peleburan ini adalah mereaksikan bahan dasar dengan basa alkali. Pada penelitian ini basa alkali yang digunakan adalah NaOH. Pada metode ini, abu dasar direaksikan dengan NaOH dan dilebur pada suhu yang tinggi yaitu 7500C dalam stainles steel krusibel selama 1 jam. Hal ini bertujuan untuk merubah silika dan alumina dalam abu membentuk produk garam silikat dan aluminat. Garam yang terbentuk ini mempunyai sifat mudah larut dalam air. Dengan melarutnya garam-garam tersebut dalam air, maka akan diperoleh Si dan Al terlarutnya sebagai bahan untuk sintesis zeolit.

Menurut Ojha dkk (2004), reaksi yang terjadi selama proses peleburan antara komponen abu layang SiO2 dan Al2O3 dengan NaOH adalah sebagai berikut;

Hasil yang didapatkan dari peleburan ini adalah produk yang disebut massa peleburan. Massa peleburan yang didapatkan pada penelitian ini berupa padatan berwarna cokelat keabu-abuan seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. (a). Abu Dasar Murni, (b). Abu Dasar Setelah Proses Peleburan dan (c). Zeolit A Perubahan warna ini menunjukkan bahwa komponen abu dasar dengan NaOH telah mengalami reaksi peleburan dan telah berubah menjadi garam alkali. Mekanisme peleburan antara NaOH dengan abu dasar hampir sama dengan yang terjadi pada peleburan antara NaOH dengan abu layang seperti yang dipaparkan oleh Irani (2009) sesuai Gambar 2,

Gambar 2 (a) menunjukkan tahap penyerangan awal terhadap permukaan abu layang . Penyerangan alkali terhadap abu layang ini yaitu dengan merusak rantai silika dan alumina pada permukaan abu layang. Peningkatan konsentrasi larutan alkali yang menyerang abu ini menyebabkan kerusakan rantai silika dan alumina semakin meningkat sehingga perluasan lubang pada permukaan semakin besar (Irani,2009).

Gambar 2 (b) menunjukkan bahwa penyerangan alkali terhadap abu menyebabkan partikel- partikel yang terdapat didalam abu keluar sedangkan larutan alkali akan masuk ke dalam

e t e B K B C q = 1 ln + 1 ln b RT B1 =

2NaOH(s) + Al2O3(s) 2NaAlO2(s) + H2O(g) 2NaOH(s) + SiO2(s) Na2SiO3(s) + H2O(g)

10NaOH(s) + 2SiO2.3Al2O3(s) 2Na2SiO3(s) + 6NaAlO2(s) + 2O(g)

abu layang kemudian gugus

bereaksi dengan larutan NaOH membentuk produk

dihasilkan akan memenuhi lapisan abu layang baik didalam

hampir semua partikel abu layang yang terkonsumsi itu bereaksi dengan NaOH seperti yang terlihat pada Gambar 2 (c)

Gambar 2 (c) menunjukkan mekanisme yang terlibat dalam tahap ini adalah tahap pelarutan dimana alkali akan

lapisan abu layang, seperti Gambar 2 (d).

Gambar 2. Diagram modifikasi abu layang oleh larutan alkali (Irani,2009). Gambar (d) merupakan salah satu akibat dari produk reaksi yang terb

endapan pejal akan menutupi permukaan abu layang. Endapan seperti kerak ini menyebabkan permukaan abu layang menjadi kasar seperti yang Gambar (e). Gambar 2 (e) menunjukkan proses yang terjadi sepenuhnya seragam atau sama melainkan berva

ukuran partikel dan kondisi reaksi kimia seperti pH. Perbedaan morfologi dari abu layang hasil modifikasi meliputi morfologi partikel abu layang yang tidak bereaksi, partikel abu layang terserang larutan alkali, produ

Menurut Irani (2009), abu yang sudah dilebur dengan NaOH strukturnya akan berbentuk kasar. Hal ini sesuai pada Gambar 3 tentang morfologi abu dasar sesudah dilebur dengan NaOH

Gambar 3 Abu dasar

Pelarutan Si dan Al

Pelarutan Si dan Al dilakukan pada massa peleburan yang telah didapatkan. Proses pelarutan massa peleburan campuran NaOH dengan abu dasar dan aqua DM ditunjukkan pada persamaan reaksi yang berikut;

Na2SiO3(s) + H2O(l ) Na NaAlO2(s) + 2H2O(l) NaAl(OH)

abu layang kemudian gugus-gugus yang aktif yang terdapat didalam silika dan alumina akan bereaksi dengan larutan NaOH membentuk produk-produk silika dan aluminat. Produk reaksi yang dihasilkan akan memenuhi lapisan abu layang baik didalam maupun diluar permukaannya, hingga hampir semua partikel abu layang yang terkonsumsi itu bereaksi dengan NaOH seperti yang terlihat pada Gambar 2 (c)

Gambar 2 (c) menunjukkan mekanisme yang terlibat dalam tahap ini adalah tahap pelarutan dimana alkali akan menembus dan kontak dengan partikel-partikel yang terdapat didalam lapisan abu layang, seperti Gambar 2 (d).

Diagram modifikasi abu layang oleh larutan alkali (Irani,2009). Gambar (d) merupakan salah satu akibat dari produk reaksi yang terb

endapan pejal akan menutupi permukaan abu layang. Endapan seperti kerak ini menyebabkan permukaan abu layang menjadi kasar seperti yang Gambar (e). Gambar 2 (e) menunjukkan proses yang terjadi sepenuhnya seragam atau sama melainkan bervariasi, tergantung dari distribusi ukuran partikel dan kondisi reaksi kimia seperti pH. Perbedaan morfologi dari abu layang hasil modifikasi meliputi morfologi partikel abu layang yang tidak bereaksi, partikel abu layang terserang larutan alkali, produk reaksi dan lain- lain (Irani, 2009).

Menurut Irani (2009), abu yang sudah dilebur dengan NaOH strukturnya akan berbentuk kasar. Hal ini sesuai pada Gambar 3 tentang morfologi abu dasar sesudah dilebur dengan NaOH

Abu dasar (a). murni dan (b). setelah peleburan dengan NaOH

Pelarutan Si dan Al dilakukan pada massa peleburan yang telah didapatkan. Proses pelarutan massa peleburan campuran NaOH dengan abu dasar dan aqua DM ditunjukkan pada

berikut;

) Na2SiO3(aq) ) NaAl(OH)4(aq)

gugus yang aktif yang terdapat didalam silika dan alumina akan produk silika dan aluminat. Produk reaksi yang maupun diluar permukaannya, hingga hampir semua partikel abu layang yang terkonsumsi itu bereaksi dengan NaOH seperti yang Gambar 2 (c) menunjukkan mekanisme yang terlibat dalam tahap ini adalah tahap partikel yang terdapat didalam

Diagram modifikasi abu layang oleh larutan alkali (Irani,2009).

Gambar (d) merupakan salah satu akibat dari produk reaksi yang terbentuk yang berupa endapan pejal akan menutupi permukaan abu layang. Endapan seperti kerak ini menyebabkan permukaan abu layang menjadi kasar seperti yang Gambar (e). Gambar 2 (e) menunjukkan proses riasi, tergantung dari distribusi ukuran partikel dan kondisi reaksi kimia seperti pH. Perbedaan morfologi dari abu layang hasil modifikasi meliputi morfologi partikel abu layang yang tidak bereaksi, partikel abu layang yang Menurut Irani (2009), abu yang sudah dilebur dengan NaOH strukturnya akan berbentuk kasar. Hal ini sesuai pada Gambar 3 tentang morfologi abu dasar sesudah dilebur dengan NaOH

setelah peleburan dengan NaOH (Yanti,2009).

Pelarutan Si dan Al dilakukan pada massa peleburan yang telah didapatkan. Proses pelarutan massa peleburan campuran NaOH dengan abu dasar dan aqua DM ditunjukkan pada

Campuran hasil pelarutan Si dan Al kemudian difiltrasi menggunakan kertas saring whatman dan corong buchner dengan bantuan pompa vakum. Filtrat yang telah terpisah dari endapannya diambil sebagian untuk dianalisis konsentrasi Si, Al dan Na terlarutnya menggunakan metode Atomic Emission Spectrometry (ICP AES). Data ini nantinya akan digunakan untuk mengatur komposisi molar antara Si dan Al sebesar 1,926 untuk didapatkan zeolit A. Hasil analisis menggunakan ICP AES ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 1. Data konsentrasi Si, Al dan Na terlarut No Konsentrasi Filtrat (ppm)

Si Al Na

1 5835,4 271,0 25053,3

Proses Kritalisasi Hidrotermal

Gel untuk kristalisasi zeolit A dipreparasi dari filtrat hasil pelarutan Si dan Al yang telah diketahui komposisi mol Si, Al dan Na nya dan dicampur dengan larutan NaAlO2-NaOH sebagai sumber Al tambahannya. Preparasi gel untuk sintesis zeolit A pada penelitian ini diatur pada rasio molar gel SiO2/Al2O3 1,926 dimana rasio molar 1,926 merupakan kondisi yang sesuai untuk sintesis zeolit A, sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Robson (2001).

Untuk pembuatan gel, larutan natrium aluminat (NaAlO2) ditambahkan pada ekstrak leburan abu. Gel yang telah dipreparasi selanjutnya dikristalisasi menjadi kristal aluminosilikat (zeolit A) secara hidrotermal dalam autoklaf stainles steel. Kristalisasi ini juga menggunakan endapan hasil pelarutan Si dan Al agar didapatkan zeolit dalam jumlah yang banyak. Kristalisasi pada penelitian ini dilakukan pada 100°C selama 12 jam (Yanti,2009).

Oleh Ojha dkk. (2004), proses kristalisasi yang berlangsung dapat ditunjukkan pada persamaan reaksi berikut.

NaOH(aq)+NaAl(OH)4(aq)+Na2SiO3(aq)Suhu Kamar [Nax(AlO2)y (SiO2)z.NaOH.H2O](gel)Suhu 373,3oC Nap[(AlO2)p(SiO2)q]. h H2O (Kristal dalam suspensi)

Zeolit hasil sintesis pada penelitian ini dianalisa menggunakan XRD seperti dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil ini menunjukkan hasil yang sama dengan peneliitan Yanti (2009).

Hampir semua puncak-puncak yang muncul pada pola XRD merupakan puncak-puncak karakteristik zeolit A, walaupun ada puncak zeolit Hidroksi-sodalit yang muncul pada 2θ = 13,9, Zeolit A ini juga dianalisis menggunakan SEM untuk megetahui gambar morfologinya dan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Difraktogram sinar-X dari Zeolit A hasil sintesis dari abu dasar batubara PT IPMOMI Paiton dengan data PDF no 39-0222

Gambar 5. Mikrograf SEM hasil sintesis zeolit A dengan perbesaran 1.000x dan 10.000x (suhu 100 ºC selama 12 jam hidroterm

Selanjutnya adalah tahap pengujian zeolit hasil sintesis terhadap kemampuan adsorpsi ion logam Cu(II). Kemampuan zeolit A untuk mengadsorpsi ion logam Cu(II) ini dibandingkan dengan abu dasar. Hal ini bertujuan untuk melihat kapasitas adsorpsi menggunakan abu dasar murni apakah hasilnya lebih baik daripada menggunakan zeolit A. Untuk melihat k

maka penelitian ini dilakukan beberapa variasi yaitu variasi waktu, konsentrasi awal, pH dan suhu. Penentuan Waktu Setimbang

Variasi waktu kontak dilakukan untuk menentukan waktu setimbang dari adsorpsi. Waktu setimbang ini merupakan kondisi maksimum adsorben untuk menyerap ion logam Cu(II). variasi waktu kontak antara ion

pada Gambar 6.

Kapasitas penyerapan adsorben meningkat tajam pada menit mencapai waktu kesetimbangan akan mencapai keadaan konstan. H banyak sisi adsorben yang kosong

semakin tinggi. Dengan bertambahnya waktu kontak

permukaan adsorben semakin meningkat hingga tercapai titik setimbang. Pada saat mencapai titik kesetimbangan, permukaan adsorben telah penuh tertutupi oleh logam yang diserap dan adsorben mengalami titik jenuh sehingga adsorben tidak da

Gambar 6. Hubungan waktu kontak (menit) dengan

adsorben 0,5 gram, volume 100 ml, konsentrasi awal 50 mg/l, Dari grafik diatas terlihat bahwa kapasitas penyerap

hasilnya tidak terlalu jauh berbeda dengan menggunakan dasar terdapat beberapa komponen seperti silika, alumina dalam proses adsorpsi (Lim

dasar dapat digunakan sebagai adsorben untuk menghilangkan logam dalam larutan karena dalam abu dasar terkandung beberapa komponen dalam bentuk oksida yang relatif besar. Bentuk oksida ini antara lain SiO2, Al2O3

0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 q t (m g /g )

Mikrograf SEM hasil sintesis zeolit A dengan perbesaran 1.000x dan 10.000x (suhu 100 ºC selama 12 jam hidrotermal) (Yanti,2009).

Selanjutnya adalah tahap pengujian zeolit hasil sintesis terhadap kemampuan adsorpsi ion ogam Cu(II). Kemampuan zeolit A untuk mengadsorpsi ion logam Cu(II) ini dibandingkan dengan abu dasar. Hal ini bertujuan untuk melihat kapasitas adsorpsi menggunakan abu dasar murni apakah hasilnya lebih baik daripada menggunakan zeolit A. Untuk melihat k

maka penelitian ini dilakukan beberapa variasi yaitu variasi waktu, konsentrasi awal, pH dan suhu. Penentuan Waktu Setimbang

Variasi waktu kontak dilakukan untuk menentukan waktu setimbang dari adsorpsi. Waktu n kondisi maksimum adsorben untuk menyerap ion logam Cu(II). antara ion logam Cu(II) dan adsorben, yaitu zeolit A dan

Kapasitas penyerapan adsorben meningkat tajam pada menit-mencapai waktu kesetimbangan akan menit-mencapai keadaan konstan. Hal ini

banyak sisi adsorben yang kosong, sehingga kecendurangan larutan untuk terserap ke adsorben engan bertambahnya waktu kontak, jumlah adsorbat ya

permukaan adsorben semakin meningkat hingga tercapai titik setimbang. Pada saat mencapai titik kesetimbangan, permukaan adsorben telah penuh tertutupi oleh logam yang diserap dan adsorben mengalami titik jenuh sehingga adsorben tidak dapat menyerap logam lagi.

. Hubungan waktu kontak (menit) dengan kapasitas adsorpsi (q adsorben 0,5 gram, volume 100 ml, konsentrasi awal 50 mg/l, Dari grafik diatas terlihat bahwa kapasitas penyerapan ion logam Cu

hasilnya tidak terlalu jauh berbeda dengan menggunakan abu dasar, hal ini dikarenakan dalam abu dasar terdapat beberapa komponen seperti silika, alumina, kalsium dan besi yang berperan juga Lim et al, 1997). Sook shim et al (2003) juga membenarkan bahwa abu dasar dapat digunakan sebagai adsorben untuk menghilangkan logam dalam larutan karena dalam abu dasar terkandung beberapa komponen dalam bentuk oksida yang relatif besar. Bentuk oksida 3, CaO dan Fe2O3. Jumlah komponen ini mencapai 90,79% dalam abu

200 400 600 800 1000 1200 1400

waktu (menit)

abu dasar zeolit

A

Mikrograf SEM hasil sintesis zeolit A dengan perbesaran 1.000x dan 10.000x (suhu Selanjutnya adalah tahap pengujian zeolit hasil sintesis terhadap kemampuan adsorpsi ion ogam Cu(II). Kemampuan zeolit A untuk mengadsorpsi ion logam Cu(II) ini dibandingkan dengan abu dasar. Hal ini bertujuan untuk melihat kapasitas adsorpsi menggunakan abu dasar murni apakah hasilnya lebih baik daripada menggunakan zeolit A. Untuk melihat kapasitas adsorpsinya maka penelitian ini dilakukan beberapa variasi yaitu variasi waktu, konsentrasi awal, pH dan suhu.

Variasi waktu kontak dilakukan untuk menentukan waktu setimbang dari adsorpsi. Waktu n kondisi maksimum adsorben untuk menyerap ion logam Cu(II). Hasil dan abu dasar ditunjukkan -menit awal dan setelah al ini karena pada awalnya sehingga kecendurangan larutan untuk terserap ke adsorben , jumlah adsorbat yang terserap pada permukaan adsorben semakin meningkat hingga tercapai titik setimbang. Pada saat mencapai titik kesetimbangan, permukaan adsorben telah penuh tertutupi oleh logam yang diserap dan adsorben

pat menyerap logam lagi.

qt) (mg/g) dengan jumlah adsorben 0,5 gram, volume 100 ml, konsentrasi awal 50 mg/l, suhu 270C dan pH 6

logam Cu(II) oleh Zeolit A , hal ini dikarenakan dalam abu dan besi yang berperan juga Sook shim et al (2003) juga membenarkan bahwa abu dasar dapat digunakan sebagai adsorben untuk menghilangkan logam dalam larutan karena dalam abu dasar terkandung beberapa komponen dalam bentuk oksida yang relatif besar. Bentuk oksida . Jumlah komponen ini mencapai 90,79% dalam abu

1400 1600

dasar yang digunakan dalam penelitian ini dengan komponen yang terbesar yaitu Fe2O3 sebanyak 33,59%; SiO2 sebanyak 24,1%; CaO sebanyak 26,3% dan Al2O3 sebanyak 6,8% (Yanti, 2009).

Banyaknya komponen inilah yang menyebabkan abu dasar dapat menyerap ion logam Cu(II) secara maksimal dan hampir mendekati kapasitas penyerapan ion logam Cu(II) menggunakan zeolit A. Mekanisme penghilangan logam menggunakan abu dasar termasuk dalam jenis adsorpsi dan reaksi pengendapan (Sook Shim et al, 2003). Secara umum, antara adsorpsi dan proses pengendapan melibatkan antara ikatan logam dengan permukaan fasa padat. Hal ini sangat sulit membedakan antara adsorpsi logam dan pengendapan logam. Lim et al (1997) menjelaskan bahwa logam berat dapat teradsorpsi kuat dalam permukaan abu dasar mengikuti persamaan sebagai berikut:

Fe-OH + M2+ + H2O  Fe-O-MOH + 2H+

Berbeda halnya dengan abu dasar, mekanisme penghilangan logam menggunakan zeolit termasuk reaksi pertukaran ion. Zeolit mempunyai pori dan berongga serta memiliki ikatan yang lemah dengan kation lain, sehingga jika zeolit ini dikontakkan dengan logam maka bisa terjadi pertukaran ion. Zeolit ini dapat digunakan sebagai adsorben untuk menghilangkan logam dalam larutan karena zeolit mempunyai muatan negatif akibat adanya perbedaan muatan antara Si 4+ dengan Al 3+.

Muatan negatif ini muncul karena atom Al yang bervalensi 3 harus mengikat 4 atom oksigen yang lebih elektronegatif dalam kerangka zeolit. Dengan adanya muatan negatif ini maka zeolit mampu mengikat kation dengan ikatan yang lemah seperti kation Na dan Ca. Karena lemahnya ikatan inilah maka zeolit bersifat sebagai penukar kation yaitu kation Na atau Ca akan tergantikan posisinya dengan ion logam Cu(II). Adsorpsi kation logam berat terjadi pada permukaan dengan grup hidroksil pada zeolit dan kombinasi muatan positif dari kation logam dan muatan negatif pada permukaan zeolit (Qiu,2008).

Variasi Konsentrasi Awal

Variasi konsentrasi awal ini dilakukan untuk mengetahui pola penyerapan ion logam Cu(II) menggunakan zeolit A dan abu dasar. Hasil dari penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Hubungan konsentrasi awal (mg/l) dengan kapasitas adsorpsi, qe (mg/g) dengan jumlah adsorben 0,5 gram, volume 100 ml, waktu 6 jam, suhu 350C dan pH 6

Kemampuan penyerapan ion logam Cu(II) meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ion logam Cu(II). Hal ini karena meningkatnya konsentrasi awal ion logam Cu(II) akan memberikan daya dorong yang lebih besar, sehingga ion logam Cu(II) akan berpindah (migrasi) dari permukaan luar ke dalam pori-pori zeolit A yang berukuran mikro. Ion logam Cu(II) mampu bertukar kation tidak hanya pada permukaan luar zeolit tapi juga pada permukaan dalam zeolit. Kesetimbangan tercapai ketika semua pertukaran ion logam Cu(II) dan kation pada perrmukaan luar dan dalam zeolit A telah tercapai.

-0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 0 10 20 30 40 50 60 Co (mg/l) q e ( m g /g )

Hal yang terjadi pada zeolit juga terjadi dalam adsorben abu dasar. Semakin besar konsentrasi awal ion logam Cu(II) maka jumlah logam yang teradsorp juga semakin besar. Ini disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi yang diberikan akan memberikan daya dorong yang lebih besar terhadap logam untuk teradsorp dan pindah ke permukaan abu dasar.

Variasi pH

Variasi pH ini dilakukan untuk mengetahui kondisi pH yang optimum untuk penyerapan ion logam Cu(II). Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 8. Gambar 8 menunjukkan pengaruh pH terhadap kapasitas penyerapan ion logam Cu(II). Dari Gambar 8 dapat diketahui bahwa penyerapan ion logam Cu(II) maksimal pada abu dasar terjadi pada pH 9 dengan persen teradsorp mencapai 90,47% dan pada zeolit A terjadi pada pH 8 hingga mencapai 83,35%. Secara umum besarnya logam yang teradsorp akan naik pada pH lebih besar dari 6. Pada pH yang rendah dan bersifat asam akan menyebabkan konsentrasi ion H+ akan naik dan akan terjadi kompetisi antara ion H+ dan ion logam untuk bertukar tempat dengan kation lain pada adsorben zeolit (Chunfeng,2009). Adanya kompetisi antara ion H+ dengan ion logam ini dapat menyebabkan rusaknya struktur zeolit karena adanya kompetisi pertukaran ion sehingga menyebabkan penurunan kapasitas adsorpsi terhadap ion logam (Chunfeng,2009).

Gambar 8. Hubungan pH dengan kapasitas adsorpsi, qe (mg/g) dengan jumlah adsorben 0,5 gram, volume 100 ml, waktu 6 jam, suhu 270C dan konsentrasi awal 50 mg/l

Sedangkan pada pH yang tinggi dapat menyebabkan semakin banyaknya logam hidroksida yang mengendap dan mengurangi ion logam dari larutan (Chunfeng,2009). Pada pH yang tinggi ini, kompetisi ion H+ sebagai kompetitor ion logam akan menurun karena larutan bersifat basa. Dengan menurunnya ion H+ ini maka ion logam dapat teradsorp secara maksimal (Wang, 2008). Peneliti lain juga melaporkan bahwa penyerapan ion logam Cu(II) naik seiring dengan naiknya pH. Hal ini dikarenakan pada pH rendah menyebabkan meningkatnya konsentrasi ion H+ sehingga terjadi kompetisi antara ion logam Cu(II) dengan ion H+ yang terikat pada abu dasar maupun zeolit (Hui et al, 2005).

Berbeda halnya yang terjadi pada abu dasar, pada pH tinggi menyebabkan permukaan abu bermuatan negatif dan meningkatkan persen penghilangan logam. Hal ini disebabkan karena adanya kontribusi kandungan SiO2, Al2O3, Fe2O3 yang memberikan alkalinitas dan menaikkan sistem pH. Sedangkan pada pH rendah menyebabkan permukaan abu bermuatan positif dan membentuk logam hidroksil.

Variasi Suhu

Variasi suhu ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap penyerapan ion logam Cu(II). Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu operasi maka semakin sedikit ion logam Cu(II) yang terserap oleh zeolit A dan abu dasar. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu operasi maka semakin tinggi pergerakan ion sehingga jumlah ion Cu(II) yang terserap oleh zeolit dan abu dasar semakin berkurang (Kundari, 2008).

2 3 4 5 6 7 8 9 10 2 4 6 8 10 12 pH q e ( m g /g )

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Chunfeng (2009) yaitu pada adsorpsi fisik, adsorpsi semakin kecil dengan meningkatnya suhu. Hal ini dikarenakan dengan kenaikan suhu menyebabkan desorpsi semakin besar.

Gambar 9. pengaruh konse

(a). Adsorben abu dasar, (b). Adsorben zeolit. gram, volume 100 ml,

Kinetika Adsorpsi

Dari data hasil variasi waktu maka dapat d

ini akan sangat bermanfaat apabila adsorpsi ini diaplikasikan untuk sistem kolom dalam skala industri. Data kinetika dalam penelitian ini dianalisa dengan beberapa model. Hasil dapat dilihat di Gambar 10. Nilai parameter adsorpsi kinetik dari lima model dirangkum dalam Tabel 2. Dari data Gambar 10 dan Tabel 2 dapat diketahui bahwa adsorpsi ion logam Cu(II) menggunakan abu dasar dan zeolit A mengikuti model orde satu semu. Hal ini dapat disimpulkan jenis modeln

dengan nilai R2 yang mendekati satu, dimana nilai R ini merupakan nilai koefisien korelasi dari grafik. Nilai R semakin mendekati satu memiliki data yang linier.

Isoterm Adsorpsi

Dari data hasil variasi konsentrasi maka dapat ditentukan data mo

Hal ini untuk mengetahui model isoterm dan untuk mengetahui jenis adsorpsi yang terjadi. Setelah mengetahui jenis adsorpsi yang terjadi maka dapat diketahui ikatan yang terjadi. Data ini sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah a

tidak. Data isoterm dalam penelitian ini dianalisis dengan beberapa model. Hasil dapat dilihat di Gambar 11. Nilai parameter adsorpsi isoterm dari tiga model dirangkum dalam Tabel 3.

Tabel 2 Adsorben Abu dasar

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Chunfeng (2009) yaitu pada adsorpsi fisik, adsorpsi semakin kecil dengan meningkatnya suhu. Hal ini dikarenakan dengan kenaikan suhu menyebabkan desorpsi semakin besar.

pengaruh konsentrasi awal dengan qe (mg/g) dalam keadaan suhu yang berbeda (a). Adsorben abu dasar, (b). Adsorben zeolit. Kondisi proses: jumlah adsorbent 0,5 gram, volume 100 ml, waktu 6 jam dan pH 6.

Dari data hasil variasi waktu maka dapat ditentukan data model kinetika adsorpsinya. Hal ini akan sangat bermanfaat apabila adsorpsi ini diaplikasikan untuk sistem kolom dalam skala industri. Data kinetika dalam penelitian ini dianalisa dengan beberapa model. Hasil dapat dilihat di i parameter adsorpsi kinetik dari lima model dirangkum dalam Tabel 2. Dari data Gambar 10 dan Tabel 2 dapat diketahui bahwa adsorpsi ion logam Cu(II) menggunakan abu dasar dan zeolit A mengikuti model orde satu semu. Hal ini dapat disimpulkan jenis modeln

yang mendekati satu, dimana nilai R ini merupakan nilai koefisien korelasi dari grafik. Nilai R semakin mendekati satu memiliki data yang linier.

Dari data hasil variasi konsentrasi maka dapat ditentukan data model isoterm adsorpsinya. Hal ini untuk mengetahui model isoterm dan untuk mengetahui jenis adsorpsi yang terjadi. Setelah mengetahui jenis adsorpsi yang terjadi maka dapat diketahui ikatan yang terjadi. Data ini sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah adsorben yang digunakan dapat diregenerasi ulang atau