• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabupaten Aceh Besar

3. Hasil dan Diskusi

Kearifan lokal hakikatnya berpangkal pada sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya (Nurjaya, 2008). Ia dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan Yang Gaib (Keraf, 2005). Fungsi kearifan lokal, antara lain untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam, bermakna sosial, etika dan moral (Mariane, 2014).

Dalam kenyataan, kearifan lokal sering dianalog dengan hukum adat. Padahal kearifan lokal lebih luas maknanya dari sekedar hukum adat. Hukum adat sebagai tatanan hukum (Salman, 2002). Pengertian hukum adat banyak menerima hukum agama (Slaats, 1993). Ia juga dipengaruhi konsep barat (Koesnoe, 1992). Makanya dalam konteks politik hukum negara cenderung memfokuskan diri pada hukum tertulis (Davidson, 2010).

Dalam konteks Aceh, penting cakupan kearifan lokal, selain hukum adat, juga terdapat hadih maja, haba peuingat, bahkan bentuk-bentuk hukum lokal baru. Kondisi yang meluas ini, memungkinkan, setidaknya melihat hadih maja, yang menggambarkan karakter orang Aceh yang dominan (Rasyid, 2009). Hadih maja umum yang terkenal adalah sebagaimana disebut dalam penjelasan UU 44/1999 dan UU 18/2001, “adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana” yang artinya “hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama”. Dengan hadih maja, dapat dipahami adanya kaitan hukum dan adat,

“Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut”, dan adat bersendikan agama, “Hukum ngon adat han jeut cre lagee mata itam ngon mata puteh”. Melalui hadih maja, orang Aceh

diingatkan, “Adat meukoh reubong, Hukom meukoh purieh, Adat jeut barangkaho takong, Hukom han jeut beurangkaho ta kieh (adat boleh dibuat bagaimana yang baik, namun hukum harus dijalankan lurus, adat boleh bagaimana yang enak dijalankan, hukum tidak boleh sembarangan didebatkan).

Dengan demikian membicarakan kearifan lokal tidak berhenti pada hukum adat semata. Masalah adat terkait dengan sistem, yang dalam pemaknaannya tidak bisa berhenti pada adat, melainkan hukum adat. Dengan hukum adat mekanisme pelaksanaan dan penegakan hukum bisa dilaksanakan (Wawancara Pakar Adat, 22/03/2015).

Berbicara hukum adat dalam wilayah pesisir, tidak bisa dilepaskan dari empat hal yang menjadi penentu keberadaan sekaligus efektivitasnya (Pakar Adat, 22/03/2015).

Semuanya dilihat saling terkait, meliputi hukum adat laot, pantang laut, sanksi, dan khanduri laot (Wawancara Panglima Laot Aceh Besar, 29/12/2014).

Konsep hukum adat laot sendiri dilihat menurut konteks (Imran dan Yamao, 2014). Ada penataan kawasan pantai untuk ruang pantai, yang berimplikasi kepada rantai ekosistem di laut. Di dalam laut, pemanfaatan sumber daya juga tidak boleh semena, karena terkait dengan bencana sosial.

Berbagai hukum adat laut, secara periodik disosialisasikan baik ke dalam maupun ke luar. Secara internal, menuju internalisasi nilai. Secara eksternal, memperkenalkan hukum adat laut baik dalam bentuk sosialisasi secara horizontal dan kepada pemerintah. Di samping itu, hukum adat laut juga mengatur pemanfaatan pesisir sesuai dengan tata ruang adat (Panglima Laot, 29/12/2014). Hal terakhir belum mendapat pengakuan sepenuhnya dari hukum negara.

Berbagai fakta di atas, merupakan potensi bagi terjadinya bencana di Aceh, baik bencana alam maupun bencana sosial yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau maupun faktor manusia (Pasal 1 angka (1) UU 24/2007). Dalam proses mitigasi, hukum negara membatasi hukum adat. Konsep UU 24/2007, mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat melalui pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan insfrastruktur, tata bangunan, dll (Pasal 47).

Dalam konteks pesisir, mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir (Pasal 1 angka 25 UU 1/2014 tentang Perubahan UU 27/2007).

Dalam UU Pesisir, mitigasi bencana dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melalui penyusunan rencana pengelolaan (Pasal 56). Mitigasi dilakukan dengan melibatkan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat (Pasal 57). Penyelenggaraan mitigasi bencana wilayah pesisir memperhatikan aspek: (a) sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat; (b) kelestarian lingkungan hidup; (c) kemanfaatan dan efektivitas; serta (d) lingkup luas wilayah (Pasal 58). Instansi berwenang yang menentukan mitigasi bencana yang dilakukan setiap orang yang melaksanakan kegiatan yang berpotensi mengakibatkan wilayah pesisir (Pasal 59).

Setelah lahirnya UU 11/2006, posisi terakomodir tidaknya hukum adat dalam ruang adat, dapat ditelusuri dengan keberadaan mukim sebagai masyarakat hukum adat.

Sesuai dengan Qanun Mukim (Qanun Aceh Besar 8/2009), menjelaskan tiga hal penting: Pertama, dikenal adanya harta kekayaan mukim sebagai harta kekayaan yang dikuasai oleh mukim. Kedua, tanah ulayat adalah tanah yang berada dalam wilayah

Gambar 1. Segi Hukum Adat

mukim yang dikuasai dan diatur oleh hukum adat. Ketiga, adanya tugas dan kewajiban Imum Mukim dalam memelihara kelestarian fungsi ekologi dan sumberdaya alam.

Terdapat dua hal krusial yang menarik terkait dengan pengaturan di atas, yakni:

Pertama, dalam qanun-qanun tersebut ditentukan bahwa ulayat yang dikuasai mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, jenis dan jumlah kekayaan Mukim harus diinventarisaikan dan didaftarkan serta pemanfaatannya diatur oleh Bupati berdasarkan atas kesepakatan Musyawarah Mukim.

Pada dasarnya, dua hal tersebut adalah gambaran bahwa belum semua yang terkait mukim sudah jelas dan konkret untuk bisa dijalankan. Masih ada klausul yang membatasi mukim. Padahal dalam penjelasan Qanun Mukim Aceh Besar, harta kekayaan Mukim darat dan laut, antara lain wilayah laut, sampai batas pukat darat (sekitar 300-500 meter dari bibir pantai), antara lain dalam pengaturan jermal, keramba, rumput laut, kerang, dsb. Di samping itu, teluk yang menjorok ke darat tidak terlalu jauh.

Termasuk di dalamnya delta (pante), pantai laut (pasi), laut (laoet), kuala, dan lain-lain.

Pasal 162 ayat (2) huruf (e) UU 11/2006 mengatur kewenangan pemeliharaan

“hukum adat laut”. Menurut hukum administrasi, kewenangan adalah apa yang disebut

“kekuasaan formal” yang berasal dari legislatif (diberi undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan adalah hak menggunakan wewenang yang dimiliki pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku (Firmansyah, 2014).

Kewenangan diperoleh melalui sumber atributif, delegasi, dan mandat (Hadjon, 1994).

Dengan posisi mukim, Qanun RTRWA Tahun 2013-2033, disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh tanggal 27 Desember 2013 (Qanun 19/20013) tidak mengakomodir ruang adat mukim. Pengakuan tersebut juga tidak ditemui secara tegas dalam Qanun RPJMA 12/2013 dan Qanun PPLH 2/2011.

Hal yang sama ditemui dalam Qanun Aceh Besar 4/2013. Posisi ruang mukim tidak mendapat tempat yang jelas. Padahal pengakuan keberadaan ruang adat Mukim

dalam RTRWK sangat penting, karena dalam Qanun Pemerintahan Mukim, sudah menyebut wilayah kelola Mukim di darat dan di perairan saja.

Terkait dengan penanggulangan bencana, terdapat UU No. 24/2007, yang mengatur tujuan penanggulangan bencana adalah untuk menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. UU ini menegaskan Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab menyelenggaraan dengan memadukan penjaminan pemenuhan hak korban bencana, perlindungan dari dampak, pengurangan risiko yang diselaraskan dengan program pembangunan, dan alokasi APBD yang pro mitigasi bencana. Untuk melaksanakan hal tersebut, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan, antara lain dengan penetapan kebijakan penanggulangan bencana.

Dengan gambaran di atas, tampak bahwa mitigasi bencana dan kearifan lokal, dalam hukum negara sangat kompleks, sehingga hubungan dan kepentingan memungkinkan terjadinya kontestasi.

Dengan melihat konteks sektoral, maka secara nasional, terkait sumber daya alam, terbagi dalam enam sektor: (1) energi dan sumber daya mineral; (2) kehutanan;

(3) sumber daya air; (4) kelautan dan perikanan; (5) pertanian dan perkebunan; (6) pertanahan (Arizona, 2014). Dengan demikian, ruang pesisir sendiri, termasuk dalam hubungannya dengan kearifan lokal, tidak mungkin dilepaskan dari berbagai sektor tersebut. Sesungguhnya hukum menyediakan asas untuk penyelesaian ini, yang menggambarkan bahwa peluang kontestasi tersebut, tidak memiliki keberpihakan besar terhadap hukum adat dan kearifan lokal. Asas hukum yang jamak adalah: hukum khusus vs hukum umum; hukum awal vs hukum akhir; dan hukum tinggi vs hukum rendah.

Menghadapi kondisi demikian, makalah ini menawarkan pentingnya ada interaksi hukum negara dan hukum adat secara lebih adil. Interaksi yang ditawarkan adalah konsep pluralisme hukum menurut Griffith (Griffith, 1986). Griffith membagi pluralisme hukum tersebut ke dalam dua situasi, yakni pluralisme hukum yang kuat dan yang lemah. Pluralisme hukum yang kuat berlaku pada situasi dimana suatu masyarakat tidak hanya tunduk pada hukum negara. Sementara pluralisme hukum yang lemah mengacu pada ideologi sentralisme hukum, di mana semua hukum harus diatur terlebih dahulu melalui hukum negara.

Aceh sepertinya berada pada jenis pluralisme hukum lemah. Dalam konteks ini, ada bagian hukum adat yang “diakui” melalui hukum negara. Posisi ini dapat dijadikan ruang bagi interaksi hukum negara dan hukum adat yang ideal. Relasi yang harus terbangun adalah adanya peranan moral manusia sebagai bagian dari alam semesta.

Adanya tiga fungsi dari sumber daya alam dalam kehidupan manusia, meliputi produksi, ekologi, dan budaya, menggambarkan adanya keniscayaan pemaknaan kesalinghubungan tersebut (Warassih, 2013, 2014).

Relasi ini berada dalam suasana komunal magis (Supriyadi, 2008). Pemaknaan lingkungan dalam konteks ini sebagai kepunyaan bersama yang harus diperlakuan secara sangat hati-hati (Rosalina, 2010). Namun eksistensinya belum mendapat pengakuan seutuhnya (Hatta, 2010). Momentum desentralisasi, peraturan dapat menjadi penyimpul penting dalam menggapai semua harapan (Suharto, 2011).

Hukum Adat Laot

UU Pesisir

Hukum

Lokal Baru UU Sektoral

Kearifan Lokal

Hadih maja UU

Penanggulangan Bencana

A sas Huk u m

Gambar 2. Hukum Negara dan Mitigasi Bencana

Dengan kondisi sekarang, ada titik temu yang bisa dicapai, sebagai ruang negosiasi yang operatif. Hukum negara dalam hal ini menempatkan lembaga adat pada posisi yang otonom untuk mengatur aturan dan wilayah adatnya, dengan pembagian peran yang diatur sedemikian rupa oleh hukum negara.

Gunung

Uteuen/Hutan

Blang

/Sawah Blang

/Sawah Hunian

Hunian

Tambak Seuneubok

Seuneubok

Laut Luas Pesisir

Pesisir Hunian

Peruntukan khusus

Peruntukan khusus

Gambar 3. Ruang-ruang adat

Berdasarkan gambar tersebut, ruang adat wilayah pesisir, tidak semata berdasarkan pada pengaturan hukum negara. Pengakuan hukum negara terhadap hukum adat dan hak ulayat berimplikasi adanya pengakuan terhadap ruang adat, yang secara konkret berdasar pada pengaturan lembaga-lembaga adat.

Kepentingan penataan ruang adat pada dasarnya adalah untuk mewujudkan kondisi alam yang semakin kecil dan selalu berorientasi pada pengurangan risiko bencana. Dengan ruang yang terbagi sesuai dengan fungsi masing-masing, maka fungsi masing-masing akan berlangsung sebagaimana yang diharapkan.

4. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan bahasan di atas, kesimpulan yang dapat diambil bahwa keberadaan hukum negara tidak sepenuhnya mengatur secara operatif dan fungsional mengenai keberadaan hukum adat, termasuk dalam hal penataan ruang adat. Dengan kondisi hukum negara yang tidak sepenuhnya operatif, maka keberadaan hukum adat dalam penataan ruang pesisir tidak bisa sepenuhnya berlangsung. Kondisi ini antara lain disebabkan cara pandang yang berbeda hukum negara dan hukum adat. Hukum negara bertumpu pada cara pandang yang antroposentris, sedangkan konsep hukum adat cenderung holistis. Keberadaan hukum negara dan hukum adat dengan masing-masing cara pandang demikian, memungkinkan untuk dipertemukan, mengingat berdasarkan kebangunan kedua konsep, masih ada ruang-ruang negosiasi. Dengan ruang negosiasi tersebut diharapkan akan muncul interaksi hukum, yang memberi ruang bagi penataan ruang pesisir di Aceh berbasis kearifan lokal, khususnya dalam rangka penataan kawasan pantai menuju mitigasi bencana.

Disarankan agar Pemerintah lebih membuka diri untuk melihat hukum adat sebagai bagian dari hukum negara, dengan tidak membatasi dalam pengakuan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. A., 2012, Pembagian Kewenangan Kelola Laut Aceh, Belajar dari Program Pengelolaan Bersama Perikanan di Aceh, Pushal Unsyiah, Banda Aceh.

Asriyana & Yuliana, 2012, Produktivitas Perairan, Bumi Aksara, Jakarta.

BPS, 2014, Aceh dalam Angka 2014, BPS Aceh, Banda Aceh.

Davidson, J. S., 2010, Adat dalam Politik di Indonesia, Obor dan KITLV, Jakarta.

DKP, 2013, Statistik Perikanan Aceh 2012, DKP Aceh, Banda Aceh.

Firmansyah, AA., 2014, “Kajian Normatif Kewenangan Pemerintah Aceh di Bidang Perikanan:

Suatu Dasar Pijak Bestuurhandelingen di Bidang Perikanan”, dalam Sulaiman (Ed.), Aceh, Kebudayaan Tepi Laut, dan Pembangunan, Pushal Unsyiah, Banda Aceh.

Griffith, J., 1986, “What Is Legal Pluralism?” Journal of Legal Pluralism & Unofficial Law, Vol. 24 (1), p. 1-52.

Hadjon, P.M., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, UGM Press, Yogyakarta.

Halim, A., Bukan Bangsa Kuli, KIARA, Jakarta.

Hatta, M., 2010, Konsep Masyarakat Adat dan Problematika Pengakuan dan Perlindungannya, Jurnal Risalah Hukum, Vol. 6 No. 2, hlm. 71-92.

Imran, Z., Yamao, M., 2014, “Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tata Kelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem”, dalam Sulaiman (Ed.), Aceh, Kebudayaan Tepi Laut dan Pembangunan, Pushal Unsyiah, Banda Aceh.

Keraf, A. S., 2005, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta.

Koesnoe, M., Hukum Adat sebagai Suatu Model Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Kusumastanto, T., Satria, A., 2011, “Strategi Pembangunan Desa Pesisir Mandiri”, dalam Aida VH dkk (Ed.), Menuju Desa 2030, PSPKL IPB, Bogor.

Mariane, I., 2014, Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Adat, RajaGrafindo, Jakarta.

Marzuki, 2013, “Pesisir Aceh Menjanjikan, Tapi Kesejahteraan Menyedihkan”, Makalah, Jaringan KuALA.

Mukhlisin, 2012, Pemetaan Potensi Daerah untuk Pengembangan Kawasan Minapolitan di Provinsi Aceh: Suatu Kajian Awal, Jurnal Depik, 1(1): 68-77.

Nurjaya, I. N., 2008, Pengelolaan Sumber Daya Alam Perspektif Antropologi Hukum, Pustaka Publisher, Jakarta.

Rahardjo, S., 2009, Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum, Bayumedia, Malang.

Rasyid, H. M., 2009. Memahami Orang Aceh, Cita Pustaka Media, Jakarta.

Rosalina, 2010, Eksistensi Hak Ulayat di Indonesia, Jurnal Sasi, Vol. 16 (3): 44-55.

Salman, HR. O., 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung.

Samekto, FX. A., 2012, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 (1): 75-85.

Setiabudi, P., 2012, “Laju Kerusakan Mangrove di Aceh 1.000 Hektare Pertahun”, Waspada, 10/01/2012.

Slaats, H. (Ed.), 1993, Tiga Model Pendekatan Studi Hukum Adat, Pusat Studi Hukum Adat FH Unsyiah, Banda Aceh.

Suharto, R.B., 2011, Disertasi: Rekonstruksi Birokrasi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Keberlanjutan Ekologis, PDIH Undip, Semarang.

Sulaiman, 2015, Arrangement Of Mukim Boundaries In Aceh Indonesia, Ijbel, (7) 4, 132-139.

Supriyady, 2010, Kedudukan Hukum Adat dalam Lintasan Sejarah, Jurnal Addin Vol 2 (1):

221-231.

Suryawan, F., 2008, Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Pasca Tsunami di Pesisir Pantai Timur Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Biodiversitas, Vol. 8 (4): 262-265.

Tamanaha, B.Z., 2006, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, New York.

Warassih, E., 2013, ”Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Hukum Progresif” dalam Mahfud, M., Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Satjipto Rahardjo Institute, Semarang.

Warassih, E., 2014, “Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan dalam Perspektif Sosial-Budaya”, dalam Shidarta (Ed.), Pendulum Antinomi Hukum, Antologi 70 Tahun Valerine JL.

Kriekhoff, Genta Publishing, Yogyakarta.

Penentuan Tempat Evakuasi Sementara (Tes), Berdasarkan