• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strengthening Institutional Capacity of School to Enhance Community Resilience Against Disaster

Rina Suryani Oktari1, Intan Dewi Kumala2, Rachmalia3 dan Nurul Husna4

1Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syech Abdul Rauf, Darussalam, Banda Aceh, 23111, email;

okta@tdmrc.org ,

2Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syech Abdul Rauf, Darussalam, Banda

Aceh, 23111, email; intan@tdmrc.org ,

3Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syech Abdul Rauf, Darussalam, Banda Aceh, 23111, email;

rachma_lia@yahoo.com ,

4Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syech Abdul Rauf, Darussalam, Banda

Aceh, 23111, email; nurulhusnas.nhs@gmail.com , Abstrak

Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kapasitas pengetahuan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survey di 19 sekolah di Banda Aceh untuk mengkaji tingkat kesiapsiagaan sekolah terhadap bencana. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui kajian pustaka, wawancara dan focus group discussion, untuk merumuskan strategi penguatan kapasitas kelembagaan sekolah dalam upaya meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Survey dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada kepala sekolah yang terdiri dari 4 parameter, yaitu: kebijakan dan arahan, rencana tanggap darurat, peringatan dini dan kapasitas memobilisasi sumber daya. Hasil survey menunjukkan hanya 3 sekolah (15,79%) yang memiliki tingkat kesiapsiagaan tinggi untuk parameter kebijakan dan arahan. Sedangkan untuk tiga parameter lainnya, tidak lebih dari 9 sekolah (47,37%) yang memiliki tingkat kesiapsiagaan tinggi. Hasil evaluasi ini mengindikasikan bahwa sekolah perlu dikuatkan kapasitas kelembagaannya baik dalam meningkatkan kesiapsiagaan sekolah itu sendiri, maupun dalam meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Penelitian ini merekomendasikan strategi penguatan kapasitas kelembagaan sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) untuk meningkatkan ketahanan terhadap bencana baik di lingkungan sekolah serta masyarakat. Sehingga diharapkan sekolah memiliki kemandirian dalam program maupun pendanaan secara terus menerus serta menjamin keberlanjutan (sustainability) program.

Kata Kunci: kapasitas kelembagaan, sekolah, bencana, manajemen berbasis sekolah.

Abstract

As educational institution, schools play a very important role in building the capacity of knowledge to increase community resilience against disasters. This study used both quantitative and qualitative approaches. Quantitative approach carried out through a survey in 19 schools in Banda Aceh, to assess the level of school preparedness. The qualitative approach is conducted by a literature review, interviews and focus group discussions, in order to formulate strategies to strengthen the institutional capacity of the school in an effort to increase community resilience to disasters. The survey was done by distributing questionnaire to the school principals that consists of four (4) parameters: 1) policies and guidelines, 2) emergency plans, 3) early warning, and 4) resource mobilization capacity. The survey results show only three schools (15,79%) that have a high level of disaster preparedness for the parameters of the policy and guidelines. As for another three parameters, no more than 9 schools (47.37%) which have a high level of preparedness. The survey results indicate that schools need to be strengthened its institutional capacity both in improving community the disaster preparedness of the school itself, and in improving community resilience to disasters. The study suggested a strategy of strengthening the institutional capacity of schools through School Based Management (SBM) to enhance community resilience against disaster. It is expected that this strategy will allow school to have an independency in implementing as ensure well as funding the program to its sustainability.

Keywords: institutional capacity, school, disaster, school based management

1. Pendahuluan

Dari beberapa peristiwa bencana menunjukkan bahwa sekolah dalam kondisi yang sangat rentan, dimana bencana menyebabkan kerusakan yang sangat masif di sekolah dan menyebabkan hilangnya ribuan nyawa guru dan siswa. Di tahun 2008, Gempabumi yang terjadi di Cina menghancurkan lebih dari 12,000 sekolah di Kota Sichuan dan 6,500 di Kota Gansu, serta sedikitnya 5,335 siswa kehilangan nyawa (UNICEF, 2009a). Masih di tahun yang sama, bencana Cyclone Nargis yang melanda kawasan Myanmar menyebabkan hancurnya lebih dari 4000 sekolah dan sekitar 600,000 siswa yang menjadi korban (UNICEF, 2009b). Di Indonesia sendiri, gempabumi 7,6 SR yang terjadi di Padang tahun 2009, menyebabkan meninggalnya 1,117 jiwa, dimana sepertiganya adalah anak-anak, serta kerusakan di hampir 5000 sekolah (UNICEF, 2010). Oleh karena itu, membangun kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi bencana merupakan agenda yang penting dan menjadi tanggung jawab komunitas sekolah serta para pemangku kepentingan.

Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kapasitas pengetahuan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Sekolah merupakan lembaga yang efektif dalam melakukan transfer informasi, pengetahuan dan keterampilan untuk masyarakat sekitar. Komunitas sekolah mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber pengetahuan, penyebarluasan pengetahuan tentang bencana dan petunjuk praktis apa yang harus disiapkan sebelum terjadinya bencana dan apa yang harus dilakukan pada saat dan setelah terjadinya

bencana. Karenanya, kegiatan pendidikan bencana di sekolah merupakan strategi diseminasi pengetahuan kebencanaan yang efektif, dinamis dan berkelanjutan. Upaya-upaya sistematis yang dilakukan dalam meningkatkan kapasitas komunitas sekolah, dapat mengurangi risiko bencana yang ada di sekolah secara efektif (CDE, 2011, UNESCO/ LIPI, 2006).

Berdasarkan Hyogo Framework for Action /HFA (2005-2015), pendidikan kesiapsiagaan bencana merupakan prioritas dalam mengurangi risiko bencana, baik di tingkat lokal, nasional, regional maupun global. Hal ini tertuang dalam Priority for Action 3 yaitu Use knowledge, innovation and education to build a culture of safety and resilience at all level. Setelah sepuluh tahun berlakunya HFA, dokumen penggantinya Sendai Framework for Disaster Risk Reduction/ SFDRR (2015-2030) juga tetap menekankan pentingnya pendidikan kesiapsiagaan, sebagaimana yang tertuang dalam Priority for Action 4: enhancing disaster preparedness for effective response, and to

‘‘Build Back Better’’ in recovery, rehabilitation, and reconstruction.

Mengingat pentingnya upaya pengurangan risiko bencana, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional No.

70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah.

Melalui surat edaran ini, pemerintah menghimbau kepada seluruh kepala daerah, termasuk gubernur, bupati dan walikota, untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana di sekolah melalui tiga hal, yaitu: 1) Pemberdayaan peran kelembagaan dan kapasitas komunitas sekolah; 2) Pengintegrasian pengurangan resiko bencana (PRB) ke dalam kurikulum satuan pendidikan formal, baik intra maupun ekstrakurikuler, serta 3) Membangun kemitraan dan jejaring dengan berbagai pihak untuk mendukung pelaksanaan PRB di sekolah.

Sampai saat ini, berbagai inisiatif maupun kegiatan dalam rangka pelaksanaan surat edaran ini telah dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan maupun sekolah itu sendiri. Termasuk salah satunya inisiatif Sekolah Siaga Bencana (SSB) yang telah dimulai sejak 2009 di Banda Aceh, sebelum dikeluarkannya surat edaran tersebut.

Tujuan dari inisiatif ini adalah untuk mengembangkan budaya kesiapsiagaan dan keselamatan di sekolah serta ketangguhan komunitas sekolah.

Dalam mengkaji kesiapsiagaan LIPI-UNESCO/ISDR (2006) mengembangkan 5 (lima) parameter diantaranya: 1) Pengetahuan dan sikap tentang risiko bencana, 2) kebijakan dan panduan, 3) Rencana tanggap darurat, 4) Sistem peringatan bencana, dan 5) Mobilisasi sumber daya. Unsur kesiapsiagaan komunitas sekolah mencakup: sekolah sebagai institusi, guru dan siswa. Untuk itu, pengkajian kesiapsiagaan sekolah dilakukan dengan mengkaji kesiapsiagaan institusi dekolah, guru maupun siswanya.

Makalah ini bertujuan menguraikan secara singkat hasil kajian kesiapsiagaan institusi sekolah terhadap bencana, khususnya gempabumi dan tsunami. Hasil kajian kesiapsiagaan guru dan siswa tidak disajikan pada makalah ini, melainkan akan menjadi bahan pada makalah terpisah nantinya. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, makalah ini juga bertujuan untuk mengembangkan framework penguatan kapasitas kelembagaan sekolah dalam upaya meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana.

Jumlah Skor Riil Parameter Skor Maksimum Parameter 2. Metode Peneli1an

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survey di 19 sekolah di Banda Aceh dengan menggunakan kuesioner yang telah dikembangkan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006) dalam menilai kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi gempabumi dan tsunami. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui kajian pustaka, wawancara dan focus group discussion (FGD), untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam dalam rangka merumuskan strategi penguatan kapasitas kelembagaan sekolah dalam upaya meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. FGD dilakukan di 6 (enam) sekolah, dimana setiap kali FGD dihadiri sepuluh (10) peserta yang terdiri dari kepala sekolah, guru, orang tua murid, komite sekolah, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan dan perwakilan LSM.

Survey dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada kepala sekolah yang terdiri dari 4 parameter, yaitu: kebijakan dan panduan (policy and guidelines/ PS), rencana tanggap darurat (emergency planning/EP), peringatan dini (warning system/WS) dan kapasitas memobilisasi sumber daya (resource mobilization capacity/RMC).

Indeks kesiapsiagaan institusi sekolah dihitung dengan menggunakan persamaan:

Indeks = x 100

Skor maksimum parameter diperoleh dari jumlah pertanyaan dalam parameter yang diindeks (masing–masing pertanyaan memiliki nilai satu). Nilai indeks berada pada kisaran antara 0-100, semakin tinggi nilai indeks semakin tinggi pula tingkat kesiapsiagaannya. Tingkat kesiapsiagaan sekolah kemudian dinilai dengan kategori sebagai berikut: 1) Siap (nilai indeks 80-100), 2) Hampir siap (nilai indeks 60-79) dan 3) Tidak siap (nilai indeks < 60).

3. Hasil dan Pembahasan

Evaluasi Kesiapsiagaan Sekolah dalam Menghadapi Bencana

Kesiapsiagaan institusi sekolah digambarkan dari parameter kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat, peringatan dini dan kapasitas memobilisasi sumber daya. Parameter kebijakan dan panduan menyangkut evaluasi apakah sekolah telah memiliki kebijakan pendidikan dan panduan serta peraturan-peraturan pendidikan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi bencana dan juga evaluasi terhadap fakta/data pelaksanaan kebijakan dan peraturan tersebut. Parameter rencana tanggap darurat dievaluasi dengan memastikan tersedianya rencana sekolah, prosedur tetap (protap), rencana pertolongan pertama dan penyelamatan serta tersedianya

Gambar 1. Kesiapsiagaan Masing-masing Sekolah berdasarkan Parameter

dokumen, peralatan, fasilitas penting sekolah dan tempat penyimpanan untuk keadaan darurat. Parameter sistem peringatan dini mengevaluasi apakah ada akses dan prosedur diseminasi terhadap sumber informasi peringatan bencana. Sedangkan parameter mobilisasi sumber daya mengkaji ketersediaan tim dan prosedur untuk keadaan darurat serta keterlibatan sekolah dalam jaringan kesiapsiagaan bencana (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006). Hasil evaluasi kesiapsiagaan di 19 sekolah di Banda Aceh disajikan dalam gambar 1 di bawah ini.

Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa masih banyak sekolah yang “tidak siap”

dalam menghadapi bencana, khususnya dalam aspek kesiapsiagaan kebijakan dan arahan dari sekolah. Berdasarkan gambar 1 di atas, di parameter 1 (kebijakan dan panduan/ PS) ada delapan (8) sekolah yang memiliki nilai indeks dibawah 60 atau berada dalam kategori “tidak siap”. Padahal kebijakan dan arahan sekolah merupakan keputusan resmi yang mengikat warga sekolah untuk mendukung pelaksanaan upaya

Parameter 4: Kapasitas memobilisasi sumber daya (RMC)

Parameter 3: Peringatan dini (WS)

Parameter 2: Rencana tanggap darurat (EP) Parameter 1: Kebijakan dan Panduan (PS)

Tabel 2. Presentase Indeks Kesiapsiagaan berdasarkan Parameter menjadi dasar, pedoman maupun arah dalam pelaksanaan kegiatan yang relevan dengan upaya PRB di sekolah (Tong, 2012; CDE, 2011; LIPI-UNESCO/ISDR, 2006).

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa hanya 3 sekolah (15,79%) yang memiliki indeks kesiapsiagaan dalam kategori “siap” untuk parameter kebijakan dan arahan (PS).

Sedangkan untuk parameter rencana tanggap darurat (EP), peringatan dini (WS) dan kapasitas memobilisasi sumber daya (RMC) tidak lebih dari 9 sekolah (47,37%) yang memiliki indeks kesiapsiagaan dalam kategori “siap”.

Hasil survey ini mengindikasikan bahwa sekolah perlu dikuatkan kapasitas kelembagaannya baik dalam meningkatkan kesiapsiagaan sekolah itu sendiri, maupun dalam meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana.

Keberlanjutan program Kesiapsiagaan di Sekolah

Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan di enam (6) sekolah terungkap bahwa salah satu faktor yang menentukan keberlanjutan program SSB adalah kepemimpinan (leadership) dari kepala sekolah. Beberapa sekolah sudah tidak lagi melaksanakan program SSB karena kepala sekolahnya dimutasi ke sekolah lain. Dan yang menjadi permasalahan adalah ketika kepala sekolahnya dimutasi, maka program SSBnya pun ikut bersama kepala sekolah tanpa proses serah terima kepada kepala sekolah yang baru. Hal ini juga diperkuat oleh hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu guru yang menyatakan bahwa tantangan terbesar adalah bergantinya kepala sekolah. Perubahan ini menyebabkan program SSB yang selama ini dilakukan menjadi terhenti.

Dari hasil FGD juga terungkap bahwa selama ini, kegiatan kesiapsiagaan yang dilakukan di sekolah lebih bersifat top-down, artinya kegiatan tersebut dibawa oleh lembaga pemerintah maupun non-pemerintah untuk dilaksanakan di sekolah. Sehingga ketika tidak ada lagi dukungan dari lembaga tersebut, maka kegiatan SSB tersebut juga tidak berlanjut.

Namun, dari hasil FGD tersebut juga teridentifikasi sebuah praktik baik, dimana keberlanjutan program SSB dapat terus dilaksanakan meskipun kepala sekolahnya dimutasi. Hal ini dikarenakan adanya proses serah terima yang baik antara kepala sekolah yang lama dengan yang baru, dan juga adanya semangat dari kepala sekolah yang baru untuk melanjutkan program SSB yang sudah dilaksanakan. Tidak hanya itu,

kepala sekolah yang lama yang telah dimutasi tersebut juga memiliki semangat yang tinggi untuk melaksanakan program SSB di sekolahnya yang baru sebagaimana ia telah sukses melaksanakannya di sekolah yang lama. Biasanya pihak sekolah mengalami hambatan untuk melaksanakan program SSB, karena terbentur masalah pendanaan.

Namun, apa yang telah dilakukan oleh kepala sekolah yang baru dimutasi tersebut, membuktikan bahwa sekolah secara mandiri dapat melakukan inisiatif program SSB di sekolahnya dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki, serta menjalin kemitraam dengan berbagai pihak di luar sekolah.

Manajemen Berbasis Sekolah untuk Ketahanan Bencana

Di dalam paradigma baru dunia pendidikan, dikenal istilah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau “school-based management”. MBS ini bertujuan untuk memberdayakan sekolah, terutama SDMnya (termasuk kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua, dan masyarakat sekitar) dalam memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah, termasuk juga dalam menghadapi bencana yang mungkin timbul (Sunarto

& Warsono, 2014; Gamage & Sooksomchitra, 2006).

MBS memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Partisipasi masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih memahami, membantu dan mengontrol pengelolaan pendidikan yang berlangsung di sekolah. Peran masyarakat sangatlah penting dalam membangun sekolah. Masyarakat bertanggungjawab dalam kemajuan sekolah, sehingga sekolah dapat berkolaborasi dengan masyarakat dalam membangun sekolah kedepannya. Esensi MBS adalah peningkatan otonomi sekolah, peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah. Dengan MBS, sekolah memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau mitra di luar sekolah lainnya (Budimansyah, 2008; Caldwell, 2005; De Grauwe, 2005a).

Untuk mewujudkan MBS, maka diperlukan empat (4) hal pokok, diantaranya: 1) Penyempurnaan peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan, dan kebijakan-kebijakan yang ada yang memposisikan sekolah sebagai unit utama dan menjadikan sekolah yang bersifat otonom; 2) Penyesuaian perilaku warga (unsur-unsur) sekolah yang mandiri, kreatif, proaktif, sinergis, koordinatif/kooperatif, integratif, sinkron, luwes, dan professional; 3) Penyesuaian peran sekolah menjadi sekolah yang bermotivasi-diri tinggi (self-motivator); 4) Perbaikan hubungan antar warga (unsur-unsur) dalam sekolah, antara sekolah dengan para pemangku kepentingan (mitra) lainnya (De Grauwe, 2005b; Sunarto & Warsono, 2014; Gamage & Sooksomchitra, 2006).

Berdasarkan hasil wawancara, FGD dan tinjauan pustaka, penelitian ini merekomendasikan framework dalam rangka penguatan kapasitas kelembagaan sekolah dalam meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management.

Framework penguatan kapasitas kelembagaan sekolah melalui MBS, memuat pendekatan sistem yaitu input-process-output- outcome. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah adalah sebuah sistem.

Gambar 2. Framework Penguatan Kapasitas Kelembagaan Sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Masyarakat terhadap

Bencana

Framework penguatan kapasitas kelembagaan sekolah melalui MBS yang ada pada gambar 2 di atas, dimulai dari tahapan input yang terdiri dari: a) Komitmen, tujuan dan sasaran yang jelas, b) Sumberdaya tersedia, c) SDM yang kompeten dan berdedikasi tinggi dan d) Input manajemen. Pada tahapan proses dilakukan implementasi kegiatan yang mencakup: sosialisasi MBS, membangun kemitraan

TIME FRAME 0 – 60 bulan 6 - 24 bulan 24 – 36 bulan 36 – 60 bulan > 60

sekolah, merumuskan strategi peningkatan ketahanan bencana, merumuskan peran unsur sekolah dan mitra, menerapkan good governance (tata kelola sekolah yang baik), meningkatkan kapasitas sekolah maupun SDM sekolah, mendistribusikan kewenangan dan tanggung jawab, pengintegrasian upaya peningkatan ketahanan bencana di sekolah dan penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah. Setelah tahapan proses yang dilalui selama periode minimal 6 sampai 24 bulan, diharapkan dapat menghasilkan output yang berupa kebijakan, strategi, rencana kerja serta adanya SDM yang terlatih dan dukungan dana dan sumber daya lainnya untuk pelaksanaan kegiatan peningkatan ketahanan bencana di sekolah.

Selama penerapan MBS ini, diperlukan monitoring dan evaluasi yang berkala untuk mendapatkan feedback/ masukan terhadap input dan proses yang dilakukan.

Selain itu, perlu dipertimbangkan juga enabling factors dalam pengimplementasian framework ini yang berupa: efektivitas, kepemimpinan, pengelolaan SDM yang efektif, teamwork, partisipasi, keterbukaan, komunikasi efektif, akuntabilitas serta evaluasi dan perbaikan. Pada akhirnya framework ini diharapkan dapat menghasilkan outcome berupa kemandirian dan keberlanjutan upaya peningkatan ketahanan bencana di sekolah, sehingga memberi dampak bagi peningkatan ketahanan sekolah dan masyarakat terhadap bencana.

4. Kesimpulan

Framework penguatan kapasitas kelembagaan sekolah melalui MBS, memuat pendekatan sistem yaitu input-process-output- outcome. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah adalah sebuah sistem. MBS merupakan model pengelolaan yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan tuntutan sekolah maupun masyarakat serta stakeholder lainnya.

Melalui framework ini diharapkan sekolah memiliki kemandirian dalam program maupun pendanaan yang berlangsung terus menerus sehingga dapat menjamin keberlangsungan (sustainability) dari upaya meningkatkan ketahanan terhadap bencana yang dilakukan.

Dengan adanya otonomi yang lebih besar, sekolah menjadi lebih mandiri dan berdaya dalam mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki, termasuk mengembangkan program kesiapsiagaan sekolah terhadap bencana. Tentu saja kemandirian sekolah ini, harus didukung dengan kemampuan kepemimpinan (leadership) kepala sekolah dalam mengambil keputusan, memobilisasi sumber daya, menentukan strategi yang efektif, berkomunikasi efektif dan memecahkan permasalahan yang dihadapi sekolah. Selain itu, kepala sekolah juga harus memiliki kemampuan adaptif dan antisipatif, serta kemampuan bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak di dalam maupun di luar sekolah. Apabila otonomi atau kemandirian sekolah serta kemampuan leadeship kepala sekolah ini dapat berlangsung secara terus menerus, maka hal ini dapat menjamin keberlanjutan (sustainability) program kesiapsiagaan yang berlangsung di sekolah.

Daftar Pustaka

UNICEF (2009a) Sichuan Earthquake Oneyear Report . UNICEF China, China, akses online 30 November 2015, URL:

http://www.unicef.org/eapro/UNICEF-China_Sichuan_Earthquake_One_Year_Report.pdf

UNICEF (2009b) Best practices and lessons learnt: UNICEF Myanmar’s response following cyclone Nargis. UNICEF Myanmar, Myanmar, akses online 30 November 2015,

URL:http://www.unicef.org/infobycountry/files/Myanmar_Nargis_ Evaluation.pdf

UNICEF (2010) West Sumatra Earthquake: One Year Later. UNICEF Indonesia, Indonesia,

akses online 30 November 2015, URL:

http://www.unicef.org/indonesia/West_Sumatra_earthquake_one_year_on_Fact_She et(2).pdf

CDE (2011) A Framework of School-Based Disaster Preparedness. Jakarta: Consortium for Disaster education.

LIPI-UNESCO/ISDR (2006) Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Jakarta: LIPI-UNESCO.

UNISDR (2015) Sendai framework for disaster risk reduction 2015– 2030. United Nations International Strategy for Disaster Reduction

Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional No. 70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah.

Tong, T. M. T., Shaw, R., & Takeuchi, Y. (2012) Climate disaster resilience of the education sector in Thua Thien Hue Province, Central Vietnam. Natural hazards, 63(2), 685-709.

Sutarto, M., Darmansyah, D., & Warsono, S. (2014) Manajemen berbasis sekolah. The Manager Review Jurnal Ilmiah Manajemen, 13(3), 343-355.

Gamage, D., & Sooksomchitra, P. (2006) Decentralisation and school-based management in Thailand. In Decentralisation and Privatisation in Education (pp. 151-167). Springer Netherlands.

Budimansyah, D. (2008) Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penguatan Partisipasi Masyarakat. Educationist, 2(1), pp-56.

Caldwell, B. J. (2005) School-based management (Vol. 3). Paris: International Institute for Educational Planning.

De Grauwe, A. (2005a) School-based management (SBM): Does it improve quality. EFA Global Monitoring Report.

De Grauwe, A. (2005b) Improving the quality of education through school-based management:

learning from international experiences. International review of education, 51(4), 269-287.

Holistic Evacuation Planning for the Improvement of Spatial