• Tidak ada hasil yang ditemukan

Michopoulou dan Buhalis (2013) menyatakan bahwa Pariwisata merupakan katalisator pembangunan ekonomi. Untuk mengetahui apakah hal ini juga terjadi di Wakatobi maka perlu melihat keterkaitan antara kegiatan wisata dan pembangunan wilayah pada tataran makro melalui analisis korelasi utuk menguji apakah benar-benar ada keterkaitana antara variabel wisata dan sosial ekonomi di Wakatobi. Koefisien korelasi menunjukkan tingkat keeratan hubungan linear antara dua varaibel atau lebih, namun tidak mengggambarkan hubungan sebab-akibat. Notasi koefisen korelasi adalah r dengan nilai antara -1 dan 1. Semakin mendekati angka satu berarti semakin erat hubungan linear antara variabel. Cara menginterpretasi hasil uji korelasi berdasarkan pada Boguslauskas, et al (2009) dalam Snieška, et al (2014) terdiri dari lima kategori klasifikasi yaitu sebagai berikut :

1. Nilai dari 0,9 sampai 1,0 (dari -0,9 sampai -1,0) artinya korelasi linear sangat kuat positif (negatif)

2. Nilai dari 0,7 sampai 0,9 (dari -0,7 sampai -0,9) artinya korelasi linear kuat positif (negatif)

3. Nilai dari 0,5 sampai 0,7 (dari -0,5 sampai -0,7) artinya korelasi linear rata-rata positif (negatif)

4. Nilai dari 0,3 sampai 0,5 (dari -0.3 sampai -0.5) artinya korelasi linear lemah positif (negatif)

5. Nilai dari 0,3 sampai 0 (dari -0.3 sampai 0) artinya korelasi linear sangat lemah positif (negatif)

Hasil analisis korelasi antara variabel makro yang terkait dengan pariwisata ditunjukkan dalam tabel 4. Hasil analisis korelasi antara jumlah wisatawan dengan beberapa variabel makro ekonomi memiliki nilai yang beragam. Korelasi antara jumlah wisatawan dan PDRB perkapita kuat dengan nilai hasil uji korelasi sebesar 0.8, hasil ini sejalan dengan penelitian Snieška et al (2014) menyatakan bahwa ada korelasi positif antara PDRB perkapita negara asal dengan jumlah wisatawanya. Korelasi positif antara PDRB dan Jumlah wisatawan mengindikasikan hubugan yang baik antara aktivitas wisata dan variabel makro ekonomi di Wakatobi, hal ini juga terlihat dari korelasi positif yang sangat kuat

antara “Jumlah wisatawan” terhadap “PAD” beserta “Hotel dan Homestay”

dengan nilai di atas 0,9.

Nilai uji korelasi yang positif ini karena peningkatan jumlah wisatawan mendorong investasi di sektor pariwisata dalam bentuk hotel, homestay atau resort sebagai dampak dari permintaan yang meningkat karena adanya pertambahan jumlah wisatawan. Perkembangan infrastrukutur di bidang akomodasi merupakan turunan pertama dari jumlah wisatawan yang meningkat dan sebagai bentuk usaha pemilik hotel atau homestay membayar pajak yang menjadi sumber pemasukan dalam PAD daerah Wakatobi.

Hal menarik yang terjadi adalah hubungan yang lemah antara jumlah wisatawan dan tingkat pengangguran, dengan nilai hasil uji korelasi hanya sebesar 0,453 padahal seharusnya terjadi hubungan positif yang signifikan mengingat tujuan pelaksanaan kegiatan ekowisata salah satunya adalah membuka kesempatan kerja bagi masyarakat namun ternyata tidak signifikan berpengaruh. Hal ini menarik dikaji lebih dalam, oleh sebab itu pembahasan selanjutnya adalah

Variabel Hotel & Homesta y Pengan g- guran Penduduk Miskin PDRB Perkapita Jumlah wisataw an PAD

Hotel & Homestay 1 0.516 - 0.74 0.91 6 ** 0.91 6 * * 0.87 4 ** Pengangguran 1 - 0.18 0.47 1 0.45 3 0.5 Penduduk Miskin 1 - 0.92 2 ** - 0.72 -0.7 PDRB Perkapita 1 0.88 8 * * 0.88 3 ** Jumlah wisatawan 1 0.92 6 ** PAD 1

Sumber: Hasil penelitian 2015

Gambar 16 Penginapan, Hotel dan Homestay di Kabupaten Wakatobi 2008-2014 Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi berbagai terbitan (diolah)

melihat lebih dalam bagaimana kondisi ketenagakerjaan di Wakatobi setelah aktivitas wisata mengalami kemajuan.

Kesempatan Kerja

Selama beberapa tahun terakhir perkembangan jumlah pekerja berdasarkan lapangan pekerjaan utama berjalan searah dengan perubahan struktur PDRB Wakatobi. Pekerja terbanyak berada di sektor pertanian namun terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun sedangkan jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, akomodasi dan konstruksi mengalami peningkatan. Gambar di bawah menunjukkan perkembangan tenaga kerja menurut lapangan pekerjaan utama di Kabupaten Wakatobi.

Gambar 15 Perkembangan Pekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama (Orang), di Kabupaten Wakatobi Tahun 2011-2013

Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi Tahun 2014 Penggalian Industri Listrik, Air Konstruksi Perdagangan, Akomodasi Transportasi, Komunikasi Keuangan, Persewaan Jasa Kemasyarakatan, Sosial

220 1692 71 1660 7526 3815 198 6240 266 255 133 1386 7102 2622 372 5818 110 934 56 2134 8563 2810 200 5666 2013 2012 2011 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Penginapan Hotel dan Homestay

Perkembangan ekowisata di TN Wakatobi mendorong sektor-sektor yang berkaitan dengan aktivitas wisata mengalami kemajuan terutama investasi di bidang usaha jasa akomodasi pariwisata. Secara keseluruhan jumlah penginapan, hotel dan resort di Wakatobi mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi tersebut menunjukkan geliat bisnis pariwisata yang semakin menarik banyak pihak terutama investor. Pada tahun 2008 hanya terdapat 14 jumlah penginapan dan pada tahun 2014 telah mencapai 46 unit. Selain hotel dan homestay, ketersedian sektor jasa lainnya yang mengalami peningkatan adalah tempat hiburan malam, salon dan SPA. Seperti yang terlihat dalam gambar 17 berikut ini.

Peningkatan beberapa usaha terkait dengan kegiatan wisata seharusnya mampu membuka kesempatan kerja tapi ternyata tidak berdampak signifikan terhadap kemampuan menyerap tenaga kerja lokal. Hal ini karena pengelolaan usaha masih banyak yang bersifat kekeluargaan, sehingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan tidak tinggi. Kecuali beberapa usaha tertentu yang sudah mapan seperti pengelolaan patuno resort atau wakatobi dive resort. Berdasarkan uraian di atas maka sesuatu yang wajar jika nilai korelasi antara “hotel dan homestay” dengan tingkat “pengangguran” hanya sebesar 0.516 artinya berada di posisi rata- rata. Perkembangan usaha akomodasi dan jasa belum mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi. Hal ini karena Pemda tidak memberikan serta mengalokasikan biaya khusus pelatihan atau peningkatan kemampuan bagi masyrakat lokal. Padahal, program pelatihan membantu penduduk setempat mendapatkan pekerjaan dan memulai kegiatan pariwisata berskala kecil yang terkait dengan perusahaan (Nyaupane dan Poudel 2011), tapi kondisi seperti ini yang memungkinkan masyarakat pada umumnya mengakses dan melakukan kerjasama dengan berbagai pihak terkait pengembangan kegiatan wisata belum terjadi.

0 5 10 15 20 25 30 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tempat Hiburan Malam

Salon dan SPA

Gambar 17 Tempat Hiburan malam, Salon dan SPA di Wakatobi Tahun 2008-2014

Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran

Peningkatan kegiatan usaha yang berkaitan dengan aktivitas wisata diharapkan mampu membuka kesempatan kerja bagi masyarakat lokal sehingga pengangguran dapat menurun, masyarakat lokal memperoleh pendapatan yang pada akhirnya berdampak pada tingkat kemiskinan, karena kemiskinan dan pengangguran merupakan kendala utama dalam pembangunan suatu wilayah. Masalah sekaligus menjadi sasaran pelaksanaan pembangunan. Tingkat pengangguran dan kemiskinan dua hal yang saling berkaitan, tidak hanya mempengaruhi perekonomian suatu wilayah tetapi berdampak luas dalam berbagai sendi kehidupan seperti sosial dan kebudayaan.

Jumlah usaha di Wakatobi yang mengalami peningkatan ternyata tidak berjalan linear dengan penurunan tingkat kemiskinan. Berdasarkan hasil uji korelasi antara jumlah wisatawan beserta hotel dan homestay yang digunakan sebagai proxy kegiatan wisata di tingkat makro menunjukkan korelasi negatif terhadap tingkat kemiskinan. Ini berarti bahwa pengelolaan ekowisata yang selama ini berlangsung belum mampu menajadi solusi permasalahan sosial di Wakatobi. Gambar 16 di bawah ini menunjukkan tingkat pengangguran dan kemiskinan Wakatobi yang fluktuatif.

Gambar 18 Presentase Tingkat Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten Wakatobi Tahun 2005-2013

Sumber : BPS Kabupaten Wakatobi berbagai terbitan (diolah)

Kemiskinan dan pengangguran di Wakatobi fluktuatif tidak berjalan searah dengan peningkatan jumlah wisatawan yang datang ke Wakatobi. Hal ini mengindikasikan adanya permasalah dalam praktik pengelolaan aktivitas wisata yaitu sebuah Paradox dimana wisatawan dan infrastruktur wisata mengalami perkembangan tetapi disisi lain tidak mampu menekan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Pembahasan berikut menjelaskan bagaimana “paradox” ini terjadi karena uang (capital Inflow) dari wisatawan hanya jatuh kepada segilintir pihak, terjadi akumulasi. 0 5 10 15 20 25 30 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah Pengangguran (%) Penduduk Miskin (%)

Wisata Bahari dan Usaha Dive Operator di Wakatobi

Usaha penting lainnya yang mengalami berkembang pesat setelah keindahan bawah laut Wakatobi mulai dikenal masyarakat luas adalah usaha dive operator. Bagian berikut menjelaskan mengenai keterkaitan antara usaha dive operator dengan perekonomian wakatobi.

Dive operator merupakan usaha yang tumbuh sebagai akibat lansung dari perkembangan kegiatan ekowisata di Wakatobi. Keberadaan dive operator dan perkembangan kegiatan wisata saling mempengaruhi satu sama lain. Dive operator memperoleh keuntungan dari kegiatan wisata yang berlangsung sebaliknya mereka juga melakukan promosi usaha secara pribadi untuk menarik wisatawan datang ke Wakatobi. Sekitar satu dari tiga pengunjung Wakatobi menggunakan dive operator lokal. Sebanyak 10 % menggunakan operator dive internasional, 4,5 % menggunakan operators yang berada di Makassar. Meskipun sangat kecil tapi ada 1 % wisatawan yang menggunakan operator dari bali dan sekitar 6% dari Bau-bau, (Swiss Contact, 2014).

Pengguna dive operator lokal yang cukup tinggi memberikan peluang usaha yang besar sekaligus membuka kesempatan kerja bagi masyarakat lokal terutama generasi muda. Mereka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk belajar dan meningkatkan kemampuan (soft skill) seperti belajar fotografi, snorkling atau diving. Sejauh ini Wakatobi memiliki 46 divecites teridentifikasi dan terdapat 21 pantai yang telah menjadi objek wisata seperti tercatat dalam publikasi BPS tahun 2014. Lebih dari 60 % wisatawan yang datang ke Wakatobi menggunakan jasa Dive Operator karena kebanyakan wisatawan melakukan diving ketika berlibur ke Wakatobi. Kegiatan wisata yang paling banyak dilakukan oleh wisatawan adalah diving dan snorkling, (Swiss Contact, 2014).

Wakotobi dive trip salah satu operator dive lokal yang berada di wakatobi. Berikut jumlah wiasatawan yang datang ke Wakatobi menggunakan jasa Dive Operator Wakatobi Trip selama tahun 2014.

Gambar 19 Jumlah Paket Wisata dan Wisatawan Pengguna Jasa Operator Wakatobi Dive Trip Tahun 2014

Sumber: Hasil penelitian 2015 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 18 22 30 40 60 38 22 12 66 68 66 70 9 11 15 20 30 19 11 6 33 34 33 35

Wakatobi Dive Trip menyediakan beberapa jenis pilihan paket wisata berdasarkan lama hari dan apakah wisatawanya merupakan diver atau non diver. Jenis paket wisata tersebut tercantum dalam tabel 5.

Tabel 5 Jenis dan harga paket wisata untuk diver dan non diver pada operator wisata dive trip

Jenis Paket Harga Paket

Non Diver Diver

Paket 3 Hari 2 Malam Rp.2.750.000,00 Rp.3.250.000,00 Paket 4 Hari 3 Malam Rp.3.400.000,00 Rp.4.750.000,00 Paket 5 Hari 4 Malam Rp.4.300.000,00 Rp.5.400.000,00 Sumber: Hasil penelitian 2015

Harga di atas merupakan harga per orang, sehingga harga per paket harus dikali dua karena satu paket wisata minimal terdiri dari 2 orang. Berdasarkan jumlah paket wisata yang terjual melalui Wakotobi dive trip maka Uang yang mengalir (capital inflow) ke Wakatobi adalah sebagai berikut :

Total potensi uang yang mengalir ke Wakatobi melalui ‘Wakatobi Dive Trip” sangat tinggi. Jika diasumsikan seluruh wisatawan membeli paket termurah

yaitu Paket 3 Hari 2 Malam untuk non diver maka uang yang mengalir ke Wakatobi lebih dari satu milyar rupiah (Rp.1.408.000.000,00) per tahun atau rata- rata sekitar Rp.117.333.333,00 per bulan.

49,500,000 60,500,000 82,500,000 110,000,000 165,000,000 104,500,000 60,500,000 33,000,000 181,500,000 187,000,000 181,500,000 192,500,000 117,333,333 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata

Pembelian paket wisata per bulan

Gambar 20 Estimasi Aliran Uang Ke Wakatobi Melaui Operator Dive

“Wakatobi Dive Trip” Tahun 2014

Pembelian paket wisata menggambarkan jumlah uang yang secara lansung mengalir ke wakatobi melalui wisatawan. Uang ini masuk melalui satu pintu yaitu usaha operator diving namun dibelanjakan melalui berbagai komponen pengeluaran. Berikut gambaran pengeluaran wisatawan (ekspenditure) melalui satu paket wisata.

Gambar 21 Presentase Pengeluaran Wisatawan Berdasarkan Paket Akomodasi , Tahun 2015

Sumber: Hasil penelitian 2015

Pengeluaran terbesar wisatawan untuk menyewa alat (equipments) diving atau snorkeling sebesar 27.27% dari total pengeluaran. Selanjutnya biaya terbesar dikeluarkan untuk penginapan sebanyak 21.82 % dan transportasi sebesar 16,36 % sehingga lebih dari 50 % pengeluaran wisatawan ditujukan hanya untuk ketiga komponen akomodasi tersebut.

Tiga jenis usaha yang memperoleh proporsi terbesar dari pengeluaran wisatawan merupakan jenis usaha yang membutuhan modal yang cukup besar. Pengeluaran wisatawan untuk komponen lain menjadi sangat sedikit bahkan untuk hal penting lainnya seperti konsumsi hanya sebesar 8.91 %.

Kondisi di atas mengindikasikan perputaran uang dari sektor pariwisata sangat besar pada kelompok-kelompok usaha tertentu. Sementara pengeluaran untuk usaha rakyat yang lebih inklusif sangat kecil, bahkan menurut laporan Swiss Contact pada tahun 2014 bahwa jumlah wisatawan yang membeli souvenir di bawah 40 %. Lebih dari 50 % jenis souvenir yang dibeli merupakan produk textile dalam hal ini baju kaos, sementara pembelian handycraft buatan lokal di bawah 10%. Oleh sebab itu dibutuhkan satu bentuk kebijakan tertentu untuk mendorong transformasi pelibatan masyarakat lokal yang bersifat lansung dan memiliki jangkauan yang lebih luas.

Saat ini telah memiliki tiga orang karyawan tetap satu orang mahasiswa dan dua anak sekolah. Berdasarkan wawancara kepada Pemilik Wakatobi Dive Trip Pak Seto menyatakan bahwa ketiga karyawanya merupakan masyarakat lokal. Mereka disekolahkan, dan diberikan gaji bulanan. Selain ke tiga karyawan

Biaya lain-lain, 4% Guide dan Fotografer, 9% Dive Operator, 13% Penginapan, 22% Konsumsi, 9% Transportasi, 16% Peralatan, 27%

tersebut ketika terdapat banyak wisatawan Pak Seto menggaji karyawan khusus yang bekerja sebagai juru kemudi perahu, fotografer dan pemandu.

Pernyataan Tuwo (2011) menegaskan kondisi tersebut dengan menuliskan bahwa pengelolaan kegiatan ekowisata yang kurang baik dapat melupakan kepentingan ekonomi masyarakat local, “hanya 10 sen dari setiap dollar yang dipakai melakukan kegiatan ekowisata yang diperoleh masyarakat lokal, sedangkan sebagain besar keuntungan di ambil oleh kaum elit dan investor yang

terlibat”.

Pariwisata dan Daya Dukung Lingkungan Hidup

Daya dukung lingkungan hidup dalam penelitian ini terdiri dari daya dukung demografis dan daya dukung ekonomi. Hasil perhitunganya dijelaskan sebagai berikut :

a. Daya Tampung Demografis (DTD)

Daya tampung demografis (DTD) sangat penting dilaksanakan di Wakatobi mengingat luas lahan yang sangat sempit sementara pertumbuhan penduduk terus berlangsung ditambah dengan jumlah wisatawan yang mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tabel 6 memberikan gambaran mengenai DTD Kabupaten Wakatobi selama beberapa tahun terakhir.

Tabel 6 Daya tampung demogrfis Kabupaten Wakatobi Tahun 2007-2013 Daya Dukung Demografis

Tahun DTD DTDw 2007 1.21 1.24 2008 1.23 1.28 2009 1.26 1.32 2010 1.13 1.21 2011 1.15 1.25 2012 1.15 1.23 2013 1.16 1.31

Sumber: Hasil penelitian 2015

DTD yang diperoleh diperbandingkan dengan tabel konsumsi lahan dalam hal ini didasarkan pada kebutuhan lahan berdasarkan jumlah penduduk (Yeates). Jumlah penduduk 100.000 kebutuhan lahanya sebesar 0,076 ha / jiwa. Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa DTD Wakatobi masih sangat memadai, meskipun telah mempertimbangkan kedatangan wisatawan seperti nilai daya tampung demografi dengan wisatawan (DTDw) nilai yang diperoleh masih lebih besar dari 0,076 artinya bahwa luas wilayah yang ada di Wakatobi masih cukup untuk menampung keberadaan penduduk maupun wistawan. Setiap tahun DTD Wakatobi harus tetap diperhatikan untuk menghindari kelebihan kapasitas atau daya tampung wilayah.

Mengetahui kondisi DTW dapat menjadi acuan dalam mempertimbangkan besaran wisatawan yang dapat berkunjung Ke Wakatobi setiap tahun agar tidak melampaui daya tampung. Mengingat kondisi geografis Wakatobi sebagai sebuah pulau kecil yang terdiri dari desa-desa pesisir mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi secara ekologis, maka perhatian terhadap kemampuan fisik wilayah merupakan hal penting dalam proses pembangunan.

DTW adalah dasar untuk menghindari dan mencegah terjadinya pembangunan wilayah yang destruktif seperti yang sedang marak terjadi saat ini. Beberapa kota di Indonesia melakukan perluasan daratan dengan menimbung laut atau kawasan pesisir (reklamasi) sebagai upaya meningkatkan daya tampung demografis. Pembangunan seperti ini sangat tidak diharapkan terjadi di Wakatobi karena melanggar asas keberlanjutan dengan merusak bentang alam asli yang mempengaruhi kondisi lingkungan alam, bilogis dan kondisi sosial masyarakat. b. Daya Dukung Ekonomi Wilayah

Selain memahami bagaimana kemampuan fisik menopang jumlah penduduk dan wisatawan yang ada melalui konsep DTD, Daya Dukung Ekonomi (DDE) juga sangat diperlukan untuk mengetahui kemampuan perekonomian suatu Wakatobi dalam mendukung kebutuhan dan konsumsi penduduk. Hasil perhitungan DDE Kabupaten Wakatobi dapat dilihat dalam tabel 7.

Tabel 7 Daya dukung ekonomi Kabupaten Wakatobi Tahun 2007-2013 Daya Dukung Ekonomi

Tahun PDRB Konstan JPxK DDE

2007 192585.88 12069374.52 0.02 2008 220571.48 12726994.5 0.02 2009 250716.09 18553051.97 0.01 2010 261790 17798313.05 0.01 2011 288980 18162439.92 0.02 2012 316610 18822438.24 0.02 2013 342060 18862876.95 0.02

Sumber: Hasil penelitian 2015

Daya dukung ekonomi wilayah Kabupaten Wakatobi sudah tidak mampu mendukung perekonomian penduduk karena nilai DDE lebih kecil dari 1 (DD<1). Hal ini berarti bahwa aktivitas perekonomian perlu di tingkatkan higga mampu mendukung kebutuhan dan konsumsi penduduk dalam batas minimal.

Hasil DDE yang sangat rendah merupakan indikasi bahwa aktivitas ekowisata yang dikembangkan sejauh ini belum mampu meningkatkan daya dukung ekonomi wilayah dan belum menciptakan peningkatan kesejahteraan penduduk secara umum. Pemda perlu melakukan tranformasi aktivitas wisata

yang sedang dikembangkan saat ini sehingga benar-benar mampu meningkatkan (leverage) performa perekonomian setidaknya dalam batas dukungan minimal terhadap kebutuhan penduduk. Jika tidak maka penduduk akan terus berada dalam posisi sulit dengan perekonomain wilayah yang tidak mengalami kemajuan dan kontribusi berarti bagi kesejahteraan.

Ikhtisar

Visi dan misi pengembangan pariwisata wakatobi tampak sangat ambisius karena belum dibarengi dengan kerangka kerja yang jauh lebih aplikatif. Perencanaan yang ada baru tahapan pengembangan wilayah, perencanaan pembangunan secara fisik dan belum ada konsep yang jelas bagaimana pelibatan masyarakat lokal dalam aktivitas wisata. Pengelolaan kawasan TN Wakatobi meskipun berdasarkan pada konsep ekowisata tetapi tanpa arahan kebijakan yang mendukung kerbelanjutan hidup masyarakat dan lingkungan tetap memiliki resiko besar dimasa di masa depan.

“Dimana surga itu ?“ salah satu pertanyaan yang diungkapkan peserta dalam pertemuan di “rumah kita” yang di hadiri oleh Dinas Pariwisata, Swiss

Contact dan generasi muda yang tergabung dalam komunitas Wisata Kita. Pertanyaan ini mereflesikan bentuk kebingungan masyarakat wakatobi atas visi dan misi pengembangan pariwisata Waktobi. Oleh sebab itu aktivitas wisata belum mampu mendorong pengurangan jumlah tingkat pengangguran dan kemiskinan secara massif. Uang yang mengalir ke Waktaobi karena pengembangan kegiatan wisata hanya menguntungkan segilintir orang yang memiliki bisnis yang terkait dengan aktivitas wisata, seperti pemilik hotel atau usaha dive operator, namun belum banyak masyarakat yang terlibat dalam usaha ini. Usaha terkait dengan bisnis pariwisata dikembangkan oleh mereka yang memang secara perekonomian cukup baik.

Wilayah Wakatobi sebagai destinasi tujuan wisata hanya didukung oleh pemerintahan dan kondisi alam (natural resources) yang mumpuni tetapi secara kesuluruhan kapasitasnya belum cukup memadai sebagai lokasi pengembangan pusat ekowisata dunia yang modern dan berkelanjutan sehingga dibutuhkan pendekatan yang lebih inovatif dan penilaian yang lebih teliti mengenai kekurangan dan kelebihan manajemen ekowisata yang berlangsung di Wakatobi. Karena sejauh ini peneliti melihat bahwa pelaku usaha dan juga masyarakat lokal belum memperoleh pengetahuan yang memadai mengenai pengelolaan wisata. Dampak perekonomain terhadap masyarakat lokal sangat kecil.

Aktivitas wisata yang berlangsung di Wakatobi cendrung memberikan keuntungan kepada golongan tertentu dalam hal ini pengusaha atau pemodal sebagai kelompok yang paling siap secara modal baik berupa uang ataupun jaringan untuk mengembangkan paket-paket wisata. Maka, pengembangan ekowisata di Wakatobi jika tidak dilakukan dengan hati-hati bisa jadi proses pemiskinan bagi kelompok rentan. Terutama jika kemiskinan di perdesaan dilihat sebagai suatu proses pemusatan kekayaan dan kekuasaan sebagaimana yang dibahasakan oleh Chambers (1987) maka penemuan-penemuan dalam penelitian ini merupakan pertanda awal dan sebagai alarm untuk memngembangkan ekowisata inklusif di Wakatobi. Maka pemerintah harus mempertimbangkan aspek sosial dalam membuat perencanaan pembangunan tidak hanya membuat

perencanaan fisik dan pengaturan zonasi berdasarkan potensi sumberdaya alam namun mengabaikan posisi penting dan kesiapan sumber daya manusia dalam pengembangan kegiatan ekowisata.